Pelajaran dari Rentetan Penembakan Massal di AS untuk Sekolah Aman di Indonesia
Guru Besar/Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bidang Studi Hukum Masyarakat & Pembangunan/ Pengajar Tidak Tetap Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Executive Committee World Society of Victimology -WSV/ Co-Founder Victims Support Asia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022
SERANGAN
bersenjata, apakah menggunakan senjata api, bom dan sejenis-nya seperti yang terjadi di SMAN 72 Jakarta Utara pada Jumat, 7 November 2025, bisa jadi fenomena langka di Indonesia.
Karena lazimnya yang jadi target adalah kedutaan besar, kantor polisi, mal,
night club
dan tempat-tempat yang merepresentasikan produk budaya kapitalis barat.
Namun, peristiwa tersebut bukan fenomena langka di Amerika Serikat. Sejak
penembakan massal
di Columbine High School, Colorado (20 April 1999) hingga September 2024, terdapat lebih dari 417 kasus kekerasan senjata api di sekolah.
Kemudian tahun ajaran 2000-2001 hingga 2021-2022, terdapat 1.375 penembakan di sekolah dasar dan menengah negeri dan swasta, yang mengakibatkan 515 kematian dan 1.161 luka-luka.
Frekuensi penembakan di sekolah di AS telah meningkat drastis sejak 2018, dengan beberapa tahun terakhir (2021, 2022, 2023, dan 2024) mencatat rekor setidaknya sejak 2008 (
Cnn.com
, 28/10/2025,
Edweek.org
, 31/12/2024,
Usafacts.org
, 20/02/2024).
Dari ribuan kasus kejahatan bersenjata di lingkungan kampus dan sekolah di AS, paling tidak ada 5 (lima) kasus yang paling diingat.
Banyaknya kasus penembakan di sekolah di Amerika disebabkan berbagai faktor yang kompleks dan saling terkait. Beberapa penyebab utama yang disebutkan dalam berbagai sumber meliputi:
Pertama, kepemilikan senjata api yang meluas. Amerika Serikat memiliki tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi. Individu mudah memperoleh senjata secara legal maupun ilegal.
Lemahnya regulasi terkait kepemilikan senjata menjadi salah satu faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya penembakan massal (
Kompas.com
, 28/03/ 2023).
Kedua, peraturan yang lemah. Peraturan terkait kepemilikan dan penggunaan senjata di banyak negara bagian di AS relatif longgar, sehingga memungkinkan individu dengan niat buruk atau masalah kejiwaan untuk memperoleh senjata dengan mudah (
Kompas.com
, 28/03/ 2023).
Ketiga, masalah kejiwaan dan sosial. Berbagai kasus menunjukkan bahwa faktor psikologis, seperti gangguan kejiwaan, serta tekanan sosial seperti
bullying
dan
perundungan
, menjadi motif yang sering dikaitkan dengan pelaku penembakan di sekolah.
Ada juga yang mengalami masalah keluarga atau lingkungan yang tidak stabil;
Keempat, pengaruh budaya dan media. Pengaruh media, termasuk film, permainan video kekerasan, dan budaya kekerasan secara umum, turut serta dalam membentuk perilaku tertentu, meskipun pengaruh ini masih menjadi perdebatan.
Kelima, faktor ekonomi dan gender. Masalah ekonomi dan faktor gender juga diidentifikasi sebagai faktor yang dapat memperburuk risiko kekerasan di sekolah, termasuk penembakan massal.
Selain faktor-faktor di atas, kondisi tertentu seperti pengalaman
bullying
, isolasi sosial, dan motif pribadi yang kompleks juga sering dilaporkan sebagai pemicu pelaku melakukan penembakan (
Voaindonesia.com
, 18/12/2024).
Khususnya terkait masalah kejiwaan dan sosial, pengalaman
bullying
serta isolasi sosial menjadi catatan khusus dari semua pelaku penembakan di lembaga pendidikan.
Eric Harris dan Dylan Klebold melakukan serangan massal di Columbine (1999) karena faktor kompleks psikologis dan sosial, yang memengaruhi masing-masing secara berbeda, tetapi pada akhirnya mengarah pada aksi kekerasan massal bersama.
Eric Harris dinyatakan oleh psikolog FBI sebagai seorang psikopat yang menunjukkan sifat narsis, agresi, dan kurangnya empati.
Ia adalah dalang dan penggerak di balik serangan tersebut, merencanakannya selama sekitar satu tahun dengan keinginan untuk menciptakan teror.
Sebaliknya, Dylan Klebold digambarkan sebagai individu yang pemarah dan depresif dengan sikap dendam terhadap orang-orang yang ia rasa telah memperlakukannya dengan buruk, lebih labil secara emosional, dan memiliki kecenderungan bunuh diri.
Motifnya adalah kombinasi kemarahan yang mendalam, depresi, dan keinginan yang terencana untuk melakukan aksi teroris domestik terhadap negara dengan menggunakan SMA sebagai target simbolis.
Harris menginginkan ketenaran dan kehancuran dalam skala yang lebih besar, sementara keterlibatan Klebold melengkapi perhitungan dingin Harris dengan amarah emosional.
Seung-Hui Cho, pelaku penembakan di Virginia Tech (2007) menewaskan 32 orang akibat kombinasi masalah kesehatan mental yang parah dan keluhan pribadi.
Didiagnosis depresi berat dan mutisme selektif, Cho berjuang secara sosial dan emosional sepanjang hidupnya.
Ia digambarkan sebagai sosok yang terisolasi dan bermasalah, dengan perilaku dan tulisan-tulisannya yang kasar menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru dan teman sekelas sebelum serangan.
Cho meninggalkan catatan yang menyalahkan orang lain, dengan tulisan “Kalian yang menyebabkan saya melakukan ini,” yang menunjukkan perasaan terpojok dan menjadi korban.
Motifnya kompleks, melibatkan rasa sakit psikologis yang mendalam, perasaan penolakan dan isolasi, serta keinginan untuk membalas dendam atas perlakuan buruk.
Pembantaian itu merupakan akibat tragis dari penyakit mental yang tidak diobati, keterasingan sosial, dan rencana yang terencana untuk menyebabkan kerusakan massal sebelum ia bunuh diri.
Nikolas Cruz membunuh siswa siswi di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida (2018), terutama karena rasa sakit emosional yang mendalam, isolasi sosial, dan keinginan untuk balas dendam serta pengakuan.
Ia sengaja memilih Hari Valentine untuk melakukan serangan tersebut karena ia merasa “tidak punya siapa pun untuk dicintai dan dicintai.”
Kondisi mental Cruz memburuk secara signifikan setelah putus dengan pacarnya sekitar enam bulan sebelum penembakan.
Serangan itu direncanakan dengan cermat selama beberapa bulan, alih-alih impulsif. Ia meneliti pembunuh massal lainnya dan mempersiapkan diri dengan cermat untuk memaksimalkan kerugian.
Cruz mengakui ia berhenti menembak ketika ia merasa tidak punya orang lain lagi untuk dibunuh. Tindakannya didorong oleh campuran perasaan penolakan, kesepian, kemarahan, dan gangguan mental yang sebagian disebabkan oleh kerusakan otak prenatal akibat konsumsi alkohol ibunya selama kehamilan.
Adam Lanza, pelaku penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook, Connecticut (2012) menewaskan 26 orang, termasuk 20 anak-anak.
Lanza menderita masalah kesehatan mental yang serius, termasuk gangguan Asperger, kecemasan ekstrem, kecenderungan obsesif-kompulsif, dan gangguan sosial yang sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan hubungan sosialnya.
Ia juga terisolasi secara sosial dan memiliki hubungan renggang dengan ibunya, yang ia bunuh sebelum penembakan.
Lanza terobsesi dengan penembakan massal, khususnya pembantaian Columbine 1999, dan mengumpulkan banyak informasi tentang insiden kekerasan massal sebelumnya.
Salvador Ramos, pelaku penembakan massal di Robb Elementary School, Uvalde Texas (2022), menewaskan 19 anak dan dua guru akibat kombinasi isolasi sosial, perundungan, masalah keluarga, dan trauma yang belum terselesaikan.
Ia adalah seorang siswa sekolah setempat berusia 18 tahun yang hanya memiliki sedikit teman dan mengalami perundungan, serta kehidupan rumah tangga bermasalah yang ditandai oleh ketidakteraturan keluarga dan dugaan penyalahgunaan zat terlarang oleh ibunya.
Ramos membeli dua senapan serbu secara legal sesaat sebelum ulang tahunnya yang ke-18 dan dengan cermat merencanakan serangan tersebut.
Laporan menunjukkan bahwa ia mencari ketenaran dan pengakuan, seperti halnya penembak massal lainnya, yang mencerminkan pola pikir yang terganggu akibat penolakan dan agresi sosial selama bertahun-tahun.
Tindakannya berdarah dingin dan disengaja, dengan bukti yang menunjukkan keinginan untuk menyebabkan kerusakan massal tanpa motif tunggal yang jelas di luar riwayat pribadi dan masalah psikologisnya yang bermasalah.
Dari ke-lima kasus kekerasan bersenjata di sekolah di atas, benang merahnya adalah longgarnya kontrol pemerintah AS dan masyarakat terhadap kepemilikan senjata api, masalah kejiwaan, isolasi sosial, perundungan, emosi yang labil, depresi, kemarahan, pola asuh dalam keluarga, faktor ekonomi, serta budaya kekerasan dan ekspos media (terutama media online yang dipelajari dan merasuki para pelaku.
Dalam kasus di SMAN 72 Jakarta Utara, kendati hasil investigasi belum final dan belum ada kesimpulan akhir, tapi dari penelusuran sementara terdapat kesamaan kondisi dari terduga pelaku dengan para pelaku serangan bersenjata di AS, yaitu: memiliki masalah kesehatan mental, isolasi sosial, senang menyendiri, emosi yang labil, kemarahan terpendam, menjadi korban perundungan, dan mempelajari kekerasan dari kasus-kasus sebelumnya melalui media online.
Satu hal yang masih positif dari Indonesia adalah adanya larangan kepemilikan senjata api untuk keperluan pribadi dan oleh pihak yang tak punya otoritas.
Namun, ternyata untuk membuat bom-bom rakitan tetap bisa dipelajari dan dibuat sendiri dengan arahan dari media internet, serta bahan baku-nya pun masih bisa diperoleh di tempat-tempat tertentu.
Pelajaran dari kasus SMAN 72 di Jakarta Utara, sekolah di Indonesia tidak cukup sekadar tempat belajar yang nyaman dan mencerdaskan, tapi juga harus aman.
Konsep sekolah aman melibatkan penciptaan lingkungan di mana siswa, staf, dan pengunjung merasa aman, dihormati, dan didukung untuk belajar dan berkembang tanpa rasa takut akan bahaya atau kekerasan.
Pendekatan komprehensif terhadap keamanan sekolah menyeimbangkan tiga komponen utama, yaitu iklim sekolah (
school climate
), perilaku siswa (
student behavior
) dan keamanan fisik (
physical security
) (CSPV UC Boulder, January 2025).
Iklim sekolah mencakup kualitas hubungan interpersonal, lingkungan belajar mengajar, norma, nilai, dan struktur organisasi. Iklim yang positif menumbuhkan rasa hormat, inklusi, keadilan dalam disiplin, dan keamanan emosional bagi seluruh anggota komunitas sekolah.
Perilaku siswa mencakup strategi proaktif dan konsisten digunakan untuk mendorong perilaku positif, mencegah perundungan, dan menangani perilaku bermasalah secara efektif. Ini juga melibatkan penilaian ancaman perilaku dan praktik keadilan restoratif.
Keamanan fisik mencakup langkah-langkah seperti akses terkendali, kesiapsiagaan darurat, pemantauan, dan infrastruktur keamanan membantu melindungi dari ancaman fisik sekaligus memastikan kesiapan untuk merespons keadaan darurat.
Kerangka kerja sekolah aman mengintegrasikan komponen-komponen ini berdasarkan kebutuhan dan sumber daya sekolah yang unik, menggunakan data dan kolaborasi antar tim multidisiplin untuk menerapkan intervensi berbasis bukti.
Tujuannya adalah menyeimbangkan keselamatan dengan lingkungan belajar yang suportif dan inklusif, memitigasi risiko mulai dari perilaku buruk ringan hingga situasi yang mengancam jiwa (CSPV UC Boulder, January 2025).
Penciptaan lingkungan belajar yang aman adalah fondasi dari pendidikan yang sukses dan berkualitas.
Selain itu, pemerintah dan lembaga pendidikan harus menempatkan kesehatan mental dan sosial siswa sebagai sesuatu yang prioritas. Ikhtiar-ikhtiar untuk merawat kesehatan mental harus dilakukan.
Praktisi kesehatan mental harus dilibatkan dan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan, termasuk para orangtua/keluarga siswa, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Awasi dan kendalikan akses siswa pada konten-konten kekerasan. Cegah dan tolak budaya kekerasan di sekolah seperti perundungan, diskriminasi, intoleransi, xenophobia, kekerasan seksual, pemalakan, serta
toxic seniority
, baik secara luring maupun daring.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/11/11/6912d8ee4e0b2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Prabowo Beri Tugas Mensesneg Sebelum Berangkat ke Australia, Apa Saja?
Prabowo Beri Tugas Mensesneg Sebelum Berangkat ke Australia, Apa Saja?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden RI Prabowo Subianto memberikan tugas kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi tepat sebelum berangkat ke Sydney, Australia.
Tugas ini diberikan
Prabowo
secara langsung ke Prasetyo dalam rapat khusus yang digelar di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
“Presiden menugaskan Mensesneg untuk segera mengoordinasikan dan mengecek
penyerapan anggaran
,” ungkap Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya dalam keterangannya lewat Instagram @sekretariat.kabinet.
Selain itu, menurut Teddy, Prabowo juga menugaskan Prasetyo untuk mengecek penggunaan transfer daerah.
“Serta penggunaan transfer daerah yang dikelola oleh setiap kepala daerah menjelang akhir tahun ini,” lanjut Teddy.
Dalam rapat itu, Teddy mengungkap Prabowo juga menegaskan bahwa setiap uang rakyat harus dialokasikan tepat sasaran.
“Presiden menekankan bahwa setiap rupiah uang rakyat yang dialokasikan harus tepat sasaran dan harus digunakan sesuai periode waktu yang ditetapkan, termasuk dana di daerah, yang juga merupakan uang rakyat” beber Teddy lagi.
Adapun rapat khusus ini diselenggarakan sebelum Presiden RI bertolak ke Sydney, Australia dalam rangka kunjungan kenegaraan.
Selain Mensesneg dan Seskab, dalam rapat khusus tersebut juga dihadiri Wakil Presiden Gibran Rakabuming, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Luar Negeri Sugiono.
Lalu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, hingga Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/07/690d91e07df82.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menag Klaim Angka Perceraian Turun karena Bimbingan Perkawinan
Menag Klaim Angka Perceraian Turun karena Bimbingan Perkawinan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Agama (Menag) RI Nasaruddin Umar mengungkapkan, tingkat perceraian di Indonesia mengalami penurunan selama dua tahun berturut-turut.
“Penurunan 2 tahun berturut-turut ini beriringan dengan peningkatan cakupan pelaksanaan
bimbingan perkawinan
yang merata di seluruh Indonesia,” ujar Nasaruddin dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Selasa (11/11/2025).
“Menandakan korelasi positif antara kewajiban mengikuti bimbingan dengan penurunan angka
perceraian
,” sambungnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (
BPS
) yang dipaparkan Menag, sepanjang 2023 tercatat ada 463.654 kasus perceraian.
Angka ini disebut turun 10,2 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Pada tahun 2024, angka tersebut kembali turun menjadi 394.608 kasus atau turun 14,9 persen dari 2023,” ucap Nasaruddin.
Nasaruddin menambahkan, hasil evaluasi pelaksanaan program bimbingan perkawinan juga mengungkap tingginya respons positif para calon pengantin.
Para peserta, kata Nasaruddin, mengaku terbantu untuk memahami peran dan tanggung jawab masing-masing dalam menjalankan rumah tangga.
“Hasil evaluasi lapangan juga menunjukkan 86 persen peserta bimbingan perkawinan merasa program ini membantu mereka untuk memahami peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga, serta meningkatkan kemampuan komunikasi dan penyelesaian konflik keluarga sejak awal pernikahan,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/11/6912a2f72fca7.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sukses Jaga Sinergi Pusat-Daerah, Mendagri Raih Penghargaan Pemimpin Luar Biasa di Indonesia Kita Awards
Sukses Jaga Sinergi Pusat-Daerah, Mendagri Raih Penghargaan Pemimpin Luar Biasa di Indonesia Kita Awards
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian meraih penghargaan Distinguished Leadership in Home Affairs dalam ajang Indonesia Kita Awards berkat keberhasilannya menjaga stabilitas nasional melalui sinergi pemerintahan pusat dan daerah.
Penghargaan diserahkan langsung oleh Direktur Utama Garuda TV Fahmi Muhamad Anwari kepada Tito di Yudistira Grand Ballroom Patra Jasa Office Tower, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Ajang tersebut digelar dalam rangka memberikan apresiasi kepada individu maupun lembaga yang berkontribusi bagi kemajuan bangsa di berbagai bidang, mulai dari kebijakan publik, korporasi, hingga profesional lintas sektor.
Dalam sambutannya, Tito mengapresiasi pemberian penghargaan tersebut. Ia menyadari bahwa tantangan dalam membina dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah tidaklah mudah, mengingat Indonesia merupakan negara besar dan kompleks.
Selain menjadi negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki 38 provinsi yang perlu dikelola secara optimal.
“Ada yang bagus, ada yang setengah bagus. Tapi, ya ini salah satu tugas kami, Kementerian Dalam Negeri, untuk melakukan pembinaan dan agar pemerintahan di daerah bisa berjalan (secara optimal),” ujar Tito dalam keterangan resminya, Selasa (11/11/2025).
Ia menegaskan bahwa peran pemerintah daerah (pemda) sangat krusial bagi bangsa. Keberadaannya merupakan penentu keberhasilan Indonesia di masa depan.
Oleh karena itu, Tito menyampaikan terima kasih kepada Garuda TV atas inisiatifnya dalam menggelar ajang
Indonesia Kita Awards
.
Menurutnya, gelaran yang bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional itu menjadi momentum tepat bagi daerah untuk melakukan perubahan positif.
Tito menilai, upaya tersebut sejalan dengan semangat para pahlawan dalam berkontribusi bagi bangsa.
Ia pun mendorong agar
sinergi
pemerintah pusat dan daerah terus dioptimalkan untuk mewujudkan Indonesia Maju demi masyarakat yang lebih sejahtera.
“Penghargaan ini akan memberikan motivasi, mendorong semangat. Mereka akan lebih bersemangat untuk membangun daerah masing-masing dan juga kepada yang lain, tokoh-tokoh dari pemerintah pusat, swasta, semuanya akan bangkit,” ucap Tito.
Ia berharap, pemda akan lebih kreatif dan inovatif dalam menyelenggarakan pemerintahan sekaligus mengimbau agar daerah tidak melakukan kerja-kerja seperti biasa (
business as usual
). Dengan demikian, perubahan positif dapat dirasakan oleh masyarakat.
“Kuncinya itu optimistis dan kita harus kreatif, inovatif. Setiap warga negara Indonesia semua harus memberikan kontribusi yang positif ke negara, untuk itu jangan berhenti untuk belajar, bekerja,” tegas Tito.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/10/6911ba9821a46.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mimpi Besar Layanan Imunoterapi di Indonesia, Jangkau Pelosok hingga Jadi Rujukan Internasional
Mimpi Besar Layanan Imunoterapi di Indonesia, Jangkau Pelosok hingga Jadi Rujukan Internasional
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPPN) Panglima Besar Sudirman, Jakarta Selatan, menjadi saksi peralihan wacana menjadi layanan nyata.
Setelah lama dibicarakan, Imunoterapi Nusantara dan Digital Subtraction Angiography (DSA) kini resmi beroperasi, bukan hanya untuk prajurit TNI, tetapi juga masyarakat umum.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin meresmikan layanan tersebut, ditemani Prof.
Terawan
Agus Putranto dan Menteri PPN Rachmat Pambudy pada Senin (10/11/2025).
Pada hari yang sama, Sjafrie menjadi salah satu peserta pertama yang menjalani prosedur: darahnya diambil, diproses, dan akan kembali disuntikkan beberapa hari kemudian.
Menhan Sjafrie
menceritakan, darahnya telah diambil untuk menguji metode baru ini.
“Saya kebetulan diminta mencoba, diambil darah sekitar 40 cc, kemudian diolah di laboratorium,” cerita Menhan.
“Setelah lima sampai tujuh hari, darah itu akan disuntikkan kembali. Semoga ini memberi berkah kesehatan untuk melanjutkan tugas kita,” ujarnya.
Menurutnya, layanan imunoterapi dan DSA tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan militer, namun juga masyarakat umum.
“Kita harapkan dapat memberi dorongan kesehatan bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut,” tambah Sjafrie.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Terawan Agus Putranto menjelaskan bahwa pelayanan imunoterapi dan DSA kini telah siap beroperasi secara penuh di RSPPN Sudirman.
“Menhan sudah meresmikan pelayanan imunoterapi Nusantara dan juga DSA yang hari ini langsung dilakukan. Jadi ini semua sudah siap untuk melayani masyarakat,” kata Terawan.
Ia menuturkan, proses pelayanan berjalan beriringan antara pemrosesan imunoterapi dan pelaksanaan DSA.
“Baik proses DSA maupun imunoterapinya sudah berlangsung hari ini,” ungkap Terawan.
Dia juga berharap RSPPN bisa menjadi rujukan pasien dari luar negeri untuk berobat.
“Rumah sakit ini diharapkan menjadi rumah sakit rujukan internasional, dan memang sudah terbukti, karena pasien-pasien dari luar negeri pun mulai berdatangan ke RSPPN,” lanjutnya.
Menurut Terawan, sejak pekan sebelumnya sudah ada pasien dari luar negeri yang datang untuk mendapatkan layanan tersebut, dan jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat.
“Dimulai dari minggu lalu sudah mulai ada yang datang, minggu depan juga akan ada lagi pasien dari luar negeri,” kata dia.
“Kami berharap ini dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat sekaligus menumbuhkan budaya riset dan pengembangan (R&D) di bidang medis nasional,” tambahnya.
Menhan Sjafrie melanjutkan, keberhasilan RSPPN Sudirman dalam layanan imunoterapi dan DSA akan menjadi model pengembangan untuk rumah sakit TNI di seluruh wilayah Indonesia.
“Yang jelas, ilmunya ini dimiliki anak bangsa, oleh Pak Terawan. Karena ini rumah sakit pusat, tentu akan berkembang ke rumah sakit-rumah sakit TNI di daerah melalui kaderisasi yang dilakukan oleh dokter Terawan dan timnya,” ungkapnya.
Imunoterapi merupakan metode pengobatan yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan berbagai penyakit, terutama kanker.
Mekanismenya adalah dengan meningkatkan kemampuan sistem imun mengenali dan menghancurkan sel abnormal, baik melalui pemberian obat, vaksin, antibodi monoklonal, maupun sitokin.
Tujuan utama terapi ini adalah meningkatkan daya tahan tubuh dan mengembalikan kemampuan alami tubuh dalam melawan penyakit, termasuk kanker paru, serviks, ginjal, dan alergi kronis.
Sementara itu, DSA merupakan prosedur pencitraan radiologi untuk menampilkan gambaran pembuluh darah secara detail menggunakan sinar-X dan zat kontras.
Teknologi ini memungkinkan dokter mendeteksi kelainan pembuluh darah seperti aneurisma, penyumbatan, atau malformasi dengan sangat akurat.
Dalam konteks medis modern, DSA dan imunoterapi saling melengkapi DSA untuk diagnosis, imunoterapi untuk pengobatan.
Kombinasi keduanya dapat digunakan, misalnya dalam penanganan penyakit saraf atau kanker otak, di mana DSA membantu memetakan aliran darah dan imunoterapi memperkuat respons tubuh terhadap sel yang rusak.
Terawan menjelaskan, melalui imunoterapi, jika sistem imun terlalu tinggi, terapi ini dapat menurunkannya, dan sebaliknya, jika terlalu rendah, terapi akan meningkatkan kinerja sistem imun. Hal ini, penting untuk menangani inflamasi yang menjadi akar dari berbagai penyakit.
“Imunoterapi itu adalah terapi imun kita. Kalau (imun) terlalu tinggi, akan diturunkan, dikontrol kalau terlalu rendah akan dinaikkan karena itu sangat mempengaruhi inflamasi kita, diabetes dan lain sebagainya,” kata Terawan mengutip Antaranews, November 2024 silam.
Lebih lanjut, Terawan menyoroti potensi imunoterapi dalam mengurangi efek inflamasi dan memacu produksi interleukin yang bersifat anti-inflamasi.
Dengan riset yang sudah berjalan, ia optimistis terapi ini dapat menjadi solusi medis yang andal di masa depan.
Menurut Terawan, inovasi di bidang imunologi juga dapat menjawab tantangan pengobatan modern.
Namun, terkadang riset medis terganjal adanya permasalahan pembiayaan. Hal ini yang ia harapkan dapat dibantu lewat berbagai skema pembiayaan riset, salah satunya lewat sektor perbankan.
Dirinya menyampaikan bahwa pemerintah dan lembaga terkait dapat memberikan dukungan penuh untuk pengembangan riset-riset kesehatan yang relevan, sehingga masyarakat Indonesia dapat menikmati layanan pengobatan yang lebih baik.
“Imunoterapi sudah saya bangun di tujuh tempat. Nanti beberapa negara juga ikut akan saya bangun tapi yang paling dekat adalah Dili, di Timur Leste supaya mereka ada kemajuan teknologi, Karena ini (imunoterapi) merupakan teknologi yang baru, dan kebetulan jurnalnya terbit terus. Kalau jurnalnya terbit terus, itu kan di-review seluruh dunia,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/11/691263c66e733.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem
Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem
Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
TRAGEDI
ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025, yang melukai 96 anggota komunitas sekolah, adalah duka kolektif.
Di tengah kabut trauma dan kebingungan, respons publik, terutama dari negara, menjadi penentu arah pemulihan dan pencegahan.
Karena itu, ketika Presiden Prabowo Subianto mengindikasikan rencana untuk membatasi game online, secara spesifik menyebut
PUBG
sebagai buntut peristiwa ini, kita tidak sedang melihat solusi, tapi gejala.
Sebagai seorang praktisi psikologi yang telah 40 tahun meneliti interaksi antara kebijakan, pendidikan, dan perilaku sosial, respons ini secara psikologis dapat dipahami. Namun, secara empiris sangat bermasalah.
Kita menyaksikan refleks kebijakan yang bertumpu pada serangkaian sesat pikir (
logical fallacies
), mengorbankan analisis akar masalah demi solusi instan yang ilusif.
Respons yang mengarahkan penyebab tragedi ke “gim” adalah reaksi yang secara emosional dapat dimengerti: kita ingin menemukan musuh yang jelas, cepat, dan dapat ditunjuk.
Namun secara logis, menyamakan permainan digital dengan penyebab langsung tragedi ini adalah jalan pintas pemikiran yang berbahaya.
Menyalahkan media hiburan atas tindakan terencana dan berdampak besar tidak menjawab pertanyaan yang paling penting: siapa yang gagal menangkap tanda-tanda bahaya, dan mengapa sistem yang ada tidak melindungi mereka yang rentan?
Data awal dan pemeriksaan lapangan menunjukkan dua kegagalan yang bersifat institusional:
perundungan
berat yang berlangsung lama dan kemungkinan radikalisasi ideologis.
Perundungan yang sistemik merongrong harga diri, harapan, dan jaringan sosial seorang anak sehingga rasa marah dapat berubah menjadi tindakan destruktif.
Di saat sama, ideologi kekerasan dan manifestos kejahatan mendatang kini tersebar melalui ekosistem digital yang luas, memudarkan batas antara imaji dan pembenaran tindakan nyata. Menghadapi ini memerlukan diagnosis yang berbeda dari sekadar kata “sensor” atau “larangan”.
Kebijakan publik sering tergoda untuk memilih solusi yang terlihat tegas di permukaan: melarang akses, memblokir aplikasi, atau menunjuk kambing hitam. Itu memberi kesan bahwa sesuatu sedang dilakukan.
Namun, tindakan simbolik semacam ini tidak menyentuh akar: budaya sekolah yang membiarkan perundungan, lemahnya implementasi tim pencegahan kekerasan yang diatur kebijakan, dan ketiadaan program pendidikan yang menumbuhkan ketahanan kognitif terhadap propaganda kekerasan.
Pertama, kita harus mengakui kegagalan implementasi regulasi yang sudah ada. Memiliki peraturan adalah langkah awal. Namun tanpa audit, pelatihan guru, dan alokasi sumber daya nyata, peraturan itu tetap menjadi kata-kata pada kertas.
Sekolah perlu diberi dukungan untuk membangun budaya aman: pelatihan konselor dan guru, mekanisme pelaporan yang aman bagi korban, serta pengawasan independen yang menilai iklim sekolah secara berkala.
Kedua, intervensi anti-perundungan berbasis bukti harus diadopsi dan diadaptasi. Implementasi yang baik mencakup kurikulum, pengawasan perilaku, dan program restoratif yang memulihkan hubungan, bukan hanya menghukum.
Ini memerlukan komitmen anggaran dan waktu. Hasilnya sering baru terlihat setelah beberapa tahun—namun manfaatnya nyata: penurunan insiden, iklim sekolah yang lebih sehat, dan anak-anak yang lebih mampu membangun hubungan aman.
Ketiga, kita harus memperluas literasi digital menjadi literasi kritis. Bukan sekadar mengajari anak “bagaimana menggunakan gadget”, melainkan melatih keterampilan analitik untuk membaca, memverifikasi, dan memahami narasi yang mereka temui di online.
Ini termasuk pengenalan terhadap mekanika radikalisasi: bagaimana pesan ekstrem memanfaatkan keresahan emosional, bagaimana ekosistem algoritmik memperkuat gema, dan bagaimana membangun kebiasaan bertanya — bukan memercayai — terhadap konten yang memancing kemarahan atau kebencian.
Keempat, peran platform dan tanggung jawabnya tidak boleh diabaikan. Regulasi yang cerdas menggabungkan pencegahan dengan kerja sama platform: transparansi moderasi, akses pada moderator lokal yang memahami konteks budaya, dan mekanisme cepat untuk menangani konten yang mempromosikan kekerasan.
Sekali lagi, ini bukan pengganti perbaikan di tingkat sekolah dan keluarga; ia melengkapi pendekatan yang lebih luas.
Kita berutang pada korban dan keluarga mereka sebuah jawaban yang lebih matang daripada kemarahan instan.
Kepanikan moral—kebutuhan cepat menunjuk “penjahat” budaya—memuaskan rasa takut sementara, tetapi meninggalkan kerusakan struktural tetap ada.
Mengatasi akar perundungan dan kerentanan terhadap radikalisasi memerlukan kesabaran, komitmen anggaran, dan keberanian politik untuk menolak solusi yang tampak cepat, tapi dangkal.
Di ruang-ruang konseling, guru, dan ruang rapat dinas pendidikan, kita harus berbicara dengan bahasa yang menghubungkan empati dan logika: empati untuk merawat luka, logika untuk membangun kebijakan yang tahan uji.
Tragedi SMAN 72 menuntut kita bertanya bukan hanya “apa yang bisa segera diblokir?” tetapi “apa yang harus kita bangun agar tragedi ini tak terulang?”
Jawabannya tak akan nyaman dan tak akan cepat, tetapi ia adalah pekerjaan kolektif yang layak diperjuangkan demi keselamatan anak-anak kita.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/09/690ffe18d2175.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/11/6912d92fea1d0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/23/68fa465266674.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/02/03/67a0dbdcd9e38.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/10/6911ab0b0b93a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)