Aceh-Sumut: Ketika Empat Pulau Memantik Bara Sengketa
Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
SENGKETA
wilayah maritim antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukanlah sekadar persoalan administrasi biasa.
Polemik ini mengungkapkan kompleksitas yang melekat dalam pengelolaan batas wilayah di Indonesia, serta bagaimana sejarah, budaya, dan politik saling bertautan dalam setiap inci Tanah Air.
Konflik atas Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang menjadi contoh nyata ketegangan yang lebih dalam dari sekedar garis batas di atas peta.
Keputusan Kementerian Dalam Negeri yang mengalihkan empat pulau ini ke wilayah administratif Sumatera Utara menuai kontroversi tajam, terutama di kalangan masyarakat Aceh yang melihatnya sebagai bentuk pengabaian atas klaim historis dan identitas budaya mereka.
Di balik putusan administratif tersebut, terbentang narasi panjang yang mencerminkan dilema antara kepastian administratif dengan keadilan historis dan emosional.
Bagi Aceh, empat pulau ini bukan sekadar wilayah geografis, tetapi simbol harga diri, identitas, dan warisan leluhur yang tidak bisa diukur semata dengan garis batas spasial atau analisis teknokratis semata.
Kontroversi ini menghadirkan pertanyaan mendalam: sejauh mana keputusan administratif pemerintah pusat dapat menghargai aspek historis dan emosional yang begitu kuat melekat dalam sengketa kewilayahan?
Sengketa ini berakar dari klaim historis Aceh yang mendasarkan kepemilikannya pada dokumen agraria tahun 1965 serta Peta Topografi TNI Angkatan Darat tahun 1978, yang jelas menunjukkan pulau-pulau tersebut sebagai wilayah Aceh.
Dokumen-dokumen ini telah menjadi dasar bagi Aceh untuk membangun berbagai infrastruktur penting di pulau-pulau tersebut, seperti dermaga, musala, dan tugu batas.
Infrastruktur ini bukan sekadar fasilitas fisik, tetapi juga simbol nyata penguasaan dan pengelolaan efektif Aceh atas wilayah tersebut selama bertahun-tahun.
Langkah-langkah pembangunan ini mencerminkan komitmen kuat Aceh dalam mempertahankan integritas teritorialnya serta menunjukkan kehadiran administratif yang aktif dan konsisten di wilayah sengketa.
Namun, meski berbagai upaya nyata dan bukti historis tersebut telah dikemukakan secara jelas, keputusan administratif pemerintah pusat tidak memberikan bobot yang memadai terhadap argumentasi Aceh.
Sebaliknya, keputusan tersebut cenderung lebih memprioritaskan pendekatan geografis yang secara spasial menempatkan pulau-pulau ini lebih dekat dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Analisis geografis ini, meskipun valid dari sudut pandang administratif semata, tampaknya tidak sepenuhnya mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan budaya yang melekat erat dalam klaim kewilayahan Aceh.
Keputusan pemerintah pusat yang lebih mengutamakan pendekatan geografis ini bukan hanya sekadar menimbulkan kontroversi administratif, tetapi juga berdampak serius terhadap dimensi sosial-budaya dan emosional masyarakat Aceh.
Pengabaian aspek historis ini dapat mengakibatkan ketidakpuasan mendalam yang berpotensi menciptakan konflik berkepanjangan dan rasa ketidakadilan historis.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah pusat untuk tidak sekadar berpijak pada analisis teknokratis semata tetapi juga mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh implikasi jangka panjang dari keputusan yang diambil, khususnya dalam hal menjaga keharmonisan sosial dan stabilitas regional.
Di balik sengketa administratif ini, muncul spekulasi kuat tentang adanya potensi sumber daya alam strategis, terutama minyak dan gas bumi (migas), yang diduga melimpah di sekitar wilayah empat pulau tersebut.
Isu ini bukan hanya menambah kompleksitas narasi sengketa, tetapi juga menjadikan keputusan administratif ini memiliki dimensi ekonomi-politik yang penting.
Jika spekulasi mengenai keberadaan migas benar, maka keputusan pemerintah pusat dapat diinterpretasikan tidak semata tentang urusan administratif, tetapi juga tentang perebutan kontrol atas aset strategis yang memiliki nilai ekonomi signifikan.
Meskipun pihak Kementerian Dalam Negeri secara resmi menyatakan bahwa keputusan mereka murni berdasarkan pertimbangan geografis dan administratif, tetap saja publik Aceh menyimpan kecurigaan mendalam.
Hal ini diperparah adanya informasi bahwa rencana investasi besar, yang diduga terkait dengan eksplorasi migas, mungkin telah menjadi salah satu pertimbangan tersembunyi dalam sengketa ini.
Situasi ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik Aceh terhadap netralitas dan objektivitas proses pengambilan keputusan pemerintah pusat.
Transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik merupakan aspek penting yang perlu dijaga, terutama dalam keputusan-keputusan yang berdampak luas seperti ini.
Klaim pemerintah pusat mengenai ketidakpahaman mereka terhadap potensi ekonomi wilayah tersebut terlihat problematis.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah proses pengambilan keputusan benar-benar transparan dan jujur.
Publik Aceh menuntut agar proses pengambilan keputusan tidak hanya jelas secara administratif, tetapi juga secara moral dan etis mempertimbangkan seluruh implikasi jangka panjangnya.
Keputusan administratif ini tidak hanya berdampak pada hubungan antar-provinsi, tetapi juga memengaruhi tata kelola pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Konflik ini menunjukkan pentingnya mekanisme yang lebih baik dalam penyelesaian sengketa batas wilayah yang tidak hanya mengandalkan intervensi pemerintah pusat, tetapi juga melibatkan proses dialogis yang lebih inklusif dan partisipatif.
Mekanisme dialog yang efektif antara Aceh dan Sumatera Utara menjadi sangat krusial agar konflik semacam ini tidak terus berulang.
Di sisi lain, kasus ini menjadi preseden penting bagi sengketa wilayah lainnya di Indonesia. Penyelesaian yang tidak sensitif terhadap sejarah dan klaim emosional masyarakat lokal berpotensi memicu konflik yang lebih besar di masa depan.
Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan ulang pendekatan yang digunakan, lebih mengakomodasi klaim historis, dan mengedepankan dialog antar-daerah yang lebih intensif.
Pada akhirnya, drama empat pulau ini menegaskan bahwa sengketa wilayah bukan sekadar persoalan administratif yang bisa diselesaikan dengan garis batas di atas peta.
Pemerintah pusat harus lebih jeli melihat aspek-aspek historis, emosional, dan ekonomi yang tersembunyi di balik sengketa administratif.
Hanya dengan pendekatan yang lebih empatik dan inklusif, keadilan yang sejati bisa tercapai, dan integritas serta keutuhan wilayah Indonesia tetap terjaga.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/06/11/68493a0abbc79.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Aceh-Sumut: Ketika Empat Pulau Memantik Bara Sengketa
-
/data/photo/2025/05/27/683536732773f.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Alasan BP Haji Hendak Pakai 2 Syarikah Saja di Musim Haji Tahun Depan
Alasan BP Haji Hendak Pakai 2 Syarikah Saja di Musim Haji Tahun Depan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Badan Pengelola Haji (
BP Haji
) berencana hanya menggunakan skema dua syarikah pada
musim haji 2026
, alasannya adalah menghindari permasalahan seperti yang terjadi pada musim haji tahun ini.
“Kemungkinan besar kami, badan penyelenggara haji, tahun depan akan memastikan tidak akan menggunakan multisyarikah. Paling banyak itu 2 syarikah supaya kemudian bisa fokus dan ada pembanding satu syarikah dengan syarikah yang lain,” ujar Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, saat ditemui di Kantor BP Haji, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (11/6/2025) malam.
Syarikah adalah perusahaan-perusahaan yang dilibatkan pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Dia menuturkan bahwa skema dua syarikah itu akan diterapkan agar syarikah sebagai perusahaan penyedia layanan haji dapat fokus memberi pelayanan bagi jemaah.
Rencana ini diterapkan setelah BP Haji menemukan sejumlah permasalahan serius dalam pelaksanaan haji pada tahun 2025 ini, terutama pada aspek ketidaksinkronan data jemaah.
“Nah ini sebenarnya puncak kekacauan tertukarnya jemaah, misalnya hotelnya tidak jelas, kemudian kamarnya tidak jelas, dan sebagainya. Itu juga berangkat dari kekacauan pendataan pihak kami di Indonesia,” kata Dahnil.
Dari hasil evaluasi di lapangan, kata Dahnil, banyak ditemukan wanprestasi syarikah.
Tahun ini, pemerintah Indonesia menggunakan skema multisyarikah.
Ketidakprofesionalan syarikah terlihat sejak pemberangkatan dari hotel ke Arafah, dari Arafah ke Muzdalifah, hingga Muzdalifah ke Mina.
“Banyak jemaah Indonesia yang terpaksa jalan ketika dari Muzdalifah ke Mina atau dari Arafah ke Muzdalifah, bahkan harus menunggu lama dari hotel ketika menuju ke Arafah. Itu terkait dengan banyaknya kejadian wanprestasi syarikah transportasi ini,” jelasnya.
Dahnil menyinggung bahwa pada tahun lalu, pemerintah hanya menggunakan satu syarikah, berbeda dengan tahun ini yang menjadi delapan syarikah.
“Tahun yang lalu itu hanya satu syarikah, kemudian tahun ini 8 syarikah. Sehingga menyebabkan banyak kekacauan, ada persaingan yang tidak sehat, dan layanan masing-masing syarikah juga bermasalah,” kata dia.
Untuk itu, BP Haji yang akan bertugas sepenuhnya dalam pelaksanaan ibadah haji pada 1446 Hijriah atau tahun 2026, akan mengubah
skema syarikah
menjadi maksimal dua perusahaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/05/684127034b4ae.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menag Sebut Banyak Negara Puji Jemaah Haji Indonesia: Dinilai Sabar dan Tertib
Menag Sebut Banyak Negara Puji Jemaah Haji Indonesia: Dinilai Sabar dan Tertib
Penulis
KOMPAS.com
– Menteri Agama (
Menag
)
Nasaruddin Umar
mengatakan, banyak negara memuji kedisiplinan dan keteraturan
jemaah haji
Indonesia selama rangkaian ibadah
haji
1446 Hijriah di Tanah Suci.
Nasaruddin menyebut, pujian tersebut datang langsung dari para menteri agama negara sahabat, termasuk India, Pakistan, dan Filipina.
“Mereka bahkan ingin belajar ke Indonesia,” kata Nasaruddin di Mekkah, Rabu (11/6/2025), dikutip dari
Antaranews
.
Menurut Menag, negara-negara itu ingin meniru sistem haji Indonesia. Sebab, Indonesia dilihat punya jemaah terbanyak, tetapi paling teratur.
“Menteri Agama India dan Pakistan mengatakan bahwa Indonesia sangat menginspirasi,” ujar Nasaruddin.
Nasaruddin juga menyebut bahwa Mesir dan Yordania turut memberi apresiasi kepada
jemaah haji Indonesia
.
Menang bahkan mengungkapkan, Menteri Agama Yordania secara khusus memuji kesabaran jemaah Indonesia.
“Kita dinilai sabar, tertib, dan patut diacungi jempol,” kata Nasaruddin.
Menurut
menag
, pujian juga datang dari pemerintah Arab Saudi. Setiap tahun, Indonesia mendapat penghargaan dari Kerajaan Saudi. Pemerintah Saudi menilai operasional haji Indonesia berjalan baik.
“Saudi sangat mengapresiasi kita, tiap tahun selalu dipuji,” ujar Nasaruddin.
Dalam kesempatan itu, Menag juga menyampaikan apresiasi kepada Kerajaan Arab Saudi. Sebab, perhatian yang diberikan Saudi terhadap jemaah Indonesia sangat luar biasa.
“Perhatian khusus selalu diberikan kepada jemaah kita,” katanya.
Nasaruddin mengungkapkan, salah satu contoh perhatian khusus Kerajaan Saudi yakni dukungan layanan kesehatan.
“Tak ada ambulans lain yang bisa masuk ke tenda, kecuali Indonesia. Sekali lagi terima kasih kepada pemerintah Arab Saudi,” ujarnya.
Keberadaan ambulans dinilai sangat efektif saat puncak haji di Arafah.
Lebih lanjut, Menag menegaskan bahwa hal ini berkat kerja sama lintas sektor yang solid.
Dia menyebut operasional haji Indonesia didukung seluruh elemen bangsa, termasuk petugas haji, pemerintah, dan lembaga terkait lainnya. Sinergi itu dinilai menjadi kunci sukses pelayanan haji Indonesia.
Menag juga memuji kesadaran jemaah dalam menaati aturan haji yang sudah ditetapkan.
“Tanpa kedisiplinan jemaah, semua tak bisa berjalan baik,” kata Nasaruddin.
Kemudian, Menag berharap penghargaan dari negara lain jadi motivasi. Bahkan, dia ingin layanan haji terus ditingkatkan pada masa mendatang.
“Ini menjadi tanggung jawab dan amanah yang besar,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, operasional haji 1446 Hijriah atau 2025, memasuki tahap pemulangan jemaah dari Tanah Suci ke Tanah Air.
Proses pemulangan jamaah haji gelombang pertama berlangsung pada 11-25 Juni 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/06/68198da0655af.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kemendagri Akan Pertemukan Gubernur Aceh dan Sumut soal Peralihan 4 Pulau
Kemendagri Akan Pertemukan Gubernur Aceh dan Sumut soal Peralihan 4 Pulau
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Dalam Negeri (
Kemendagri
) membuka peluang untuk mempertemukan Gubernur
Sumatera Utara
(
Sumut
) Bobby Nasution dan Gubernur
Aceh
Muzakir Manaf terkait peralihan empat
pulau
di wilayah Tapanuli Tengah.
Keempat pulau yang statusnya dialihkan ke wilayah Sumut tersebut adalah
Pulau
Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal Zakaria Ali mengatakan, pertemuan itu bisa difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (menko Polkam).
“Terbuka sekali kemungkinan gubernur difasilitasi oleh Kemenko (Polkam) dan Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian) untuk bertemu dengan kedua gubernur dan Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi untuk memperoleh penjelasan,” kata Safrizal di kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (11/6/2025), dikutip dari
Antaranews
.
Namun, dia belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut terkait waktu pertemuan tersebut akan dilaksanakan. Sebab, masih menunggu arahan dari Mendagri.
“Jadi, kapan? Tunggu kami laporkan, kemarin pihak Kemenko Polkam sudah melaporkan kepada Pak Menko, saya melaporkan kepada Pak Mendagri. Kita tunggu nanti waktunya,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Kepmendagri (Keputusan Menteri Dalam Negeri) itu ditetapkan pada 25 April 2025.
Keputusan tersebut direspons beragam kedua daerah. Sebab, konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Safrizal menjelaskan bahwa polemik status kewilayahan empat pulau tersebut berawal pada 2008. Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri dari sejumlah kementerian dan instansi pemerintah melakukan verifikasi terhadap pulau-pulau yang ada di Indonesia.
“Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang,” kata Safrizal.
Hasil verifikasi tersebut, pada 4 November 2009, mendapatkan konfirmasi dari Gubernur Aceh saat itu, yang menyampaikan bahwa Provinsi Aceh terdiri dari 260 pulau
Pada lampiran surat tersebut, tercantum perubahan nama pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, semula bernama Pulau Rangit Besar; Pulau Mangkir Kecil yang semula Pulau Rangit Kecil; Pulau Lipan sebelumnya Pulau Malelo. Lampiran tersebut juga menyertakan perubahan koordinat untuk keempat pulau tersebut.
“Jadi setelah konfirmasi 2008, pada 2009 dikonfirmasi terjadi perubahan nama dan perpindahan koordinat,” ujar Safrizal.
Selanjutnya, saat melakukan identifikasi dan verifikasi di Sumatera Utara pada 2008, Pemerintah Daerah Sumatera Utara melaporkan sebanyak 213 pulau, termasuk empat pulau yang saat ini menjadi sengketa.
“Pemda Sumatera Utara memverifikasi, membakukan sebanyak 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar, koordinat sekian; Pulau Mangkir Kecil, koordinat sekian; Pulau Lipan, koordinat sekian; dan Pulau Panjang, koordinat di sekian,” kata Syafrizal.
Pada 2009, hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi di Sumut mendapat konfirmasi dari Gubernur Sumatera Utara saat itu, yang menyatakan bahwa provinsi Sumatera terdiri di 213 pulau, termasuk empat pulau yang kini disengketakan.
Dari hasil konfirmasi kepada Gubernur Aceh beserta hasil konfirmasi Gubernur Sumatera Utara saat itu beserta hasil pelaporan pada PBB tahun 2012 dan pemerintah pusat kemudian menetapkan status empat pulau menjadi wilayah Sumatera Utara.
Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi tersebut terdiri dari antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang saat ini menjadi bagian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pusat Hidrografi dan Oseanologi TNI AL, Direktorat Topografi TNI AD, serta pemerintah provinsi dan kabupaten.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/14/67aede66f1e20.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komnas Perempuan Kecam Tindakan Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan di NTT
Komnas Perempuan Kecam Tindakan Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan di NTT
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisioner
Komnas Perempuan
, Yuni Asriyanti, mengecam tindakan anggota polisi yang memerkosa korban pemerkosaan di
Polsek Wewewa Selatan
,
Nusa Tenggara Timur
(NTT).
“Komnas Perempuan mengecam tindakan
kekerasan seksual
yang dilakukan oleh polisi kepada seorang perempuan korban perkosaan yang melaporkan kasusnya,” ujar Yuni saat dihubungi Kompas.com, Rabu (11/6/2025).
Yuni mengatakan, tindakan ini merupakan pelanggaran serius yang menyangkut hak atas rasa aman dan keadilan.
Semestinya, kata Yuni, hak merasa aman dan adil harus dijamin oleh negara kepada setiap warga negara, terlebih kepada korban yang diduga adalah korban perkosaan.
“Lembaga Kepolisian dan aparatnya yang merupakan penegak hukum, seharusnya menjadi tempat yang aman,” ucapnya.
Dengan begitu, setiap warga bisa melapor dan menggunakan hak mereka untuk mendapat keadilan, bukan justru menjadi tempat di mana kekerasan dan pelanggaran terjadi.
“Peristiwa yang terjadi di Sumba Barat Daya ini menambah rentetan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat kepolisian di kantor mereka, setelah sebelumnya terjadi di Kupang dan Pacitan,” tuturnya.
Maka dari itu, KPAI mendorong agar pemerintah dan lembaga layanan setempat dapat mengambil langkah-langkah cepat untuk upaya perlindungan dan pemulihan bagi korban.
Hal ini sesuai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
(UU TPKS) mengenai hak-hak korban kekerasan seksual.
Di antaranya meliputi hak atas penanganan, perlindungan, pemulihan, restitusi, kompensasi, hak untuk didampingi, dan hak untuk tidak disalahkan serta distigma.
Oleh karenanya, perlu dipastikan layanan korban untuk hak-haknya dapat diakses.
Sebelumnya, seorang anggota Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, berinisial Aipda PS, resmi ditahan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Sumba Barat Daya.
Penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap seorang korban pemerkosaan yang melapor ke kantor polisi.
Adapun peristiwa ini mencuat ke publik usai sebuah unggahan viral di media sosial Facebook pada Kamis (5/6/2025).
Unggahan tersebut menyebutkan bahwa seorang perempuan berinisial MML (25) menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh anggota polisi saat melapor sebagai korban pemerkosaan ke Polsek Wewewa Selatan.
Kapolres Sumba Barat Daya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Harianto Rantesalu, membenarkan adanya laporan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri tersebut.
Ia menyatakan bahwa Aipda PS kini telah menjalani penahanan khusus selama 30 hari ke depan sambil menunggu proses selanjutnya.
“Aipda PS telah dikenakan penahanan khusus oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya terhitung sejak hari ini, untuk jangka waktu 30 hari ke depan, sambil menunggu proses sidang Kode Etik Profesi Polri,” kata Harianto saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/11/68493610b65e0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mensos Pastikan Anggaran Bansos Tidak Akan Dialihkan untuk Sekolah Rakyat
Mensos Pastikan Anggaran Bansos Tidak Akan Dialihkan untuk Sekolah Rakyat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf, atau yang akrab disapa
Gus Ipul
, menegaskan bahwa anggaran
bantuan sosial
(bansos) tidak akan dialihkan untuk mendanai program
Sekolah Rakyat
.
“Yang bansos tidak ada dialihkan untuk Sekolah Rakyat. Yang bansos ya tetap untuk bansos,” ujar Gus Ipul di kantornya, Rabu (11/6/2025).
Ia menyebut bahwa sejak awal, Presiden
Prabowo Subianto
telah memberikan arahan tegas agar program bansos tidak diubah, apalagi dikurangi, dan justru ditambah alokasinya dalam beberapa tahun terakhir.
“Presiden memerintahkan kepada kita dari awal untuk tidak mengubah bansos, bahkan malah ditambah. Jadi penting itu buat kita. Yang penting itu tepat sasaran,” tegasnya.
Gus Ipul juga mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 4,5 persen atau 1,9 juta penerima baru yang belum menerima bansos karena belum memiliki rekening bank sebagai prasyarat administrasi pencairan.
“Mereka akan dapat, tapi harus buka rekening baru dulu. Jadi mungkin tidak langsung cepat dapat, tapi pasti akan dapat karena mereka adalah KPM baru,” jelasnya.
Mensos juga menjelaskan bahwa dalam proses penyaluran, tidak seluruh data bisa langsung sesuai alokasi.
Oleh karena itu, pembaruan dan validasi data penerima manfaat terus dilakukan.
“Maka itu saya sekali lagi mengajak masyarakat untuk memperbaiki terus data kita ini,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/14/67aede66f1e20.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polisi di NTT Lecehkan Korban Pemerkosaan, LBH Apik: Tak Pantas Berseragam Cokelat Lagi
Polisi di NTT Lecehkan Korban Pemerkosaan, LBH Apik: Tak Pantas Berseragam Cokelat Lagi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Kupang, Ansy Damaris, mengatakan, polisi
Aipda PS
yang mencabuli korban pemerkosaan harus bertanggung jawab secara pidana.
Aipda PS harus segera dipecat dari institusi kepolisian dan menjalani proses pidana atas perlakuan kejinya tersebut.
“Tersangka polisi di Sumba yang melakukan
kekerasan seksual
tidak pantas berseragam cokelat lagi alias harus dipecat dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana,” ucap Ansy kepada Kompas.com, Rabu (11/6/2025).
Dia mengatakan, Aipda PS juga harus mendapat hukuman maksimal karena ada unsur pemberat sebagai seorang penegak hukum.
LBH APIK
juga mendesak agar
Kapolda NTT
bisa bertindak tegas atas kasus yang melibatkan anak buahnya tersebut.
Ansy juga meminta agar Polda NTT membuka kanal pengajuan masyarakat agar semua kasus pelecehan yang dilakukan kepolisian bisa terungkap dengan terang.
“Mari bersama-sama kita bunyikan Alarm NTT darurat kekerasan seksual agar semua pihak bisa berbenah,” imbuhnya.
Dia juga berharap agar tindakan tegas dengan pertanggungjawaban pidana bisa mengubah kepolisian di NTT menjadi tempat melapor yang aman.
Ansy tidak ingin kepolisian yang seharusnya menjadi tempat melaporkan peristiwa kejahatan justru menjadi sarang predator yang memangsa pelapor sehingga menjadi korban ganda.
“Mereka seperti memasuki sarang predator seksual, terus kepada siapa masyarakat berlindung. Polda NTT harus gerak cepat berbenah,” tandasnya.
Sebelumnya, Aipda PS resmi ditahan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Sumba Barat Daya.
Penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan diduga melakukan tindak pelecehan seksual terhadap seorang korban pemerkosaan yang melapor ke kantor polisi.
Peristiwa ini mencuat ke publik usai sebuah unggahan viral di media sosial Facebook pada Kamis (5/6/2025).
Unggahan tersebut menyebutkan bahwa seorang perempuan berinisial MML (25) menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh anggota polisi saat melapor sebagai korban pemerkosaan ke Polsek Wewewa Selatan.
Kapolres Sumba Barat Daya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Harianto Rantesalu, membenarkan adanya laporan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri tersebut.
Ia menyatakan bahwa Aipda PS kini telah menjalani penahanan khusus selama 30 hari ke depan sambil menunggu proses selanjutnya.
“Aipda PS telah dikenakan penahanan khusus oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya terhitung sejak hari ini, untuk jangka waktu 30 hari ke depan, sambil menunggu proses sidang Kode Etik Profesi Polri,” kata Harianto saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/03/16/67d6972b5b07b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Penyuap Eks Anggota DPRD dalam Proyek Dinas PUPR OKU Jalani Sidang Perdana Besok
Penyuap Eks Anggota DPRD dalam Proyek Dinas PUPR OKU Jalani Sidang Perdana Besok
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) mengatakan, dua terdakwa
kasus suap
pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, M. Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso, akan menjalani
sidang perdana
pada Kamis (12/6/2025).
“Dari penetapan Majelis Hakim yang kami terima, besok (12/6) bertempat di Museum Tekstil Palembang, akan dilaksanakan persidangan perdana untuk pembacaan surat dakwaan Terdakwa M. Fauzi alias Pablo dan Ahmad Sugeng Santoso,” kata Jaksa KPK Rakhmad Irwan dalam keterangannya, Rabu (11/6/2025).
Jaksa Irwan mengatakan, sidang perdana seharusnya dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Palembang, namun pengadilan sedang direnovasi sehingga dipindahkan ke Museum Tekstil Palembang.
“Jadwal sidang pukul 10.00 WIB dan para Terdakwa akan dihadirkan langsung,” ujarnya.
Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam orang tersangka dalam kasus suap proyek di Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu (15/3/2025).
Mereka adalah Kepala
Dinas PUPR OKU
Nopriansyah (NOP); Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ); Ketua Komisi III DPRD OKU M. Fahrudin (MFR); dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH).
Kemudian, dua orang tersangka dari kalangan swasta yaitu MFZ (M. Fauzi alias Pablo) dan ASS (Ahmad Sugeng Santoso).
Para tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf f serta Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara itu, dua tersangka pemberi suap dari pihak swasta, yakni MFZ dan ASS, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2018/06/24/3415437599.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/02/05/67a32266eefbe.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)