Sambut Lebaran, KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket dengan 9.572 Perjalanan Selama 22 Hari
Tim Redaksi
KOMPAS.com –
PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau
KAI
terus berkomitmen menghadirkan layanan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat.
Untuk mendukung kelancaran Angkutan Lebaran 1446 Hijriah (H)/2025, KAI menyediakan 4.591.510 tempat duduk selama periode 21 Maret 2025 hingga 11 April 2025.
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo mengatakan, penyediaan tempat duduk itu merupakan bagian dari upaya mendukung mobilitas masyarakat selama Lebaran dengan tetap mengedepankan prinsip keselamatan, ketepatan waktu, dan kenyamanan.
Dari kapasitas 4.591.510 kursi, sebanyak 2.752.310 tempat duduk atau 59,94 persen merupakan kereta api (KA) kelas ekonomi dengan tarif yang lebih terjangkau.
Kemudian, dari total kapasitas tempat duduk kelas ekonomi yang tersedia, sebanyak 1.633.720 tempat duduk dialokasikan untuk
KA ekonomi
komersial.
“Kemudian, 1.118.590 lainnya merupakan KA ekonomi bersubsidi atau yang mendapatkan
public service obligation
(PSO) dari pemerintah,” ujarnya dalam siaran pers, Minggu (9/3/2025).
Didiek mengatakan, penyediaan layanan KA kelas ekonomi merupakan bagian dari komitmen KAI dalam mewujudkan transportasi berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
“Kami memahami bahwa masyarakat membutuhkan moda transportasi yang tidak hanya nyaman dan aman, tetapi juga ekonomis,” imbuh Didiek.
Oleh karena itu, kata dia, KAI menyediakan lebih dari separuh kapasitas KA untuk kelas ekonomi dengan tarif yang lebih terjangkau.
Dengan kebijakan tarif yang terjangkau, KAI tidak hanya mendukung kelancaran arus mudik dan balik Lebaran, tetapi juga berkontribusi dalam memperkuat konektivitas antardaerah serta mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah.
Selain KA kelas ekonomi, sebanyak 1.839.200 tempat duduk lainnya disediakan untuk layanan KA kelas eksekutif, bisnis, KA lokal komersial, KA Feeder, serta KA Perintis yang turut menjadi pilihan utama masyarakat dalam bermobilitas.
Didiek melanjutkan, selama masa angkutan Lebaran, KAI mengoperasikan 9.572 perjalanan KA selama 22 hari.
Sebanyak 8.492 perjalanan merupakan KA reguler, sedangkan 1.080 perjalanan merupakan KA tambahan.
Dia berharap, dengan kapasitas yang lebih besar, KAI dapat memberikan lebih banyak pilihan perjalanan bagi masyarakat yang ingin mudik.
“Kehadiran KA juga membantu mengurangi kemacetan di jalan raya akibat tingginya penggunaan kendaraan pribadi sehingga perjalanan menjadi lebih lancar,” jelasnya.
Selain menyediakan KA kelas ekonomi dengan tarif terjangkau, KAI juga menghadirkan promo diskon tiket untuk mendukung angkutan
Lebaran 2025
.
Didiek mengatakan, KAI menghadirkan promo spesial dengan diskon hingga 25 persen bagi pelanggan yang melakukan perjalanan pada periode 7-17 Maret 2025.
“Promo ini diharapkan dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin mudik lebih awal dengan tarif yang lebih terjangkau,” katanya.
Informasi detail terkait promo diskon selama angkutan Lebaran 2025 bisa didapat mengakses aplikasi Access by KAI.
Untuk meningkatkan pengalaman pelanggan, KAI juga menghadirkan berbagai program spesial selama Lebaran, seperti dekorasi tematik di stasiun dan dalam kereta, pembagian takjil gratis, serta suvenir menarik.
Hingga 8 Maret 2025 pukul 07.00 WIB, KAI mencatat bahwa tiket KA Jarak Jauh yang telah terjual mencapai 1.716.005 tiket atau 49,83 persen dari total kapasitas.
Sementara itu, tiket KA Lokal yang terjual mencapai 28.089 tiket atau sekitar 2,45 persen.
Didiek mengatakan, tingkat penjualan KA Lokal masih relatif rendah karena sebagian besar layanan baru dapat dipesan pada H-30.
“Bahkan, ada beberapa layanan yang baru dapat dipesan H-7 sebelum keberangkatan,” jelasnya.
Didiek pun berterima kasih atas kepercayaan pelanggan yang telah memesan tiket dan memilih kereta api sebagai moda transportasi mudik Lebaran 2025.
“Dengan semangat pelayanan dan keselamatan, KAI siap mengantar masyarakat kembali ke kampung halaman dengan nyaman dan penuh kebahagiaan,” tuturnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/03/09/67cd05fd1fd97.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sambut Lebaran, KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket dengan 9.572 Perjalanan Selama 22 Hari
-
/data/photo/2025/03/06/67c9701d90485.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tim Hukum Sekjen PDI-P Hasto Bersiap Hadapi Sidang Perdana Pekan Depan
Tim Hukum Sekjen PDI-P Hasto Bersiap Hadapi Sidang Perdana Pekan Depan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Tim Hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P
Hasto Kristiyanto
tetap mempersiapkan diri untuk melawan
KPK
dalam sidang perdana kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan
(obstruction of justice).
Hal itu disampaikan Kuasa Hukum Hasto, Maqdir Ismail, saat dimintai tanggapan soal jadwal sidang perdana kliennya yang berlangsung Jumat (13/4/2025).
“Yang pasti kami akan segera lakukan
cross check
bukti KPK dalam berkas perkara. Kami akan segera cek kebenaran fakta dalam surat dakwaan,” ujar Maqdir kepada Kompas.com, Minggu (9/3/2024).
Namun, Maqdir menduga terjadwalnya sidang perdana Hasto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ini adalah hasil dari upaya KPK menggugurkan praperadilan yang diajukan pihaknya.
Sebab, kata Maqdir, pelimpahan berkas ke pengadilan ini dilakukan ketika sidang praperadilan yang diajukan pihaknya ditunda karena ketidakhadiran KPK.
“Pelimpahan berkas ke PN Tipikor Jakarta Pusat adalah upaya nyata melecehkan proses praperadilan. Ini upaya untuk menggugurkan praperadilan,” kata Maqdir.
“Hal ini sudah dapat diduga dari permintaan penundaan dua minggu untuk sidang praperadilan. Begitu juga ketika penyidik mengabaikan permintaan kami untuk memeriksa ahli,” sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, sidang perdana kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku yang melibatkan Hasto Kristiyanto digelar pada Jumat (14/3/2025).
Dikutip dari laman Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang tersebut terdaftar dengan nomor perkara 36/Pid Sus.TPK/2025/PN Jkt.Pst.
Sidang rencananya dimulai pada pukul 09.00 WIB di ruang Prof. Dr. H. Muhammad Hatta Ali Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakpus.
Setidaknya terdapat 12 jaksa penuntut umum yang menangani kasus tersebut.
Mereka adalah Surya Dharma Tanjung, Rio Frandy, Wawan Yunarwanto, Nur Haris Arhadi, Yoga Pratama, dan Arif Rahman.
Lalu Sandy Septi, Muhammad Albar Hanafi, Dwi Novantoro, Mohammad Fauji Rahmat, Rio Vernika Putra, dan Greafik L.
Sebagai informasi, Hasto merupakan tersangka kasus suap proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI untuk eks kader PDI-P Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
Hasto ditahan di rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 20 Februari 2025.
Sekjen PDI-P itu sempat mengajukan gugatan praperadilan atas statusnya sebagai tersangka.
Namun, gugatan tersebut ditolak.
Tak sampai situ, Hasto kembali melayangkan gugatan praperadilan kedua.
Hingga kini, gugatan masih berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/03/08/67cbf6450aecd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saat Senjata Buatan Pindad Diselundupkan untuk KKB Papua
Saat Senjata Buatan Pindad Diselundupkan untuk KKB Papua
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Aparat kepolisian menggagalkan upaya penyelundupan senjata api yang diduga akan dikirimkan kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Senjata yang disita dalam operasi ini diketahui merupakan produksi PT Pindad.
Operasi ini dilakukan oleh Satgas
Operasi Damai Cartenz-2025
bersama Polda Papua pada Rabu (6/3/2025) di Kilometer 76, Kabupaten Keerom, Papua.
Dalam operasi itu, polisi menangkap tiga orang yang diduga terlibat dalam jaringan penyelundupan senjata.
Salah satunya merupakan eks anggota TNI, bernama Yuni Enumbi.
Kapolda Papua Irjen Pol. Petrus Patrige Rudolf Renwarin mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah barang bukti dalam operasi tersebut, termasuk beberapa senjata api dan amunisi dalam jumlah besar.
Barang-barang itu antara lain 2 pucuk senjata api laras panjang (belum terangkai), 4 pucuk pistol G2 Pindad, 632 butir amunisi kaliber 5,56 mm, dan 250 butir amunisi 9 mm.
Lalu, 1 pucuk senapan angin (belum terangkai), beserta 1 paket laser senter + mounting, 1 teleskop + peredam, 1 popor kayu warna coklat, dan 1 laras serta tabung senapan angin.
Ada juga 1 unit air compressor bertuliskan United Waran Biru (tempat penyimpanan senjata), 1 unit handphone Vivo Y19S, 1 buah pompa, 1 tas angin, 1 kunci T, dan 1 paket gurinda portabel.
Kemudian, beberapa tas, termasuk tas senapan angin dan tas selempang berisi identitas diri, serta kartu ATM, dan uang tunai Rp 369,6 juta.
Berdasarkan keterangan tersangka, senjata dibeli dengan harga Rp 1,3 miliar dari luar Papua dan akan diserahkan kepada KKB di Puncak Jaya.
Satgas Operasi Damai Cartenz-2025 bersama Polda Papua masih menyelidiki asal muasal senjata api dan amunisi buatan Pindad yang diduga akan disalurkan kepada KKB di Puncak Jaya.
“Masih dikembangkan penyelidikannya,” kata Kasatgas Humas Ops Damai Cartenz-2025, Kombes Pol Yusuf Sutejo kepada Kompas.com, Sabtu (8/3/2025).
Sementara itu, Kapolda Papua menyebutkan bahwa pihaknya akan melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan asal senjata tersebut dengan memeriksanya di laboratorium forensik (Labfor).
“Untuk mengecek kepastiannya, tentu kita akan ke laboratorium forensik untuk mengecek kepastiannya dan akan disesuaikan dengan hasil Labfor,” kata Petrus.
Kasus dugaan penyelundupan senjata api Pindad ke Papua bukanlah yang pertama kali terjadi.
Sebelumnya, pada 2023, senjata yang diduga buatan Pindad pernah digunakan KKB saat menyandera pilot Susi Air, Philip Mark Merhtens.
Senjata yang dimaksud adalah senjata laras SS1-V1 dan SS2-V1.
Pada 2021, kasus serupa terungkap usai aparat dan KKB terlibat kontak senjata.
Pasca-kontak tembak, Satgas melaksanakan pengecekan barang bukti dan diperoleh satu pucuk senjata laras panjang organik SS2 V4 Trijikon, 5 magasin, sejumlah munisi 5,56 mm, dan beberapa barang bukti lainnya.
Diketahui, SS2 V4 Trijikon merupakan produksi PT Pindad.
Hingga berita ini ditulis, Kompas.com telah berupaya menghubungi
PT Pindad
untuk meminta klarifikasi terkait senjata produksinya yang ditemukan dalam kasus penyelundupan ini.
Namun, hingga kini pihak Pindad belum memberikan tanggapan.
Kasus ini pun menambah daftar panjang penyelundupan senjata ke Papua yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/02/02/65bcd37cbdbdd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Refleksi Moral Kritis atas Kisruh Disertasi Bahlil Lahadalia
Refleksi Moral Kritis atas Kisruh Disertasi Bahlil Lahadalia
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
SEBAGAI
mantan mahasiswa strata tiga, terkadang saya geli sendiri melihat apa yang sedang terjadi dengan perguruan tinggi kita, terutama terkait kontroversi yang sedang terjadi antara
Universitas Indonesia
(UI) dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Di satu sisi, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin perguruan tinggi sekelas Universitas Indonesia bisa masuk ke dalam pusaran masalah yang cukup memalukan seperti itu?
Dan mengapa berani-beraninya tokoh sekelas Bahlil berlaku demikian setelah menjadi mahasiswa strata tiga Universitas Indonesia, seolah-olah beliau menjadi satu-satunya orang di Indonesia yang mampu bertindak di luar etika akademis superketat yang selama ini diterapkan di UI?
Sehingga yang terlihat akhirnya seolah-olah UI adalah mahasiswa dari Bahlil Lahadalia, bukan sebaliknya.
Pertanyaan semacam itu lahir karena status dan
prestise The Yellow Jacket
yang selama ini memang sangat dihormati.
Tak diragukan lagi, Universitas Indonesia adalah salah satu perguruan tinggi yang selama ini menjadi etalase pendidikan tinggi Indonesia sekaligus menjadi kebanggaan tidak saja oleh alumninya, tapi juga masyarakat Indonesia.
Tentu kasus ini bukan yang pertama, karena beberapa waktu sebelumnya juga pernah terjadi kontroversi di mana rangkap jabatan yang diemban Rektor UI menyuluk kemarahan publik.
Namun, harus diakui bahwa kasus kali ini cukup menyakitkan bagi kita semua sebagai orang Indonesia.
Selain proses ilmiah (
scientific process
) untuk disertasi di UI yang selama ini sangat “dikagumi” sekaligus “ditakuti”, kasus kali ini juga terasa seolah-olah telah mencoreng harkat dan martabat perguruan tinggi di seluruh Indonesia, mengingat UI adalah kiblat dari hampir semua universitas negeri yang ada di bumi ibu pertiwi.
Pada ranah inilah kasus ini menjadi kasus yang sangat menyakitkan bagi kita semua.
Mengomentari masalah Bahlil dan UI ini, pada awalnya, saya sempat berpikir dan berkeinginan untuk mengusulkan agar program studi kajian strategis di mana Bahlil sedang berupaya untuk mendapatkan gelar doktoralnya agar dibekukan saja terlebih dahulu oleh pihak rektorat, tanpa harus membatalkan gelar yang sudah didapat alumni-alumni program studi ini.
Namun, tampaknya langkah tersebut agak kurang tepat, boleh jadi juga kurang bijak, karena akan berpengaruh terhadap “existing students” di program studi tersebut yang telah berjuang secara jujur dan ekstra keras untuk menyelesaikan perkuliahan di satu sisi dan tak “tahu menahu” dengan urusan Bahlil ini di sisi lain.
Namun demikian, evaluasi kritis, keras, dan tegas atas program studi tersebut harus dilakukan.
Karena kasus ini diduga tidak saja melibatkan oknum-oknum di UI yang bisa jadi telah menawarkan peluang “khusus” kepada Bahlil, tentu diduga bersama dengan Bahlil sendiri, yang telah menyetujui “paket deal” yang ditawarkan, tapi juga sebenarnya secara tak langsung juga melibatkan program studi yang telah membiarkan proses “unconditional” untuk Bahlil dalam maraih gelar doktoral di sana.
Sehingga, bagaimanapun, evaluasi secara sistematis harus dilakukan alias tidak sekadar forum rapat majelis guru besar beserta dengan penyampaian sikapnya.
Pertama, untuk memastikan apakah hanya Bahlil dan “promotornya” yang melakukan kecurangan tersebut, atau justru sudah menjadi praktik yang lazim di program studi kajian strategis UI?
Tanpa evaluasi menyeluruh dan transparansi atas hasil evaluasi tersebut kepada publik, tentu tak ada yang benar-benar mengetahui seperti apa praktik pendidikan dalam upaya mengejar gelar doktoral di program studi kajian strategis tersebut berlangsung dan tak ada jaminan ke depan hal serupa tidak akan terjadi lagi.
Ada sangat banyak manusia di Indonesia, mulai dari yang kaya sampai berkuasa, sangat ingin menyandang gelar dari universitas sekaliber Universitas Indonesia.
Kedua, jika memang kasus ini kasuistis, asumsikan saja demikian, di mana cuma terjadi pada kali ini, maka sanksi harus diberikan secara tegas dan keras kepada para pihak yang terlibat di dalamnya.
Sanksi tidak saja kepada promotor dan guru-guru besar yang terlibat, tapi juga kepada mahasiswa yang sedang tersangkut kasus ini dan para “middle man” di lingkungan kampus UI yang boleh jadi ada juga yang telah menyukseskan kesepakatan paket
deal
antara kedua belah pihak.
Dan ketiga, sanksi kepada promotor pun co-promotor semestinya tidak sekadar sanksi “basa-basi” dengan memberhentikan mereka sebagai “promotor” dan “co-promotor”.
Sanksi semacam itu sangat tidak etis secara akademik, apalagi bagi UI yang memiliki standar dan etika akademik berkelas “tauladan” selama ini di Indonesia.
Jabatan publik lain yang diemban oleh promotor dan co-promotor di lingkungan kampus UI sejatinya harus dilepaskan di satu sisi dan
track record
-nya di dunia akademik perlu dievaluasi, karena berpotensi mengandung “cacat” yang sama di waktu-waktu terdahulu.
Bahkan jika perlu, promotor dan co-promotor dilepaskan dulu dari kewajiban mengajar, agar hal yang sama dengan motif dan modus operandi yang lebih “canggih” tidak terjadi lagi di program studi terkait.
Keempat, hal serupa semestinya diberlakukan juga kepada mahasiswanya. Pertama, sanksi berupa keharusan untuk mengulang kembali perkuliahan dari awal tidaklah cukup, dan sangat tidak sesuai dengan reputasi dan kredibilitas UI yang telah terlanjur tercoreng.
Kedua, bahkan jika program studi kajian strategis ingin tetap diakui bonafiditas dan kredibilitasnya, mahasiswa tersebut sejatinya tidak boleh lagi melakukan perkuliahan di program studi tersebut karena telah dengan sengaja melakukan kecurangan yang berujung mencoreng nama baik dan reputasi program studi dan UI sebagai lembaga pendidikan tinggi terpandang.
Saya cukup yakin, jika UI bersedia melakukan ini, maka UI tidak saja akan dianggap telah berhasil membuktikan standar tinggi dalam etika akademis-scientifiknya, tapi juga telah membuktikan bahwa UI tidak takut alias bernyali menegakkan hal yang “benar” kepada seorang mahasiswa berlatar penguasa, yakni ketua partai politik besar sekaligus menteri di dalam pemerintahan yang sedang berkuasa.
Dengan kata lain, UI akan membuktikan lebih dari yang dibutuhkan karena keberaniannya untuk menunjukkan kebijakan dan sikap tegas kepada Bahlil sebagai mahasiswa.
Namun, jika sampai UI dan program studi terkait tidak bersedia melakukan itu, justru reputasi UI dan program studi terkait akan semakin dipertanyakan publik, karena akan dianggap ada “potensi”
deal-deal
terselubung di antara UI dan majelis guru besarnya dengan Bahlil yang notabene adalah bagian dari penguasa saat ini.
Bukan saja reputasi dan kredibilitas program studi doktoral kajian strategis yang akan semakin tersudutkan, bahkan akan semakin terpuruk, tapi juga UI dan dunia pendidikan tinggi kita secara keseluruhan, mengingat betapa krusial dan strategisnya posisi UI selama ini di negeri ini.
Pun bagi mahasiswanya, tepatnya bagi Bahlil sendiri, dalam hemat saya, sebaiknya disudahi saja ambisi untuk tetap mendapatkan gelar doktoral dari program studi yang sama di UI.
Memulai kembali dari awal di program studi lain, atau bahkan di perguruan tinggi lain, bisa menjadi pilihan yang lebih masuk akal dan realistis, dengan proses yang benar dan baik tentunya sedari awal.
Bahkan jika saya berandai-andai bahwa saya adalah seorang Bahlil, yang sedang menjabat sebagai menteri sekaligus sebagai ketua umum partai politik besar nan teknokratis, selain minta maaf kepada publik dan kepada UI sebagai tanda pengakuan bersalah, saya tentu akan mundur secara teratur setelah itu dari UI.
Toh sudah punya jabatan mentereng, banyak harta, pengaruh politik yang tak diragukan lagi, terjaminnya masa depan dan seterusnya, di mana semua capaian tersebut belum tentu bisa dicapai oleh lulusan doktoral dari jurusan yang sama.
Artinya, saya akan tetap merasa hebat, meskipun sudah bukan lagi menjadi bagian dari program studi terkait.
Dengan kata lain, di sini saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya Bahlil tidak terlalu membutuhkan legitimasi berupa gelar doktoral itu, karena sudah mencapai banyak hal yang belum tentu diraih oleh alumni-alumni program studi tersebut.
Jika Bahlil mau, bahkan bisa menjejerkan para guru besar di UI untuk menjadi staf ahli dan staf khususnya di Kementerian ESDM, tanpa harus menyandang gelar doktor sekalipun.
Tapi entahlah. Tentu itu semua adalah perspektif yang saya asumsikan saat berada di posisi Bahlil saat ini. Jelas pandangan tersebut berbeda dengan sikap Bahlil saat ini terkait dengan kasus yang sedang melandanya sebagai mahasiswa doktoral UI.
Dan sikap Bahlil beserta dengan sikap sivitas akademika UI yang telah mengevaluasi kasus ini akhirnya telah kita saksikan.
Kebijakan dan sikap kedua belah pihak semakin meyakinkan kita sebagai masyarakat Indonesia yang pernah sangat bangga dengan UI, mulai belajar mengendorkan ekspektasi dan melandaikan “sikap respect” terhadap UI, dengan sangat berat hati tentunya.
Pendeknya, sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa kasus “disertasi” Bahlil yang telah menimbulkan respons pesimistis publik kepada UI tidak saja membuat kita sadar bahwa dunia pendidikan tinggi kita bukan hanya masih menyimpan begitu banyak masalah teknis, tapi juga “menyembunyikan” banyak masalah moral yang membuat kita semakin sadar bahwa kita belum terlalu bisa berharap banyak kepada perguruan tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan moral di negeri ini.
Padahal moral adalah masalah fundamental yang harus di-
address
oleh perguruan tinggi pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.
“To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace to society,” kata Theodore Roosevelt.
Pendidikan yang tidak didasarkan kepada moralitas biasanya memang akan melahirkan lulusan-lulusan yang akan menjadi perusak masyarakat, mulai dari koruptor, manipulator, penginjak-injak hak asasi rakyat, pembohong berkedok politik, kontraktor berkelakuan “tuan tanah”, nasionalis bermotif penjajah, profesor penjual ijazah, dan banyak lagi penista moralitas lainnya.
Karena itulah mengapa Theodore atau Teddy Roosevelt meletakkan moralitas pada posisi yang sangat fundamental di dalam pendidikan.
Lantas, begaimana jika institusi pendidikan seperti perguruan tinggi justru sudah tidak lagi menjadikan moralitas sebagai fundamental dari tujuan pendidikan yang ingin mereka capai?
Bagaimana jika perguruan tinggi sudah terbiasa memandang pendidikan sebagai sesuatu proses transaksional atau jual beli, di mana mahasiswa yang memiliki sumber daya lebih bisa membeli apapun dan siapapun di dalam perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar dari perguruan tinggi tersebut? Jawabanya adalah bahwa itulah Indonesia hari ini. Cukup miris, bukan!
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/03/05/67c7a6657450d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/03/07/67ca8d1977c69.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/03/08/67cc4aff2c2f0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/03/08/67cc4ad9997c7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/03/08/67cc4ae744686.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/03/05/67c7847b11864.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)