Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
ADA
satu adigium di dalam penulisan sejarah yang sering dikutip di seluruh dunia. Bunyinya, “
History is written by the victors
” atau sejarah ditulis oleh para pemenang.
Kabarnya, jika kita merujuk kepada buku sejarah, tak terlalu jelas siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.
Belakangan dalam beberapa kajian terbaru di Amerika Serikat, pencetus pertama kalimat tersebut mengerucut kepada dua tokoh, yang dalam perjalanan sejarah di masa lampau ternyata saling bermusuhan.
Pertama, Herman Gering, salah satu tangan kanan Adolf Hitler. Pada pengadilan tribunal Nuremberg, Herman Gering memang tercatat pernah mengatakan “
Der Sieger wird immer der Richter und der Besiegte stets der Angeklagte sein
,” yang berarti “
The victor will always be the judge, and the vanquished the accused.
”
Lebih kurang dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa “pemenang akan selalu menjadi hakim, sementara yang kalah akan menjadi terdakwa”.
Kedua, Winston Churcill. Dalam sebuah pernyataan yang bernada candaan di hadapan
House of Common
pada 23 Januari 1948, Churcill tercatat mengatakan “
For my part, I consider that it will be found much better by all parties to leave the past to history, especially as I propose to write that history myself
”.
Lebih kurang artinya, “Menurut saya, akan jauh lebih baik bagi semua pihak untuk membiarkan masa lalu menjadi sejarah, terutama karena saya sendiri yang mengusulkan untuk menulis sejarah itu.”
Namun lebih dari itu, dalam penelusuran sejarah, istilah senada acapkali muncul di dalam diskusi masyarakat di masa lalu.
Peneliti Ken Hirsch menemukan kepingan dialog di dalam masyarakat Perancis pada 1848 yang berbunyi “
histoire est juste peut-être, mais qu’on ne l’oublie pas, elle a été écrite par les vainqueurs
”.
Dalam bahasa Inggris memiliki arti bahwa “
The history is right perhaps, but let us not forget, it was written by the victors.
”
Pun Ken menemukan di dalam dialog masyarakat Italia pada 1852, berbunyi “
La storia di questi avvenimenti fu scritta dai vincitori
” di mana dalam bahasa Inggris berarti “
The history of these events was written by the winners
”.
Namun, kata Ken, pernyataan yang beragam itu muncul dalam bahasa yang jauh lebih elegan sebagaimana dikenal hari ini melalui mulut tokoh besar Revolusi Perancis, yakni Maximilien Robespierre.
Bunyinya, “
Vanquished, his history written by the victors
”. Lebih kurang berarti bahwa sejarah pihak yang kalah ditulis oleh para pemenang.
Di sini tentu saya tidak ingin memperpanjang daftar pengucap pertama adigium tersebut. Selain bukan bidang saya secara keilmuan, saya sejatinya juga kurang tertarik untuk memperpanjang cerita kronologis-etimologis dari adigium tersebut.
Saya di sini lebih memilih untuk fokus kepada pesan yang tersimpan di balik adigium tersebut, dikaitkan dengan perkembangan kontemporer di Indonesia saat ini.
Poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sejarah Indonesia tidak akan berubah secara faktual historis, sekalipun ditulis ulang di dalam bahasa kekuasaan.
Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya tidak perlu membagi fokus antara mengurus rakyat dan menulis ulang sejarah nasional Indonesia.
Karena secara moral dan substansial, mengurus rakyat jauh lebih “wajib” ketimbang menulis ulang sejarah versi pemerintah sendiri yang notabene juga hanya untuk kepentingan pemerintah sendiri.
Biarkan sejarawan dan para ilmuwan yang akan mengurusnya, karena mereka memang secara moral dan substansial bertugas untuk menulis itu semua.
Kata seorang kolega akademisi di luar negeri tentang negaranya, bahwa tak perlu semua negara termasuk negaranya harus diseragamkan tentang sejarah. Menurut dia, negerinya bukan “negeri Hitler” atau “negeri Stalin”, di mana segala sesuatunya harus berdasarkan versi pemerintah.
Hal tersebut sangat perlu saya sampaikan di sini karena pernyataan pemerintah terkait dengan sejarah nasional belakangan sudah mulai melenceng terlalu jauh.
Jangan sampai ambisi pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional dengan bahasa kekuasaan justru memunculkan preseden buruk di negeri ini untuk masa-masa mendatang.
Cukup mengkhawatirkan untuk membayangkan sepuluh tahun dari sekarang, katakanlah ketika gerbong kekuasaan mulai bergeser ke pusat yang lain, hal yang sama juga dilakukan nantinya atau kejadian berulang merujuk penguasa yang baru.
Apa jadinya negeri ini jika sejarahnya diacak-acak secara politik setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
Poin kedua saya adalah bahwa terlepas apapun bentuk keberatan pemerintah atas beberapa titik di dalam sejarah nasional, bahkan jika benar sekalipun keberatan tersebut, tugas pemerintah hanya menyampaikan keberatan tersebut kepada publik.
Lalu biarkan ahli sejarah dan sejarahwan serta para cerdik pandai yang akan mengurusnya. Bahkan jika pada akhirnya tidak ditemukan titik kesamaan antarpara sejawaran dan ahli sejarah serta cerdik pandai, maka biarkanlah tetap seperti itu, karena akan jauh lebih baik seperti itu dibandingkan dengan ditulis ulang menggunakan bahasa kekuasaan.
Apalagi jika keberatan pemerintah atas satu atau dua keping peristiwa sejarah hanya berdasarkan satu sudut sempit di satu sisi dan apalagi jika memiliki “modus” yang kurang baik di sisi lain, tentu akan jauh lebih berbahaya bagi negeri ini dan fatal bagi eksistensi ilmu sejarah di kampus-kampus nasional.
Lihat saja, betapa berbahayanya pernyataan Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
yang menafikan validitas pemerkosaan massal di tahun 1998.
Karena hasil temuan tim pencari fakta sudah sangat jelas dipaparkan selama ini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan korban-korbannya sudah diungkapkan secara jelas pula.
Ucapan tersebut setali tiga uang dengan bahaya yang tersimpan di balik ambisi pemerintah yang ingin menulis ulang sejarah versi “pelat merah”.
Dan dalam konteks itu pula mengapa di awal tulisan ini saya harus memulainya dengan adigium di atas.
Potensi distorsinya akan sangat tinggi jika kekuasaan sudah mulai berusaha “cawe-cawe” di dalam penulisan sejarah nasional negara.
Pasalnya, di dalam kekuasaan, tak ada bahasa “ilmiah” yang bisa dipegang secara objektif, tanpa ada kepentingan di baliknya.
Akan selalu ada “udang” di balik “batu”, jika bahasa kekuasaan sudah mulai memasuki ranah yang tak perlu dimasuki itu. Jika tak demikian, bukan kekuasaan namanya toh.
Sehingga, kita sebagai anak bangsa sebaiknya jangan pernah mau terprovokasi untuk diajak mencampuradukkan antara kepentingan kekuasaan dengan penulisan sejarah nasional yang sejatinya harus ditulis secara ketat dan ilmiah oleh para pihak yang kompeten, yakni sejarawan dan ilmuwan.
Karena itu, dalam hemat saya, sekaligus sebagai usulan baik saya kepada pemerintah, langkah terbaik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan sejarah nasional adalah mencontoh sikap dan tindakan dari negara besar lain, terutama Amerika Serikat.
Jika memang pemerintah memiliki data dan informasi yang selama ini belum mampu diakses publik, terutama oleh ahli sejarah dan sejarawan, maka “release” data tersebut, layaknya CIA, misalnya, merilis data yang mereka miliki setelah 50 tahun waktu berlalu.
Lalu biarkan ilmuwan dan sejarawan yang menjadikannya serpihan-serpihan ilmiah sejarah nasional Indonesia.
Dan poin ketiga, saya tidak mau naif dalam hal ini, jadi saya akan menghormati para pihak yang ingin menulis ulang sejarah, tapi bukan dengan mengatasnamakan pemerintah atau negara.
Usul saya, ada cara lain yang juga tak kalah elegannya untuk para pihak di dalam pemerintahan agar bisa terlibat di dalam dinamika dan proses penulisan sejarah nasional Indonesia, yakni menulis kepingan sejarah atas nama sendiri.
Sebagaimana diketahui, Fadli Zon sebagai salah satu anak bangsa pilihan (karena diangkat menjadi salah satu menteri), bukan sebagai pejabat negara, menuliskan versinya sendiri atas satu atau dua peristiwa di dalam perjalanan sejarah nasional yang menurutnya kurang bisa ia terima.
Hal semacam ini juga lazim dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah di mana pun di dunia ini. Namun lagi-lagi tidak mengatasnamakan pemerintah atau negara, tapi mengatasnama diri sendiri (biasanya setelah tak lagi menjabat).
Memang tidak akan menjadi versi resmi pemerintah, karena sebaiknya tidak ada istilah “versi resmi pemerintah” di dalam penulisan sejarah. Hal itu toh memang tak diperlukan.
Namun setidaknya keresahan para pihak di dalam pemerintahan secara orang perorang terhadap satu atau dua kepingan sejarah nasional tidak pernah dilarang untuk disampaikan kepada publik melalui cara-cara yang baik.
Apalagi tokoh-tokoh sekelas Fadli Zon dan kawan-kawan diyakini memiliki sumber daya berlimpah untuk menerbitkan ribuan eksemplar buku, tanpa harus membawa-bawa nama pemerintah dan negara.
Dengan cara itu, Fadli Zon dan kawan-kawan bisa mempertahankan thesisnya soal peristwa pemerkosaan massal 1998 atau versi lain pemberontakan Madiun, atau apapun, misalnya.
Saya yakin, jika thesis Fadli Zon tak kuat, maka para sejarawan dan publik akan menelanjanginya. Namun jika benar, saya juga yakin, publik dan sejarawan akan mengafirmasi dan mengapresiasi.
Dan lagi-lagi, dialektika semacam itu akan berlangsung objektif dan mulus, karena tidak ada dinding negara dan kekuasaan yang harus dihadapi.
Lain cerita kalau sudah mengatasnamakan negara atau pemerintah, maka dialektika ilmiah sudah nyaris tidak ada lagi di satu sisi dan adigium bahwa “
history is written by the victors
” akan berlaku di sisi lain.
Oleh karena itu, di sini saya harus mengulangi lagi, negara dan pemerintah tak perlu “cawe-cawe” di dalam penulisan ulang sejarah.
Sebagai bagian dari rakyat biasa saya dengan kerendahan hati hanya berharap agar pemerintah fokus saja kepada janji-janji politik yang sudah terlanjur dinyanyikan selama masa kampanye. Itu sudah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/06/06/684262f9109c6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
-
/data/photo/2025/06/17/68517aaa249a4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sengketa 4 Pulau Aceh Selesai, Jusuf Kalla: Jangan Terulang Lagi
Sengketa 4 Pulau Aceh Selesai, Jusuf Kalla: Jangan Terulang Lagi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI
Jusuf Kalla
(JK) berpesan kepada pemerintah agar
sengketa 4 pulau Aceh
yang menjadi perbincangan belakangan ini tidak boleh kembali terjadi pada masa yang akan datang.
“Seperti dikatakan, jangan terulang lagi seperti ini,” kata JK saat ditemui di kediamannya di kawasan Brawijaya, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Menurut JK, polemik mengenai 4 pulau Aceh yang sempat disebut masuk wilayah Sumatera Utara ini terjadi karena pemerintah pusat tidak merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan nota kesepahaman (MoU) Helsinki.
Padahal, kedua dokumen tersebut sudah secara jelas mengatur prosedur pengambilan keputusan terkait wilayah Aceh.
“Ada di Undang-Undang Pemerintahan Aceh, ada di MoU, bahwa apabila pemerintah ingin mengambil kebijakan atau keputusan tentang yang ada hubungan dengan Aceh, harus dengan konsultasi dan persetujuan daripada Gubernur Aceh. Dan itu (dalam kasus polemik empat pulau) tidak dilakukan,” ujar JK.
Tokoh perdamaian Aceh ini berpandangan, kelalaian dalam mengikuti prosedur tersebut menjadi penyebab utama munculnya ketegangan antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh.
“Jadi itu sebabnya kenapa terjadi masalah. Jadi ini pembelajaran supaya jangan terulang lagi,” kata dia.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan empat pulau yang disengketakan oleh Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) masuk wilayah Aceh.
Keempat pulau itu adalah Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan, keputusan ini diambil berdasarkan laporan dari Kementerian Dalam Negeri serta dokumen dan data-data pendukung.
“Bapak Presiden memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan pada dasar-dasar dokumen yang telah dimiliki pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh,” kata Prasetyo, Selasa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/6851804adace1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1,5 Jam Bertemu Gus Iqdam, Gibran: Teman Lama dan Guru
1,5 Jam Bertemu Gus Iqdam, Gibran: Teman Lama dan Guru
Tim Redaksi
BLITAR, KOMPAS.com –
Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming menyatakan, pendiri
Majelis Ta’lim Sabilu Taubah
Muhammad Iqdam Kholid alias Gus Iqdan adalah teman baik sekaligus guru baginya.
Hal ini disampaikan Gibran seusai pertemuan selama sekitar 1,5 jam dengan
Gus Iqdam
di Majelis Ta’lim Sabilu Taubah,
Blitar
, Selasa (17/6/2025).
“Ini Gus Iqdam teman lama guru dan ini luar biasa sekali akhirnya bisa bertemu dan dijamu makan malam di pondoknya Gus Iqdam malam ini,” kata Gibran usai pertemuan.
Gibran mengaku sudah lama tidak bertemu Gus Iqdam.
Keduanya terakhir kali bertemu pada 2024 lalu ketika Gibran masih menjabat Wali Kota Solo.
“Ini sudah lama sekali tidak berjumpa beliau, terakhir 1 tahun yang lalu, 1 tahun lebih mungkin, waktu saya masih wali kota,” ujarnya.
Bagi Gibran, kunjungan ke Gus Iqdam wajib dilakukan untuk mengawali kunjungannya di Blitar.
Ia pun menyampaikan terima kasih karena sudah dijamu saat tiba di Majelis Ta’lim Sabilu Taubah.
“Ini terima kasih sekali, Gus. Saya dan rombongan sudah diterima dan ini memang sebelum mengawali rangkaian kegiatan saya di Blitar ini, saya wajib untuk sowan ke Gus Iqdam,” kata GIbran.
Putra sulung Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo ini juga mendoakan agar Gus Iqdam selalu dalam keadaan sehat.
“Ini semoga Gus Iqdam sehat selalu dan nanti ke depan antara pemerintah dan pondok bisa saling berkolaborasi. Sekali lagi, Gus, terima kasih sudah diterima di sini,” kata Gibran.
Sementara itu, Gus Iqdam mengaku canggung bertemu Gibran yang kini datang dengan status wakil presiden Republik Indonesia.
“Dan keadaannya canggung ini tadi, karena dulu bertemu beliau, keadaan jadi beliau wali kota. Hari ini beliau sudah jadi wapres, Masya Allah luar biasa,” kata Gus Iqdam.
Gus Iqdam berharap tali silaturahmi ini dapat terus terjalin baik.
Dia mendoakan era kepemimpinan Presiden dan Wapres RI Prabowo Subianto dan
Gibran Rakabuming Raka
bisa membawa kemajuan bagi Indonesia. ”
Dan semoga perjuangan Mas Gibran untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia ini bersama Pak Prabowo ini diridhoi Allah SWT,” ucap Gus Iqdam.
“Jadi ya pertemuan lah, temu kangen sahabat lama. Umur kita tidak beda jauh, gantengnya juga mirip,” imbuh dia.
Diketahui, Gibran melakukan kunjungan di Blitar selama dua hari pada 17-18 Juni 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/6851746291277.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Usai Prabowo Putuskan Sengketa 4 Pulau, JK Terima Wali Nangroe Aceh
Usai Prabowo Putuskan Sengketa 4 Pulau, JK Terima Wali Nangroe Aceh
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Presiden ke-10 dan ke-12
Jusuf Kalla
atau JK menerima kedatangan Wali Nangroe Aceh, Paduka Yang Mulia Teungku
Malik Mahmud
Al Haythar di kediaman pribadinya, kawasan Brawijaya, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025) malam.
Pengamatan
Kompas.com
, Malik Mahmud menyambangi kediaman JK sekitar pukul 19.10 WIB di tengah hujan deras mengguyur kawasan Brawijaya dan sekitarnya.
Kedatangan Malik Mahmud itu di tengah polemik
empat pulau sengketa
di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah.
Ia disambut JK dengan hangat. Tampak dalam pertemuan itu hadir juga mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Sudirman Said.
“Ini silaturahmi,” ujar JK saat menerima Malik Mahmud di hadapan awak media.
Sementara itu, Malik Mahmud sempat menyapa awak media dan memberikan pernyataan singkat soal polemik empat pulau yang sudah diputuskan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Malik bersyukur atas keputusan Pemerintah yang tetap memasukkan empat pulau ke dalam
wilayah Aceh
.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada JK yang telah membantu menyelesaikan masalah itu.
“Saya bersyukur Alhamdulillah pada Allah SWT masalah pulau itu sudah diselesaikan dengan bijaksana. Saya ucapkan terima kasih kepada Pak Jusuf Kalla yang sudah membantu memberi masukan untuk menyelesaikan persoalan,” tutur Wali Nangroe.
Keduanya pun melaksanakan pertemuan tertutup di kediaman yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan empat pulau yang kini disengketakan oleh Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) masuk wilayah Aceh.
Adapun keempat pulau tersebut, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan.
“Berdasarkan laporan dari Kemendagri, berdasarkan dokumen-dokumen, data-data pendukung, kemudian tadi Bapak Presiden memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan pada dasar-dasar dokumen yang telah dimiliki pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yaitu, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh,” kata Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa.
Keputusan itu diambil usai Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, melangsungkan pertemuan di Istana Kepresidenan Jakarta, ketika Presiden Prabowo dalam perjalanan menuju Rusia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/10/67a9c80b65e48.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sidang Tom Lembong, Rini Soemarno Sebut Koperasi Tak Bisa Disamakan dengan BUMN
Sidang Tom Lembong, Rini Soemarno Sebut Koperasi Tak Bisa Disamakan dengan BUMN
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2015-2019 Rini Mariani Soemarno menyebutkan, koperasi tidak bisa disamakan dengan perusahaan pelat merah.
Pernyataan Rini itu tertuang dalam berita acara pemeriksaan yang dibacakan jaksa dalam sidang dugaan korupsi importasi gula yang menjerat Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
“Bahwa koperasi tidak dapat dipersamakan dengan BUMN kecuali ada pengecualian dari rapat koordinasi antar kementerian oleh Menteri Koordinator Perekonomian terkait pelaksanaan stabilisasi harga dan operasi pasar,” kata jaksa membacakan keterangan Rini di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Dalam perkara ini, salah satu kebijakan
Tom Lembong
yang dinilai melawan hukum adalah penunjukan sejumlah koperasi TNI-Polri dalam operasi pasar pengendalian harga gula.
Tidak hanya itu, Tom Lembong bahkan menerbitkan persetujuan impor (PI) gula sebanyak ratusan ribu ton ke koperasi TNI-Polri.
Menurut Rini, selama lima tahun menjabat sebagai Menteri BUMN, tidak pernah ada pembahasan koperasi menjadi pelaksana tugas pengendalian harga gula.
“Selama saya menjabat Menteri BUMN, saya tidak pernah mendengar atau membahas koperasi-koperasi ditugaskan sebagai pelaksanaan stabilisasi harga pemenuhan stok dan operasi pasar,” ujar jaksa membacakan keterangan Rini.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk Perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/68512cc519bde.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Paulus Tannos Jalani Dua Sidang di Singapura, soal Ekstradisi Pekan Depan
Paulus Tannos Jalani Dua Sidang di Singapura, soal Ekstradisi Pekan Depan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, buron kasus E-KTP,
Paulus Tannos
, menjalani dua proses sidang di Singapura.
Pertama, sidang terkait permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan. Hasilnya, Pengadilan Singapura menolak permohonan Paulus Tannos.
Kedua, sidang terkait permintaan
ekstradisi
.
“Yang diputus ini adalah permohonan
provisional arrest
. Sudah
clear
ya? Bahwa yang diputus sekarang ini adalah permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan, belum masuk ke pokok perkaranya, kemudian terkait dengan permintaan kita untuk ekstradisi,” kata Supratman di Graha Pengayoman, Kemenkum, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Supratman mengatakan, sidang terkait
ekstradisi Paulus Tannos
dijadwalkan pada 23-25 Juni 2025.
Dia mengatakan, sidang tersebut akan memasuki pokok perkara terkait apakah permintaan ekstradisi Paulus Tannos dikabulkan atau ditolak.
“Karena nanti tanggal 23 sampai dengan tanggal 25 Juni ini, akan dilakukan pemeriksaan terkait dengan pokok perkara, yakni apakah permintaan ekstradisi kita itu akan dikabulkan atau ditolak,” ujarnya.
Supratman mengatakan, jika sidang tersebut memutuskan permohonan ekstradisi diterima, maka pihak pemohon dan termohon bisa mengajukan banding satu kali.
Selain itu, dia juga mengatakan, Paulus Tannos masih menolak secara sukarela untuk diekstradisi ke Indonesia.
“Kalau ternyata nanti dinyatakan permohonan ekstradisi kita diterima, masing-masing pihak, baik kita sebagai pemohon maupun yang bersangkutan, masih memungkinkan untuk mengajukan upaya banding sekali dan karena itu kita tunggu,” kata dia.
“Tetapi sampai dengan saat ini, yang bersangkutan, PT (Paulus Tannos), belum menyatakan kesediaannya secara sukarela untuk diekstradisi ke Indonesia,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Pengadilan Singapura menolak permohonan penangguhan penahanan yang diajukan buron kasus E-KTP Paulus Tannos.
Dengan demikian, Paulus Tannos tetap akan dilakukan penahanan di negara tersebut.
“KPK menyambut positif putusan pengadilan Singapura yang telah menolak permohonan penangguhan DPO Paulus Tannos (PT), sehingga terhadap PT akan tetap dilakukan penahanan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa (17/6/2025).
Budi mengatakan, selanjutnya sidang pendahuluan Paulus Tannos dijadwalkan pada 23-25 Juni 2025.
“KPK berharap proses ekstradisi DPO PT berjalan lancar, dan menjadi preseden baik kerja sama kedua pihak, Indonesia-Singapura, dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Budi mengatakan, KPK secara intens telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan KBRI Singapura untuk memenuhi dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam proses ekstradisi ini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/07/09/668ce88cc3bee.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Prabowo Ambil Alih Polemik 4 Pulau, Nasir Djamil: Bentuk Koreksi Kepmendagri
Prabowo Ambil Alih Polemik 4 Pulau, Nasir Djamil: Bentuk Koreksi Kepmendagri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi III DPR
Nasir Djamil
menyatakan bahwa langkah Presiden
Prabowo Subianto
yang mengambil alih polemik penetapan empat pulau yang diklaim masuk ke wilayah Sumatera Utara merupakan bentuk koreksi terhadap keputusan
Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri).
Adapun
polemik empat pulau
santer terdengar setelah pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
“Pengambil alihan ini juga dalam pandangan kami sebagai bentuk koreksi terhadap keputusan Mendagri tersebut,” kata Nasir yang ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
“Jadi koreksi Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan terhadap Menterinya yang barangkali dalam keputusan itu belum sempurna. Tidak bijak menyikapi daerah-daerah yang dulu pernah mengalami konflik bersenjata seperti Aceh-Indonesia,” tambah dia.
Menurut Nasir, intervensi Presiden juga bertujuan meredam ketegangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya
Aceh dan Sumatera Utara
, terkait status administratif empat pulau tersebut.
“Sepengetahuan saya, mengambil alih isu ini oleh Presiden kan dimaksud untuk meredakan ketegangan antara pusat dan daerah dan juga antara Aceh dan Sumatera Utara. Kami percaya bahwa tidak ada kepentingan apapun dari Presiden Prabowo Subianto terkait mengambil alih isu ini atau kasus ini,” terangnya.
Ia mengingatkan bahwa Aceh adalah wilayah yang memiliki sensitivitas historis dan politis karena pernah mengalami konflik bersenjata.
Karena itu, menurutnya, penyikapan terhadap Aceh harus mengedepankan sensitivitas, bukan hanya otoritas formal.
“Jadi itu sensitivitas itu dibutuhkan, bukan hanya sekadar otoritas. Jadi otoritas minus sensitivitas ya akibatnya seperti ini,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Lebih lanjut, Nasir membeberkan bahwa dari sisi sejarah, administrasi, hingga penamaan pulau, empat pulau tersebut sebenarnya berada di bawah kewenangan Aceh.
Namun, pada 2009, Pemerintah Aceh sempat melakukan kekeliruan dalam pengajuan data pulau.
“Cuma memang di tahun 2009, waktu itu Aceh keliru dalam memberikan koordinat. Dan menyampaikan ada 260 pulau, tidak termasuk 4 pulau ini. Tapi itu kemudian dikoreksi, kemudian diperbaiki, kemudian diajukan tapi tidak pernah disahuti, tidak pernah diterima, tidak pernah dijawab oleh pemerintah pusat,” jelas legislator asal Aceh ini.
Sebagai informasi, polemik empat pulau ini mencuat usai adanya keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara.
Keputusan ini menuai keberatan dari Pemerintah Aceh dan sejumlah elemen masyarakat di daerah tersebut.
Presiden Prabowo Subianto, menurut Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, turun tangan langsung terkait polemik ini.
Dasco menyatakan, Prabowo sebagai Kepala Negara memutuskan bakal mengambil alih penuh persoalan tersebut.
Menurutnya, Prabowo segera memutuskan langkah terbaik untuk menyelesaikan hal tersebut. “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara,” ujar Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
Dasco mengatakan, Prabowo menargetkan keputusan terkait pemindahan kepemilikan empat pulau tersebut sudah bisa rampung pekan depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/06/17/6851736bb7fe6.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/03/683ea530f1050.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/04/16/67ff66463a4d5.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)