Seribu Warga Gaza, Seribu Tanya untuk Republik
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PERNYATAAN
Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi seribu warga Palestina dari
Gaza
ke Indonesia menyentak ruang publik kita.
Di tengah dunia yang terbelah antara rasa kemanusiaan dan kepentingan geopolitik, inisiatif ini seperti suara baru dari belantara diplomasi Asia Tenggara.
Namun, dalam euforia menyambut langkah yang disebut-sebut sebagai “misi kemanusiaan”, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di langit-langit republik ini: Untuk siapa evakuasi ini ditujukan? Apa landasan hukumnya?
Siapa yang bertanggung jawab atas proses pemindahan dan perlindungan para pengungsi? Dan, pertanyaan paling mendasar: apakah langkah ini benar-benar untuk menyelamatkan, atau sekadar simbolisme global yang tak berpijak pada realitas domestik?
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa Indonesia siap mengevakuasi seribu warga Gaza—anak-anak, korban luka, serta warga yang mengalami trauma—adalah ekspresi dari simpati mendalam atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Sebagai bangsa yang sejak awal mendukung kemerdekaan Palestina, suara Indonesia memang tak boleh hilang dari arena kemanusiaan global.
Namun dalam politik internasional, bahkan empati pun tak pernah steril dari strategi. Di balik niat baik evakuasi ini, muncul pertanyaan: apakah langkah ini murni sebagai respons moral, atau bagian dari posisi diplomatik baru Indonesia yang ingin memainkan peran lebih besar di dunia Islam dan kawasan Timur Tengah?
Jika betul demikian, maka evakuasi ini harus dibingkai secara transparan sebagai bagian dari strategi politik luar negeri, bukan sekadar reaksi emosional terhadap penderitaan Gaza.
Dalam perspektif hukum internasional, pemindahan populasi dari wilayah konflik memerlukan legitimasi yang kokoh dan kehati-hatian luar biasa.
Pasal 49 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 secara tegas menyatakan bahwa: “Pemindahan secara individual atau massal terhadap penduduk sipil dari wilayah yang diduduki ke wilayah negara pendudukan atau ke wilayah lain yang diduduki, dalam atau di luar wilayah itu, dilarang, terlepas dari motifnya.”
Namun, pasal yang sama memberikan pengecualian: “Evakuasi diperbolehkan jika keamanan penduduk atau alasan militer yang mendesak mengharuskannya.”
Lebih lanjut, Pasal 78 Protokol Tambahan I Tahun 1977 mengatur tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata:
“Jika keadaan memerlukan, anak-anak dapat dievakuasi secara sementara dari wilayah yang terkena konflik ke wilayah lain yang lebih aman, dengan persetujuan dari pihak yang bertikai serta otoritas orangtua atau wali.”
Dari ketentuan ini, jelas bahwa evakuasi warga sipil, apalagi dalam jumlah besar, harus melalui prosedur yang ketat, mendapat persetujuan dari semua pihak yang bertikai, serta tidak boleh menjadi dalih untuk pemindahan permanen atau pelanggaran hak untuk kembali.
Jika Indonesia hendak mengevakuasi warga Palestina dari Gaza, maka koordinasi dengan Otoritas Palestina, negara-negara transit seperti Mesir, bahkan persetujuan tidak langsung dari Israel menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Tanpa dasar hukum yang jelas, evakuasi dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional, atau lebih jauh lagi, mendukung—secara tak sengaja—narasi “pengosongan Gaza” yang diusung kelompok ekstrem kanan Israel.
Majelis Ulama Indonesia telah mengingatkan: jangan sampai evakuasi ini menjadi jalan sunyi menuju eksodus paksa, bukan penyelamatan sukarela.
Seribu warga Palestina yang terluka, trauma, atau yatim piatu bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah individu dengan kebutuhan perlindungan hukum, pemulihan psikososial, akses kesehatan, pendidikan, dan jaminan hidup bermartabat.
Apakah negara kita siap?
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967, sehingga tidak memiliki kewajiban hukum formal untuk memberikan status pengungsi, kecuali berdasarkan kebijakan domestik atau
goodwill
politik.
Di sisi lain, sistem hukum kita belum memiliki regulasi nasional yang secara komprehensif mengatur perlindungan pengungsi asing.
Akibatnya, status hukum para penyintas Gaza ini bisa menggantung: apakah mereka “pengungsi”, “pencari suaka”, atau “tamu negara”?
Tanpa kepastian, mereka berisiko menjadi warga bayangan: tak dapat bekerja, bersekolah, apalagi membangun hidup baru.
Ketiadaan kejelasan inilah yang berpotensi mencederai niat baik dari misi yang sedianya bersandar pada kemanusiaan.
Solidaritas terhadap Palestina adalah bagian dari narasi kemerdekaan Indonesia. Namun, dalam dunia hukum dan kebijakan publik, solidaritas harus dijalankan dengan sistem. Tidak bisa hanya bermodalkan niat dan pernyataan pers.
Jika Indonesia memang serius ingin memainkan peran strategis dalam isu kemanusiaan global, maka langkah awal yang paling logis adalah: membentuk regulasi nasional soal pengungsi dan pencari suaka, atau minimal menetapkan prosedur evakuasi internasional berbasis hukum.
Tanpa itu, evakuasi Gaza ini rawan menjadi headline sesaat, bukan laku institusional yang berkelanjutan.
Presiden Prabowo telah menjajaki dukungan dari negara-negara kunci di Timur Tengah—UEA, Turki, Qatar, Mesir, dan Yordania. Itu langkah diplomatik yang cerdas.
Namun pertanyaannya: apakah diplomasi ini dibarengi koordinasi dalam negeri yang matang? Apakah Kementerian Luar Negeri, Hukum dan HAM, Sosial, dan Kesehatan telah duduk satu meja menyusun rencana lintas sektoral?
Apa suara DPR dalam isu ini? Apakah ada alokasi anggaran? Siapa yang akan menanggung beban fiskal dan sosial dari rencana ini?
Pengalaman Indonesia dalam menampung pengungsi Rohingya harus menjadi cermin. Tanpa regulasi dan sistem yang mapan, para pengungsi hidup dalam ketidakpastian. Tanpa pekerjaan. Tanpa pendidikan. Tanpa masa depan.
Evakuasi Gaza tak boleh mengulang pola yang sama. Negara harus hadir sejak awal, bukan hanya saat pesawat mendarat. Kita butuh sistem perlindungan jangka panjang—bukan semata tempat singgah sementara yang minim harapan.
Evakuasi seribu warga Gaza bukan sekadar persoalan logistik atau niat baik. Ia adalah ujian menyeluruh atas cara republik ini memahami kemanusiaan, hukum, dan tata kelola negara.
Setiap langkah yang diambil pemerintah harus berpijak pada pertimbangan hukum, etika, dan kebijakan yang matang.
Publik berhak tahu. Sebab dari langit yang dihujani bom di Gaza, kini tanggung jawab berpindah ke pundak republik ini. Dan pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tak bisa dihindari:
Apa dasar hukum dari rencana evakuasi ini? Apakah ia memiliki legitimasi dalam sistem hukum nasional dan sejalan dengan ketentuan hukum humaniter internasional?
Bagaimana status hukum seribu jiwa yang dibawa ke Indonesia? Apakah mereka akan disebut pengungsi, pencari suaka, atau sekadar tamu negara tanpa perlindungan hukum yang memadai?
Siapa yang akan menjamin hak-hak dasar mereka—akses terhadap perlindungan hukum, kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak?
Sampai kapan mereka akan tinggal di Indonesia? Adakah batas waktu atau skenario pemulangan yang terukur?
Apa jaminan bahwa mereka kelak dapat kembali ke Gaza ketika situasi memungkinkan? Apakah ada mekanisme yang melindungi hak untuk kembali sebagaimana ditegaskan dalam hukum internasional?
Terakhir, apakah semua ini telah melalui uji etika, kalkulasi diplomatik, serta pertimbangan risiko keamanan nasional yang menyeluruh?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk melemahkan niat baik pemerintah. Justru di sinilah pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keberanian negara menjawab tantangan kemanusiaan dengan langkah terukur, bukan langkah gegabah.
Karena di balik setiap jiwa yang dievakuasi, ada harapan yang dibawa, ada luka yang dibungkus, dan ada masa depan yang harus dijaga. Di sinilah kemanusiaan diuji, dan di sinilah republik harus membuktikan: bahwa niat baik pun wajib dipertanggungjawabkan.
Langkah Prabowo bukan tanpa niat baik. Namun, dalam tata kelola negara, niat baik tidak cukup. Harus ada sistem hukum yang mengikat, kebijakan berpihak, dan kesiapan institusi yang solid.
Evakuasi Gaza adalah ujian bagi republik ini—apakah kita masih bisa berdiri atas nama kemanusiaan, atau hanya akan tercatat sebagai pemberi tumpangan dalam kisah panjang pengungsian dunia.
Karena di balik setiap anak Gaza yang datang, ada satu tanya yang akan hidup bersama mereka: benarkah republik ini siap menampung luka dunia, dengan tangan dan hati yang benar-benar terbuka?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/02/26/67bf409629e06.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Sita Empat Mobil Mewah Terkait Suap Ekspor CPO, Salah Satunya Ferrari Nasional 13 April 2025
Kejagung Sita Empat Mobil Mewah Terkait Suap Ekspor CPO, Salah Satunya Ferrari
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –Kejaksaan Agung
(Kejagung) menyita sejumlah
mobil mewah
yang diduga berkaitan dengan dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini melibatkan pemberian fasilitas ekspor
crude palm oil
(CPO) kepada tiga korporasi, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengatakan tim penyidik Kejaksaan Agung telah menggeledah lima lokasi.
“Bahwa, pada Jumat, 11 April 2025, kemarin malam, tim penyidik Kejagung melakukan tindakan penggeledahan di lima tempat di provinsi Jakarta,” saat konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4/2025) malam.
Salah satu lokasi yang digeledah adalah rumah seorang advokat berinisial AR, di mana penyidik menyita empat mobil mewah.
Keempat mobil tersebut terparkir di depan gedung Kartika, Kejaksaan Agung. Mobil pertama yang disita adalah Nissan Nismo GTR dengan nomor polisi B 505 AAY.
Selain itu, terdapat dua mobil mewah berwarna hitam, yaitu Mercy AMG dengan nomor polisi B 1 STS dan Lexus RX 500H dengan nomor polisi B 1529 AZL.
Satu mobil lainnya adalah Ferrari berwarna merah dengan nomor polisi D 1169 QGK.
Penyidik masih mendalami kepemilikan mobil-mobil mewah tersebut, apakah murni milik AR atau digunakan untuk menyuap hakim di PN Jakarta Pusat.
Pada hari yang sama, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka dugaan suap terkait pemberian fasilitas ekspor CPO kepada tiga korporasi tersebut.
Adapun Muhammad Arif Nuryanta sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Penyidik Kejagung menetapkan empat orang sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti yang cukup terjadinya tindak pidana suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ungkap Qohar.
Selain Arif, tiga orang tersangka lainnya juga ditetapkan, yaitu Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, WG; Kuasa Hukum Korporasi, Marcella Santoso; dan Advokat berinisial AR.
Para tersangka diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi untuk mengatur perkara yang dihadapi oleh Wilmar Group dan dua korporasi lainnya.
Berdasarkan informasi dari laman resmi Mahkamah Agung, pada 19 Maret 2025, ketiga korporasi tersebut dibebaskan dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, para terdakwa terbukti melakukan perbuatan sesuai yang didakwakan oleh JPU, namun perbuatan tersebut dinyatakan bukan tindak pidana atau
ontslag
.
Terdapat tuntutan dari JPU agar para terdakwa membayar sejumlah denda dan uang pengganti.
Terdakwa PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619.
Jika tidak dibayarkan, harta Tenang Parulian selaku Direktur dapat disita dan dilelang, dengan ancaman pidana penjara selama 19 tahun jika tidak mencukupi.
Terdakwa Permata Hijau Group dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26.
Sedangkan Musim Mas Group dituntut denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1.
Para terdakwa diyakini melanggar dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/26/67bf409629e06.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketua PN Jaksel Ditangkap, Jadi Tersangka Suap Ekspor CPO Nasional 12 April 2025
Ketua PN Jaksel Ditangkap, Jadi Tersangka Suap Ekspor CPO
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kejaksaan Agung
(Kejagung) menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Muhammad Arif Nuryanta
, sebagai tersangka dugaan suap fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar.
Tiga perusahaan besar tersebut di antaranya Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
“Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti yang cukup terjadinya tindak pidana suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4/2025) malam.
Selain Arif, Kejagung juga menetapkan tiga orang tersangka lainnya, yaitu Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG, Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso, dan seorang advokat berinisial AR.
Mereka diduga terlibat dalam
korupsi
berupa suap dan gratifikasi untuk mengatur perkara yang dihadapi oleh ketiga korporasi tersebut.
Berdasarkan amar putusan yang diperoleh dari laman resmi Mahkamah Agung, diketahui bahwa pada 19 Maret 2025, ketiga korporasi tersebut dibebaskan dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus pemberian fasilitas ekspor CPO antara Januari 2021 hingga Maret 2022.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana, sehingga mereka dibebaskan dari semua dakwaan JPU.
Sementara itu, dalam keterangan resmi Kejaksaan Agung, JPU sebelumnya menuntut para terdakwa untuk membayar sejumlah denda dan uang pengganti.
Terdakwa PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619.
Jika tidak dibayarkan, harta Tenang Parulian selaku Direktur dapat disita dan dilelang, dengan ancaman pidana penjara selama 19 tahun.
Terdakwa Permata Hijau Group dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26.
Jika tidak dibayarkan, harta David Virgo selaku pengendali korporasi tersebut dapat disita, dengan ancaman pidana penjara selama 12 bulan.
Sementara itu, Musim Mas Group dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1.
Jika tidak dibayarkan, harta para pengendali Musim Mas Group, termasuk Ir. Gunawan Siregar selaku Direktur Utama, akan disita untuk dilelang, dengan ancaman pidana penjara masing-masing selama 15 tahun.
Para terdakwa diduga melanggar dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
, yang telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/12/24/676a73c933af7.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
DPR Dorong Pemerintah Manfaatkan Penundaan Tarif Impor AS untuk Negosiasi Nasional 12 April 2025
DPR Dorong Pemerintah Manfaatkan Penundaan Tarif Impor AS untuk Negosiasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi IX DPR-RI,
Charles Meikyansah
, mendukung upaya negosiasi yang akan dilakukan Presiden
Prabowo Subianto
untuk mencegah kenaikan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS).
Menurut dia, penundaan kenaikan tarif impor selama 90 hari yang diputuskan oleh Presiden AS Donald Trump dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk negosiasi.
“Upaya negosiasi yang dilakukan pemerintah harus didukung. Pemerintah bisa memanfaatkan waktu jeda yang ada,” ucap Charles dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
Ia menyatakan, perlu ada langkah cepat, baik melalui jalur diplomasi maupun di dalam negeri, untuk memastikan sektor industri tidak terdampak secara signifikan.
Charles menambahkan, penundaan tarif sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia memberikan peluang besar untuk bernegosiasi.
Dia juga menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi tujuan alternatif investasi dan ekspor.
“Sektor tekstil, sepatu, garmen, dan furnitur adalah contoh industri yang punya prospek cerah di tengah dinamika global ini,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemerintah untuk segera mempercepat kebijakan deregulasi ekspor, penyederhanaan izin usaha, serta insentif fiskal agar Indonesia dapat memanfaatkan peluang re-shoring dari negara lain.
Sebagaimana diketahui, Trump menunda penerapan tarif impor jilid II yang seharusnya berlaku efektif pada Rabu (9/4/2025).
Penundaan ini berlaku selama 90 hari untuk 75 negara, kecuali China. Meskipun penundaan ini dilakukan, Trump tetap mengenakan tarif impor minimal sebesar 10 persen.
Penundaan tersebut juga berlaku untuk Indonesia yang sebelumnya dikenakan tarif 32 persen, sementara Vietnam yang dikenakan tarif 34 persen juga menjadi 10 persen untuk sementara waktu.
Trump menjelaskan, penundaan selama 90 hari ini diambil karena banyak pihak merespons secara berlebihan terhadap keputusannya mengenai tarif dagang.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Sugiono mengungkapkan bahwa Prabowo telah meminta waktu untuk bertemu dengan Trump.
Salah satu isu yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut adalah pengenaan tarif impor bagi Indonesia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2024/07/25/66a2009c13293.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/02/26/67bf409629e06.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/04/10/67f7eda7d927f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/04/10/67f6c1e428b1b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/04/12/67fa652758a07.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2024/10/16/670f8fb977f41.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2018/05/09/3696620709.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)