Bencana Alam: Alarm Apokalipse Ekologis untuk Masa Depan Kehidupan
Lulusan Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Lebih dari dua dekade bergiat sebagai konsultan, peneliti, dan fasilitator pendidikan kritis masyarakat berbasis andragogi. Kini sedang aktif mendampingi komunitas di berbagai daerah untuk memperkuat sustainable livelihood, terutama pada bidang pertanian dan perikanan berkelanjutan, pencegahan stunting, serta respons terhadap perubahan iklim. Selalu terus berusaha menulis refleksi tentang arah dinamika perjalanan Indonesia dan tantangan sosial-politik masa kini.
JERIT
dan isak tangis pilu dari korban banjir bandang yang serentak terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh semakin menguatkan bunyi alarm kebahayaan ekologis.
Ratusan jiwa melayang dan banyak lagi yang hilang belum ditemukan. Angka-angka kesedihan itu dipastikan akan terus bertambah.
Banjir bandang adalah tragedi ekologis yang telah lama diramalkan oleh banyak peneliti. Gelombang air deras bercampur lumpur, material longsor, dan kayu-kayu gelondongan menerjang permukiman, merusak fasilitas publik, dan menelan korban di berbagai wilayah.
Meski intensitas hujan tinggi dan anomali cuaca sering disebut sebagai pemicu, kerusakan yang terjadi tidak dapat disederhanakan sebagai “bencana alam” semata.
Ia adalah gambaran paling jelas dari alam yang telah kehilangan daya dukung ekologisnya setelah sekian lama dieksploitasi tanpa kendali.
Laporan dari Auriga Nusantara (2025), menunjukkan bahwa deforestasi nasional pada 2024 mencapai 261.575 hektar, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam laporannya, Auriga menyebut bahwa sebagian besar deforestasi terjadi di dalam kawasan konsesi legal, baik konsesi kayu, perkebunan, maupun tambang yang mempercepat hilangnya fungsi ekologis hutan.
Meski pulau Kalimantan yang terparah penggundulan hutannya, tapi pulau Sumatera yang paling signifikan mengalami kenaikan dalam kurun waktu tersebut. Tahun 2023 seluas 33.311 hektar, di tahun 2024 melonjak hingga 91.248 hektar.
Hutan adalah mekanisme perlindungan alamiah yang bekerja dalam diam: menahan air, memperkuat tanah, meredam erosi, dan mengontrol aliran permukaan.
Ketika hutan hilang, air hujan yang biasanya meresap perlahan ke dalam tanah berubah menjadi arus permukaan besar yang melaju tanpa kendali.
Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir bukan hanya menunjukkan besarnya daya rusak air, tetapi juga membuktikan keberadaan aktivitas logging formal maupun ilegal di kawasan hulu.
Fenomena serupa mencuat dari pemberitaan yang memperlihatkan kayu-kayu besar terseret arus banjir di berbagai titik lokasi
banjir Sumatera
.
Dengan demikian, bencana di Sumatera tidak hanya menunjukkan kerusakan alam, tetapi juga kerusakan sistem tata kelola yang gagal melindungi ruang hidup masyarakat.
Untuk memahami bencana ekologis secara lebih mendalam, kita perlu melampaui penjelasan teknis dan melihat akar persoalannya dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik.
Ulrich Beck (1992) melalui konsep
Risk Society
menjelaskan bahwa modernitas memproduksi risiko-risiko baru yang tidak lagi lahir dari fenomena alamiah, melainkan dari tindakan manusia sendiri.
Risiko semacam ini bersifat sistemik, tidak kasat mata, dan menyebar lintas ruang tanpa mengenal batas administrasi.
Banjir bandang di Sumatera adalah salah satu contoh dari risiko buatan manusia yang lahir dari kombinasi ekspansi industri, kebijakan permisif, dan absennya kontrol ekologis.
Dalam perspektif ekologi politik, bencana adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan. Peluso dan Watts (2001) menyebut bahwa lingkungan sering menjadi arena perebutan kekuasaan, di mana konflik agraria, ekspansi korporasi besar—baik perkebunan sawit, logging, maupun pertambangan—mendorong kerusakan ekosistem yang kemudian menghadirkan risiko bagi masyarakat yang tidak ikut menikmati keuntungan ekonomi.
Sumatera sendiri merupakan salah satu wilayah paling intens dieksploitasi untuk ekspansi perkebunan sawit dan tambang dalam tiga dekade terakhir, menjadikannya episentrum produksi risiko ekologis.
Studi yang dilakukan Jenefer Merten et al. (2021) mengenai banjir di Sumatera menunjukkan bahwa masuknya perkebunan dalam skala besar mengalihkan fungsi lahan secara drastis dan membuat banjir menjadi
hazard
(bahaya) yang diproduksi oleh sistem agraria modern.
Banjir bukan lagi fenomena siklus air, tetapi konsekuensi dari fragmentasi hutan, perubahan struktur tanah, dan modifikasi
catchment
area.
Masyarakat pinggir sungai, petani, dan kelompok miskin pedesaan menanggung risiko terbesar akibat keputusan ekonomi-politik yang dilakukan jauh dari wilayah hidup mereka.
Distribusi risiko yang tidak adil menjadi semakin nyata ketika melihat siapa yang paling dirugikan.
Beck menekankan bahwa risiko modern tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan sosial.
Bencana ekologis di Sumatera adalah bukti bahwa risiko yang dihasilkan oleh korporasi dan kekuasaan justru ditanggung oleh kelompok yang paling memiliki daya tawar rendah dalam proses pengambilan keputusan.
Kerusakan ekologis di tingkat lokal tidak dapat dipisahkan dari dinamika global berupa perubahan iklim.
Sumatera adalah salah satu wilayah yang paling rentan terhadap kombinasi antara deforestasi lokal dan krisis iklim global.
Deforestasi memperburuk dampak perubahan iklim dengan menghilangkan kemampuan hutan menyerap karbon dan mengatur iklim mikro.
Hilangnya hutan primer juga menurunkan kemampuan tanah dalam menyerap air, mempercepat
run-off
, dan meningkatkan risiko longsor serta banjir bandang.
Hal ini ditegaskan dalam laporan Envidata (2024) yang menunjukkan korelasi kuat antara deforestasi dan peningkatan bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Dalam konteks Sumatera, dua gelombang kerusakan, kerusakan ekologis lokal dan krisis iklim global, bersatu padu memperluas paparan bencana.
Hutan yang hilang memperbesar dampak hujan ekstrem, sementara hujan ekstrem mempercepat kerusakan tanah yang sebelumnya telah gundul.
Kombinasi keduanya menghasilkan siklus bencana berulang yang semakin sulit dikendalikan. Jika tidak ada intervensi drastis, maka pola kebencanaan yang terjadi saat ini dipastikan akan kembali muncul pada tahun-tahun mendatang, dengan skala kerusakan yang bahkan bisa lebih besar.
Mengatasi krisis ekologis menuntut perubahan paradigma dalam pembangunan. Tidak cukup jika negara hanya mengandalkan pendekatan struktural seperti tanggul sungai, pengerukan sedimen, atau pembangunan bendungan.
Solusi teknis hanya meredam gejala, bukan akar persoalan. Yang diperlukan adalah pemulihan fungsi ekologis hutan dan reformasi tata kelola sumber daya alam.
Pertama, moratorium permanen terhadap izin baru di hulu DAS harus menjadi landasan kebijakan.
Kawasan hulu, lereng pegunungan, dan hutan primer merupakan benteng ekologis yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Pemerintah harus memastikan perlindungan kawasan tersebut dari ekspansi logging, perkebunan, dan pertambangan.
Kedua,
restorasi
ekologis harus dilakukan secara massif melalui reforestasi, rehabilitasi lahan kritis, dan pemulihan fungsi DAS. Model restorasi yang melibatkan komunitas lokal, terutama masyarakat adat agar lebih efektif dibanding pendekatan
top-down
yang selama ini didominasi proyek teknis pemerintah.
Ketiga, tata ruang dan perizinan lingkungan harus disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian. Setiap rencana perubahan fungsi lahan harus melewati analisis risiko ekologis jangka panjang, bukan hanya analisis ekonomi jangka pendek.
Audit lingkungan secara berkala dan publikasi hasil audit secara terbuka menjadi langkah penting dalam memastikan akuntabilitas.
Keempat, edukasi publik dan perubahan budaya pembangunan perlu dilakukan. Hutan harus dilihat sebagai infrastruktur ekologis, bukan semata ruang ekonomi.
Kesadaran bahwa menjaga hutan berarti menjaga keselamatan kolektif menjadi kunci transformasi jangka panjang.
Jika langkah-langkah ini tidak dilakukan, maka bencana ekologis yang kita saksikan saat ini hanya merupakan permulaan dari siklus kehancuran yang lebih besar.
Negara, masyarakat, dan dunia usaha harus mengambil tanggung jawab bersama dalam menghentikan laju apokalipse ekologis dan membangun masa depan yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/12/01/692d9659d91bb.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mendagri Paparkan Skema Penyaluran Beras Bulog bagi Daerah Terdampak Bencana Nasional 1 Desember 2025
Mendagri Paparkan Skema Penyaluran Beras Bulog bagi Daerah Terdampak Bencana
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian memaparkan tata cara penyaluran bantuan pangan, khususnya beras Badan Urusan Logistik (Bulog), bagi daerah yang terdampak bencana.
Ia menegaskan, stok beras berada dalam kondisi aman dan dapat segera disalurkan melalui prosedur yang telah disederhanakan.
“Bulog itu memiliki mekanisme, tadi saya sudah umumkan, dan saya sudah komunikasi dengan Kepala Badan Pangan Pak Amran [yang juga merupakan] Menteri Pertanian (Mentan), dan juga dengan Dirut Bulog Pak Rizal,” ujar Tito dalam siaran persnya, Senin (1/12/2025).
Hal itu dikatakan Tito dalam konferensi pers setelah Rapat Koordinasi (Rakor) Pusat dan Daerah dalam rangka Mengantisipasi Momentum Natal Tahun 2025 dan Tahun Baru 2026 di Sasana Bhakti Praja, Gedung C Lantai 3, Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin.
Tito mengatakan, pemerintah menerapkan tiga skema dalam penyaluran
beras Bulog
, yaitu
bantuan pangan
berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) atau operasi pasar, serta bantuan khusus untuk penanganan bencana.
Khusus skema terakhir, beras dapat segera disalurkan begitu ada permintaan resmi dari
kepala daerah
.
Tito menegaskan, proses pengajuan bantuan sangat sederhana. Kepala daerah cukup mengirimkan surat permohonan dalam bentuk
softcopy
kepada Kepala Badan Pangan Nasional (
Bapanas
).
Setelah menerima permohonan tersebut, Bapanas akan meneruskan persetujuan kepada Bulog agar bantuan dapat segera dikirim sesuai kebutuhan daerah.
“Contoh kemarin Lhokseumawe membutuhkan 100 ton, oke dia (Wali Kota Lhokseumawe) buat surat
softcopy
-nya saja, dikirim ke saya, kepada Mentan, Kepala Badan Pangan,” kata Tito.
Setelah itu, lanjut dia, Badan Pangan dan Mentan menyetujui sehingga tidak perlu berlama-lama dan langsung diteruskan kepada Dirut Bulog.
Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) itu juga menegaskan bahwa stok beras nasional berada pada tingkat yang aman.
Tito mencontohkan, di Lhokseumawe tersedia 28.000 ton beras Bulog. Jumlah ini dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama beberapa bulan ke depan.
Menanggapi kondisi di Sibolga, Tito menjelaskan, sebagian warga sempat mendatangi gudang Bulog karena khawatir terhadap ketersediaan logistik dan akses wilayah yang sebelumnya terhambat.
Ia menyebutkan, situasi serupa pernah terjadi di Palu ketika daerah tersebut terisolasi akibat bencana.
“Kita tahulah bahwa terjadi
panic buying
, kemudian juga kesulitan apalagi kalau daerah itu terisolasi. Kita pernah mengalami dulu di Palu hari ketiga terjadi penjarahan karena semua akses tertutup,” ujar Tito.
Dia menambahkan, pemerintah kini mendistribusikan logistik secara proaktif ke wilayah-wilayah yang sulit dijangkau dengan memanfaatkan berbagai jalur yang tersedia.
Tito juga menekankan pentingnya pemahaman masyarakat bahwa seluruh penyaluran bantuan dilakukan sesuai mekanisme yang telah ditetapkan agar tepat sasaran.
Terakhir, dia menyampaikan perkembangan mengenai penyediaan hunian sementara (huntara) bagi warga terdampak bencana.
Tito menjelaskan, pendataan terhadap rumah-rumah yang mengalami kerusakan berat masih berlangsung.
Untuk sementara, warga masih menempati berbagai lokasi pengungsian, seperti masjid, gedung pemerintah, tenda darurat, atau kembali ke rumah masing-masing yang masih memungkinkan untuk dihuni.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/06/690c783ab680b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PN Jakpus Tegaskan Lahan Hotel Sultan Boleh Dikosongkan Dulu meski Nanti Ada Banding Nasional 1 Desember 2025
PN Jakpus Tegaskan Lahan Hotel Sultan Boleh Dikosongkan Dulu meski Nanti Ada Banding
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjelaskan lahan tempat berdirinya Hotel Sultan bisa lebih dahulu dikosongkan meski para pihak mengajukan upaya hukum lanjutan, baik banding maupun kasasi.
Hal ini berkaitan dengan putusan perkara nomor 208/PDT.G/2025/PN.JKT.PST terkait gugatan perdata pengelola Hotel Sultan, PT Indobuildco, melawan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).
Hakim memutuskan untuk menolak gugatan dari Indobuildco.
“Jadi, nanti sesuai amarnya, bahwa putusan serta merta itu adalah putusan yang dapat dilaksanakan meskipun pihak yang kalah mengajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi,” ujar Juru Bicara PN Jakpus, Sunoto, saat memberikan keterangan di PN Jakpus, Senin (1/12/2025).
Sunoto mengatakan bahwa prinsip ini diatur dalam Pasal 180 HIR Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 tentang putusan serta merta dan SEMA Nomor 4 Tahun 2021 tentang penerapan beberapa ketentuan dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Putusan serta merta ini dapat dijatuhkan jika obyek perkara memenuhi syarat formal.
Salah satunya adalah permohonan yang tegas yang disebut dalam petitum, disertai dengan jaminan yang nilainya setara obyek eksekusi.
Kemudian, putusan juga perlu memenuhi syarat materiil berupa akta otentik yang tidak bisa dibantah.
“Putusan serta merta ini hanya dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat formal berupa permohonan yang tegas dalam petitum disertai jaminan senilai obyek eksekusi. Serta, syarat materiil antara lain berdasarkan akta otentik yang tidak bisa dibantah,” jelas Sunoto.
Perkara ini diadili oleh Majelis Hakim Guse Prayudi selaku ketua majelis, dan hakim anggota, I Gusti Ngurah Partha Bhargawa dan Ledis Meriana Bakara.
Namun, pada saat pembacaan putusan, I Gusti Ngurah Partha Bhargawa cuti dan digantikan oleh Zeni Zenal Mutaqin.
Sebagai pihak di luar perkara, Sunoto menilai bahwa putusan serta merta dijatuhkan jika ada hal yang menjadi urgensi.
“Kalau majelis hakim sudah menjatuhkan putusan serta merta, saya kira pasti ada hal yang urgent,” lanjutnya.
Sunoto mengatakan bahwa pengosongan lahan baru bisa dilaksanakan ketika negara selaku pemilik sah lahan mengajukan permohonan pengosongan lahan.
Selama belum ada permintaan pengosongan lahan, PN Jakpus memiliki peran yang pasif.
Ketika permohonan eksekusi lahan diterima, PN Jakpus akan memberitahu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI).
Pasalnya, proses eksekusi lahan ini harus ikut diawasi oleh pihak PT DKI.
Sedangkan pelaksanaan putusan serta merta itu tetap melalui pengawasan, mekanismenya melalui pengawasan dari Ketua Pengadilan Tinggi.
PN Jakpus justru harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari PT DKI untuk dapat melaksanakan eksekusi pengosongan lahan Hotel Sultan.
“Intinya, untuk putusan serta merta, Ketua Pengadilan Negeri dalam pelaksanaan eksekusi akan berkoordinasi dengan Pengadilan Tinggi,” imbuh Sunoto.
Terdapat dua perkara yang melibatkan pengelola Hotel Sultan, PT Indobuildco, melawan negara, dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara dan beberapa pihak lainnya.
Pertama, perkara nomor 208/PDT.G/2025/PN.JKT.PST yang diajukan oleh PT Indobuildco.
Sementara duduk sebagai tergugat adalah Mensesneg, Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (MEN ATR/BPN), Menteri Keuangan (Menkeu), dan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Perkara ini ditolak oleh hakim dan menegaskan negara sebagai pemilik sah lahan sengketa tersebut. “Pengadilan menyatakan negara (melalui HPL No. 1/Gelora) adalah pemilik sah (atas Hotel Sultan),” ujar Juru Bicara PN Jakpus, Sunoto, dalam keterangannya, Jumat (28/11/2025).
Majelis hakim menyatakan bahwa dokumen hak guna bangunan (HGB) Hotel Sultan telah hapus demi hukum sejak 2023.
Untuk itu, tindakan negara sah, dan PT Indobuildco wajib mengosongkan seluruh kawasan Hotel Sultan, yaitu tanah dan bangunan, dengan putusan yang dapat dieksekusi lebih dahulu.
Dalam putusan yang dibacakan melalui e-court ini, majelis hakim memerintahkan agar PT Indobuildco mengosongkan seluruh kawasan Hotel Sultan, baik tanah maupun bangunannya.
“PT Indobuildco wajib mengosongkan seluruh kawasan Hotel Sultan (tanah + bangunan) dengan putusan yang dapat dieksekusi lebih dahulu,” lanjut Sunoto.
Selain itu, putusan kedua, nomor 287/PDT.G/2025/PN.JKT.PST, yang diajukan oleh Mensesneg dan pengelola GBK terhadap PT Indobuildco.
Hakim memutuskan untuk menerima sebagian perkara ini dan menghukum pengelola Hotel Sultan untuk membayar royalti penggunaan tanah atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) periode 2007-2023 senilai 45.356.473 dollar Amerika Serikat.
Perseteruan terkait lahan Hotel Sultan sudah terjadi sejak Oktober 2023.
Saat itu, negara, melalui pengelola GBK, secara resmi mengambil alih pengelolaan lahan tempat Hotel Sultan berdiri.
Sebelum keputusan ini diambil, pihak GBK sudah berulang kali menyampaikan somasi kepada PT Indobuildco untuk mengosongkan lahan, tetapi tidak ditanggapi.
Izin usaha Hotel Sultan dibekukan, tetapi operasional hotel masih berlanjut.
Kemudian, PT Indobuildco resmi mengajukan gugatan melawan negara pada 23 Oktober 2023.
Menghadapi gugatan ini, Menteri ATR/BPN saat itu, Hadi Tjahjanto, memastikan negara tidak akan memperpanjang Hak Guna Bangunan (HGB) kawasan Hotel Sultan oleh perusahaan milik Pontjo Sutowo, PT Indobuildco.
Dengan demikian, Indobuildco sudah tidak diperkenankan lagi untuk mengoperasikan Hotel Sultan di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat.
“Yang jelas ATR/BPN tidak memperpanjang HGB. Sudah selesai,” kata Hadi, ditemui di Hotel Sheraton, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Gugatan dijawab gugatan, bantahan saling dilemparkan.
Hari ini, perdebatan akhirnya diputus di meja majelis hakim hingga ada upaya hukum lanjutan dari para pihak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/28/69294c9b8a2d6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/01/692d309b42029.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/03/68df6170e1dfe.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/01/692d9ae96d222.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/01/692d49725e58e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/01/692d78b7e830e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/01/692d55449b8c7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/30/692bb4f2670ce.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)