Category: Kompas.com Nasional

  • Menteri PPPA soal Peristiwa Agustus: Anak Ditipu Ajakan Nonton Konser dan Bola

    Menteri PPPA soal Peristiwa Agustus: Anak Ditipu Ajakan Nonton Konser dan Bola

    Menteri PPPA soal Peristiwa Agustus: Anak Ditipu Ajakan Nonton Konser dan Bola
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan temuan mengejutkan terkait keterlibatan anak dalam aksi demonstrasi yang berujung ricuh di sejumlah daerah pada Agustus lalu, yakni anak-anak diperdaya dengan ajakan nonton konser dan sepak bola.
    “Ada beberapa anak-anak di Jawa Tengah, misalkan, mereka diajak, disediakan kendaraan untuk hadir di satu tempat yang informasinya adalah untuk hadir di acara konser musik dan ada pertandingan sepak bola. Ternyata anak-anak ini diturunkan di masa yang sedang melakukan demonstrasi,” kata Arifah di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) Bareskrim Polri bertema “Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Selasa (4/11/2025).
    Arifah mengatakan, dari hasil kunjungannya ke sejumlah daerah seperti Cirebon dan Surabaya, banyak anak yang ikut dalam aksi demonstrasi karena rasa ingin tahu yang tinggi dan ajakan teman atau pengaruh media sosial.
    “Karena anak umur sekolah rata-rata SMP, SMA, ini kan rasa ingin tahunya sangat tinggi karena dalam masa pencarian jati diri. Jadi mereka ingin tahu demonstrasi itu seperti apa. Ternyata ketika sampai di sana, ada hal-hal yang di luar dugaan,” ungkap dia.
    Ia menuturkan, banyak orang tua merasa kaget dan terpukul ketika mengetahui anaknya berhadapan dengan hukum akibat ikut dalam aksi tersebut.
    “Saya melihat wajah-wajah orang tua yang syok karena anaknya harus berhadapan dengan hukum. Begitu juga dengan si anak yang merasa tidak tahu bahwa apa yang dilakukan ini dampaknya sangat negatif,” katanya.
    Meski begitu, ia memastikan bahwa pemerintah bersama Polri dan lembaga terkait tetap mengedepankan prinsip perlindungan anak dalam proses hukum.
    “Anak-anak yang masih dalam proses hukum ada beberapa ini tetap mendapatkan hak untuk pendidikannya. Jadi mereka tetap bersekolah secara
    online
    ,” tutur Arifah.

    Kolaborasi lintas lembaga, lanjut dia, menjadi kunci agar penegakan hukum terhadap anak tidak mengabaikan hak-hak dasarnya.
    Ia juga berharap forum FGD ini menghasilkan langkah konkret untuk mencegah keterlibatan anak dalam aksi-aksi serupa di masa mendatang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bareskrim Catat 332 Anak Terlibat Unjuk Rasa Agustus, Terbanyak di Jawa Timur

    Bareskrim Catat 332 Anak Terlibat Unjuk Rasa Agustus, Terbanyak di Jawa Timur

    Bareskrim Catat 332 Anak Terlibat Unjuk Rasa Agustus, Terbanyak di Jawa Timur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Bareskrim Polri mencatat sebanyak 332 anak terlibat dalam kasus kerusuhan saat aksi unjuk rasa pada Agustus 2025 lalu. Mayoritas anak-anak yang mengikuti unjuk rasa tersebut adalah pelajar.
    Wakabareskrim Polri Irjen Nunung Syaifuddin mengungkap data tersebut saat
    focus group discussion
    (FGD) bertema ‘Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum’ di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    “Polda Jawa Timur menempati angka tertinggi 144 anak,” ucap Nunung.
    Wilayah berikutnya yang tertinggi yaitu Polda Jawa Tengah (77 anak), Polda Jawa Barat (34 anak), Polda Metro Jaya (36 anak).
    “Serta sisanya tersebar di Polda DIY, NTB, Lampung, Kalbar, Sulsel, Bali, dan Sumsel,” ucapnya.
    Nunung pun menyoroti bahwa lebih dari 90 persen anak-anak yang ditangkap merupakan pelajar.
    “Mulai dari SMP hingga SMA atau SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket,” ungkapnya.
    Ia pun menjelaskan bahwa dari 332 anak berhadapan dengan hukum yang yang kini telah menjalani diversi sebanyak 160 anak.
    Kemudian, 37 anak ditangani melalui pendekatan restorative justice, 28 anak masih berada di tahap satu, 73 anak di tahap dua, dan 34 anak berkasnya telah dinyatakan P21 atau siap diserahkan ke kejaksaan.
    Dalam forum tersebut, Polri mendorong lahirnya rumusan kebijakan lintas sektoral untuk memperkuat penanganan anak berhadapan dengan hukum tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan.
    Nunung menyebutkan ada empat hal yang menjadi fokus FGD kali ini.
    Pertama, membangun peta jalan nasional penanganan anak yang terlibat masalah hukum.
    Kedua, menyusun SOP dan koordinasi antar lembaga dalam penerapan diversi serta restorative justice.
    Ketiga, membuat rencana aksi konkret yang bisa diterapkan di seluruh wilayah Indonesia.
    Keempat, menguatkan upaya pencegahan, termasuk edukasi, literasi digital, dan peran keluarga serta sekolah.
    “Semoga FGD ini menghasilkan rekomendasi strategis yang aplikatif dan menjadi pijakan kuat bagi kita semua untuk memperkokoh sistem perlindungan anak di Indonesia,” ujar Nunung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bareskrim Catat 332 Anak Terlibat Unjuk Rasa Agustus, Terbanyak di Jawa Timur

    Bareskrim Catat 332 Anak Terlibat Unjuk Rasa Agustus, Terbanyak di Jawa Timur

    Bareskrim Catat 332 Anak Terlibat Unjuk Rasa Agustus, Terbanyak di Jawa Timur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Bareskrim Polri mencatat sebanyak 332 anak terlibat dalam kasus kerusuhan saat aksi unjuk rasa pada Agustus 2025 lalu. Mayoritas anak-anak yang mengikuti unjuk rasa tersebut adalah pelajar.
    Wakabareskrim Polri Irjen Nunung Syaifuddin mengungkap data tersebut saat
    focus group discussion
    (FGD) bertema ‘Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum’ di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    “Polda Jawa Timur menempati angka tertinggi 144 anak,” ucap Nunung.
    Wilayah berikutnya yang tertinggi yaitu Polda Jawa Tengah (77 anak), Polda Jawa Barat (34 anak), Polda Metro Jaya (36 anak).
    “Serta sisanya tersebar di Polda DIY, NTB, Lampung, Kalbar, Sulsel, Bali, dan Sumsel,” ucapnya.
    Nunung pun menyoroti bahwa lebih dari 90 persen anak-anak yang ditangkap merupakan pelajar.
    “Mulai dari SMP hingga SMA atau SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket,” ungkapnya.
    Ia pun menjelaskan bahwa dari 332 anak berhadapan dengan hukum yang yang kini telah menjalani diversi sebanyak 160 anak.
    Kemudian, 37 anak ditangani melalui pendekatan restorative justice, 28 anak masih berada di tahap satu, 73 anak di tahap dua, dan 34 anak berkasnya telah dinyatakan P21 atau siap diserahkan ke kejaksaan.
    Dalam forum tersebut, Polri mendorong lahirnya rumusan kebijakan lintas sektoral untuk memperkuat penanganan anak berhadapan dengan hukum tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan.
    Nunung menyebutkan ada empat hal yang menjadi fokus FGD kali ini.
    Pertama, membangun peta jalan nasional penanganan anak yang terlibat masalah hukum.
    Kedua, menyusun SOP dan koordinasi antar lembaga dalam penerapan diversi serta restorative justice.
    Ketiga, membuat rencana aksi konkret yang bisa diterapkan di seluruh wilayah Indonesia.
    Keempat, menguatkan upaya pencegahan, termasuk edukasi, literasi digital, dan peran keluarga serta sekolah.
    “Semoga FGD ini menghasilkan rekomendasi strategis yang aplikatif dan menjadi pijakan kuat bagi kita semua untuk memperkokoh sistem perlindungan anak di Indonesia,” ujar Nunung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi

    OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi

    OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    LAGI
    dan lagi, pejabat daerah ditangkap karena korupsi. Kali ini, publik dikejutkan tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Mengikuti pendahulunya, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, Wahid menorehkan namanya dalam rapor merah Gubernur Riau sejak era otonomi daerah yang berhadapan dengan hukum akibat kasus rasuah.
    Sebagai orang yang pernah tinggal lama dan tumbuh berkembang di daerah itu, penulis merasa malu dengan rentetan praktik korupsi yang tak kunjung hilang.
    Provinsi yang dikenal kaya minyak itu kembali menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi pembangunan, melainkan karena keberhasilannya mempertahankan reputasi sebagai daerah dengan kepala daerah terbanyak yang ditangkap KPK.
    Prestasi ini melampaui Sumatea Utara yang sebelumnya bersaing ketat dalam urusan “maling uang rakyat”.
    Khusus untuk daerah Riau, praktik ini bukan hanya domain tingkat provinsi. Di kabupaten dan kota, cerita serupa berulang: belasan atau bahkan lebih dari dua puluh bupati, wali kota, dan wakilnya di Riau terseret kasus korupsi sejak otonomi daerah diberlakukan.
    Korupsi di Indonesia bukan hal alamiah. Ia tumbuh sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang panjang dan berlapis.
    Pada masa kolonial Belanda, praktik
    culturstelsel
    dan sistem pajak tanah melahirkan lapisan pejabat pribumi yang disebut pangreh praja (projo). Mereka diberi kewenangan untuk menarik pajak dan mengatur rakyat, tetapi minim pengawasan.
    Di banyak catatan kolonial, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat lokal dianggap biasa, bahkan dilegalkan sepanjang setoran ke pusat tetap mengalir. Inilah akar awal dari relasi kekuasaan dan rente yang terus membekas hingga era negara modern.
    Pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno memang menolak praktik korupsi. Dalam pidatonya, Soekarno bahkan mengakui adanya “mental korupsi”.
    Namun, lemahnya institusi dan konflik politik menjadikan praktik tersebut terbiarkan, terlebih lagi para penyintas dapat juga membantu eksistensi kekuasannya.
    Korupsi mencapai tingkat paling sistematik ketika Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
    Orde Baru menciptakan apa yang disebut Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) sebagai
    state corporatism
    , yakni negara yang bekerja sama dengan perusahaan dan militer untuk menguasai sumber daya ekonomi. Korupsi dalam rezim ini bersifat tersentralisasi.
    Soeharto dan keluarganya mengendalikan konsesi hutan, migas, hingga monopoli perdagangan melalui kroni-kroni dekatnya dan kaum konglomerat.
    Birokrasi dan aparat daerah ikut menikmati remah kekuasaan itu melalui sistem setoran vertikal. Korupsi menjadi hierarkis: ada tarif untuk mengamankan jabatan camat, bupati, gubernur hingga menteri; semua berjalan dalam logika patron-klien.
    Samuel P. Huntington dalam
    Political Order in Changing Societies
    (1968) mengingatkan bahwa korupsi sering kali bukan sekadar degradasi moral, tetapi tanda bahwa lembaga politik tidak berkembang secepat mobilisasi sosial.
    Indonesia kala itu mengalami gejala itu: modernisasi ekonomi berjalan cepat, tetapi institusi pengawasan tetap lemah dan personalistik.
    Pada 1998, Orde Baru runtuh. Publik berharap reformasi akan memutus mata rantai kekuasaan dan korupsi.
    Salah satu jawaban politis terhadap krisis legitimasi adalah mengubah struktur negara dari sentralistik menjadi desentralistik.
    Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
    Semangatnya sederhana: kekuasaan dan anggaran harus turun ke daerah agar kesejahteraan lebih merata, dan rakyat lebih dekat dengan penguasa sehingga lebih mudah mengawasi.
    Namun, harapan itu berbelok arah. Kekuasaan memang diturunkan, tetapi tidak disertai pengawasan yang kuat.
    Bupati, wali kota, dan gubernur diberi kewenangan mengelola Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan perizinan investasi, tetapi mekanisme etik, hukum, dan politik lokal belum siap mengawasi. Desentralisasi membentuk apa yang disebut banyak ilmuwan sebagai “raja-raja kecil”.
    Namun, desentralisasi itu melahirkan ironi. Kekuasaan memang berpindah, tetapi pengawasan tidak ikut menguat.
    Banyak kepala daerah justru berubah menjadi raja kecil (
    little kings
    ). Fenomena ini dikaji tajam oleh Vedi R. Hadiz dalam bukunya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    (2010).
    Hadiz menyimpulkan bahwa desentralisasi tidak membongkar oligarki Orde Baru; ia hanya “memindahkannya” dari Jakarta ke daerah-daerah.
    Oligarki lama menemukan wajah baru: gubernur, bupati, wali kota, DPRD, dan jaringan bisnis lokal. Korupsi tidak menghilang, hanya berganti alamat.
    Penelitian Edward Aspinall dan Mietzner (2010) menunjukkan bahwa biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur meningkat drastis pascapilkada langsung yang dimulai tahun 2005 (UU No. 32/2004).
    Untuk memenangkan pilkada, kandidat harus mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Setelah menang, mereka “memulihkan modal” lewat proyek APBD, pendapatan asli daerah, hingga jual beli jabatan.
    Robert Klitgaard (1988), memberi rumus klasik korupsi:
    corruption
    =
    monopoly
    +
    discretion

    accountability
    . Kepala daerah memiliki monopoli kewenangan atas anggaran dan perizinan, bebas menentukan keputusan (diskresi), dan minim pengawasan karena DPRD sering ikut bermain.
    Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) menyebut ini sebagai “demokrasi kriminal”, di mana pemilu berjalan, tetapi tujuannya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk mengakses rente.
    Otonomi daerah yang dulu diharapkan menjadi jalan keluar, justru melahirkan jalan buntu. Transparansi tidak tumbuh secepat kekuasaan. Demokrasi berjalan, tetapi substansinya kosong. Negara mengalami desentralisasi, tetapi korupsi juga ikut serta.
    Perang melawan korupsi tidak dapat semata-mata mengandalkan operasi tangkap tangan. Tindakan hukum memang penting, tetapi ia hanya menyentuh permukaan persoalan.
    Korupsi adalah penyakit struktural dan kultural sekaligus. Karena itu, melawannya membutuhkan dua kekuatan: reformasi sistem politik, dan penguatan nilai budaya. 
    Di tanah Melayu nilai itu dikenal dengan istilah marwah. Budayawan Melayu asal Riau, Tenas Effendy (1994) mendefinisikan marwah sebagai “harga diri dan kehormatan yang tak boleh dijual, meski dengan emas segunung.”
    Marwah bukan sekadar kebanggaan etnis, tetapi kesadaran moral, martabat, dan tanggung jawab sosial.
    Dalam adat Melayu, kekuasaan bukan dipandang sebagai kepemilikan, melainkan amanah. Karena itu, pepatah lama menegaskan: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.”
    Pepatah ini tidak muncul dari ruang kosong, tetapi tercatat dalam naskah hukum Undang-Undang Melaka (abad ke-15, disusun kembali 1520-an) dan diwariskan melalui tambo dan hikayat kerajaan Melayu.
    Sikap tersebut tercermin pula dalam literatur klasik seperti “Hikayat Hang Tuah” (ditulis sekitar abad ke-17, diterbitkan kembali oleh Kassim Ahmad, 1964).
    Dalam hikayat itu, Hang Tuah — laksamana Melaka, bukan hanya simbol keberanian, tetapi perwujudan manusia Melayu yang menjunjung marwah, taat pada keadilan, bukan pada kekuasaan yang lalim.
    Sumpahnya yang termasyhur, “Takkan Melayu hilang di bumi,” sering dipahami sekadar sebagai pernyataan kebangsaan. Padahal makna terdalamnya adalah: selama marwah dijaga, selama keadilan ditegakkan, orang Melayu tidak akan runtuh martabatnya.
    Ungkapan lain mempertegas etos resistensi itu: “Saat layar terkembang, tak surut biduk ke pantai; esa hilang dua terbilang”. Ini menandakan keteguhan moral: jika perjuangan telah dimulai demi kebenaran, mundur adalah bentuk pengkhianatan.
    Karena itu, budaya Melayu tidak pernah mengajarkan korupsi. Budaya ini mengajarkan wibawa dan rasa malu (malu kepada adat, malu kepada Tuhan, malu kepada anak cucu).
    Korupsi adalah antitesis dari marwah. Seorang pejabat yang mencuri uang rakyat tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi sekaligus mempermalukan adat dan mencoreng kehormatan leluhur.
    Di masa lalu, menurut William R. Roff dalam “The Origins of Malay Nationalism” (1967), pemimpin dalam masyarakat Melayu dihormati bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena budi, amanah, dan takzim.
    Kekuasaan yang tidak adil dianggap mencederai marwah, dan karenanya boleh dikritik, bahkan dilawan.
    Maka pemberantasan korupsi di Riau dan tanah Melayu tidak bisa berhenti pada ranah hukum. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan untuk memulihkan marwah.
    Surau, balai adat, sekolah, kampus, dan ruang publik perlu menjadi tempat tumbuhnya kembali etika ini. Generasi muda Melayu harus mewarisi bukan hanya syair dan pantun, tetapi keberanian moral untuk mengatakan tidak terhadap kekuasaan yang mengkhianati rakyat.
    Kasus Abdul Wahid hanyalah satu bab dalam cerita panjang relasi antara kekuasaan, uang, dan lemahnya tanggung jawab publik.
    Namun, ia juga adalah alarm, menandakan bahwa otonomi daerah tanpa marwah hanya melahirkan tirani baru. Jika sistem politik tidak diperbaiki dan nilai budaya tidak dihidupkan kembali, maka sejarah akan terus berulang.
    Namun, bila hukum ditegakkan, politik dibersihkan dari transaksi, dan budaya Melayu dikembalikan pada martabatnya, maka sumpah Hang Tuah akan menjadi nyata: Melayu tak akan hilang, juga tak akan tunduk pada korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ini Jawaban Purbaya soal IKN yang Dicap Media Asing Bakal Jadi Kota Hantu

    Ini Jawaban Purbaya soal IKN yang Dicap Media Asing Bakal Jadi Kota Hantu

    Ini Jawaban Purbaya soal IKN yang Dicap Media Asing Bakal Jadi Kota Hantu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa angkat bicara soal pemberitaan media asal Inggris, The Guardian yang menyebut Ibu Kota Nusantara (IKN) akan menjadi kota hantu.
    Purbaya mengatakan bahwa pemberitaan dari media asing kerap salah dan mengajak masyarakat untuk tidak mudah mempercayainya.
    “Jadi jangan denger prediksi orang luar, sering salah kok,” ujar Purbaya di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11/2025).
    Ia juga meyakini, pembangunan IKN yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur itu masih terus berjalan.
    Bahkan, pemerintah sudah menyetujui bahwa swasta boleh membangun perumahan di sana.
    “Jadi sepertinya nggak berhenti, masih jalan terus. Tapi nggak seperti yang (diberitakan media asing), ikutin sama Pak Presiden aja seperti apa,” ujar Purbaya.
    Humas Otorita IKN/Setyawan Ibu Kota Nusantara (IKN).
    Surat kabar Inggris, The Guardian secara khusus menyoroti perkembangan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
    Artikel yang dimuat pada Rabu (29/10/2025) itu dikemas dengan bentuk kritik yang berjudul, ”
    Indonesia’s new capital, Nusantara, in danger of becoming a ‘ghost city
    ’” (Ibu kota baru Indonesia, Nusantara, terancam menjadi ‘kota hantu’).
    Mereka menggambarkan ibu kota baru Indonesia itu berada di tengah-tengah hutan. “Ibu kota baru Indonesia, Nusantara, seolah muncul entah dari mana”, bunyi artikel itu.
    Meski berada di tengah hutan Kalimantan Timur, bangunan gedung-gedung futuristik dan jalanan sudah berdiri kokoh.
    Sayangnya, gedung-gedung dan jalan raya itu kosong. Hanya terlihat beberapa tukang kebun dan wisatawan yang penasaran. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto hingga kini sama sekali belum pernah berkunjung ke IKN.
    Proyek ambisius Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) itu membuat beberapa orang khawatir jika ke depannya menjadi proyek mangkrak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ditanya Soal Tawaran Masuk Kabinet Prabowo, Ini Jawaban Ignasius Jonan

    Ditanya Soal Tawaran Masuk Kabinet Prabowo, Ini Jawaban Ignasius Jonan

    Ditanya Soal Tawaran Masuk Kabinet Prabowo, Ini Jawaban Ignasius Jonan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (3/11/2025) sore.
    Usai pertemuan, Jonan mengaku membahas seputar diplomasi luar negeri, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga program-program kerakyatan bersama Prabowo.
    “Sharing tentang peran serta beliau yang sangat bagus dan aktif di diplomasi luar negeri. Juga di pengembangan BUMN dan partisipasi BUMN untuk bangsa dan negara yang lebih banyak. Juga program-program yang sifatnya itu kerakyatan. Jadi seperti ya keberpihakan kepada keadilan sosial kalau menurut saya ya,” ujar Jonan usai pertemuan dengan Prabowo, Senin (3/11/2025).
    Wartawan kemudian bertanya kepada Jonan soal apakah ada tawaran masuk Kabinet Merah Putih dari Prabowo kepadanya.
    Lantas, Jonan mengaku bahwa pertemuannya dengan Prabowo hanya sekedar diskusi, bukan membahas soal tawaran masuk kabinet.
    “Oh nggak, nggak ada (tawaran). Kita diskusi aja. Saya diskusi sharing pandangan saya sebagai rakyat. Itu aja kok. Boleh dong,” ujar Jonan.
    Kendati demikian, mantan Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) itu mengaku siap jika diberi amanah oleh Prabowo dalam mengemban posisi di pemerintahan.
    Dirinya siap menerima tawaran apapun selama tugas tersebut bisa diembannya. Namun sebaliknya, Jonan juga bisa saja menolak jika tidak menyanggupi.
    “Kalau sebagai warga negara, kalau diminta untuk bekerja untuk negara ya mestinya siap, kalau mampu. Kalau saya mampu sih, ya (siap). Itu aja sih. Ya tergantung yang ngasih tugas,” kata Jonan.
    Ignasius Jonan diketahui pernah menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada 2009-2014.
    Waktu itu, Jonan ditunjuk oleh Menteri BUMN Sofyan Djalil untuk mereformasi pelayanan transportasi kereta api di Indonesia.
    Kebijakannya yang terkenal adalah penghapusan KRL kelas ekonomi tanpa pendingin ruangan (AC), dan penerapan sistem tapping ticket di stasiun.
    Tak hanya kebijakan tentang sistem transportasi, Jonan pernah mencoba untuk bersikap adil dengan pegawai KAI dengan memberikan gaji yang sesuai antara pekerjaan satu dengan yang lainnya.
    Setelah menjadi Direktur KAI, Jonan kemudian mengemban tugas sebagai Menteri Perhubungan (Menhub) pada 2016 di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
    Setelah itu Jonan dicopot dari posisi Menhub dan diberi tanggung jawab untuk mengisi posisi Menteri ESDM.
    Ketika menjadi Menteri ESDM, Jonan mempunyai beberapa program unggulan seperti program BBM satu harga, kebijakan B20, dan mengambil alih 51 persen saham PT Freeport.
    Atas pencapaiannya, ia mendapatkan penghargaan berupa Lencana Bintang Jasa Chevalier de la Legion d’Honneur” dari Presiden Perancis, dilansir dari Kompas.com (24/11/2021).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ancang-ancang KPK Panggil Pihak-pihak Terkait Kereta Cepat Whoosh

    Ancang-ancang KPK Panggil Pihak-pihak Terkait Kereta Cepat Whoosh

    Ancang-ancang KPK Panggil Pihak-pihak Terkait Kereta Cepat Whoosh
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai melakukan pemanggilan sejumlah pihak terkait penyelidikan dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) atau Whoosh.
    Meski begitu, KPK tak bisa mengungkapkan siapa saja pihak yang sudah dimintai keterangan terkait kasus tersebut.
    “Tim penyelidik melakukan permintaan keterangan dengan mengundang sejumlah pihak, tentunya pihak-pihak yang diduga mengetahui konstruksi perkara ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (31/10/2025).
    Budi mengatakan, setiap informasi yang disampaikan pihak-pihak ke KPK akan membantu mengungkap dugaan korupsi kereta cepat.
    “Terkait dengan materi ataupun pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan, saat ini kami belum bisa, belum bisa menyampaikan detilnya secara lengkapnya seperti apa, karena ini memang masih di tahap penyelidikan,” ujar dia.
    Selain itu, Budi meminta pihak-pihak yang dipanggil untuk dimintai keterangan agar bersikap kooperatif dengan memenuhi panggilan dan menyampaikan informasi yang dibutuhkan.
    “Kami tentunya juga mengimbau kepada siapa saja pihak-pihak yang diundang dan dimintai keterangan terkait dengan perkara KCIC ini, agar kooperatif dan menyampaikan informasi, data, dan keterangan yang dibutuhkan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Senin (3/11/2025).
    Budi mengatakan, hingga saat ini, pihak yang dipanggil kooperatif dan membantu jalannya penyelidikan.
    Tim penyelidik, kata dia, terus menelusuri pihak-pihak lain untuk mengumpulkan keterangan.
    “Dan tentunya ini masih akan terus bergulir ya, karena tim masih akan terus menelusuri pihak-pihak lain untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dalam tahap penyelidikan,” ujar dia.
    Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mewanti-wanti KPK tidak pandang bulu dalam menindak pelaku dugaan korupsi dalam proyek kereta cepat Whoosh.
    Dia mengatakan, siapa pun yang terlibat dalam praktik dugaan korupsi, baik dari kalangan pemerintah, BUMN, maupun pihak swasta, harus diproses sesuai aturan hukum.
    “KPK tidak boleh pandang bulu. Jika dalam penyelidikan ditemukan tindak pidana korupsi, para pelakunya harus diseret ke jalur hukum tanpa pengecualian,” kata Abdullah, lewat keterangan tertulisnya, Kamis (30/10/2025).
    Menurut Politikus PKB ini, KPK tak perlu ragu menindaklanjuti setiap temuan pelanggaran dalam proyek strategis nasional tersebut.
    Sebab, keberadaan kereta cepat Whoosh saat ini tengah menjadi sorotan karena utang besar akibat pembangunannya hingga isu dugaan penggelembungan anggaran.
    Oleh karena itu, kata dia, keseriusan dan keberanian KPK dalam menangani perkara ini penting dilakukan untuk menjawab keresahan publik.
    “KPK tidak boleh takut dalam menangani kasus ini. Dugaan
    mark up
    anggaran dalam proyek kereta cepat harus diusut secara tuntas dan transparan,” kata Abdullah.
    “Proyek sebesar Kereta Cepat Whoosh seharusnya menjadi kebanggaan nasional, bukan malah menjadi beban akibat penyimpangan anggaran. Karena itu, kita harus dukung penuh KPK agar bisa menuntaskan kasus ini,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Manuver Mayor Riki Bawa Airbus A400M Hindari Awan Tebal dan Turbulensi

    Manuver Mayor Riki Bawa Airbus A400M Hindari Awan Tebal dan Turbulensi

    Manuver Mayor Riki Bawa Airbus A400M Hindari Awan Tebal dan Turbulensi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pesawat angkut berat Airbus A400M pertama milik Indonesia akhirnya tiba di Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Senin (3/11/2025).
    Satu dari dua unit A400M pesanan Republik Indonesia (RI) dengan nomor seri A-4001 itu mendarat setelah menempuh penerbangan selama tiga hari dari Sevilla, Spanyol.
    Pendaratan mulus pada Rabu pukul 07.35 WIB itu, menandai peresmian penyerahan pesawat dari Airbus Defence and Space kepada TNI AU, yang kemudian dilanjutkan dengan penyerahan kunci secara simbolis oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
    Di balik proses itu, tersimpan rasa khawatir yang mendalam bagi Mayor (Pnb) Riki Sihaloho, salah satu dari empat pilot Airbus A400M.
    Pesawat berkelir abu-abu itu sempat tertunda sekitar 5 menit dari jadwal pendaratan pukul 07.30 WIB.
    Padahal, di area apron, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI M Tonny Harjono bersama jajaran sudah menantikan kedatangan pesawat tersebut.
    “Kami tadi, sebenarnya hampir telat 15 menit untuk kedatangan,” ungkap personel Skadron 31 tersebut, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (3/11/2025).
    Hampir terlambatnya kedatangan pesawat, yang memiliki kapasitas angkut maksimum 37 ton, disebabkan oleh faktor cuaca.
    Dari Airbus Defence and Space di Sevilla, pesawat lepas landas menuju Dubai, menempuh perjalanan udara sekitar sembilan jam melintasi langit Eropa dan Timur Tengah.
    Malam itu, Riki dan tim beristirahat di Dubai sebelum kembali bersiap keesokan harinya.
    Etape kedua membawa mereka menembus langit Asia menuju Bandara Kualanamu, Medan, sebagai titik persinggahan pertama di Tanah Air.
    Dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju Jakarta.
    “Menjelang masuk wilayah Indonesia, kita tahu sendiri untuk akhir tahun, pasti akan
    rain season
    . Jadi, kita ya lumayan masuk
    weather
    ,” kata dia.
    Cuaca memang menjadi tantangan tersendiri di pengujung perjalanan.
    Riki menceritakan, tim sempat tertahan beberapa menit karena harus menghindari awan tebal dan area turbulensi.
    Riki dan tim segera menghubungi Air Traffic Control (ATC) untuk meminta izin berpindah jalur, demi memastikan pesawat bisa tiba tepat waktu.
    Strategi mitigasi mereka dimulai dengan meminta persetujuan ATC agar pesawat dapat terbang langsung ke titik tertentu, memotong jarak rute normal yang telah direncanakan.
    Tentunya, langkah ini harus memperhatikan kondisi cuaca sepanjang rute baru dan tidak mengganggu lalu lintas udara lainnya.
    Dengan cara ini, jarak tempuh yang semula lebih panjang karena harus melewati beberapa titik bisa dipangkas, sehingga perkiraan waktu kedatangan bisa kembali sesuai jadwal awal, meski sebelumnya sempat menyimpang dari jalur normal untuk menghindari awan Cumulonimbus (CB).
    Setiap wilayah dan ketinggian memiliki kondisi angin yang berbeda-beda.
    Kebetulan saat itu, jalur penerbangan yang mereka lalui mendapat dorongan angin dari belakang (
    tail wind
    ), sehingga kecepatan pesawat relatif meningkat.
    Dorongan ini membuat waktu yang dibutuhkan untuk tiba di tujuan menjadi lebih singkat.
    Riki pun menyadari bahwa alam seakan mendukung mereka, ditambah doa dari berbagai pihak.
    “Ya balik lagi. Alam semesta mendukung karena doa-doa dari semuanya,” kata Riki, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/11/2025).
    Manuver itu akhirnya bisa dimitigasi dengan baik.
    Pukul 07.35 WIB, Airbus A400M akhirnya menyentuh landasan Halim Perdanakusuma, momen bersejarah yang menandai tibanya pesawat angkut berat berukuran jumbo pertama Indonesia.
    Meski pesawat hanya telat lima menit dan disambut hangat oleh para personel TNI AU, Riki tak bisa menutupi sedikit rasa kecewa.
    Baginya, lima menit itu terasa seperti jeda kecil yang membuat ia tak bisa menuntaskan tugasnya sebaik yang diharapkan.
    Namun, di balik rasa kecewa itu, Riki tetap tenang.
    Ia menyadari, alam punya caranya sendiri untuk berbicara.
    Keselamatan awak pesawat selalu menjadi prioritas utama, mengingat setiap penerbangan membawa tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sekadar waktu dan jadwal.
    “Intinya sudah berusaha sebaik-baiknya,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah musisi yang tergabung dalam serikat musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menyuarakan keluh kesahnya soal distribusi royalti ke Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
    Beberapa musisi dari VISI seperti Armand Maulana, Nazril Irham atau Ariel Noah, Vina Panduwinata, dan Sammy Simorangkir itu datang beraudiensi dengan Fraksi Golkar di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11/2025).
    Mereka menyampaikan keresahan atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
    Ketua Fraksi Golkar M. Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Saya sudah menyimak dua presentasi (dari) AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kita menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” ujar Sarmuji dalam keterangannya.
    Sarmuji mengatakan, tidak transparannya tata kelola LMKN menjadi suatu persoalan sendiri.
    Ia pun menilai perlu ada aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
    “Kalau ditetapkan aturan bahwa pembayaran royalti pertunjukan dilakukan seminggu setelah konser, bolehlah. Jadi tidak perlu menunggu berbulan-bulan seperti sekarang,” kata Sarmuji.
    Menurut Sarmuji, langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan seperti pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
    Di hadapan para musisi, ia juga berkomitmen partainya akan mengawal dan menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
    Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini menyebut tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit, apalagi merugikan pencipta lagu.
    “Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” ujarnya.
    Bagi Sarmuji, sistem soal royalti ini memang perlu diperbaiki dan harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, termasuk dunia usaha.
    Sarmuji berharap jangan sampai ada pelaku usaha yang malah merasa terbebani.
    “Tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha, pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain. Mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” imbuh dia.
    Sementara itu, Ketua Umum VISI, Armand Maulana mengatakan, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
    Vokalis grup band Gigi itu menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yaitu distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambah Armand.
    Bagi Armand, wacana pembentukan lembaga baru yang khusus untuk konser tidak akan menyelesaikan masalah.
    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
    Di sisi lain, VISI mendorong reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
    Dengan teknologi saat ini, menurutnya, sangat mungkin dibentuk sistem digital yang akurat dan transparan.
    “Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
    Armand juga mengungkap akar permasalahan ini bermula dari tidak kompeten serta tidak transparannya kerja dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN di masa lalu.
    Hal ini lantas mengakibatkan munculnya berbagai persoalan seperti kasus penyanyi, Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
    Oleh karenanya, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    Performing rights
    itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” tegas Armand.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.