Category: Kompas.com Nasional

  • Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor

    Membaca Kembali Penyesalan Habibie atas Pemerkosaan Massal 1998, Saat Fadli Zon Menyebutnya Hanya Rumor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pada 15 Juli 1998, Presiden Ketiga Republik Indonesia,
    BJ Habibie
    , mengeluarkan pernyataan genting atas peristiwa yang turut menjadi warna kelam sejarah bangsa Indonesia untuk melahirkan era reformasi.
    Pernyataan itu berkaitan dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam bentuk perkosaan yang terjadi dalam proses pergantian rezim saat itu.
    Habibie membacakan selembar kertas pernyataan yang kini diabadikan dalam prasasti yang terpampang di depan pintu masuk kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Pernyataan itu dengan jelas memberikan pengakuan dan penyesalan negara atas peristiwa pemerkosaan yang pernah terjadi.
    “Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,”
    kata Habibie.
    Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal. Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut “sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia”.
    Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.
    Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
    Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.
    Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (
    Komnas Perempuan
    ) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.
    Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai “Anak Sulung Reformasi”.
    Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
    Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.
    Namun, peristiwa yang telah diakui negara itu kini hanya disebut sebagai rumor oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan
    tone
    -nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
    Sebagai informasi, TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara PEranan Wanita, dan Jaksa Agung.
    Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
    Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998. Bentuk kekerasan seksual dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
    Hal ini yang menjadi pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
    Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengatakan, sikap Fadli Zon yang menyebut fakta ini sebagai rumor sangat menyakitkan, khususnya bagi para korban.
    “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” katanya.
    Dia juga mengingatkan, dokumen TGPF dan pengakuan Presiden Habibie adalah produk resmi negara.
    Mengatakan perkosaan sebagai rumor bisa saja menyebut negara membuat sebuah kebohongan di tengah-tengah masyarakat.
    “Oleh karenanya, menyangkal dokumen resmi TGPF berarti mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan. Sikap semacam itu justru menjauhkan kita dari pemulihan yang tulus dan menyeluruh bagi para penyintas,” imbuh Dahlia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Anggota DPR: Kami Meyakini Kebijaksanaan Presiden

    Prabowo Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Anggota DPR: Kami Meyakini Kebijaksanaan Presiden

    Prabowo Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Anggota DPR: Kami Meyakini Kebijaksanaan Presiden
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi II DPR RI berharap Presiden
    Prabowo Subianto
    mengedepankan kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyelesaikan sengketa empat pulau antara Provinsi
    Sumatera Utara
    (Sumut) dan
    Aceh
    .
    Hal itu disampaikan Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda saat merespons kabar Prabowo untuk turun tangan menyelesaikan masalah perebutan pulau tersebut.
    “Kami meyakini kebijaksanaan dan pengalaman panjang Pak Prabowo untuk menjaga kesatuan NKRI akan beliau kedepankan, dalam konteks optik penyelesaian masalah sengketa 4 Pulau antara Aceh dan Sumatera Utara ini,” ujar Rifqinizamy kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Rifqinizamy mengingatkan bahwa penyelesaian polemik 4 pulau antara Aceh dan Sumut tidak boleh hanya mempertimbangkan sisi administratif dan yuridis.
    “Tetapi juga terkait dengan bagaimana kita menjaga kebersamaan kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelas Rifqinizamy.
    “Kami meyakini Presiden akan segera mengambil langkah yang tegas dan memberikan kepastian di mana 4 pulau tersebut,” pungkasnya.
    Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    Keputusan ini direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
    Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dulu Mau Pulangkan Hambali, Kini Pemerintah Tak Izinkan Masuk Indonesia

    Dulu Mau Pulangkan Hambali, Kini Pemerintah Tak Izinkan Masuk Indonesia

    Dulu Mau Pulangkan Hambali, Kini Pemerintah Tak Izinkan Masuk Indonesia
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pemerintah Indonesia memastikan tidak akan mengizinkan Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias
    Hambali
    , mantan anggota kelompok teroris
    Jemaah Islamiyah
    (JI), kembali ke Indonesia jika kelak dibebaskan dari penjara militer Amerika Serikat (AS) di
    Guantanamo Bay
    , Kuba.
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Hambali tidak memiliki dokumen kewarganegaraan Indonesia saat ditangkap.
    Hal itu membuat statusnya sebagai WNI berpotensi dinyatakan gugur secara hukum.
    “Secara hukum, jika seseorang tidak memiliki dokumen kewarganegaraan Indonesia, maka status WNI-nya dianggap gugur. Jika nantinya Hambali dibebaskan, kami tidak akan mengizinkan dia kembali masuk ke wilayah Indonesia,” kata Yusril dalam siaran pers, Jumat (13/6/2025).
    Dia menambahkan, proses hukum terhadap Hambali menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah Amerika Serikat.
    “Dan jika ada proses peradilan, kami menyerahkan sepenuhnya kepada hukum Amerika Serikat,” ujar Yusril.
    Menurut Yusril, hambatan utama yang menghalangi kembalinya Hambali ke Indonesia adalah status kewarganegaraannya yang tidak jelas.
    Sebab, Hambali ditangkap di Thailand tanpa membawa paspor Indonesia, melainkan menunjukkan paspor dari dua negara asing, yakni Spanyol dan Thailand.
    “Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand. Hingga kini, kita belum memperoleh data yang sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai WNI,” jelas Yusril, Sabtu (14/6/2025).
    Dalam kesempatan itu, Yusril pun menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip single citizenship, sehingga tidak mengenal kewarganegaraan ganda.
    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, seseorang otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila secara sadar memperoleh kewarganegaraan asing.
    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita,” tegasnya.
    Sikap pemerintah ini berbeda dibanding awal tahun 2025.
    Saat itu, Yusril pernah mengatakan bahwa pemerintah mewacanakan pemulangan Hambali.
    Sebab, negara juga memiliki tanggung jawab terhadap warga negaranya yang ditahan di luar negeri, tak hanya mengurus narapidana di tanah air.
    “Kita juga
    concern
    dengan seorang warga negara Indonesia atau WNI yang mungkin saya masih ingat namanya Hambali, yang terlibat dalam kasus bom Bali pada tahun 2002,” ujar Yusril di Jakarta, 17 Januari 2025.
    Meski demikian, Yusril menegaskan saat itu belum ada keputusan final dari pemerintah terkait wacana pemulangan Hambali.
    “Jadi jangan dianggap bahwa kita sudah mengambil keputusan untuk minta dia kembali, belum sampai ke tingkat itu,” kata Yusril pada 21 Januari 2025.
    Dalam kesempatan wawancara berikutnya, Yusril menyampaikan bahwa pemulangan Hambali masih terlalu jauh untuk dibicarakan karena proses peradilannya di Amerika Serikat pun belum dimulai.
    “Jadi, untuk bicara mengenai pemulangan, saya kira masih terlalu jauh ya. Karena proses peradilannya pun baru akan dimulai oleh pihak Amerika Serikat,” kata Yusril pada 25 Februari 2025.
    Hambali lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 4 April 1964.
    Dia dikenal sebagai tokoh sentral jaringan Jemaah Islamiyah yang menjadi penghubung ke organisasi teroris Al Qaeda di Asia Tenggara.
    Nama Hambali mencuat ke permukaan internasional setelah dia diduga menjadi otak di balik serangkaian serangan teror mematikan di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
    Salah satu aksi terornya yang cukup dikenal adalah Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, mayoritas wisatawan asing, dan melukai lebih dari 200 lainnya.
    Selain itu, Hambali juga diduga bertanggung jawab atas serangan bom di depan rumah Duta Besar Filipina pada 1 Agustus 2000 yang menewaskan dua orang dan melukai 21 lainnya, serta serangan bom di Atrium Senen pada 2001 yang menyebabkan tujuh orang terluka.
    Hambali juga dikaitkan dengan serangan terhadap Kedutaan Besar Australia pada 2004 yang menewaskan 10 orang, serta ledakan Bom Bali kedua pada 2005 yang merenggut 20 nyawa.
    Tak sampai di situ, Hambali juga otak dibalik serangkaian aksi teror lainnya, termasuk ledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 2009 yang menewaskan sembilan orang.
    Hambali juga diyakini sebagai otak dari serangkaian serangan bom malam Natal tahun 2000, yang mengguncang tujuh kota di Indonesia dan menewaskan belasan orang.
    Tokoh penting kelompok JI itu baru dapat ditangkap dalam operasi gabungan CIA dan aparat Thailand di Ayutthaya, Thailand, pada 14 Agustus 2003.
    Setelah sempat ditahan di sejumlah penjara rahasia CIA, Hambali dipindahkan ke fasilitas militer Guantanamo di Kuba pada September 2006 dan hingga kini masih menjalani proses hukum di sana.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan

    Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan

    Polemik 4 Pulau: Aceh Menentang, Sumut Bertahan, Prabowo Turun Tangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Polemik empat pulau yang secara historis milik Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yakni Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan, yang dialihkan ke Sumatera Utara terus bergulir.
    Bukan berkesudahan, polemik tersebut kini sudah sampai ke telinga Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    Kementerian Dalam Negeri yang seharusnya menjadi bagian penengah dalam polemik ini tak bisa meredam amarah Gubernur Aceh,
    Muzakkir Manaf
    atau Mualem.
    “Macam mana kita duduk bersama, itu kan hak kami, kepunyaan kami, milik kami,” kata Mualem saat ditanya terkait tawaran pengelolaan empat pulau secara bersama oleh dua provinsi, Aceh dan Sumut, Jumat (13/6/2025).
    Dia menolak keputusan Menteri Dalam Negeri RI Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
    Dalam keputusan itu, Kemendagri menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, tak langsung mengalah meski rekam jejak sejarah empat pulau adalah kepunyaan Aceh.
    Menantu Presiden Ketujuh RI Joko Widodo ini mempertahankan keputusan Kemendagri yang mengalihkan empat pulau itu ke pelukan Sumatera Utara.
    Dia berdalih, pengalihan empat pulau adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan dari provinsi, baik Aceh maupun Sumut.
    “Saya sampaikan kemarin, secara wilayah, enggak ada wewenang Provinsi Sumut dan juga setahu saya Aceh mengambil pulau, menyerahkan daerah, itu nggak bisa. Semua itu ada aturannya, kami pemerintah daerah ada batasan wewenang,” ujar Bobby, Selasa (10/6/2025).
    Langkah pertahanan Sumut juga ditegaskan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara, Erni Ariyanti.
    Erni meminta semua pihak mematuhi keputusan Kemendagri terkait penetapan empat pulau yang kini menjadi bagian dari Sumatera Utara.
    Dia meminta agar Aceh melayangkan keberatannya bukan dengan cara keras, tetapi lewat jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
    “Pak Mendagri sudah buka suara jika memang ada gugatan, ke PTUN mempersilahkan Provinsi Aceh,” ucap Erni.
    Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI,
    Jusuf Kalla
    , turut memberikan masukan terkait sengketa empat pulau tersebut.
    Sosok sentral perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia dalam perjanjian Helsinki ini kembali mengingatkan ada janji yang harus dijalani pemerintah.
    Janji tersebut adalah memelihara perjanjian Helsinki tetap terpelihara dan tidak mengubah undang-undang yang telah berlaku terkait batas wilayah Aceh dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
    JK mengatakan, secara historis maupun administratif, empat pulau yang sedang diributkan adalah milik Aceh.
    “Di UU tahun 1956, ada UU tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Soekarno yang intinya adalah, dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara, banyak residen. Kemudian Presiden, karena kemudian ada pemberontakan di sana, DI/TII, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus,” kata JK.
    Beleid yang mengatur batas wilayah tersebut adalah undang-undang yang menjadi rujukan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian Helsinki dengan kelompok GAM pada 2005.
    “Karena banyak yang bertanya, membicarakan tentang pembicaraan atau MoU di Helsinki. Karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu, ada di poin 1.1.4, yang berbunyi ‘Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” ungkap JK.
    “Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, itu yang meresmikan Provinsi Aceh dengan kabupaten-kabupaten yang ada, berapa itu kabupatennya, itu. Jadi formal,” kata JK.
    Sebab itulah, dia menyebut keputusan seorang menteri tidak bisa mengubah legalitas undang-undang dan otomatis cacat formal.
    JK juga mengingatkan, batas wilayah yang telah disepakati sejak puluhan tahun silam bukan lagi soal sengketa administrasi.
    Bagi Aceh, kata JK, perebutan wilayah bukan lagi tentang administrasi, tapi kehormatan yang harus dibela.
    “Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat. Jadi, saya kira dan yakin ini agar diselesaikan sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama,” ucap JK.
    Tak ingin polemik ini melebar, Presiden Prabowo Subianto turun tangan.
    Prabowo mengambil alih dinamika yang tak bisa ditangani Kemendagri ini secara langsung.
    Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad pada Sabtu (14/6/2025).
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Dasco.
    Prabowo secara tegas meminta agar polemik empat pulau tersebut bisa rampung dalam pekan depan.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” imbuh Ketua Harian Partai Gerindra ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau

    Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau

    Masyarakat Aceh Mulai Teriak, Pemerintah Diminta Segera Putuskan Polemik 4 Pulau
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Masyarakat Provinsi Aceh disebut sudah mulai protes terhadap keputusan pemerintah pusat yang menetapkan status 4 pulau yaitu Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan masuk ke Provinsi Sumatera Utara.
    Anggota Komisi II DPR RI
    Ahmad Doli Kurnia
    mengatakan,
    Gubernur Aceh Muzakir Manaf
     sudah mengumpulkan semua anggota DPR, DPD RI, dan DPRD di Aceh untuk membahas masalah ini.
    “Ada teman-teman kita yang Aceh itu sudah mulai memberikan informasi ke saya, termasuk misalnya pertemuan kan tadi malam Pak Gubernur Aceh mengumpulkan semua anggota DPR, DPD RI kan sama DPRD di Aceh,” tutur Doli saat dihubungi, Sabtu (14/6/2025).
    “Dan Muzakir Manaf juga sudah ngomong kalau ini diterusin, kita bisa mengibarkan dua bendera gitu-gitu kan,” imbuhnya.
    Doli berharap pemerintah pusat tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dalam waktu beberapa hari ke depan, sudah harus ada keputusan akhir atas polemik ini. 
    “Makanya yang penting jangan dibiarkan berlama-lama, jangan berlarut. Karena di sana sudah mulai ada yang teriak-teriak di Aceh sana,” kata Doli.
    Doli mengingatkan, konflik mengenai batas wilayah akan sangat sensitif luar biasa.
    Doli mengaku punya pengalaman saat mengurus sengketa tapal batas antar desa di wilayah lain. Konflik antar warga hingga tawuran dan memakan korban jiwa menjadi dampak yang dituai karena masalah tersebut.
    Provinsi Aceh sendiri, kata Doli, memiliki masa kelam Pemberontakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung sejak tahun 1976-2005.
    “Yang paling penting, masalah ini harus segera diselesaikan. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Kenapa? Karena saya punya pengalaman soal batas wilayah ini sensitif luar biasa. Saya kira kalau Menteri Dalam Negeri cepat bisa mengambil inisiatif 1-2 hari ini,” jelas Doli.
    Lebih lanjut, Doli mengaku sempat kaget mengapa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan putusan kontroversi itu. Jika mengacu pada sejumlah peraturan dan sejarahnya, empat pulau tersebut merupakan milik Aceh.
    Masyarakat Aceh mengetahui bahwa empat pulau itu adalah bagian wilayahnya, lewat kesepakatan yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh dan Sumut pada tahun 1992.
    Penandatangan kesepakatan itu pun disaksikan langsung oleh Mendagri, Jenderal Rudini.
    Posisi keempat pulau kemudian diperkuat dalam UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (PA). Begitu pun lewat putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan Provinsi Sumatera Utara atas kepemilikan keempat pulau.
    “Satu, atas pertimbangan hukum apa? Yang kedua latar belakangnya apa? Ini kan tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba memutuskan. Apakah ada pengajuan dari Provinsi Sumatera Utara? Atau ada masalah apa sehingga memang tiba-tiba keluar SK itu? Ini yang menurut saya perlu dijelaskan,” tandas Doli.
    Sebelumnya diberitakan, Keputusan Kemendagri soal status empat pulau yang sebelumnya milik Aceh menjadi milik Sumatera Utara menimbulkan gejolak.
    Keputusan ini dikritisi dan dipertanyakan banyak pihak, menyusul konflik perebutan wilayah yang sudah berlangsung puluhan tahun.
    Pemprov Aceh mengeklaim mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Adapun aturan tersebut, yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
    Empat pulau tersebut, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.
    Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menggelar pertemuan khusus dengan Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI, DPR Aceh, dan rektor untuk membahas polemik pemindahan empat pulau milik Aceh yang kini menjadi bagian wilayah Sumatera Utara (Sumut).
    Pertemuan dengan lintas elemen pejabat Aceh itu berlangsung di ruang restoran Pendopo Gubernur Aceh, Jumat (13/6/2025) malam.
    Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, mengatakan hasil pertemuan silaturahmi dengan Forbes DPR/DPD RI menunjukkan bahwa pihaknya sepakat untuk memperjuangkan keempat pulau tersebut kembali menjadi milik Aceh.
    “Itu hak kami, kewajiban kami, wajib kami pertahankan. Pulau itu adalah milik kami, milik Pemerintah Aceh. Mereka-mereka tetap (harus) mengembalikan pulau ini kepada Aceh,” katanya kepada awak media usai rapat.
    Adapun langkah Pemerintah Aceh, sebut Mualem, pihaknya akan melakukan pertemuan dengan Kemendagri yang rencananya akan dilaksanakan pada 18 Juni nanti.
    “Langkah kami pertama pendekatan secara kekeluargaan dan juga administrasi dan politik. Ya ke Kemendagri, Pemerintah Pusat,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dulu Mau Pulangkan Hambali, Kini Pemerintah Tak Izinkan Masuk Indonesia

    Hambali Pegang Paspor Spanyol dan Thailand, Yusril: Status WNI Otomatis Gugur

    Hambali Pegang Paspor Spanyol dan Thailand, Yusril: Status WNI Otomatis Gugur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Status kewarganegaraan aktor intelektual kasus bom Bali tahun 2002, Hambali, yang belum tentu Warga Negara Indonesia (WNI), menjadi penghalang dirinya kembali ke Indonesia jika nanti bebas dari tahanan di Amerika Serikat. 
    Sebab saat ditangkap di Thailand, Hambali tidak memegang paspor Indonesia dan tidak menunjukkan identitas sebagai WNI, melainkan paspor asing dari dua negara berbeda, yakni Spanyol dan Thailand.
    Sementara, Indonesia tidak mengenal prinsip dwikewarganegaraan. 
    “Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya (WNI) otomatis gugur sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam keterangan resmi, Sabtu (14/6/2025).
    Menko Yusril menjelaskan, Indonesia menganut prinsip single citizenship sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
    Pasal 23 UU tersebut menyebutkan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesia jika, antara lain, yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
    Dengan ketentuan ini, apabila Hambali secara sah memperoleh kewarganegaraan lain dan tidak pernah memohon agar kembali menjadi WNI, maka secara hukum ia bukan lagi Warga Negara Indonesia.
    Jika keadaannya demikian, Pemerintah RI berdasarkan UU Keimigrasian berwenang untuk menangkal warga negara asing yang dianggap merugikan kepentingan negara untuk memasuki Indonesia.
    “Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita,” ungkapnya.
    “Dalam kasus Hambali, situasinya belum terang. Karena itu, posisi pemerintah Indonesia masih menunggu kejelasan status dan dokumen resminya,” tegas Menko Yusril.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    DI TENGAH
    riuhnya janji desentralisasi dan otonomi khusus, narasi ironis kembali mencuat dari ujung barat Nusantara: kisah “hilangnya” empat pulau dari pangkuan Aceh.
    Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
    Keputusan ini, yang menguap begitu saja dari meja birokrasi Jakarta, memicu gelombang protes dan kebingungan di Bumi Serambi Mekkah, merobek kain perdamaian yang terjahit.
    Fakta ini, yang secara gamblang memperlihatkan arogansi kekuasaan pusat, dapat dianalogikan sebagai Jakarta yang seolah sedang bermain papan Monopoli, menggeser kepulauan seperti pion, tanpa sedikit pun mendengar suara lokal.
    Ini bukan sekadar sengketa batas wilayah administratif semata. Lebih dari itu, kasus ini adalah cerminan telanjang dari krisis legitimasi dan efektivitas otonomi khusus Aceh pasca-MoU Helsinki.
    Insiden ini secara fundamental mempertanyakan sejauh mana otonomi khusus benar-benar memberikan kekuasaan substantif, ataukah ia hanya menjadi simbol kosong di tengah upaya resentralisasi pusat yang tak kunjung berhenti?
    Sengketa empat pulau ini bukanlah fenomena baru, melainkan episode terbaru dari ketegangan historis yang tak kunjung usai antara Jakarta dan Aceh.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui bahwa konflik ini telah berlangsung sejak tahun 1928.
    Pola intervensi pusat yang berulang ini menunjukkan bahwa relasi kuasa antara Jakarta dan Aceh selalu diwarnai tarik ulur, bahkan setelah era Reformasi. Ini adalah “penyakit turunan” dalam hubungan pusat-daerah yang terus kambuh.
    Pasca-Orde Baru, Indonesia mengadopsi desentralisasi secara besar-besaran pada 2001. Kebijakan ini, sebagaimana dianalisis oleh Ostwald (2016), dapat termotivasi secara politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan separatisme yang mengancam stabilitas nasional setelah jatuhnya rezim Soeharto.
    Namun, Hadiz (2010) dalam karyanya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    menunjukkan bahwa desentralisasi, alih-alih menyelesaikan masalah, justru dapat membuka medan konflik kewenangan yang baru.
    Elite-elite lokal memang memanfaatkan ruang otonomi. Namun, mereka tetap berhadapan dengan logika dominasi pusat dan seringkali terjerat dalam sistem kekuasaan “predatory” yang memanfaatkan desentralisasi untuk kepentingan elite.
    Dalam sengketa pulau ini, terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat memilih untuk menunjukkan amnesia historis yang mencolok di hadapan klaim Aceh.
    Aceh bersandar pada bukti-bukti historis, sosiologis, bahkan administratif yang kuat: KTP warga yang menetap di pulau-pulau tersebut adalah KTP Aceh, infrastruktur fisik seperti prasasti, mushala, dan dermaga dibangun dengan dana Pemerintah Aceh pada tahun 2012, dan batas wilayah telah diketahui turun-temurun oleh masyarakat lokal.
    Namun, Kementerian Dalam Negeri justru menolak peta topografi tahun 1978 dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sebagai referensi resmi, mendasarkan keputusannya pada analisis spasial yang “lebih relevan”.
    Pendekatan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah pusat untuk mengabaikan konteks historis dan realitas lokal yang mengakar demi “kebenaran” administratif yang lebih baru dan sepihak.
    Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mengindikasikan bahwa keputusan pusat mungkin didorong oleh motif tersembunyi.
    Salah satu motif yang paling santer terdengar adalah potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di sekitar pulau-pulau yang disengketakan, serta rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di sana.
    Jika ini benar, maka sengketa ini bukan lagi sekadar masalah administratif, melainkan konflik yang didorong oleh kepentingan sumber daya.
    Aspinall (2014) dalam analisisnya tentang “predatory peace” di Aceh, mengemukakan bagaimana elite pasca-konflik, termasuk mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi yang seringkali terkait dengan sumber daya alam.
    Kondisi ini memperkuat narasi dominasi pusat yang berorientasi pada ekstraksi ekonomi, bukan pada keadilan administratif atau penghormatan otonomi.
    Ini menguatkan kecurigaan bahwa “permainan Monopoli” Jakarta adalah manuver strategis untuk keuntungan ekonomi, bukan sekadar ketepatan batas wilayah.
    Pemberian otonomi khusus Aceh, yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UU Pemerintahan Aceh) pasca-MoU Helsinki 2005, merupakan proyek kompromi monumental yang membuka jalan damai setelah konflik bersenjata berkepanjangan.
    UU ini memberikan kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur urusan lokal, termasuk kehidupan beragama, pendidikan, adat, pengelolaan sumber daya alam, dan pembentukan partai politik lokal.
    Namun, Aspinall (2014) mengindikasikan bahwa otonomi khusus ini “tidak menyentuh akar konflik relasi kuasa Jakarta–Aceh”.
    Kasus sengketa pulau ini menjadi bukti nyata kegagalan otonomi khusus dalam mencegah intervensi pusat yang bersifat sepihak, meskipun UU 11/2006 telah memberikan otonomi yang luas, pemerintah pusat tetap mempertahankan “kewenangan Pemerintah” dalam bidang-bidang strategis seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, dan moneter/fiskal nasional.
    Pemerintah Aceh memiliki bukti historis dan administratif yang kuat atas kepemilikan empat pulau tersebut.
    Selain KTP warga dan pembangunan infrastruktur, terdapat pula dokumen resmi seperti Kesepakatan Bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Aceh Tahun 1988.
    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan bahwa Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini “cacat formil” karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya.
    Lebih lanjut, MoU Helsinki merujuk pada batas wilayah 1 Juli 1956.
    Tindakan pemerintah pusat yang menggunakan regulasi di bawah undang-undang untuk mengubah batas wilayah yang diatur oleh undang-undang dan dirujuk dalam perjanjian damai menunjukkan pengikisan hierarki hukum.
    Apabila keputusan menteri dapat secara sepihak mengubah batas yang ditetapkan oleh UU dan diperkuat kesepakatan internasional seperti MoU Helsinki, maka hal ini secara fundamental merusak prinsip negara hukum dan asas
    lex superior derogat legi inferiori
    (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah).
    Ini berarti status “khusus” Aceh bukan lagi hak konstitusional yang kokoh, melainkan hak istimewa yang rapuh dan mati di mata kehendak pusat.
    Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum bagi Aceh, tetapi juga menetapkan preseden berbahaya bagi daerah otonom lainnya di Indonesia, mengancam stabilitas hubungan pusat-daerah di seluruh Nusantara.
    Ironisnya, pengikisan ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, yang notabene adalah mantan Panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    Kehadirannya di kursi pemerintahan seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun justru menjadi saksi bisu betapa rapuhnya janji-janji pusat di hadapan realitas kekuasaan.
    Krisis ini juga mengancam rapuhnya kepercayaan pasca-konflik di Aceh. Otonomi khusus adalah hasil dari kompromi besar, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “rela mengubur mimpi merdekanya menjadi otonomi khusus” demi perdamaian.
    Ketika perdamaian telah dicapai, Aceh justru kehilangan empat pulaunya. Tentu, itu sangat menyakitkan hati, seperti diungkapkan oleh Alkaf.
    Perasaan dikhianati ini sangat dalam, mengingat pengorbanan besar yang telah dilakukan. Bräuchler (2015) dalam karyanya
    The Cultural Dimension of Peace
    menekankan pentingnya memahami dan menghormati konsepsi lokal tentang konflik, keadilan, dan rekonsiliasi, yang seringkali berakar pada narasi budaya dan historis.
    Mengabaikan dimensi ini, seperti yang dilakukan pemerintah pusat, dapat membahayakan upaya rekonsiliasi.
    Pelanggaran kepercayaan ini berisiko menghidupkan kembali keluhan historis dan sentimen alienasi dari negara Indonesia, berpotensi memicu bentuk-bentuk resistensi baru dan merongrong perdamaian yang telah susah payah dibangun.
    Resistensi masyarakat Aceh terhadap pemindahan empat pulau ini melampaui sekadar masalah batas wilayah administratif; ini adalah perjuangan yang mendalam untuk mempertahankan “harga diri” atau “marwah Aceh” dan identitas politik yang telah lama diperjuangkan.
    Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, secara tajam menyatakan bahwa bagi masyarakat Aceh, keputusan ini “bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar”.
    Pernyataan ini menggarisbawahi betapa teritori terkait erat dengan narasi historis dan jati diri kolektif masyarakat Aceh.
    Dalam konteks ini, perlawanan Aceh mencerminkan bagaimana desentralisasi, seperti yang dijelaskan oleh Bräuchler (2015), seharusnya membuka ruang bagi ekspresi identitas lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap “kewajaran” negara pusat.
    Penekanan pada bukti-bukti sosiologis dan historis yang diwariskan turun-temurun, seperti pengakuan warga yang ber-KTP Aceh di pulau-pulau tersebut dan penggunaan dana Aceh untuk pembangunan infrastruktur di sana, adalah manifestasi dari perlawanan yang mengakar pada legitimasi lokal dan historis.
    Ini adalah upaya untuk menegaskan kembali keberdayaan dan identitas mereka di hadapan pemaksaan dari pusat.
    Bagi daerah pasca-konflik dengan identitas yang kuat, integritas teritorial tidak dapat dipisahkan dari martabat kolektif dan narasi sejarah mereka.
    Tindakan sepihak oleh pusat, meskipun mungkin dibenarkan secara administratif dari perspektif mereka, secara tidak sengaja dapat memicu kebencian yang mendalam dan memobilisasi perlawanan berbasis identitas, yang pada akhirnya mengancam perdamaian dan stabilitas.
    Para akademisi, anggota DPR RI dari Aceh, dan aktivis telah memperingatkan secara eksplisit bahwa keputusan sepihak ini berpotensi memicu ketegangan baru dan “memanaskan kembali relasi hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat”.
    Mereka menyebutnya sebagai risiko “api dalam sekam” yang dapat mengancam stabilitas pasca-konflik, mengingat sejarah panjang perjuangan Aceh untuk otonomi dan bahkan kemerdekaan yang berdarah-darah.
    Desakan agar Presiden Prabowo mengambil alih persoalan ini dan membatalkan SK Kemendagri menunjukkan tingkat urgensi dan kekhawatiran akan eskalasi.
    Ironisnya, kebijakan desentralisasi yang menurut Ostwald (2016) awalnya dirancang sebagai manuver politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan meningkatkan stabilitas pasca-Soeharto, kini justru menjadi pemicu ketidakstabilan baru.
    Hadiz (2010) telah mengkritik bahwa desentralisasi seringkali menciptakan “arena baru konflik” di mana elite lokal memanfaatkan peluang untuk kepentingan mereka.
    Dalam kasus ini, ambiguitas administratif atau intervensi pusat yang berlebihan telah menciptakan titik nyala baru.
    Ini mengungkapkan paradoks mendasar: kebijakan yang dirancang untuk mencegah separatisme dan meningkatkan stabilitas dapat, jika diimplementasikan dengan buruk atau ditegakkan secara sepihak, menjadi sumber ketidakstabilan baru.
    Desentralisasi yang sejati membutuhkan bukan hanya kerangka hukum, tetapi juga kemauan politik yang konsisten, penghormatan terhadap otonomi lokal, dan proses konsultatif yang transparan untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan yang mengancam kohesi nasional.
    Kasus sengketa empat pulau ini secara brutal menelanjangi kerapuhan otonomi khusus Aceh di hadapan dominasi pusat.
    Jika hak dasar atas teritori, yang merupakan inti dari kedaulatan lokal dan identitas politik, dapat digeser begitu saja dengan keputusan sepihak Kemendagri, maka otonomi khusus yang dijanjikan dalam MoU Helsinki dan UU 11/2006 tak lebih dari simbol kosong.
    Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat perdamaian dan kompromi yang telah dicapai dengan pengorbanan besar.
    Dugaan adanya kandungan migas di pulau-pulau yang disengketakan memperkuat narasi bahwa dominasi pusat seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi yang terselubung, bukan semata-mata efisiensi administrasi.
    Ini sejalan dengan kritik Aspinall (2014) tentang “predatory peace” di Aceh, di mana elite pasca-konflik, termasuk mantan GAM, terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi, seringkali terkait dengan sumber daya alam, dan dana otonomi khusus pun belum berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
    Konflik ini menggarisbawahi bahwa relasi kuasa Jakarta–Aceh masih didominasi oleh logika ekstraksi sumber daya, yang mengabaikan hak-hak dan martabat lokal.
    Peristiwa ini secara telanjang menunjukkan bagaimana pemerintah pusat telah mengabaikan hierarki hukum, mengkhianati kepercayaan yang dibangun pasca-konflik, dan meremehkan bobot simbolis teritori bagi identitas Aceh.
    Tindakan unilateral yang dianggap sewenang-wenang ini, yang tercermin dalam analogi “Jakarta bermain Monopoli,” secara fundamental mempertanyakan ketulusan desentralisasi dan otonomi khusus.
    Mungkin sudah saatnya kita menyebutnya apa adanya: otonomi kerdil, hak istimewa yang telah dimutilasi, hanya ada di atas kertas, namun mati di lapangan.
    Dalam negara kepulauan yang beragam seperti Indonesia, integrasi nasional bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara otoritas pusat dan
    otonomi daerah
    , yang dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati.
    Ketika kekuasaan pusat dipersepsikan tidak terkendali, sepihak, dan didorong oleh kepentingan ekstraktif, hal itu berisiko mengasingkan daerah-daerah, terutama yang memiliki sejarah konflik.
    Ini dapat menyebabkan kebangkitan sentimen separatis atau ketidakpuasan yang meluas, yang pada akhirnya merongrong persatuan yang ingin dipertahankan oleh pemerintah pusat.
    Untuk menjaga keutuhan bangsa dan merawat perdamaian yang telah diraih dengan susah payah, pemerintah pusat harus segera meninjau ulang keputusan ini.
    Dialog konstruktif yang menghormati sejarah, identitas, dan martabat masyarakat lokal adalah satu-satunya jalan ke depan.
    Mengabaikan suara lokal dan menggeser batas wilayah seperti pion di papan Monopoli hanya akan menabur benih konflik baru, mengancam fondasi perdamaian dan integrasi nasional yang rapuh.
    Tanpa penghormatan tulus terhadap kekhususan dan kedaulatan teritori, otonomi khusus Aceh akan selamanya menjadi janji hampa, sebuah ironi pahit di tengah upaya membangun Indonesia yang adil dan beradab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Indo Defence 2025 Resmi Tutup, Kemhan Teken 17 Kontrak Kerjasama

    Indo Defence 2025 Resmi Tutup, Kemhan Teken 17 Kontrak Kerjasama

    Indo Defence 2025 Resmi Tutup, Kemhan Teken 17 Kontrak Kerjasama
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Kementerian Pertahanan
    (Kemhan) menjalin 17 kontrak kerja sama berkat pameran Indo Defense Expo & Forum di JIExpo Kemayoran yang telah resmi ditutup, Sabtu (14/6/2025).
    Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Dirjen Pothan) Laksamana Muda TNI
    Sri Yanto
    menuturkan, pameran pertahanan ini menghasilkan puluhan nota kesepahaman (MoU) dan kontrak kerja sama.
    “Pameran ini juga dihadiri delegasi resmi dari 42 negara, berjumlah 323, kemudian di dalam pameran ini juga ada kerja sama, ditandatangani sebanyak 35 MoU, dan 17 kontrak kerja sama,” kata Sri Yanto, Sabtu malam.
    Sri Yanto berharap, capaian kontrak kerja sama itu menjadi prospek kemajuan industri pertahanan di Tanah Air.
    “Jadi harapan kita akan terjadi kerja sama dalam mungkin berbagai bentuk bisa dalam bentuk transfer of technology, pengembangan teknologi ataupun pengembangan bersama produk-produk pertahanan,” ucapnya.
    Ia menyampaikan bahwa pameran ini menjadi langkah penting industri pertahanan dalam negeri untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
    “Harapannya ke depan animo masyarakat semakin tinggi sehingga keberadaan industri pertahanan ini juga bisa membantu pemerintah dalam menggerakkan roda ekonomi,” kata dia.
    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dan Sekretariat Industri Pertahanan Republik Turkiye di pembukaan Indo Defence 2025.
    Kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam pengembangan jet tempur generasi kelima Turkiye, KAAN.
    Adapun nota kesepahaman tersebut diteken oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Sekretaris Industri Pertahanan (Savunma Sanayii Baskanligi/SSB) Turkiye, Haluk Gorgun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Anggota DPR: Kami Meyakini Kebijaksanaan Presiden

    Prabowo Putuskan Bakal Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh ke Sumut

    Prabowo Putuskan Bakal Ambil Alih Sengketa 4 Pulau Aceh ke Sumut
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut DPR telah berkomunikasi dengan Presiden RI
    Prabowo Subianto
    terkait polemik pemindahan kepemilikan pulau Aceh ke Sumatra Utara (Sumut).
    Dasco menyatakan, Prabowo sebagai Kepala Negara memutuskan bakal mengambil alih penuh persoalan tersebut. Menurutnya, Prabowo segera memutuskan langkah terbaik untuk menyelesaikan hal tersebut.
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara,” ujar Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
    Dasco mengatakan, Prabowo menargetkan keputusan terkait pemindahan kepemilikan empat pulau tersebut sudah bisa rampung pekan depan.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” imbuh Ketua Harian Partai Gerindra ini.
    Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    Keputusan ini direspons beragam oleh kedua daerah, karena konflik perebutan wilayah ini sudah berlangsung puluhan tahun.
    Salah satunya adalah klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • RUPS Tahun Buku 2024, Pertamina Raih Laba Bersih Rp 49,5 Triliun, Kontribusi ke Negara Capai Rp 401 Triliun

    RUPS Tahun Buku 2024, Pertamina Raih Laba Bersih Rp 49,5 Triliun, Kontribusi ke Negara Capai Rp 401 Triliun

    RUPS Tahun Buku 2024, Pertamina Raih Laba Bersih Rp 49,5 Triliun, Kontribusi ke Negara Capai Rp 401 Triliun
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – PT
    Pertamina
    (Persero) mencatatkan kinerja positif dengan raihan laba bersih mencapai 3,13 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 49,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.847) sepanjang 2024.
    Raihan kinerja positif itu tak terlepas dari dukungan pemerintah serta keberhasilan Pertamina menjaga
    revenue
    di tengah tantangan global belakangan ini.
    Pada periode tersebut, Pertamina juga mencatatkan kontribusi sebesar Rp 401,73 triliun kepada negara, baik dari pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun dividen. Kemudian, penyerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai Rp 415 triliun.
    Dalam Konferensi Pers Laporan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahun Buku 2024 di Grha Pertamina, Jumat (13/6/2025), Direktur Utama (Dirut) Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengatakan, di tengah berbagai dinamika global, Pertamina terus beradaptasi untuk menjaga
    operation excellent
    yang secara konsisten diterapkan di seluruh lini bisnis.
    “Dengan fokus pada peningkatan layanan publik dan menjaga pertumbuhan perusahaan, Pertamina berhasil mengoptimalkan seluruh proses bisnis sehingga mampu mempertahankan kinerja finansial yang solid,” ujarnya dalam siaran pers.
     
    Simon menambahkan, kontribusi berbagai program efisiensi dan optimalisasi kinerja memberikan dampak signifikan bagi kinerja positif perusahaan. 
    Dia menyebutkan, Pertamina berkomitmen untuk terus memperkuat kinerja dan menghadirkan solusi energi yang berkelanjutan. 
    “Kami optimistis dengan peluang dan potensi yang dimiliki, Pertamina akan mampu mengakselerasi pencapaian target perusahaan dan berkontribusi pada ketahanan energi nasional,” jelas Simon. 
    Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menambahkan, program Cost Optimization yang dijalankan Pertamina berhasil memberikan kontribusi sebesar 1,38 miliar dollar AS terhadap kinerja positif perusahaan. 
    Emma menambahkan, laporan keuangan Pertamina pada 2024 juga mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian dalam semua hal yang bersifat material. 
    Pertamina juga patuh terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan dalam seluruh operasional bisnisnya.
    “Ini menunjukkan bahwa praktik
    good corporate governance
    (GCG) di Pertamina secara group solid dan Pertamina dipandang bagus untuk mendapat kepercayaan dari
    stakeholders
    dan investor,” terangnya.
    Emma menilai, di tengah dinamika global, Pertamina berkomitmen terus meningkatkan modal kerja (
    capital expenditure/capex
    ) yang tumbuh secara berkesinambungan. 
    “Dilihat dari rasio keuangan, justru terjadi perbaikan. Kalau kami lihat dari realisasi
    capex
    2024, meningkat 4,3 persen ketimbang 2023 karena Pertamina berkomitmen harus tumbuh berkelanjutan,” jelasnya.
    Kinerja finansial yang baik juga tergambar dari peringkat kredit Pertamina dari lembaga pemeringkat internasional yang memberikan peringkat level investasi, dengan
    outlook
    stabil. 
    “Secara keseluruhan, 2024, kami berhasil menutup kinerja Pertamina secara grup, baik sisi finansial atau operasional, terjaga cukup baik. Capaian ini berkat kinerja yang solid dari
    holding
    dan
    subholding
    , serta dukungan pemerintah dan seluruh
    stakeholders
    ,” katanya.  
    Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menambahkan, Pertamina juga menjadi badan usaha milik negara (BUMN) terbesar dalam penyerapan TKDN, yakni mencapai Rp 415 triliun. 
    “Serapan belanja dalam negeri menjadi komitmen Pertamina dalam mendukung perekonomian, terutama usaha lokal sebagai tulang punggung ekonomi agar terus berkembang dan maju,” ujar Fadjar. 
    Sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, Pertamina berkomitmen mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s). 
    Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan
    environmental, social, governance
    (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.