Category: Kompas.com Nasional

  • Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau

    Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau

    Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Masyarakat Provinsi Aceh disebut sudah mulai protes terhadap keputusan pemerintah pusat yang menetapkan status 4 pulau yaitu Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan masuk ke Provinsi Sumatera Utara.
    Anggota Komisi II DPR RI
    Ahmad Doli Kurnia
    mengatakan,
    Gubernur Aceh Muzakir Manaf
     sudah mengumpulkan semua anggota DPR, DPD RI, dan DPRD di Aceh untuk membahas masalah ini.
    “Ada teman-teman kita yang Aceh itu sudah mulai memberikan informasi ke saya, termasuk misalnya pertemuan kan tadi malam Pak Gubernur Aceh mengumpulkan semua anggota DPR, DPD RI kan sama DPRD di Aceh,” tutur Doli saat dihubungi, Sabtu (14/6/2025).
    “Dan Muzakir Manaf juga sudah ngomong kalau ini diterusin, kita bisa mengibarkan dua bendera gitu-gitu kan,” imbuhnya.
    Doli berharap pemerintah pusat tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dalam waktu beberapa hari ke depan, sudah harus ada keputusan akhir atas polemik ini. 
    “Makanya yang penting jangan dibiarkan berlama-lama, jangan berlarut. Karena di sana sudah mulai ada yang teriak-teriak di Aceh sana,” kata Doli.
    Doli mengingatkan, konflik mengenai batas wilayah akan sangat sensitif luar biasa.
    Doli mengaku punya pengalaman saat mengurus sengketa tapal batas antar desa di wilayah lain. Konflik antar warga hingga tawuran dan memakan korban jiwa menjadi dampak yang dituai karena masalah tersebut.
    Provinsi Aceh sendiri, kata Doli, memiliki masa kelam Pemberontakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung sejak tahun 1976-2005.
    “Yang paling penting, masalah ini harus segera diselesaikan. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Kenapa? Karena saya punya pengalaman soal batas wilayah ini sensitif luar biasa. Saya kira kalau Menteri Dalam Negeri cepat bisa mengambil inisiatif 1-2 hari ini,” jelas Doli.
    Lebih lanjut, Doli mengaku sempat kaget mengapa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan putusan kontroversi itu. Jika mengacu pada sejumlah peraturan dan sejarahnya, empat pulau tersebut merupakan milik Aceh.
    Masyarakat Aceh mengetahui bahwa empat pulau itu adalah bagian wilayahnya, lewat kesepakatan yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh dan Sumut pada tahun 1992.
    Penandatangan kesepakatan itu pun disaksikan langsung oleh Mendagri, Jenderal Rudini.
    Posisi keempat pulau kemudian diperkuat dalam UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (PA). Begitu pun lewat putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan Provinsi Sumatera Utara atas kepemilikan keempat pulau.
    “Satu, atas pertimbangan hukum apa? Yang kedua latar belakangnya apa? Ini kan tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba memutuskan. Apakah ada pengajuan dari Provinsi Sumatera Utara? Atau ada masalah apa sehingga memang tiba-tiba keluar SK itu? Ini yang menurut saya perlu dijelaskan,” tandas Doli.
    Sebelumnya diberitakan, Keputusan Kemendagri soal status empat pulau yang sebelumnya milik Aceh menjadi milik Sumatera Utara menimbulkan gejolak.
    Keputusan ini dikritisi dan dipertanyakan banyak pihak, menyusul konflik perebutan wilayah yang sudah berlangsung puluhan tahun.
    Pemprov Aceh mengeklaim mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Adapun aturan tersebut, yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
    Empat pulau tersebut, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.
    Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menggelar pertemuan khusus dengan Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI, DPR Aceh, dan rektor untuk membahas polemik pemindahan empat pulau milik Aceh yang kini menjadi bagian wilayah Sumatera Utara (Sumut).
    Pertemuan dengan lintas elemen pejabat Aceh itu berlangsung di ruang restoran Pendopo Gubernur Aceh, Jumat (13/6/2025) malam.
    Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, mengatakan hasil pertemuan silaturahmi dengan Forbes DPR/DPD RI menunjukkan bahwa pihaknya sepakat untuk memperjuangkan keempat pulau tersebut kembali menjadi milik Aceh.
    “Itu hak kami, kewajiban kami, wajib kami pertahankan. Pulau itu adalah milik kami, milik Pemerintah Aceh. Mereka-mereka tetap (harus) mengembalikan pulau ini kepada Aceh,” katanya kepada awak media usai rapat.
    Adapun langkah Pemerintah Aceh, sebut Mualem, pihaknya akan melakukan pertemuan dengan Kemendagri yang rencananya akan dilaksanakan pada 18 Juni nanti.
    “Langkah kami pertama pendekatan secara kekeluargaan dan juga administrasi dan politik. Ya ke Kemendagri, Pemerintah Pusat,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hambali Pegang Paspor Spanyol dan Thailand, Yusril: Status WNI Otomatis Gugur

    Hambali Pegang Paspor Spanyol dan Thailand, Yusril: Status WNI Otomatis Gugur

    Hambali Pegang Paspor Spanyol dan Thailand, Yusril: Status WNI Otomatis Gugur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Status kewarganegaraan aktor intelektual kasus bom Bali tahun 2002, Hambali, yang belum tentu Warga Negara Indonesia (WNI), menjadi penghalang dirinya kembali ke Indonesia jika nanti bebas dari tahanan di Amerika Serikat. 
    Sebab saat ditangkap di Thailand, Hambali tidak memegang paspor Indonesia dan tidak menunjukkan identitas sebagai WNI, melainkan paspor asing dari dua negara berbeda, yakni Spanyol dan Thailand.
    Sementara, Indonesia tidak mengenal prinsip dwikewarganegaraan. 
    “Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya (WNI) otomatis gugur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam keterangan resmi, Sabtu (14/6/2025).
    Menko Yusril menjelaskan, Indonesia menganut prinsip single citizenship sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
    Pasal 23 UU tersebut menyebutkan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia jika, antara lain, yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
    Dengan ketentuan ini, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum ia bukan lagi Warga Negara Indonesia.
    Jika keadaannya demikian, Pemerintah RI berdasarkan UU Keimigrasian berwenang untuk menangkal warga negara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk memasuki Indonesia.
    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita,” ungkapnya.
    “Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Karena itu, posisi pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” tegas Menko Yusril.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    DI TENGAH
    riuhnya janji desentralisasi dan otonomi khusus, narasi ironis kembali mencuat dari ujung barat Nusantara: kisah “hilangnya” empat pulau dari pangkuan Aceh.
    Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
    Keputusan ini, yang menguap begitu saja dari meja birokrasi Jakarta, memicu gelombang protes dan kebingungan di Bumi Serambi Mekkah, merobek kain perdamaian yang terjahit.
    Fakta ini, yang secara gamblang memperlihatkan arogansi kekuasaan pusat, dapat dianalogikan sebagai Jakarta yang seolah sedang bermain papan Monopoli, menggeser kepulauan seperti pion, tanpa sedikit pun mendengar suara lokal.
    Ini bukan sekadar sengketa batas wilayah administratif semata. Lebih dari itu, kasus ini adalah cerminan telanjang dari krisis legitimasi dan efektivitas otonomi khusus Aceh pasca-MoU Helsinki.
    Insiden ini secara fundamental mempertanyakan sejauh mana otonomi khusus benar-benar memberikan kekuasaan substantif, ataukah ia hanya menjadi simbol kosong di tengah upaya resentralisasi pusat yang tak kunjung berhenti?
    Sengketa empat pulau ini bukanlah fenomena baru, melainkan episode terbaru dari ketegangan historis yang tak kunjung usai antara Jakarta dan Aceh.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui bahwa konflik ini telah berlangsung sejak tahun 1928.
    Pola intervensi pusat yang berulang ini menunjukkan bahwa relasi kuasa antara Jakarta dan Aceh selalu diwarnai tarik ulur, bahkan setelah era Reformasi. Ini adalah “penyakit turunan” dalam hubungan pusat-daerah yang terus kambuh.
    Pasca-Orde Baru, Indonesia mengadopsi desentralisasi secara besar-besaran pada 2001. Kebijakan ini, sebagaimana dianalisis oleh Ostwald (2016), dapat termotivasi secara politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan separatisme yang mengancam stabilitas nasional setelah jatuhnya rezim Soeharto.
    Namun, Hadiz (2010) dalam karyanya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    menunjukkan bahwa desentralisasi, alih-alih menyelesaikan masalah, justru dapat membuka medan konflik kewenangan yang baru.
    Elite-elite lokal memang memanfaatkan ruang otonomi. Namun, mereka tetap berhadapan dengan logika dominasi pusat dan seringkali terjerat dalam sistem kekuasaan “predatory” yang memanfaatkan desentralisasi untuk kepentingan elite.
    Dalam sengketa pulau ini, terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat memilih untuk menunjukkan amnesia historis yang mencolok di hadapan klaim Aceh.
    Aceh bersandar pada bukti-bukti historis, sosiologis, bahkan administratif yang kuat: KTP warga yang menetap di pulau-pulau tersebut adalah KTP Aceh, infrastruktur fisik seperti prasasti, mushala, dan dermaga dibangun dengan dana Pemerintah Aceh pada tahun 2012, dan batas wilayah telah diketahui turun-temurun oleh masyarakat lokal.
    Namun, Kementerian Dalam Negeri justru menolak peta topografi tahun 1978 dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sebagai referensi resmi, mendasarkan keputusannya pada analisis spasial yang “lebih relevan”.
    Pendekatan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah pusat untuk mengabaikan konteks historis dan realitas lokal yang mengakar demi “kebenaran” administratif yang lebih baru dan sepihak.
    Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mengindikasikan bahwa keputusan pusat mungkin didorong oleh motif tersembunyi.
    Salah satu motif yang paling santer terdengar adalah potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di sekitar pulau-pulau yang disengketakan, serta rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di sana.
    Jika ini benar, maka sengketa ini bukan lagi sekadar masalah administratif, melainkan konflik yang didorong oleh kepentingan sumber daya.
    Aspinall (2014) dalam analisisnya tentang “predatory peace” di Aceh, mengemukakan bagaimana elite pasca-konflik, termasuk mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi yang seringkali terkait dengan sumber daya alam.
    Kondisi ini memperkuat narasi dominasi pusat yang berorientasi pada ekstraksi ekonomi, bukan pada keadilan administratif atau penghormatan otonomi.
    Ini menguatkan kecurigaan bahwa “permainan Monopoli” Jakarta adalah manuver strategis untuk keuntungan ekonomi, bukan sekadar ketepatan batas wilayah.
    Pemberian otonomi khusus Aceh, yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UU Pemerintahan Aceh) pasca-MoU Helsinki 2005, merupakan proyek kompromi monumental yang membuka jalan damai setelah konflik bersenjata berkepanjangan.
    UU ini memberikan kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur urusan lokal, termasuk kehidupan beragama, pendidikan, adat, pengelolaan sumber daya alam, dan pembentukan partai politik lokal.
    Namun, Aspinall (2014) mengindikasikan bahwa otonomi khusus ini “tidak menyentuh akar konflik relasi kuasa Jakarta–Aceh”.
    Kasus sengketa pulau ini menjadi bukti nyata kegagalan otonomi khusus dalam mencegah intervensi pusat yang bersifat sepihak, meskipun UU 11/2006 telah memberikan otonomi yang luas, pemerintah pusat tetap mempertahankan “kewenangan Pemerintah” dalam bidang-bidang strategis seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, dan moneter/fiskal nasional.
    Pemerintah Aceh memiliki bukti historis dan administratif yang kuat atas kepemilikan empat pulau tersebut.
    Selain KTP warga dan pembangunan infrastruktur, terdapat pula dokumen resmi seperti Kesepakatan Bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Aceh Tahun 1988.
    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan bahwa Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini “cacat formil” karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya.
    Lebih lanjut, MoU Helsinki merujuk pada batas wilayah 1 Juli 1956.
    Tindakan pemerintah pusat yang menggunakan regulasi di bawah undang-undang untuk mengubah batas wilayah yang diatur oleh undang-undang dan dirujuk dalam perjanjian damai menunjukkan pengikisan hierarki hukum.
    Apabila keputusan menteri dapat secara sepihak mengubah batas yang ditetapkan oleh UU dan diperkuat kesepakatan internasional seperti MoU Helsinki, maka hal ini secara fundamental merusak prinsip negara hukum dan asas
    lex superior derogat legi inferiori
    (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah).
    Ini berarti status “khusus” Aceh bukan lagi hak konstitusional yang kokoh, melainkan hak istimewa yang rapuh dan mati di mata kehendak pusat.
    Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum bagi Aceh, tetapi juga menetapkan preseden berbahaya bagi daerah otonom lainnya di Indonesia, mengancam stabilitas hubungan pusat-daerah di seluruh Nusantara.
    Ironisnya, pengikisan ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, yang notabene adalah mantan Panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    Kehadirannya di kursi pemerintahan seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun justru menjadi saksi bisu betapa rapuhnya janji-janji pusat di hadapan realitas kekuasaan.
    Krisis ini juga mengancam rapuhnya kepercayaan pasca-konflik di Aceh. Otonomi khusus adalah hasil dari kompromi besar, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “rela mengubur mimpi merdekanya menjadi otonomi khusus” demi perdamaian.
    Ketika perdamaian telah dicapai, Aceh justru kehilangan empat pulaunya. Tentu, itu sangat menyakitkan hati, seperti diungkapkan oleh Alkaf.
    Perasaan dikhianati ini sangat dalam, mengingat pengorbanan besar yang telah dilakukan. Bräuchler (2015) dalam karyanya
    The Cultural Dimension of Peace
    menekankan pentingnya memahami dan menghormati konsepsi lokal tentang konflik, keadilan, dan rekonsiliasi, yang seringkali berakar pada narasi budaya dan historis.
    Mengabaikan dimensi ini, seperti yang dilakukan pemerintah pusat, dapat membahayakan upaya rekonsiliasi.
    Pelanggaran kepercayaan ini berisiko menghidupkan kembali keluhan historis dan sentimen alienasi dari negara Indonesia, berpotensi memicu bentuk-bentuk resistensi baru dan merongrong perdamaian yang telah susah payah dibangun.
    Resistensi masyarakat Aceh terhadap pemindahan empat pulau ini melampaui sekadar masalah batas wilayah administratif; ini adalah perjuangan yang mendalam untuk mempertahankan “harga diri” atau “marwah Aceh” dan identitas politik yang telah lama diperjuangkan.
    Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, secara tajam menyatakan bahwa bagi masyarakat Aceh, keputusan ini “bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar”.
    Pernyataan ini menggarisbawahi betapa teritori terkait erat dengan narasi historis dan jati diri kolektif masyarakat Aceh.
    Dalam konteks ini, perlawanan Aceh mencerminkan bagaimana desentralisasi, seperti yang dijelaskan oleh Bräuchler (2015), seharusnya membuka ruang bagi ekspresi identitas lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap “kewajaran” negara pusat.
    Penekanan pada bukti-bukti sosiologis dan historis yang diwariskan turun-temurun, seperti pengakuan warga yang ber-KTP Aceh di pulau-pulau tersebut dan penggunaan dana Aceh untuk pembangunan infrastruktur di sana, adalah manifestasi dari perlawanan yang mengakar pada legitimasi lokal dan historis.
    Ini adalah upaya untuk menegaskan kembali keberdayaan dan identitas mereka di hadapan pemaksaan dari pusat.
    Bagi daerah pasca-konflik dengan identitas yang kuat, integritas teritorial tidak dapat dipisahkan dari martabat kolektif dan narasi sejarah mereka.
    Tindakan sepihak oleh pusat, meskipun mungkin dibenarkan secara administratif dari perspektif mereka, secara tidak sengaja dapat memicu kebencian yang mendalam dan memobilisasi perlawanan berbasis identitas, yang pada akhirnya mengancam perdamaian dan stabilitas.
    Para akademisi, anggota DPR RI dari Aceh, dan aktivis telah memperingatkan secara eksplisit bahwa keputusan sepihak ini berpotensi memicu ketegangan baru dan “memanaskan kembali relasi hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat”.
    Mereka menyebutnya sebagai risiko “api dalam sekam” yang dapat mengancam stabilitas pasca-konflik, mengingat sejarah panjang perjuangan Aceh untuk otonomi dan bahkan kemerdekaan yang berdarah-darah.
    Desakan agar Presiden Prabowo mengambil alih persoalan ini dan membatalkan SK Kemendagri menunjukkan tingkat urgensi dan kekhawatiran akan eskalasi.
    Ironisnya, kebijakan desentralisasi yang menurut Ostwald (2016) awalnya dirancang sebagai manuver politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan meningkatkan stabilitas pasca-Soeharto, kini justru menjadi pemicu ketidakstabilan baru.
    Hadiz (2010) telah mengkritik bahwa desentralisasi seringkali menciptakan “arena baru konflik” di mana elite lokal memanfaatkan peluang untuk kepentingan mereka.
    Dalam kasus ini, ambiguitas administratif atau intervensi pusat yang berlebihan telah menciptakan titik nyala baru.
    Ini mengungkapkan paradoks mendasar: kebijakan yang dirancang untuk mencegah separatisme dan meningkatkan stabilitas dapat, jika diimplementasikan dengan buruk atau ditegakkan secara sepihak, menjadi sumber ketidakstabilan baru.
    Desentralisasi yang sejati membutuhkan bukan hanya kerangka hukum, tetapi juga kemauan politik yang konsisten, penghormatan terhadap otonomi lokal, dan proses konsultatif yang transparan untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan yang mengancam kohesi nasional.
    Kasus sengketa empat pulau ini secara brutal menelanjangi kerapuhan otonomi khusus Aceh di hadapan dominasi pusat.
    Jika hak dasar atas teritori, yang merupakan inti dari kedaulatan lokal dan identitas politik, dapat digeser begitu saja dengan keputusan sepihak Kemendagri, maka otonomi khusus yang dijanjikan dalam MoU Helsinki dan UU 11/2006 tak lebih dari simbol kosong.
    Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat perdamaian dan kompromi yang telah dicapai dengan pengorbanan besar.
    Dugaan adanya kandungan migas di pulau-pulau yang disengketakan memperkuat narasi bahwa dominasi pusat seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi yang terselubung, bukan semata-mata efisiensi administrasi.
    Ini sejalan dengan kritik Aspinall (2014) tentang “predatory peace” di Aceh, di mana elite pasca-konflik, termasuk mantan GAM, terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi, seringkali terkait dengan sumber daya alam, dan dana otonomi khusus pun belum berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
    Konflik ini menggarisbawahi bahwa relasi kuasa Jakarta–Aceh masih didominasi oleh logika ekstraksi sumber daya, yang mengabaikan hak-hak dan martabat lokal.
    Peristiwa ini secara telanjang menunjukkan bagaimana pemerintah pusat telah mengabaikan hierarki hukum, mengkhianati kepercayaan yang dibangun pasca-konflik, dan meremehkan bobot simbolis teritori bagi identitas Aceh.
    Tindakan unilateral yang dianggap sewenang-wenang ini, yang tercermin dalam analogi “Jakarta bermain Monopoli,” secara fundamental mempertanyakan ketulusan desentralisasi dan otonomi khusus.
    Mungkin sudah saatnya kita menyebutnya apa adanya: otonomi kerdil, hak istimewa yang telah dimutilasi, hanya ada di atas kertas, namun mati di lapangan.
    Dalam negara kepulauan yang beragam seperti Indonesia, integrasi nasional bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara otoritas pusat dan
    otonomi daerah
    , yang dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati.
    Ketika kekuasaan pusat dipersepsikan tidak terkendali, sepihak, dan didorong oleh kepentingan ekstraktif, hal itu berisiko mengasingkan daerah-daerah, terutama yang memiliki sejarah konflik.
    Ini dapat menyebabkan kebangkitan sentimen separatis atau ketidakpuasan yang meluas, yang pada akhirnya merongrong persatuan yang ingin dipertahankan oleh pemerintah pusat.
    Untuk menjaga keutuhan bangsa dan merawat perdamaian yang telah diraih dengan susah payah, pemerintah pusat harus segera meninjau ulang keputusan ini.
    Dialog konstruktif yang menghormati sejarah, identitas, dan martabat masyarakat lokal adalah satu-satunya jalan ke depan.
    Mengabaikan suara lokal dan menggeser batas wilayah seperti pion di papan Monopoli hanya akan menabur benih konflik baru, mengancam fondasi perdamaian dan integrasi nasional yang rapuh.
    Tanpa penghormatan tulus terhadap kekhususan dan kedaulatan teritori, otonomi khusus Aceh akan selamanya menjadi janji hampa, sebuah ironi pahit di tengah upaya membangun Indonesia yang adil dan beradab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indo Defence 2025 Resmi Tutup, Kemhan Teken 17 Kontrak Kerjasama

    Indo Defence 2025 Resmi Tutup, Kemhan Teken 17 Kontrak Kerjasama

    Indo Defence 2025 Resmi Tutup, Kemhan Teken 17 Kontrak Kerjasama
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Kementerian Pertahanan
    (Kemhan) menjalin 17 kontrak kerja sama berkat pameran Indo Defense Expo & Forum di JIExpo Kemayoran yang telah resmi ditutup, Sabtu (14/6/2025).
    Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Dirjen Pothan) Laksamana Muda TNI
    Sri Yanto
    menuturkan, pameran pertahanan ini menghasilkan puluhan nota kesepahaman (MoU) dan kontrak kerja sama.
    “Pameran ini juga dihadiri delegasi resmi dari 42 negara, berjumlah 323, kemudian di dalam pameran ini juga ada kerja sama, ditandatangani sebanyak 35 MoU, dan 17 kontrak kerja sama,” kata Sri Yanto, Sabtu malam.
    Sri Yanto berharap, capaian kontrak kerja sama itu menjadi prospek kemajuan industri pertahanan di Tanah Air.
    “Jadi harapan kita akan terjadi kerja sama dalam mungkin berbagai bentuk bisa dalam bentuk transfer of technology, pengembangan teknologi ataupun pengembangan bersama produk-produk pertahanan,” ucapnya.
    Ia menyampaikan bahwa pameran ini menjadi langkah penting industri pertahanan dalam negeri untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
    “Harapannya ke depan animo masyarakat semakin tinggi sehingga keberadaan industri pertahanan ini juga bisa membantu pemerintah dalam menggerakkan roda ekonomi,” kata dia.
    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dan Sekretariat Industri Pertahanan Republik Turkiye di pembukaan Indo Defence 2025.
    Kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam pengembangan jet tempur generasi kelima Turkiye, KAAN.
    Adapun nota kesepahaman tersebut diteken oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Sekretaris Industri Pertahanan (Savunma Sanayii Baskanligi/SSB) Turkiye, Haluk Gorgun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Putuskan Bakal Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh ke Sumut

    Prabowo Putuskan Bakal Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh ke Sumut

    Prabowo Putuskan Bakal Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh ke Sumut
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut DPR telah berkomunikasi dengan Presiden RI
    Prabowo Subianto
    terkait polemik pemindahan kepemilikan pulau Aceh ke Sumatra Utara (Sumut).
    Dasco menyatakan, Prabowo sebagai Kepala Negara memutuskan bakal mengambil alih penuh persoalan tersebut. Menurutnya, Prabowo segera memutuskan langkah terbaik untuk menyelesaikan hal tersebut.
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara,” ujar Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
    Dasco mengatakan, Prabowo menargetkan keputusan terkait pemindahan kepemilikan empat pulau tersebut sudah bisa rampung pekan depan.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” imbuh Ketua Harian Partai Gerindra ini.
    Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    Keputusan ini direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
    Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • RUPS Tahun Buku 2024, Pertamina Raih Laba Bersih Rp 49,5 Triliun, Kontribusi ke Negara Capai Rp 401 Triliun

    RUPS Tahun Buku 2024, Pertamina Raih Laba Bersih Rp 49,5 Triliun, Kontribusi ke Negara Capai Rp 401 Triliun

    RUPS Tahun Buku 2024, Pertamina Raih Laba Bersih Rp 49,5 Triliun, Kontribusi ke Negara Capai Rp 401 Triliun
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – PT
    Pertamina
    (Persero) mencatatkan kinerja positif dengan raihan laba bersih mencapai 3,13 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 49,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.847) sepanjang 2024.
    Raihan kinerja positif itu tak terlepas dari dukungan pemerintah serta keberhasilan Pertamina menjaga
    revenue
    di tengah tantangan global belakangan ini.
    Pada periode tersebut, Pertamina juga mencatatkan kontribusi sebesar Rp 401,73 triliun kepada negara, baik dari pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun dividen. Kemudian, penyerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai Rp 415 triliun.
    Dalam Konferensi Pers Laporan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahun Buku 2024 di Grha Pertamina, Jumat (13/6/2025), Direktur Utama (Dirut) Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengatakan, di tengah berbagai dinamika global, Pertamina terus beradaptasi untuk menjaga
    operation excellent
    yang secara konsisten diterapkan di seluruh lini bisnis.
    “Dengan fokus pada peningkatan layanan publik dan menjaga pertumbuhan perusahaan, Pertamina berhasil mengoptimalkan seluruh proses bisnis sehingga mampu mempertahankan kinerja finansial yang solid,” ujarnya dalam siaran pers.
     
    Simon menambahkan, kontribusi berbagai program efisiensi dan optimalisasi kinerja memberikan dampak signifikan bagi kinerja positif perusahaan. 
    Dia menyebutkan, Pertamina berkomitmen untuk terus memperkuat kinerja dan menghadirkan solusi energi yang berkelanjutan. 
    “Kami optimistis dengan peluang dan potensi yang dimiliki, Pertamina akan mampu mengakselerasi pencapaian target perusahaan dan berkontribusi pada ketahanan energi nasional,” jelas Simon. 
    Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menambahkan, program Cost Optimization yang dijalankan Pertamina berhasil memberikan kontribusi sebesar 1,38 miliar dollar AS terhadap kinerja positif perusahaan. 
    Emma menambahkan, laporan keuangan Pertamina pada 2024 juga mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian dalam semua hal yang bersifat material. 
    Pertamina juga patuh terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan dalam seluruh operasional bisnisnya.
    “Ini menunjukkan bahwa praktik
    good corporate governance
    (GCG) di Pertamina secara group solid dan Pertamina dipandang bagus untuk mendapat kepercayaan dari
    stakeholders
    dan investor,” terangnya.
    Emma menilai, di tengah dinamika global, Pertamina berkomitmen terus meningkatkan modal kerja (
    capital expenditure/capex
    ) yang tumbuh secara berkesinambungan. 
    “Dilihat dari rasio keuangan, justru terjadi perbaikan. Kalau kami lihat dari realisasi
    capex
    2024, meningkat 4,3 persen ketimbang 2023 karena Pertamina berkomitmen harus tumbuh berkelanjutan,” jelasnya.
    Kinerja finansial yang baik juga tergambar dari peringkat kredit Pertamina dari lembaga pemeringkat internasional yang memberikan peringkat level investasi, dengan
    outlook
    stabil. 
    “Secara keseluruhan, 2024, kami berhasil menutup kinerja Pertamina secara grup, baik sisi finansial atau operasional, terjaga cukup baik. Capaian ini berkat kinerja yang solid dari
    holding
    dan
    subholding
    , serta dukungan pemerintah dan seluruh
    stakeholders
    ,” katanya.  
    Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menambahkan, Pertamina juga menjadi badan usaha milik negara (BUMN) terbesar dalam penyerapan TKDN, yakni mencapai Rp 415 triliun. 
    “Serapan belanja dalam negeri menjadi komitmen Pertamina dalam mendukung perekonomian, terutama usaha lokal sebagai tulang punggung ekonomi agar terus berkembang dan maju,” ujar Fadjar. 
    Sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, Pertamina berkomitmen mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s). 
    Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan
    environmental, social, governance
    (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bareskrim Polri Masih Telusuri Keluarga Anak Korban Kekerasan di Pasar Kebayoran Lama

    Bareskrim Polri Masih Telusuri Keluarga Anak Korban Kekerasan di Pasar Kebayoran Lama

    Bareskrim Polri Masih Telusuri Keluarga Anak Korban Kekerasan di Pasar Kebayoran Lama
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Polisi masih menelusuri keberadaan keluarga M (7), anak korban kekerasan yang ditemukan di Pasar
    Kebayoran Lama
    , Jakarta Selatan. 
    “Dapat kami jelaskan bahwa terkait identitas anak dan keluarganya masih kami dalami, karena kondisi kesehatan anak belum memungkinkan untuk dimintai keterangan,” ujar Direktur PPA-PPO Bareskrim
    Polri
    , Brigjen Nurul Azizah kepada wartawan, Sabtu (14/6/2025).
    Menurut Nurul, kondisi korban perlahan membaik. Tim medis saat ini masih terus melakukan sejumlah tindakan untuk mendukung proses pemulihan kesehatan.
    “Alhamdulillah kondisi anak membaik dan tim dokter sedang melakukan beberapa tindakan medis untuk pemulihan,” tambahnya.
    Nurul menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah keselamatan dan pemulihan korban, sembari tetap menjalankan proses penegakan hukum.
    “Kami akan melakukan berbagai upaya untuk menemukan identitas anak dan keluarganya,” katanya.
    “Fokus utama saat ini tentu pemulihan dan keselamatan korban, tanpa meninggalkan proses penegakan hukum,” tambah dia.
    Dalam upaya mendampingi korban, Polri memastikan akan memberikan
    trauma healing
    setelah kondisi anak dinyatakan stabil.
    “Terkait trauma healing pasti dilakukan, dan saat ini masih fokus dalam tindakan medis untuk pemulihan kondisi kesehatan,” ujarnya.
    Untuk sementara waktu, korban didampingi langsung oleh tim dari Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), mengingat belum ada keluarga yang muncul.
    “Yang dampingi dari kita dan KemenPPPA,” kata Nurul.
    Diberitakan sebelumnya, anak perempuan itu diduga mengalami kekurangan gizi dan menjadi korban kekerasan.
    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak agar pihak kepolisian segera menangkap YA, ayah kandung yang menelantarkan anaknya itu.
    Komisioner KPAI Sub Klaster Anak Korban Pengasuhan Salah dan Penelantaran, Kawiyan, menegaskan pelaku harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
    “Jika kelak tertangkap, pelaku harus dihukum berat sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak,” ujar Kawiyan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/6/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya

    Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya

    Menteri PPPA: 1 dari 4 Perempuan Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan data terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
    Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
    “Ini bukan sekadar angka statistik. Di baliknya ada kisah, trauma, penderitaan, dan dampak serius, baik fisik, psikologis, kesehatan, ekonomi, maupun sosial,” kata Arifah di Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
    Arifah juga mengungkapkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR).
    Disebutkan, 1 dari 2 anak mengalami kekerasan emosional, dan 9 dari 100 anak pernah menjadi korban kekerasan seksual.
    Dia menyebutkan, melalui sistem pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (
    SIMPONI PPPA
    ), sejak Januari hingga 12 Juni 2024 tercatat 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
    Jumlah korbannya mencapai 12.604 orang, dengan lebih dari 10.000 di antaranya adalah perempuan.
    “Jenis kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual sebanyak 5.246 kasus. Yang paling sering terjadi justru di lingkungan rumah tangga,” ujar Arifah.
    Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga mandat konstitusi untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.
    Menurut Arifah, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu multidimensi yang memerlukan pendekatan komprehensif dari pencegahan, perlindungan, hingga pemulihan korban.
    Oleh karena itu, kerja sama antar-lembaga dan lintas sektor sangat krusial.
    Arifah menyebut kehadiran paralegal sangat penting dalam mendampingi korban, terutama saat berada dalam kondisi paling rentan.
    Paralegal menjadi jembatan antara korban dan sistem hukum, membantu menyiapkan dokumen dan membuka akses keadilan.
    “Paralegal akan membantu korban dalam menyiapkan dokumen hukum dan informasi hukum lainnya yang diperlukan korban. Saya percaya pelatihan paralegal akan memberikan dampak positif dan menjadi kekuatan dalam kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau

    Anggota DPR Ungkap Warga Aceh Mulai “Teriak” Imbas Sengketa 4 Pulau dengan Sumut

    Anggota DPR Ungkap Warga Aceh Mulai “Teriak” Imbas Sengketa 4 Pulau dengan Sumut
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi II DPR RI
    Ahmad Doli Kurnia
    mengungkapkan, masyarakat Provinsi Aceh mulai bersuara untuk memprotes keputusan pemerintah pusat soal status 4 pulau masuk ke wilayah Provinsi
    Sumatera Utara
    (Sumut).
    Pasalnya secara historis dan administratif, empat pulau tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Klaim kepemilikan Sumut itu kini disengketakan oleh dua provinsi tersebut.
    “Makanya yang penting jangan dibiarkan berlama-lama, jangan berlarut. Karena di sana sudah mulai ada yang teriak-teriak di Aceh sana,” kata Doli saat dihubungi, Sabtu (14/6/2025).
    Doli menuturkan, informasi itu didapatnya dari sejumlah kerabat yang tinggal di Aceh. Dia bilang, protes itu mulai terjadi sekitar 2-3 hari yang lalu.
    Bahkan semalam, Gubernur Aceh
    Muzakir Manaf
    sudah mengumpulkan semua anggota DPR, DPD RI, dan DPRD di Aceh untuk membahas masalah ini.
    “Ya dua, tiga hari ini, ya. Ada teman-teman kita yang Aceh itu sudah mulai memberikan informasi ke saya, termasuk misalnya pertemuan kan tadi malam Pak Gubernur Aceh mengumpulkan semua anggota DPR, DPD RI kan sama DPRD di Aceh,” tutur Doli.
    “Dan Muzakir Manaf juga sudah ngomong kalau ini diterusin, kita bisa mengibarkan dua bendera gitu-gitu kan,” imbuhnya.
    Oleh karenanya, Doli meminta masalah ini segera diselesaikan. Terlebih, konflik mengenai batas wilayah akan sangat sensitif luar biasa.
    Doli mengaku punya pengalaman saat mengurus sengketa tapal batas antar desa di wilayah lain. Konflik antar warga hingga tawuran dan memakan korban jiwa menjadi dampak yang dituai karena masalah tersebut.
    Provinsi Aceh sendiri, kata Doli, memiliki masa kelam Pemberontakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung sejak tahun 1976-2005.
    “Yang paling penting, masalah ini harus segera diselesaikan. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Kenapa? Karena saya punya pengalaman soal batas wilayah ini sensitif luar biasa. Saya kira kalau Menteri Dalam Negeri cepat bisa mengambil inisiatif 1-2 hari ini,” jelas Doli.
    Lebih lanjut, Doli mengaku sempat kaget mengapa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan putusan kontroversi itu.
    Jika mengacu pada sejumlah peraturan dan sejarahnya, empat pulau tersebut merupakan milik Aceh.
    Masyarakat Aceh mengetahui bahwa empat pulau itu adalah bagian wilayahnya, lewat kesepakatan yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh dan Sumut pada tahun 1992.
    Penandatangan kesepakatan itu pun disaksikan langsung oleh Mendagri, Jenderal Rudini.
    Posisi keempat pulau kemudian diperkuat dalam UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (PA).
    Begitu pun lewat putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan Provinsi Sumatera Utara atas kepemilikan keempat pulau.
    “Satu, atas pertimbangan hukum apa? Yang kedua latar belakangnya apa? Ini kan tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba memutuskan. Apakah ada pengajuan dari Provinsi Sumatera Utara? Atau ada masalah apa sehingga memang tiba-tiba keluar SK itu? Ini yang menurut saya perlu dijelaskan,” tandas Doli.
    Sebelumnya diberitakan, Keputusan Kemendagri soal status empat pulau yang sebelumnya milik Aceh menjadi milik Sumatera Utara menimbulkan gejolak.
    Keputusan ini dikritisi dan dipertanyakan banyak pihak, menyusul konflik perebutan wilayah yang sudah berlangsung puluhan tahun.
    Pemprov Aceh mengeklaim mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Adapun aturan tersebut, yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
    Empat pulau tersebut, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Minta Konflik 4 Pulau Aceh-Sumut Cepat Kelar: Sensitif Luar Biasa

    DPR Minta Konflik 4 Pulau Aceh-Sumut Cepat Kelar: Sensitif Luar Biasa

    DPR Minta Konflik 4 Pulau Aceh-Sumut Cepat Kelar: Sensitif Luar Biasa
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia meminta konflik perebutan empat pulau antara
    Provinsi Aceh
    dan Provinsi
    Sumatera Utara
    (Sumut) segera diselesaikan.
    Pasalnya, konflik mengenai batas wilayah akan sangat sensitif luar biasa. Terlebih, Provinsi Aceh pernah memiliki masa pemberontakan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung sejak tahun 1976-2005.
    “Yang paling penting, masalah ini harus segera diselesaikan. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Kenapa? Karena saya punya pengalaman soal batas wilayah ini sensitif luar biasa. Saya kira kalau Menteri Dalam Negeri cepat bisa mengambil inisiatif 1-2 hari ini,” kata Doli saat dihubungi, Sabtu (14/6/2025).
    Doli mengaku punya pengalaman saat mengurus sengketa tapal batas antar desa di wilayah lain. Konflik antar warga hingga tawuran dan memakan korban jiwa menjadi dampak yang dituai karena masalah tersebut.
    Dia tidak ingin, konflik serupa antara dua provinsi ini tidak membuka luka lama bagi Provinsi Aceh.
    “Sensitifnya ini di Aceh gitu, loh. Nah, masyarakat Aceh ini kan punya sejarah yang terus kita harus pulihkan hubungannya dengan pemerintah pusat gitu. Jangan dengan kasus ini seolah-olah kita membuka luka lama,” beber Doli.
    “Dan perlu hati-hati, ini sekarang masyarakat internasional ini sudah mulai ikut mencermati. Mereka menunggu gitu, loh. Jangan sampai ini menjadi isu baru, urusan-urusan masa lama soal merdeka-merdeka ini muncul lagi,” imbuh dia.
    Lebih lanjut ia meminta
    Kementerian Dalam Negeri
    (Kemendagri) segera mengundang pihak yang bersengketa untuk duduk bersama.
    Mediasi, kata dia, perlu dilakukan antara Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Bahkan jika perlu, Kemendagri juga mengundang para bupati yang berdekatan atau berada di tapal batas pulau tersebut.
    “Dijelaskan di situ. Dijelaskan apa tadi yang jadi pertimbangan lain-lainnya sehingga dikeluarkan SK (Kepmendagri) ini. Dan dipersilakan masing-masing (memberikan statement) baik Aceh maupun Provinsi, terutama Aceh yang merasa keberatan,” tuturnya.
    Doli berharap, mediasi ini menjadi forum rekonsiliasi data dan keputusan bersama.
    Artinya, kata Doli, jika bukti-bukti yang ditunjukkan Aceh lebih kuat, pemerintah pusat harus bersedia meninjau ulang keputusan.
    Namun jika tetap terjadi sengketa, maka dicari jalan tengahnya bersama.
    “Misalnya, contoh kerja sama teknis pengelolaan dan macam-macam. Kalaupun kemudian akhirnya juga tidak ketemu, kemudian disepakati untuk melalui jalur hukum. Ya itu juga berdasarkan kesepakatan bahwa tidak terjadi kesepakatan, maka kemudian sepakat untuk menempuh jalur hukum,” jelas Doli.
    Sebelumnya diberitakan, Keputusan Kemendagri soal status empat pulau yang sebelumnya milik Aceh menjadi milik Sumatera Utara menimbulkan gejolak.
    Keputusan ini dikritisi dan dipertanyakan banyak pihak, menyusul konflik perebutan wilayah yang sudah berlangsung puluhan tahun.
    Pemprov Aceh mengeklaim mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Adapun aturan tersebut, yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
    Empat pulau tersebut, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.