Category: Kompas.com Nasional

  • Profil Idham Azis, Eks Kapolri yang Jadi Anggota Komisi Reformasi Polri

    Profil Idham Azis, Eks Kapolri yang Jadi Anggota Komisi Reformasi Polri

    Profil Idham Azis, Eks Kapolri yang Jadi Anggota Komisi Reformasi Polri
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto melantik Jenderal (Purn) Pol Idham Azis sebagai anggota anggota Komisi Reformasi Polri di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11/2025).
    Idham Azis
    dilantik bersama sembilan orang lainnya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan 7 November 2025.
    Nama Idham Azis tidak asing dalam institusi Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ). Dia adalah Kapolri periode 2019-2021.
    Berikut Ini 10 orang yang dilantik jadi
    Komisi Reformasi Polri
    :
    Ketua:
    Anggota:
    Pria kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara pada 1963 ini merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1988.
    Sebelum dipercaya menggantikan Tito Karnavian sebagai Kapolri pada 2019, Idham Azis adalah Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri.
    Di Institusi Kepolisian, Idham juga pernah menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat pada 2008, Dirreskrimum Polda Metro Jaya pada 2009, dan Wakil Kepala Densus 88 Antiteror pada 2010.
    Kemudian, Dirtipidkor Bareskrim Polri pada 2013, Kapolda Sulawesi Tengah pada 2014, dan Irwil II Itwasum Polri pada 2016.
    Diberitakan
    Kompas.com
    sebelumnya, Idham pernah terlibat dalam upaya melumpuhkan teroris bom Bali, Dr Azahari dan komplotannya di Batu, Jawa Timur, pada 9 November 2005.
    Idham juga menjadi anggota tim kobra yang dipimpin Tito dalam memburu putra bungsu Presiden ke-2 RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.
    Hal itu terkait kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita pada 7 Agustus 2000 yang ketika itu melibatkan Tommy.
    Selain Idham pernah menjadi wakil satuan tugas (satgas) pengungkapan kasus-kasus teror dan konflik di Poso atau disebut Ops Camar Maleo.
    Karena prestasinya, pada 2017, Idham Azis dilantik menjadi Kapolda Metro Jaya dan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri pada Januari 2019.
    Belum genap setahun menjabat sebagai Kabareskrim, pada 1 November 2019, Idham Azis dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Instruksikan Komisi Reformasi Polri Beri Rekomendasi Langsung ke Presiden

    Prabowo Instruksikan Komisi Reformasi Polri Beri Rekomendasi Langsung ke Presiden

    Prabowo Instruksikan Komisi Reformasi Polri Beri Rekomendasi Langsung ke Presiden
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan langsung kepada Komisi Reformasi Polri usai melantiknya di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025).
    Prabowo meminta
    Komisi Reformasi Polri
    untuk mempelajari dan merekomendasikan sejumlah langkah kepadanya, serta mengambil tindakan yang diperlukan.
    Adapun Komisi ini dibentuk untuk menanggapi demo yang berkecamuk selama beberapa hari pada akhir Agustus 2025.
    “Tugas utama adalah mempelajari, mengkaji, dan memberikan rekomendasi kepada saya sebagai kepala negara, kepala pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan,” kata Presiden Prabowo saat memberikan arahan di Istana Merdeka, Jumat.
    Ketua Komisi Reformasi Polri,
    Jimly Asshiddiqie
    , tampak duduk di hadapan Presiden Prabowo selama sesi pengarahan berlangsung.
    Jimly didampingi oleh seluruh anggota, termasuk
    Mahfud MD
    , Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, hingga mantan Kapolri.
    Sejumlah menteri Kabinet Merah Putih pun mengikuti pengarahan itu.
    Sebagai informasi, Komisi Reformasi Polri berisi 10 anggota.
    Keputusan pengangkatan 10 anggota itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan pada 7 November 2025.
    Berikut Ini 10 anggota Komite Reformasi Polri yang dilantik:
    Ketua:
    Anggota:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
    DI
    tengah upaya bangsa menata ingatan sejarah dan menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, publik kembali dihadapkan pada realitas yang menggugah nurani. Nama Soeharto, presiden dengan kekuasaan paling panjang di Indonesia, muncul dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    Wacana ini memunculkan perdebatan yang tajam: apakah negara layak memberi penghormatan tertinggi kepada sosok yang di satu sisi dikenal membawa stabilitas dan pembangunan, namun di sisi lain meninggalkan jejak kelam kekerasan dan represi?
    Transisi kekuasaan pada 1965–1966 menandai awal kekuasaan
    Soeharto
    . Namun masa itu juga menyisakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Berbagai laporan menyebutkan, pembersihan terhadap mereka yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menelan 500.000 hingga 1 juta korban jiwa. Ratusan ribu lainnya ditahan tanpa proses hukum, mengalami penyiksaan, dan hidup terpinggirkan selama puluhan tahun.
    Laporan Amnesty International, Human Rights Watch, hingga Komnas HAM menegaskan bahwa kekerasan itu bukan spontanitas rakyat, melainkan melibatkan struktur militer secara sistematis. Sejarawan Geoffrey Robinson dalam The Killing Season (2018) menulis, operasi kekerasan tersebut terencana, melibatkan aparat negara, dan difasilitasi oleh kepentingan politik global di masa Perang Dingin.
    Sebagian akademisi menyebut tragedi ini sebagai
    politicide
    , pembunuhan massal terhadap kelompok politik tertentu. Dalam terminologi hukum internasional, beberapa peneliti bahkan menilai unsur-unsurnya memenuhi kriteria genosida politik. Fakta ini memperkuat posisi bahwa pelanggaran HAM berat di masa awal kekuasaan
    Orde Baru
    tidak bisa dihapus begitu saja dengan alasan jasa pembangunan.
    Tak bisa dimungkiri, rezim Soeharto meninggalkan warisan pembangunan fisik dan ekonomi yang masif. Program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan stabilitas politik menjadi pencapaian yang kerap dijadikan dasar untuk mengusulkan
    gelar pahlawan nasional
    . Namun, keberhasilan tersebut berdiri di atas kontrol ketat terhadap kebebasan sipil, pembungkaman oposisi, dan pelanggaran hak politik warga negara.
    Dalam logika utilitarianisme politik, seseorang bisa dianggap berjasa jika tindakannya membawa manfaat besar bagi rakyat banyak. Namun teori keadilan John Rawls mengingatkan bahwa keadilan tidak bisa diukur semata-mata dari hasil, tetapi juga dari cara mencapainya. Pembangunan ekonomi yang dibarengi pelanggaran HAM berat justru melanggar prinsip keadilan substantif.
    Di masa Orde Baru, negara juga membangun narasi tunggal sejarah. Buku pelajaran, media massa, hingga institusi budaya diarahkan untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Rakyat diajak untuk melupakan tragedi 1965, sementara para korban dilarang bersuara. Dalam konteks inilah, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti memperpanjang politik ingatan yang timpang—mengingat jasa, tapi meniadakan luka.
    Sampai hari ini, proses rekonsiliasi nasional terkait pelanggaran HAM masa lalu masih jalan di tempat. Upaya hukum tidak pernah benar-benar tuntas. Komnas HAM memang telah menyelesaikan penyelidikan pro justisia terkait Tragedi 1965, namun Kejaksaan Agung belum juga melanjutkan ke tahap penuntutan. Di sisi lain, korban dan keluarga korban terus menuntut pengakuan, permintaan maaf negara, serta rehabilitasi sosial yang layak.
    Dalam teori
    transitional justice
    , penghormatan terhadap pelaku masa lalu hanya layak dilakukan jika telah melalui proses kebenaran dan akuntabilitas yang jelas. Negara-negara seperti Jerman atau Afrika Selatan memberi contoh: pengakuan terhadap masa lalu dilakukan bersamaan dengan keadilan bagi korban. Penghargaan tanpa akuntabilitas justru menjadi bentuk pengingkaran sejarah.
    Jika negara ingin menimbang tokoh-tokoh dengan rekam jejak kompleks seperti Soeharto, maka langkah yang lebih etis adalah memprioritaskan komisi kebenaran nasional dan kurikulum sejarah yang jujur, bukan pemberian gelar kehormatan. Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan masa lalunya, melainkan yang berani menghadapinya.
    Dalam konteks moral dan hukum, pahlawan nasional bukan sekadar orang yang berjasa besar, tetapi juga sosok yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menegaskan, gelar pahlawan hanya dapat diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral, nasionalisme tinggi, dan tidak pernah melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan.
    Jika kriteria itu dijalankan secara konsisten, maka sulit membayangkan bagaimana Soeharto memenuhi syarat tersebut tanpa terlebih dahulu ada kejelasan pertanggungjawaban terhadap korban pelanggaran HAM di masa kekuasaannya.
    Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan menjadi preseden buruk bagi pendidikan sejarah bangsa. Ia akan mengaburkan batas antara pelaku dan korban, antara pembangunan dan represi. Lebih jauh, langkah itu bisa mencederai luka sosial yang belum sembuh serta melemahkan upaya negara menegakkan keadilan bagi para penyintas.
    Karena itu, sebelum negara menulis nama Soeharto dalam daftar pahlawan nasional, sebaiknya negara terlebih dahulu menulis nama para korban dalam daftar yang lebih penting: daftar orang-orang yang perlu diakui, dipulihkan, dan diingat.
    Pemberian gelar pahlawan bukanlah soal menimbang jasa semata, tetapi menilai nilai. Ia menyangkut moral publik dan memori bangsa. Dalam kasus Soeharto, negara dihadapkan pada pilihan sulit: mengakui jasa pembangunan atau mengakui luka sejarah.
    Namun, bangsa yang berani menghadapi masa lalunya dengan jujur adalah bangsa yang benar-benar merdeka secara moral. Sampai proses kebenaran itu tuntas, gelar pahlawan nasional bagi Soeharto bukanlah penghormatan, melainkan pengingkaran.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Roy Suryo Belum Tentukan Langkah Hukum Usai Jadi Tersangka Kasus Ijazah Jokowi

    Roy Suryo Belum Tentukan Langkah Hukum Usai Jadi Tersangka Kasus Ijazah Jokowi

    Roy Suryo Belum Tentukan Langkah Hukum Usai Jadi Tersangka Kasus Ijazah Jokowi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerhati telematika Roy Suryo mengaku dirinya akan menunggu kuasa hukum soal langkah hukum yang ditempuh setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
    “Langkah hukumnya tunggu, tunggu semuanya apalagi saya tentu tidak bisa berbicara sendiri, kita akan ikuti semua nasihat, termasuk dari para kuasa hukum yang ada,” kata Roy ditemui di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025).
    Roy menegaskan, penetapan
    tersangka
    terhadap dirinya dan beberapa pihak lain tidak akan menyurutkan semangat mencari keadilan.
    Ia menyebut akan menghadapi
    proses hukum
    ini dengan tenang dan menghormati setiap tahapan penyidikan.
    “Saya tetap menghormati penetapan tersebut. Tapi sebaiknya semua masyarakat juga menunggu dengan sabar prosesnya,” ungkap dia.
    Menurut Roy, status tersangka bukan akhir dari proses hukum dan harus dilihat secara proporsional.
    Ia menyampaikan, penetapan tersangka hanyalah bagian dari tahapan penyelidikan hingga pembuktian di pengadilan.
    “Sikap saya apa? Saya senyum, saya menyerahkan ke kuasa hukum. Saya tetap mengajak semua yang tujuh orang lain (ditetapkan tersangka) untuk tetap tegar. Ini adalah perjuangan kita semua bersama rakyat Indonesia,” kata Roy.
    Sebelumnya, polisi menetapkan delapan orang menjadi tersangka kasus tudingan ijazah palsu Presiden Jokowi, Jumat (7/11/2025).
    1. Eggi Sudjana
    2. Kurnia Tri Royani
    3. M Rizal Fadillah
    4. Rustam Effendi
    5. Damai Hari Lubis
    6.
    Roy Suryo
    7. Rismon Sianipar
    8. Tifauziah Tyassuma.
    “Berdasarkan hasil penyidikan kami, kami bagi dalam dua klaster, antara lain 5 tersangka klaster pertama yang terdiri atas RS, KTR, MRF, RE, dan DHL. Klaster kedua RS, RHS, dan TT,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri dalam konferensi pers di gedung Ditreskrimum Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presiden Prabowo Terima Surat Kepercayaan dari 12 Dubes Negara Sahabat

    Presiden Prabowo Terima Surat Kepercayaan dari 12 Dubes Negara Sahabat

    Presiden Prabowo Terima Surat Kepercayaan dari 12 Dubes Negara Sahabat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto menerima surat kepercayaan dari 12 duta besar luar biasa dan berkuasa penuh (LBBP) negara-negara sahabat.
    Penyerahan surat kepercayaan tersebut digelar di Ruang Kredensial,
    Istana Merdeka
    , Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025) siang.
    Prosesi penyerahan surat kepercayaan dimulai dengan
    upacara kredensial
    atau upacara penyambutan kedatangan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) oleh pasukan militer di halaman Istana Merdeka.
    Di momen ini, satu per satu
    Duta Besar LBBP
    datang bergiliran.
    Kemudian, lagu kebangsaan masing-masing negara sahabat dikumandangkan sebagai bentuk penghormatan.
    Setelah penyambutan di halaman istana, satu per satu duta besar dipersilakan masuk ke dalam Istana Merdeka untuk menghadap Presiden Prabowo.
    Mereka pun menyerahkan surat kepercayaan secara bergiliran.
    Setelah menyerahkan surat, para duta besar secara bergantian melakukan prosesi foto bersama dengan Presiden Prabowo.
    Kemudian berpamitan dan kembali keluar untuk diberikan penghormatan oleh pasukan militer.
    Lalu, lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan.
    Turut mendampingi Presiden dalam kesempatan ini adalah Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono.
    Berikut ini 12 nama Duta Besar LBBP Designate Resident dan Designate Non-Resident untuk Republik Indonesia yang menemui Prabowo hari ini secara berturut-turut:
    1. Barbara Szymanowska, Duta Besar LBBP Designate Resident Republik Polandia untuk Republik Indonesia.
    2. Khalid Jassim Alyassin, Duta Besar LBBP Designate Resident Negara Kuwait untuk Republik Indonesia.
    3. Gladys Kamia Isihanua, Duta Besar LBBP Designate Resident Kepulauan Solomon untuk Republik Indonesia.
    4. Zahid Hafeez Chaudhri, Duta Besar LBBP Designate Resident Republik Islam Pakistan untuk Republik Indonesia.
    5. Sharon Ann Lennon, Duta Besar LBBP Designate Resident Republik Irlandia untuk Republik Indonesia beserta spouse.
    6. Tornike Nozadze, Duta Besar LBBP Designate Resident Georgia untuk Republik Indonesia.
    7. Bernardo de Sicard Escoda, Duta Besar LBBP Designate Resident Kerajaan Spanyol untuk Republik Indonesia.
    8. Salem Ahmed Balfakeeh, Duta Besar LBBP Designate Resident Republik Yaman untuk Republik Indonesia.
    9. Francisco de la Torre Galindo, Duta Besar LBBP Designate Resident Negara Meksiko Serikat untuk Republik Indonesia beserta spouse.
    10. Ralf Beste, Duta Besar LBBP Designate Resident Republik Federal Jerman untuk Republik Indonesia.
    11. Patrick Hemmer, Duta Besar LBBP Designate Non-Resident Keharyapatihan Luksemburg untuk Republik Indonesia.
    12. Muhammetnyyas Mashalov, Duta Besar LBBP Designate Non-Resident Republik Turkmenistan untuk Republik Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti Tindak Lanjut dari Putusan MKD Terhadap Sahroni hingga Uya Kuya…

    Menanti Tindak Lanjut dari Putusan MKD Terhadap Sahroni hingga Uya Kuya…

    Menanti Tindak Lanjut dari Putusan MKD Terhadap Sahroni hingga Uya Kuya…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani memastikan bakal menindaklanjuti putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terhadap lima anggota DPR nonaktif.
    Kelima anggota
    DPR
    RI nonaktif tersebut adalah Adies Kadir,
    Nafa Urbach
    , Eko Hendro Purnomo alias
    Eko Patrio
    , Surya Utama alias Uya Kuya, dan
    Ahmad Sahroni
    .
    “Ya kita hormati yang menjadi keputusan
    MKD
    , dan akan kita tindak lanjuti apa yang menjadi keputusan tersebut,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Namun, menurut Puan, Pimpinan DPR RI akan terlebih dahulu mengkaji putusan MKD tersebut.
    Terpisah, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan, semua putusan MKD tersebut akan disampaikan dalam rapat paripurna.
    “Jadi pimpinan MKD sudah berkirim surat ke pimpinan DPR, Untuk semua keputusan yang diambil oleh MKD itu, untuk disampaikan di rapat paripurna. Artinya kan ini akan melalui dulu Rapim dan Bamus nanti,” ujar Cucun di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis.
    Dengan demikian, menurut Cucun, Adies Kadir dan Uya baru aktif menjadi anggota DPR lagi jika putusan MKD sudah diumumkan dalam rapat paripurna.
    Pasalnya, MKD memutuskan Adies dan Uya Kuya tidak melanggar kode etik DPR, serta dipulihkan nama baik dan statusnya sebagai anggota DPR RI.
    Akan tetapi, Cucun mengaku, dia belum mengetahui kapan rapat paripurna terdekat dilaksanakan.
    “Ya nanti diumumkan dulu di paripurna,” katanya.
    MKD dalam putusannya menyatakan Teradu 1, yakni Adies Kadir tidak terbukti melanggar kode etik.
    “Dengan ini MKD memutuskan dan mengadili sebagai berikut: menyatakan teradu satu, Adies Kadir, tidak terbukti melanggar kode etik,” kata Wakil Ketua MKD DPR RI Adang Darajatun.
    Meskipun demikian, MKD mengingatkan Adies Kadir agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi saat sesi wawancara dengan awak media.
    “Meminta teradu satu, Adies Kadir, untuk berhati-hati dalam menyampaikan informasi, serta menjaga perilaku untuk ke depannya. Menyatakan teradu satu, Adies Kadir, diaktifkan sebagai anggota DPR RI terhitung sejak putusan ini dibacakan,” ujar Adang.
    Dengan keputusan tersebut, maka MKD menyatakan bahwa Wakil Ketua DPR RI itu aktif kembali atau bisa menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat kembali.
    Berbeda dengan Adies Kadir, politikus Partai Nasdem, Nafa Urbach dinyatakan terbukti melanggar kode etik sehingga dijatuhi sanksi berupa penonaktifan sebagai anggota DPR RI selama tiga bulan.
    “Menyatakan teradu dua, Nafa Urbach, nonaktif selama 3 bulan berlaku sejak tanggal putusan ini dibacakan, yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan DPP Partai Nasdem,” kata Adang.
    Kemudian, selama dinonaktifkan, MKD memutuskan Nafa Urbach tidak mendapatkan hak keuangan sebagai anggota dewan.
    Selain itu, MKD juga meminta Nafa Urbach berhati-hati dalam menyampaikan pendapat serta menjaga perilaku untuk ke depannya.
    Pasalnya, pernyataan Nafa Urbach yang memberikan respons atas pemberian tunjangan rumah untuk anggota dewan sebesar Rp 50 juta per bulan, dinilai tidak sesuai etika dan bisa memicu reaksi publik yang luas.
    Meskipun, dalam pertimbangan MKD, tidak ditemukan niat buruk dalam pernyataan Nafa Urbach.
    “Mahkamah berpendapat bahwa tidak terlihat niat Teradu 2, Nafa Urbach, untuk menghina atau melecehkan siapa pun. Respons publik yang marah kepada Teradu 2 tidak mungkin terjadi apabila tidak ada penyebaran berita bohong soal anggota DPR RI yang berjoget karena kenaikan gaji,” ujar Imron Amin.
    Sementara itu, Uya Kuya dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik DPR RI.
    Oleh karenanya, MKD memutuskan untuk memulihkan nama baik dan kedudukan Uya Kuya sebagai anggota DPR RI.
    “Menyatakan Teradu 3, Surya Utama, tidak terbukti melanggar kode etik. Menyatakan teradu tiga, Surya Utama, diaktifkan sebagai anggota DPR RI terhitung sejak keputusan ini dibacakan,” ujar Adang.
    Dalam pertimbangan yang dibacakan Wakil Ketua MKD Imran Amin, majelis berpandangan bahwa aksi Uya Kuya berjoget saat Sidang Tahunan MPR RI tidak memiliki niat merendahkan lembaga negara ataupun pihak mana pun.
    Sebaliknya, Wakil Ketua MKD, Imron Amin menyebut bahwa kemarahan publik kepada aksi joget Uya Kuya lantaran adanya berita bohong.
    “Mahkamah berpendapat tidak ada niat Teradu 3 Surya Utama untuk menghina atau melecehkan siapa pun. Kemarahan pada Teradu 3 terjadi karena adanya berita bohong bahwa teradu tiga Surya Utama berjoget karena kenaikan gaji,” kata Imron.
    Berbeda dengan Uya Kuya, rekan satu partainya yang juga berjoget saat Sidang Tahunan MPR RI, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dinyatakan melanggar kode etik DPR.
    Oleh karenanya, MKD menjatuhkan hukuman terhadap Eko Patrio berupa penonaktifan sebagai Anggota DPR RI selama empat bulan.
    “Menyatakan teradu 4 Eko Hendro Purnomo terbukti melanggar kode etik DPR RI. Menghukum teradu 4 Nonaktif selama empat bulan berlaku sejak tanggal putusan ini dibacakan yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan DPP Partai Amanat Nasional,” kata Adang Daradjatun.
    Kemudian, terhadap Eko Patrio juga diputuskan tidak mendapatkan hak keuangan selama dinonaktifkan sebagai anggota dewan.
    Dalam pertimbangannya, MKD menilai bahwa tidak ada niat dari Eko Patrio untuk menghina atau melecehkan siapa pun terkait aksinya berjoget dalam Sidang Tahunan MPR RI tanggal 15 Agustus 2025.
    Selain itu, MKD menyebut, aksi joget yang dilakukan Eko Patrio bukan untuk merespons adanya kenaikan gaji anggota DPR RI.
    Sebab, menurut MKD, berdasarkan rekaman dari Sidang Tahunan MPR tersebut, tidak ada pengumuman kenaikan gaji atau tunjangan DPR.
    Namun, majelis MKD berpandangan bahwa reaksi parodi yang disampaikan Eko Patrio setelah viral aksi jogednya kurang tepat karena bersifat defensif.
    Oleh karena itu, terhadap Eko Patrio diperintahkan juga untuk berhati-hati dalam memberikan pendapat di muka umum.
    Sanksi etik paling berat diberikan kepada politikus Partai Nasdem, Ahmad Sahroni.
    “Menghukum Teradu 5 Ahmad Sahroni nonaktif selama 6 bulan berlaku sejak tanggal putusan ini dibacakan yang dihitung sejak penonaktifan sebagaimana keputusan DPP Nasdem,” ujar Adang Daradjatun.
    Sama seperti Nafa Urbach dan Eko Patrio, Sahroni juga tidak mendapatkan hak keuangan anggota DPR RI selama nonaktif.
    Dalam pertimbangannya, MKD menilai, Sahroni memilih kalimat yang tidak pantas dan bijaksana saat menanggapi wacana pembubaran DPR RI.
    Menurut MKD, seharusnya Sahroni memberikan tanggapan dengan pemilihan kata-kata yang lebih bijaksana
    “Teradu 5 Ahmad Sahroni harusnya menanggapi dengan pemilihan kalimat yang pantas dan bijaksana,” ujar Imron Amin.
    Diketahui, Adies Kadir, Nafa Urbach, Surya Utama, Eko Hendro Purnomo, dan Ahmad Sahroni diadukan ke MKD terkait dugaan pelanggaran kode etik. Dugaan pelanggaran etik kelimanya masing-masing tercatat lewat perkara Nomor 39/PP/IX/2025, 41/PP/IX/2025, 42/PP/IX/2025, 44/PP/IX/2025, dan 49/PP/IX/2025.
    Adies Kadir diadukan atas pernyataan terkait tunjangan anggota DPR RI yang keliru dan menimbulkan reaksi luas dalam masyarakat.
    Nafa Urbach dilaporkan karena hedon dan tamak terkait pernyataannya merespons kenaikan tunjangan DPR RI.
    Kemudian, Surya Utama alias Uya Kuya dan Eko Patrio diadukan ke MKD DPR karena dianggap merendahkan DPR lantaran berjoget di Sidang Tahunan MPR RI pada 15 Agustus 2025.
    Sedangkan Ahmad Sahroni dilaporkan karena menggunakan diksi tidak pantas di hadapan publik, yakni penggunaan kata “tolol”.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dua Napi WN Inggris Kasus Narkoba Dipulangkan oleh Pemerintah RI

    Dua Napi WN Inggris Kasus Narkoba Dipulangkan oleh Pemerintah RI

    Dua Napi WN Inggris Kasus Narkoba Dipulangkan oleh Pemerintah RI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintah Republik Indonesia (RI) memulangkan dua narapidana terpidana mati dan seumur hidup, warga negara (WN) Inggris, Lindsay June Sandiford dan Shahab Shahabadi, pada Kamis (6/11/2025).
    Penandatanganan Berita Acara Serah Terima dilakukan di Lapas Kelas IIA Kerobokan, Kabupaten Badung, Bali, pada Kamis malam.
    Deputi Bidang Koordinasi Keimigrasian dan Pemasyarakatan Kemenko Kumham Imipas, I Nyoman Gede Surya Mataram, mengatakan, proses transfer ini merupakan kerja sama antarnegara yang berlangsung dengan koordinasi intensif dan penuh kehati-hatian.

    Pemerintah Indonesia
    memastikan bahwa setiap prosedur pemindahan narapidana lintas negara dilaksanakan secara akuntabel, transparan, dan sesuai standar hukum yang berlaku. Pendekatan yang kami lakukan bukan hanya berorientasi pada aspek penegakan hukum, tetapi juga mempertimbangkan unsur kemanusiaan dan perlindungan
    hak asasi manusia
    ,” kata Surya, dalam keterangan tertulis, Jumat (7/11/2025).
    Lindsay June Sandiford (68) merupakan narapidana kasus narkotika berdasarkan Putusan Nomor 1453 K/PID.SUS/2013 dengan pidana mati, dan selama ini ditempatkan di Lapas Perempuan Kelas IIA Kerobokan, Bali.
    Sedangkan Shahab Shahabadi (35), narapidana kasus narkotika berdasarkan Putusan Nomor 104/PID/2015/PT.DKI, menjalani pidana penjara seumur hidup di Lapas Kelas IIA Kembangkuning, Nusa Kambangan.
    Surya mengatakan, proses pemindahan dilakukan bertahap.
    Shahab Shahabadi diberangkatkan pada Kamis, 6 November 2025 pukul 06.00 WIB dari Nusa Kambangan menuju Bali melalui Bandara Yogyakarta International Airport.
    “Keduanya kemudian dijadwalkan terbang ke London pada Jumat, 7 November 2025 pukul 00.30 Wita dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menggunakan maskapai Qatar Airways,” ujar dia.
    Surya menunturkan, proses ini sekaligus menunjukkan kredibilitas Indonesia dalam skema kerja sama hukum internasional.
    “Ini adalah bagian dari komitmen Pemerintah Indonesia dalam memperkuat tata kelola dan kerja sama antarnegara. Kolaborasi ini juga memperkuat kepercayaan global terhadap sistem hukum dan pemasyarakatan Indonesia,” tutur dia.
    Pemerintah Inggris melalui surat resmi Perdana Menteri kepada Presiden Republik Indonesia menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas dukungan Pemerintah Indonesia dalam pemindahan dimaksud.
    Kemenko Kumham Imipas menegaskan bahwa kerja sama transfer narapidana ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam memperkuat tata kelola, harmonisasi kebijakan, dan kolaborasi internasional di bidang hukum, HAM, imigrasi, serta pemasyarakatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Profil Mayjen Hendy Antariksa, Jebolan Kopassus yang Jadi Pangdam I/Bukit Barisan

    Profil Mayjen Hendy Antariksa, Jebolan Kopassus yang Jadi Pangdam I/Bukit Barisan

    Profil Mayjen Hendy Antariksa, Jebolan Kopassus yang Jadi Pangdam I/Bukit Barisan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menunjuk Mayjen Hendy Antariksa sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) I/Bukit Barisan.
    Penunjukkan
    Mayjen Hendy Antariksa
    tersebut tertuang dalam Keputusan Panglima
    TNI
    Nomor Kep/1448/X/2025 tertanggal 30 Oktober 2025.
    Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah mengatakan, mutasi dan rotasi ini adalah bagian dari sistem pembinaan karier yang terencana dan berkesinambungan.
    Mutasi dan rotasi ini tidak hanya sebatas penyesuaian struktural, tetapi juga merupakan strategi pembinaan organisasi agar tetap segar dan adaptif dalam menghadapi perkembangan lingkungan tugas yang dinamis.
    “Rotasi jabatan ini bukan sekadar proses administratif, melainkan wujud nyata pembinaan karier yang berorientasi pada peningkatan profesionalisme dan kesiapan satuan,” kata Freddy dalam keterangannya, Kamis (6/11/2025).
    “Dengan adanya regenerasi kepemimpinan, TNI memastikan setiap lini memiliki sosok pemimpin yang tangguh, responsif, dan mampu menjawab tantangan zaman,” sambungnya.
    Lantas, siapa Mayjen
    Hendy Antariksa
    yang kini menjabat sebagai Pangdam I/Bukit Barisan? Berikut profilnya:
    Mayjen Hendy Antariksa merupakan pati TNI yang lahir pada 20 Maret 1971 di Cimahi, Jawa Barat. Ia merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) dari kecabangan Infanteri (Kopassus) pada 1993.
    Pada 2010, Hendy pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Tugas Batalyon Mekanis Kontingen Garuda XXIII-E/Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon.
    Namanya juga pernah mengisi posisi Komando Distrik Militer 0621 dan Perwira Pembantu Utama V/Kerjasama Militer Staf Operasi Angkatan Darat.
    Adapun sebelum ditunjuk menjadi Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen Hendy Antariksa mengisi kursi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) sejak Mei 2025.
    Berikut riwayat karier militer Mayjen Hendy Antariksa:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presiden Bukan Pahlawan!

    Presiden Bukan Pahlawan!

    Presiden Bukan Pahlawan!
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    ADA
    satu usulan yang belakangan ini kembali muncul ke permukaan: semua presiden Indonesia sebaiknya otomatis diberi gelar pahlawan.
    Sekilas terdengar masuk akal. Bukankah mereka pernah memimpin bangsa ini? Bukankah jabatan tertinggi layak mendapat penghormatan tertinggi?
    Namun, di balik logika yang tampak mulia itu tersembunyi kekeliruan yang tak bisa dibiarkan: kita mencampuradukkan otoritas dengan integritas.
    Kita menganggap bahwa karena seseorang pernah menjadi
    presiden
    , maka ia pasti layak disebut pahlawan.
    Padahal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan syarat yang jauh lebih dalam: integritas moral, keteladanan, perilaku baik, dan bebas dari hukuman pidana berat.
    Mengabaikan syarat-syarat ini demi memudahkan proses bukanlah bentuk penghormatan, melainkan bentuk amnesia kolektif yang disengaja.
    Kita ingin mengenang tanpa mengingat, memuliakan tanpa mengkaji. Kita ingin sejarah yang nyaman, bukan sejarah yang jujur.
    Setiap presiden Indonesia adalah figur yang kompleks. Soekarno adalah proklamator, tapi juga membubarkan DPR dan menerima status presiden seumur hidup.
    Soeharto dikenal sebagai “Bapak Pembangunan”, tapi warisannya dibayangi pelanggaran HAM dan praktik KKN yang diakui secara resmi.
    Habibie membuka ruang demokrasi, tetapi masa jabatannya diwarnai krisis multidimensi. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dijuluki “Bapak Pluralisme”, tapi kepemimpinannya memicu ketegangan politik.
    Susilo Bambang Yudhoyono mendamaikan Aceh, tetapi dikritik atas konflik antara KPK dan Polri. Jokowi membangun infrastruktur masif, tapi mendapat “Rapor Merah” dari mahasiswa atas regresi demokrasi.
    Obsesi terhadap pemimpin sempurna adalah refleksi psikologis yang belum dewasa. Kita ingin pahlawan yang bersih dari cela, padahal sejarah tidak pernah sesederhana itu.
    Kepahlawanan bukanlah hasil jabatan, melainkan hasil evaluasi kritis terhadap jasa dan kontroversi. Mengkultuskan presiden sebagai pahlawan tanpa syarat adalah bentuk pelarian dari kenyataan bahwa pemimpin adalah manusia yang penuh paradoks.
    Jika kita ingin menjadi bangsa yang dewasa, kita harus berani berkata: jabatan bukan jaminan jasa. Presiden bukan otomatis pahlawan. Titik.
    Jika elite politik menawarkan logika otoritas, ruang digital menyodorkan jebakan lain:
    bandwagon fallacy
    . Kita menganggap sesuatu benar karena populer.
    Di era algoritma, kita menyaksikan runtuhnya figur “pahlawan monolitik” yang dulu dinarasikan negara.
    Seperti diungkap Jean-François Lyotard, kita hidup di zaman “ketidakpercayaan terhadap metanarasi”. Narasi pahlawan sempurna adalah metanarasi yang telah runtuh.
    Roland Barthes dalam “The Death of the Author” menekankan bahwa makna kini ditentukan oleh pembaca, bukan penulis. Dalam konteks digital, “pembaca” adalah publik yang dimediasi algoritma.
    Namun, algoritma tidak netral. Ia dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, bukan kebenaran.
    Konten yang sederhana, emosional, dan nostalgik—seperti meme “Piye kabare? Isih penak jamanku, toh?”—lebih mudah viral daripada laporan pelanggaran HAM yang kompleks dan traumatis. Ini bukan ingatan otentik, melainkan produk amnesia historis yang dimediasi teknologi.
    Ketika jumlah
    likes
    dan
    shares
    dianggap sebagai validasi sejarah, kita telah keliru menyamakan legitimasi algoritmik dengan legitimasi historis.
    Akibatnya, memori kolektif terfragmentasi ke dalam perang narasi yang tak kunjung usai. Kita tidak lagi mendidik memori, melainkan memuja popularitas.
    Fenomena ini bukan sekadar soal nostalgia. Ia adalah cerminan dari cara kita mengonsumsi sejarah: cepat, dangkal, dan emosional.
    Kita lebih mudah tersentuh oleh meme daripada oleh arsip. Kita lebih percaya pada viralitas daripada pada verifikasi. Dan dalam proses itu, kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenangan dan kenyataan.
    Ironisnya, artikel ini pun berisiko menjadi bagian dari algoritma yang ia kritik. Namun, lebih baik menjadi virus reflektif daripada menjadi vaksin yang tak pernah disuntikkan.
    Untuk keluar dari jebakan logika dan algoritma ini, kita membutuhkan reformasi sistemik yang membangun kedewasaan historis. Tiga langkah utama dapat ditempuh:
    Pertama, Reformasi Institusional. Proses pemberian gelar pahlawan harus transparan dan deliberatif.
    Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan perlu bertransformasi dari lembaga administratif-seremonial menjadi lembaga edukatif-deliberatif.
    Setiap kandidat kontroversial harus disertai publikasi neraca sejarah yang utuh—kajian komprehensif atas jasa dan kontroversinya. Bukan hanya daftar pujian, tetapi juga daftar kritik. Bukan hanya glorifikasi, tetapi juga evaluasi.
    Bayangkan jika setiap pengajuan gelar pahlawan disertai dengan dokumen sejarah yang jujur dan lengkap. Ini bukan sekadar penghargaan, tetapi pendidikan publik.
    Kita tidak hanya memberi gelar, tetapi juga memberi ruang bagi bangsa untuk belajar dari sejarahnya sendiri.
    Kedua, Reformasi Edukasional. Kurikulum sejarah nasional harus mengadopsi pendekatan
    Critical Historical Thinking
    .
    Sejarah tidak boleh lagi diajarkan sebagai hafalan nama dan tanggal. Ia harus menjadi metode investigasi yang mengajarkan analisis terhadap ambivalensi dan bukti yang saling bertentangan.
    Sejarawan Hilmar Farid menekankan pentingnya menjadi bangsa yang “tidak takut pada sejarah”. Ini berarti berani menghadapi sisi gelap masa lalu, bukan menutupinya demi kenyamanan politik atau nostalgia.
    Anak-anak kita harus diajak untuk bertanya, bukan hanya menghafal. Mereka harus diajak untuk membaca sumber primer, membandingkan narasi, dan memahami bahwa sejarah adalah arena interpretasi.
    Ketiga, Reformasi Kognitif Publik. Kita memerlukan gerakan nasional Literasi Digital Kritis. Ini bukan sekadar cek fakta, tetapi edukasi tentang cara kerja algoritma,
    echo chamber
    , dan bias kognitif.
    Publik harus memahami bagaimana algoritma mengeksploitasi emosi dan preferensi untuk membentuk persepsi sejarah.
    Ketahanan kognitif kolektif adalah benteng terakhir melawan
    bandwagon fallacy.
    Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam narasi viral yang menyesatkan dan kehilangan kemampuan untuk mengevaluasi sejarah secara kritis.
    Gerakan ini harus melibatkan sekolah, media, komunitas, dan platform digital. Kita perlu membangun budaya digital yang tidak hanya cepat dan interaktif, tetapi juga reflektif dan bertanggung jawab.
    Kita perlu mengajarkan bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang populer itu pantas dikenang.
    Kepahlawanan sejati tidak lahir dari jabatan atau viralitas. Ia lahir dari keberanian kolektif untuk mengingat secara jujur dan mengevaluasi secara kritis.
    Tugas kita bukan mencari pahlawan sempurna, melainkan menjadi bangsa yang dewasa—yang mampu belajar dari pemimpin yang tidak sempurna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Puan: Dalam Berpolitik Kita Harus Bisa Melihat Semua Kepentingan

    Puan: Dalam Berpolitik Kita Harus Bisa Melihat Semua Kepentingan

    Puan: Dalam Berpolitik Kita Harus Bisa Melihat Semua Kepentingan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPR Puan Maharani mengungkap, semua kepentingan harus dapat dilihat dalam berpolitik.
    Hal tersebut diceritakan Puan kepada peserta
    Parlemen Remaja
    di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (6/11/2025).
    “Namanya
    politik
    itu tidak bisa mau-maunya sendiri. Namun dalam berpolitik itu kita juga harus bisa melihat semua kepentingan, yang mana kepentingan itu nanti ujungnya harus kita samakan adalah untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujar Puan.
    Puan juga menceritakan beratnya tanggung jawab sebagai
    Ketua DPR
    yang harus menjaga dinamika dari delapan
    fraksi
    di parlemen.
    Musyawarah antarfraksi, kata Puan, menjadi jalan yang diambil dalam mencari jalan tengah dari dinamika yang terjadi di DPR.
    Pasalnya, politik bukanlah sesuatu yang bersifat kuantitatif seperti 1 ditambah 1, sehingga perlu dicari penengah.
    “Jadi politik itu memang dinamis, politik itu memang harus betul-betul enggak bisa dihitung satu tambah satu, kadang-kadang harus ada tengahnya,” ujar Puan.
    Kendati demikian, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu mengajak generasi muda Indonesia untuk tidak anti terhadap politik.
    Sebab dari lembaga politiklah para generasi muda dapat membangun bangsa Indonesia.
    “Jadi belajar yang benar dan nanti pada waktunya ayo kalau mau masuk ke politik, terserah mau di partai politik mana saja, tapi jangan pernah anti politik, karena membangun bangsa dan negara itu perlu orang-orang yang ada di lembaga politik,” ujar Puan.
    Sebagai informasi, Parlemen Remaja 2025 yang digelar
    DPR
    tahun ini mengangkat tema “Generasi Pembaru Energi untuk Indonesia Bebas Emisi”.
    Parlemen Remaja diikuti oleh pelajar tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) ataupun sederajat, yang merupakan kegiatan pendidikan politik dan keparlemenan kepada generasi muda.
    Dalam kegiatan tersebut, 140 peserta terpilih akan merasakan simulasi menjadi anggota DPR selama selama enam hari.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.