BGN Gandeng Unhan Didik 30.000 Kepala SPPG, Juli Rampung
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala
Badan Gizi Nasional
(BGN)
Dadan Hindayana
mengungkapkan, pihaknya bekerja sama dengan
Universitas Pertahanan
(Unhan) untuk mendidik 30.000 kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (
SPPG
).
Targetnya, pelatihan puluhan ribu SPPG itu akan rampung tiga bulan lagi. Sehingga dapat mempercepat distribusi program
makan bergizi gratis
(MBG) yang saat ini terus digenjot pemerintah.
“Untuk mengembangkan pelayanan lebih cepat, kita sangat tergantung dengan SDM. Dan SDM ini kita sedang didik batch 3, 30.000, yang dilakukan oleh Unhan. Dan insya Allah akan selesai di akhir Juli,” kata Dadan mengutip keterangan video di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (4/5/2025).
Hingga akhir April 2025, pelaksanaan program MBG telah menyasar 3,3 juta penerima yang dilakukan 1.082 SPPG.
Dadan memperkirakan jumlah SPPG yang akan melayani distribusi MBG akan bertambah mulai Senin (5/5/2025) besok hingga pertengahan Mei 2025, sehingga dapat menjangkau lebih dari 4 juta penerima pada akhir bulan ini.
“Sejauh ini sesuai dengan target karena target kami dulu sampai April itu melayani sampai 3 juta, dan Alhamdulillah sudah tercapai. Nanti bulan Mei kami akan melayani sampai 4 juta,” ujarnya usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (3/4/2025) kemarin.
“Dan kita akan mengejar itu, sehingga nanti kami berharap nanti di akhir Mei atau awal Juni penerima manfaat mencapai 6 juta dan bisa bertahan sampai akhir Juli,” imbuh Dadan.
Tak hanya sumber daya manusia (SDM), Prabowo, kata Dadan, juga menekankan dua aspek lain keberhasilan pelaksanaan MBG, yakni anggaran dan infrastruktur. Untuk anggaran, persoalan ini, menurutnya telah dibereskan presiden secara politis.
Sedangkan untuk infrastruktur, BGN menargetkan bakal ada 30.000 SPPG yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. BGN sendiri berencana membangun 1.502 SPPG. Sementara sisanya akan bekerja sama dengan pihak lain.
“Artinya kita harus bermitra seluas-luasnya dengan berbagai pihak di 28.000 SPPG. Tapi tantangan berat SPPG itu adalah pemantauan kualitas dan aspek higienis. Kita berkumpul sekarang ini untuk mempertajam seleksi mitra dan juga supervisi infrastruktur oleh para pihak,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/03/19/67da9ddc07ecf.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Wapres Gibran dan AI: Antara Mengejar Ketinggalan dan Malas Berpikir…
Wapres Gibran dan AI: Antara Mengejar Ketinggalan dan Malas Berpikir…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dalam beberapa waktu terakhir, Wakil Presiden (Wapres)
Gibran Rakabuming Raka
terus menunjukkan komitmen yang kuat agar kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kian berkembang di Indonesia.
Dalam sejumlah kesempatan, Gibran bahkan kerap mendatangi kegiatan di sekolah maupun universitas yang tengah menyelenggarakan kegiatan bertemakan AI. Seperti pada Jumat (2/5/2025) kemarin, putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo itu menyambangi Binus University, BSD, Tangerang Selatan untuk berbicara tentang AI di depan mahasiswa.
Dalam kesempatan itu, Gibran mengatakan pelajaran AI akan masuk ke SD, SMP, SMA, dan SMK mulai tahun ajaran baru nanti.
“Beberapa hari lalu kita ratas, dengan Pak
Menteri Pendidikan
juga. Nanti di tahun ajaran baru kita mulai memasukkan
kurikulum AI
, pelajaran AI di SD, SMP, SMA, SMK juga,” ujar Gibran.
Pada 12 Maret lalu, saat menyambangi SMA 66 Jakarta, Gibran memang sempat mendorong agar AI masuk dalam kurikulum di sekolah. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah kemudian menyambut hal ini dan menyatakan bahwa pelajaran coding serta AI akan mulai diajarkan di Kelas 5 SD hingga SMA.
Menurut Gibran, AI tidak akan menggantikan tugas manusia, tetapi justru membantu meningkatkan produktivitas yang ada.
“(Bisa) bikin video lucu, grafis-grafis gitu ya. Tapi, intinya bukan itu ya, kita intinya ingin mempermudah tugas-tugas sehari-hari kalian, meningkatkan produktivitas, meningkatkan kreativitas,” ujar Gibran, saat menjadi juri dalam seminar di sekolah tersebut.
Gibran menilai, adaptasi penggunaan AI perlu segera dilakukan agar anak muda Indonesia tidak tertinggal dengan anak muda dari negara lain, yang telah lebih dulu memanfaatkannya.
“Di negara-negara lain, pemerintahnya sudah mendorong anak-anak muda untuk menggunakan AI. Kita enggak boleh ketinggalan,” ujar Gibran saat menghadiri acara Talkshow & Showcase Inovasi AI bertajuk Artificial Intelligence: Shaping Indonesia’s Future di Universitas Pelita Harapan (UPH) Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang, Banten, pada 20 Maret lalu.
Meski Gibran terus mendorong penggunaan AI di Tanah Air, bukan berarti keberadaannya tidak menghadapi tantangan.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar khawatir, kemudahan yang ditawarkan AI dalam memproduksi sesuatu, justru akan menjadi sebuah kemunduran dan krisis.
“Kita juga menghadapi tantangan kemunduran dan krisis akibat kemajuan teknologi. Kita menjadi malas berpikir,” kata Muhaimin dalam acara Waisak Nasional PKB di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (3/5/2025).
Ia menilai, kehadiran AI membuat budaya semakin ditinggalkan. Meskipun, ia tak memungkiri bahwa keberadaannya memudahkan kinerja manusia.
“Kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat. Bahkan kita berkedip saja, teknologi baru sudah muncul di depan mata kita. Adanya artificial intelligence ini salah satu kebutuhan nyata memudahkan cara kerja dan pola hidup kita,” ucap Muhaimin.
Karena memiliki kelebihan dan kekurangan, Ketua Umum PKB ini meminta masyarakat lebih bijak dalam menggunakan AI.
“Sangat rentan jika nilai-nilai agama yang menjadi fondasi kehidupan kita akan terus tergerus dan tidak memiliki relevansi dengan zamannya,” tandasnya.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menilai, AI sulit dikuasai pekerja Indonesia. Sebab, mayoritas pekerja di RI belum menjalani pendidikan hingga perguruan tinggi.
Sebanyak 52 persen pekerja RI lulusan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Kemudian, 36 persen lainnya yang merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK).
“Kami diamanahkan juga untuk mempersiapkan pekerja, untuk bekerja. Makanya kita punya
vocational training center
, balai-balai latihan kerja tersebar di Indonesia. Kita latih, ada program yang namanya
skilling, reskilling, upskilling
,” ujar Menaker di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
“Tapi Bapak dan Ibu bisa bayangkan, negara lain
skilling, upskilling, reskilling
menyiapkan untuk tema-temanya itu adalah siap dengan AI, siap dengan
green economy
(ekonomi hijau). Tapi potret pekerja kita 88 persen lulusan SMA dan SMK. Tidak mudah kita kemudian
reskilling
mereka,
upskilling
mereka untuk menghadapi itu semua,” jelasnya.
Di sisi lain, untuk lulusan perguruan tinggi ternyata masih banyak yang menganggur.
Pemerintah tengah menyiapkan regulasi setingkat Peraturan Presiden (Perpres) guna mengatur perkembangan teknologi AI secara lintas sektor.
Langkah ini diambil sebagai respons atas pesatnya perkembangan AI dan meningkatnya kekhawatiran global terhadap potensi dampaknya.
“Mungkin akan dibuat satu peraturan setingkat Perpres yang mungkin agar bisa mengatur lintas sektor perkembangan AI ini,” kata Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia (Wamenkomdigi) Nezar Patria di Kemenko PMK, Selasa (29/4/2025).
Selain itu, sejumlah regulasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), serta aturan tentang perlindungan anak di ruang digital sudah tersedia.
“Kita coba melakukan assessment, kita berada di mana di tengah perkembangan global itu, sehingga dibutuhkan regulasi-regulasi yang tepat,” ujar Nezar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/18/680218e6d3e40.jfif?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ormas Rasa Preman: Perlunya Tindakan Tegas Negara yang Humanis
Ormas Rasa Preman: Perlunya Tindakan Tegas Negara yang Humanis
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
KEBERADAAN
organisasi masyarakat (
ormas
) di Indonesia, yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945, sejatinya merupakan wujud dari kebebasan berorganisasi yang dilindungi sebagai hak asasi manusia.
Pasal 28E UUD NRI 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Salah satu cara untuk merealisasikan hak ini adalah melalui pembentukan ormas.
Namun, belakangan, muncul fenomena yang meresahkan terkait dengan ormas yang tidak hanya menyuarakan aspirasi atau kepentingan masyarakat, tetapi juga terlibat dalam tindakan kekerasan, intimidasi, bahkan
premanisme
.
Ormas
-ormas ini, meskipun mengatasnamakan perjuangan sosial atau kepentingan bersama, pada kenyataannya lebih sering memperlihatkan perilaku yang merugikan masyarakat, dengan modus yang serupa dengan premanisme, yakni pemerasan dan intimidasi terhadap individu atau kelompok lain, bahkan perusahaan.
Fenomena ormas yang berpakaian seragam rapi, tetapi bertindak selayaknya preman ini menjadi semakin meresahkan.
Mereka sering kali tampil sebagai ‘penjaga ketertiban’, tetapi yang terjadi justru aksi kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat dan korporasi yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.
Hal ini tentu sangat mengganggu tatanan sosial yang seharusnya dijaga oleh negara. Dalam konteks ini, perlu adanya upaya yang lebih tegas dari negara untuk menangani fenomena ini.
Namun, tindakan tegas tersebut harus dilakukan dengan pendekatan humanis, dengan tetap menjaga nilai-nilai HAM bagi setiap individu, termasuk anggota ormas itu sendiri.
Tindakan tegas yang dimaksud tidak berarti mengabaikan prinsip-prinsip dasar HAM. Negara—dalam hal ini—memiliki kewajiban untuk memberikan pelindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak untuk bebas dari ancaman dan kekerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.
Penindakan terhadap ormas yang melakukan pelanggaran harus dilakukan dengan prosedur hukum yang adil, tanpa menggunakan cara-cara yang melanggar hak dasar mereka sebagai warga negara.
Dalam hal ini, penting untuk menegakkan prinsip keadilan restoratif yang mengedepankan perbaikan dan reintegrasi sosial, bukan sekadar penghukuman.
Proses hukum harus memastikan bahwa setiap individu, baik anggota ormas maupun masyarakat, mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum tanpa ada diskriminasi.
Negara pun harus mempertimbangkan dampak sosial dari setiap tindakan terhadap ormas tersebut.
Ormas yang terjerumus dalam kekerasan atau tindakan premanisme seharusnya diberikan kesempatan untuk melakukan reformasi internal dan kembali menjadi bagian dari masyarakat yang produktif.
Negara melalui aparat penegak hukum harus fokus pada tindakan preventif dengan mengedukasi ormas-ormas tersebut tentang pentingnya menjalankan organisasi sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku, sekaligus memberikan sanksi yang sesuai bagi mereka yang melanggar.
Di sini, prinsip-prinsip HAM tetap harus dijaga, dengan memastikan bahwa setiap proses penegakan hukum dilakukan secara transparan, proporsional, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Jika mengaitkannya dengan teori
social contract
ala Rousseau, maka negara memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban dan keadilan melalui perjanjian sosial, sementara ormas tidak seharusnya mengambil alih peran tersebut dengan kekerasan atau intimidasi.
Negara perlu menegakkan kontrak sosial dengan memastikan bahwa ormas tidak menggantikan kewenangan negara dalam penegakan hukum yang sah.
Teori
power and authority
ala Weber pun dalam hal ini relevan. Negara memiliki otoritas yang sah untuk menjaga ketertiban, sedangkan ormas yang bertindak seperti preman hanya memaksakan kekuasaan yang tidak diakui oleh hukum.
Dalam hal ini, negara harus membedakan antara kekuasaan sah dan yang tidak sah, serta menanggapi ormas yang menyimpang dengan pendekatan yang berbasis pada hukum yang adil.
Dalam kerangka hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak setiap individu, termasuk anggota ormas, dengan pendekatan yang humanis.
Penegakan hukum terhadap ormas yang melanggar hukum harus seimbang, memberikan kesempatan untuk reformasi tanpa mengabaikan hak dasar mereka.
Negara perlu menggabungkan tindakan tegas dengan solusi pemulihan sosial, memastikan keadilan bagi semua pihak, dan menciptakan masyarakat yang harmonis, adil, dan aman.
Penting untuk menyadari bahwa tindakan tegas terhadap ormas yang berperilaku premanisme bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem yang mengutamakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat.
Negara tidak bisa menutup mata terhadap potensi kerusakan sosial yang diakibatkan oleh ormas yang menyalahgunakan kewenangannya.
Intimidasi, pemerasan, atau kekerasan yang dilakukan oleh ormas semacam ini sangat merusak tatanan sosial yang sudah dibangun. Masyarakat yang seharusnya dilindungi, justru menjadi korban dari tindakan yang melanggar hak-hak dasar mereka.
Namun, tindakan tegas dari negara harus dilakukan dengan cara yang berlandaskan pada prinsip keadilan. Negara tidak bisa bertindak sembarangan, tanpa memperhatikan hak asasi manusia yang dijamin oleh instrumen HAM, termasuk Konstitusi.
Penyelesaian yang bersifat represif pun justru berpotensi akan menciptakan ketidakadilan dan “kerusakan” yang lebih besar. Maka, perlu ada upaya yang tepat dan efektif untuk menanggulangi hal ini.
Oleh karena itu, negara harus bertindak sebagai fasilitator bagi terciptanya keamanan dan keadilan, bukan sekadar sebagai penegak hukum.
Dialog, edukasi, dan pendekatan yang berbasis pada pemulihan sosial adalah langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa ormas yang terjerumus dalam perilaku premanisme bisa kembali menjadi bagian dari solusi sosial—bukan malah menjadi masalah yang terus menghantui masyarakat.
Tindakan negara yang adil dan humanis, dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama yang dilindungi, akan menciptakan lingkungan yang lebih damai dan aman bagi semua.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2023/04/25/64478c5949786.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ada Wiranto, Persatuan Purnawirawan Nyatakan Dukung Prabowo-Gibran
Ada Wiranto, Persatuan Purnawirawan Nyatakan Dukung Prabowo-Gibran
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Persatuan Purnawirawan TNI
-Polri yang didalamnya terdapat Jenderal (Purn)
Agum Gumelar
hingga Jenderal (Purn)
Wiranto
menyatakan sikapnya dalam mendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Dukungan terhadap Prabowo-Gibran menjadi satu dari lima poin yang menjadi sikap dari
persatuan purnawirawan TNI
-Polri yang disampaikan pada Jumat (2/5/2025).
“Satu. Wadah purnawirawan TNI-Polri yang resmi adalah PEPABRI, LVRI, PPAD, PPAL, PPAU, PP Polri dan PERIP,” ujar Plt Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Mayjen (Purn), Komaruddin Simanjuntak dilansir dari Kompas TV, dikutip Sabtu (3/5/2025).
Kedua, soliditas TNI-Polri merupakan jaminan bagi tetap tegak dan utuhnya NKRI, oleh karena itu diperlukan konsolidasi yang terus menerus.
Ketiga, purnawirawan TNI-Polri walaupun sudah purna tugas, tetapi belum purna pengabdian dan tetap berpedoman pada Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Tri Brata. Sehingga purnawirawan TNI-Polri tetap setia dan taat kepada konstitusi.
“Empat. Purnawirawan TNI-Polri mendukung sepenuhnya program pemerintah sesuai dengan Asta Cita,” ujar Komaruddin.
“Lima. Purnawirawan TNI-Polri mengajak semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama mendukung kelancaran pembangunan nasional,” sambungnya.
Selain Wiranto dan Agum Gumelar, turut hadir dalam pernyataan sikap tersebut seperti Laksamana (Purn) Siwi Sukma Adji, Marsekal (Purn) Yuyu Sutisna, Letjen (Purn) H.B.L Mantiri, dan Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri.
Sebelumnya, terdapat
Forum Purnawirawan TNI-Polri
yang berisi 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.
Terdapat nama seperti Wakil Presiden ke-6 Try sutrisno, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.
Deklarasi
Forum Purnawirawan
TNI-Polri berisi delapan poin, yang antara lain mencakup penolakan terhadap kebijakan pemerintah terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), tenaga kerja asing, dan usulan reshuffle terhadap menteri-menteri yang diduga terlibat dalam korupsi.
Adapun salah satu poin paling kontroversial adalah usulan pergantian Wakil Presiden yang disampaikan kepada MPR, berdasarkan dugaan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/05/03/68162ef047c9e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/03/6816250b64e2c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/02/681448484c7aa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/03/681634a39020c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/03/681632d22e527.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)