Category: Kompas.com Nasional

  • Rincian Gratifikasi Rp 1 Triliun yang Buat Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

    Rincian Gratifikasi Rp 1 Triliun yang Buat Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

    Rincian Gratifikasi Rp 1 Triliun yang Buat Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA),
    Zarof Ricar
    , divonis 16 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, dalam sidang yang digelar Rabu (18/6/2025).
    Majelis hakim menilai, Zarof terbukti melanggar Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 15 dan Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Zarof Ricar dinyatakan terbukti bersalah melakukan pemufakatan jahat percobaan suap hakim agung dan menerima gratifikasi dengan nilai Rp 1 triliun lebih.
    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” kata Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.
    Mantan pejabat MA ini juga dinilai terbukti bermufakat dengan pengacara pelaku pembunuhan Gregorius
    Ronald Tannur
    , Lisa Rachmat, untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.
    Selain pidana badan, Zarof juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar. Dengan kententuan, jika tidak dibayar, maka hukumannya akan ditambah enam bulan kurungan.
    Lantas, apa saja gratifikasi senilai lebih dari Rp 1 triliun yang diterima Zarof Ricar?
    Zarof Ricar disebut menerima gratifikasi berbentuk valuta asing (Valas) yakni, 74.494.427 dollar Singapura, 1.897.362 dollar Amerika Serikat (AS), 71.200 euro, 483.320 dollar Hong Kong, dan Rp 5.725.075.000. Selain itu, ada 51 kilogram emas Antam.
    Berikut rincian uang dan emas yang diterima Zarof Ricar:
    Sebelumnya, dalam dakwaan, Jaksa menyebut bahwa uang dan emas itu disimpan di rumah Zarof Ricar di Kelurahan Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gibran Jadi Sasaran Foto Warga Saat Kunjungi Pameran UMKM di Blitar

    Gibran Jadi Sasaran Foto Warga Saat Kunjungi Pameran UMKM di Blitar

    Gibran Jadi Sasaran Foto Warga Saat Kunjungi Pameran UMKM di Blitar
    Tim Redaksi
    BLITAR, KOMPAS.com –
    Wakil Presiden (Wapres) RI
    Gibran Rakabuming Raka
    mengunjungi
    pameran UMKM
    di Bazar Blitar Djadoel yang digelar di Alun-Alun Kota Blitar, Jawa Tengah, Rabu (18/6/2025).
    Berdasarkan pantauan di lokasi sekitar pukul 10.58 WIB, Gibran datang bersama Gubernur Jawa Timur
    Khofifah Indar Parawansa
    dan berkeliling area pameran.
    Sejak Gibran tiba di area alun-alun, masyarakat setempat sudah berjejer untuk mendekati dan menyalami putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo ini.
    Tak sedikit juga warga yang menyodorkan ponsel untuk mengajak Gibran foto bersama.
    Mantan wali kota Solo ini pun menyalami para warga, baik itu ibu-ibu, bapak-bapak, maupun anak-anak.
    Gibran juga sempat berbicara dengan beberapa warga meski tidak terdengar apa yang mereka bicarakan.
    Selama di Alun-Alun Blitar, Gibran berkeliling mengunjungi beberapa UMKM yang berjejer.
    Bahkan, ia sempat mencoba mengaduk adonan permen di salah satu stan UMKM.
    “Ini kita mengunjungi acara rangkaian dari Haul Bung Karno, yaitu Pasar Djadoel di Alun-Alun Blitar. Saya kira ini luar biasa sekali UMKM di Blitar dan sekitarnya,” ungkap Gibran usai berkeliling bazar.
    Menurut Gibran, banyak produk lokal yang menarik dalam pameran UMKM di Blitar.
    Dia juga kagum dengan antusias warga yang semangat mengunjungi pameran tersebut.
    “Dan juga saya lihat antusiasme warga luar biasa sekali. Tuh rame sekali, padahal ini hari pertama ya. Hari pertama baru buka, panas-panas, tapi luar biasa sekali antusiasme dari warga,” ujar Gibran.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Habiburokhman: Pasal Impunitas Advokat Sudah Masuk Draf RUU KUHAP

    Habiburokhman: Pasal Impunitas Advokat Sudah Masuk Draf RUU KUHAP

    Habiburokhman: Pasal Impunitas Advokat Sudah Masuk Draf RUU KUHAP
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua
    Komisi III DPR RI

    Habiburokhman
    mengungkapkan bahwa pasal yang berkaitan dengan
    perlindungan advokat
    dari tindakan sewenang-wenang atau impunitas telah disepakati untuk dimasukkan ke dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (
    RUU KUHAP
    ) sejak dua bulan lalu.
    Pernyataan ini disampaikan Habiburokhman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diadakan bersama akademisi, komunitas advokat, dan mahasiswa, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, pada Rabu (18/6/2025).
    “Pasal terkait
    impunitas advokat
    itu sudah kita sepakati untuk dimasukkan di KUHAP,” kata Habiburokhman, yang disambut tepuk tangan dari peserta rapat, Rabu.
    Politikus dari Partai Gerindra ini menegaskan bahwa aspirasi kalangan advokat mengenai perlindungan dalam menjalankan tugas profesi telah menjadi perhatian serius Komisi III sejak awal proses penyusunan RUU KUHAP.
    “Jadi, yang Bapak usulkan, Bapak baru mengusulkan hari ini, ini tanggal berapa nih, Juni, dua bulan lalu sudah kita akomodasi, Pak,” ujar dia.
    RDPU ini merupakan bagian dari rangkaian penjaringan masukan publik terhadap draf revisi KUHAP, yang saat ini sedang memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) antara DPR dan pemerintah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Habiburokhman Ditelepon Dasco, DIM RUU KUHAP dari Pemerintah Sudah Ada

    Habiburokhman Ditelepon Dasco, DIM RUU KUHAP dari Pemerintah Sudah Ada

    Habiburokhman Ditelepon Dasco, DIM RUU KUHAP dari Pemerintah Sudah Ada
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi III
    DPR RI

    Habiburokhman
    menyatakan bahwa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU
    KUHAP
    ) dari pemerintah telah diterima DPR.
    Pernyataan tersebut ia sampaikan di sela-sela Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Rabu (18/6/2025).
    Ia mendapatkan informasi dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, kolega separtainya di Gerindra.
    “Jadi gini, kenapa saya ini reses-reses sini teman-teman, kita gelar nih rapat. Saya tadi waktu Bapak bicara, ditelepon dari Pak Dasco masuk, DIM yang dari pemerintah alhamdulillah sudah ada,” kata Habiburokhman.
    “Jadi kalau mau raker
    kick off
    -nya besok pun sudah bisa. Tapi enggak apa-apa, kita terima dulu audiensi ini,” ucapnya.
    Habiburokhman menekankan pentingnya mempercepat pembahasan
    RUU KUHAP
    karena kondisi yang menurutnya sudah darurat.
    “Kenapa cepat, Pak? Karena ini kan sudah
    emergency
    . Semakin lama kita berdebat tanpa menghasilkan sesuatu yang secara signifikan menguatkan peran
    people
    , semakin banyak orang-orang yang menderita karena masih diberlakukannya KUHAP yang eksisting saat ini,” ucapnya.
    Habiburokhman pun menanggapi kritik dari sejumlah pihak yang mempertanyakan urgensi percepatan pembahasan RUU tersebut, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (
    YLBHI
    ).
    “Itu ada YLBHI ngomong, kenapa harus cepat-cepat? Harus buru-buru? Ya lihat, ini sudah situasi
    emergency
    . Harusnya teman-teman paham,” kata Habiburokhman.
    Kata Habiburokhman, pembahasan RUU KUHAP ini harus cepat menjadi UU KUHAP lantaran kondisi masyarakat sudah membutuhkan keadilan, segera.
    “YLBHI sama saya, saya sama juga YLBHI. Saya praktik jadi advokat publik puluhan tahun kan, paham sekali. Banyak sekali, Pak, yang klien kita yang berduit saja diperlakukan tidak adil, apalagi yang tidak berduit, yang orang-orang susah itu enggak bisa didampingi. Ketika didampingi, advokatnya enggak bisa debat, enggak bisa ngomong. Ya karena itu kita perlu segera, Pak,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Buntut Tambang di Raja Ampat, DPR Dorong Revisi UU Kuatkan Pengawasan IUP

    Buntut Tambang di Raja Ampat, DPR Dorong Revisi UU Kuatkan Pengawasan IUP

    Buntut Tambang di Raja Ampat, DPR Dorong Revisi UU Kuatkan Pengawasan IUP
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi VI DPR Fraksi Golkar
    Nurdin Halid
    mengatakan DPR akan mendorong penguatan regulasi serta pengawasan terhadap izin tambang, khususnya di kawasan konservasi.
    Dia mendesak agar dilakukan revisi undang-undang terkait
    izin usaha pertambangan
    (IUP) agar lebih berpihak pada
    pelestarian alam
    dan masyarakat adat.
    “Kami akan kawal kebijakan ini lewat fungsi legislasi dan pengawasan. Jangan sampai ada kompromi terhadap kerusakan lingkungan dengan alasan investasi,” ujar Nurdin dalam keterangannya, Rabu (18/6/2025).
    Nurdin pun menggarisbawahi pentingnya pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam proses pembangunan di kawasan strategis seperti Raja Ampat, Papua Barat Daya.
    Menurutnya, pembangunan harus partisipatif dan inklusif, tidak hanya menguntungkan pihak luar.
    Maka dari itu, Nurdin menyatakan dukungan penuh terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mencabut empat IUP di wilayah Raja Ampat.
    “Kami di DPR menyambut baik keputusan ini.
    Raja Ampat
    adalah kekayaan hayati dunia yang tidak tergantikan. Tidak boleh lagi ada aktivitas tambang yang merusak kawasan tersebut,” tuturnya.
    Nurdin menambahkan, keputusan Prabowo itu merupakan bentuk tanggung jawab terhadap keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal.
    Pasalnya, kata dia, kehadiran industri tambang di wilayah sensitif seperti Raja Ampat hanya memberikan manfaat jangka pendek dan berisiko tinggi merusak potensi ekonomi jangka panjang yang berbasis pariwisata dan ekosistem laut.
    “Alih-alih menambang, kita harus mendorong ekonomi biru, pelestarian laut, dan pengembangan wisata berbasis komunitas. Itulah arah kebijakan yang seharusnya diutamakan di Raja Ampat,” jelas Nurdin.

    Sementara itu, terkait tidak dicabutnya izin tambang PT Gag Nikel di Raja Ampat, Nurdin menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dilakukan berdasarkan pertimbangan menyeluruh.
    Menurutnya, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha PT Antam beroperasi di luar kawasan Geopark Global UNESCO dan dinilai telah menjalankan tata kelola lingkungan dengan baik sesuai hasil evaluasi Kementerian ESDM.
    “Yang paling penting ke depan adalah pengawasan ketat. Evaluasi terhadap operasional PT Gag Nikel harus dilakukan berkala agar tidak terjadi kerusakan lingkungan, apalagi mendekati kawasan geopark global,” kata Nurdin.
    “Pengoperasian PT Gag Nikel harus membawa kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga lokal. Jangan sampai mereka justru menjadi tamu di tanah sendiri,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Periksa Petinggi Sindikasi Bank Pemberi Kredit ke Sritex

    Kejagung Periksa Petinggi Sindikasi Bank Pemberi Kredit ke Sritex

    Kejagung Periksa Petinggi Sindikasi Bank Pemberi Kredit ke Sritex
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Kejaksaan Agung
    telah memeriksa sejumlah petinggi bank sindikasi terkait dengan kasus dugaan korupsi pemberian kredit kepada
    PT Sri Rejeki Isman
    Tbk (
    Sritex
    ).
    Pemeriksaan ini dilakukan pada Selasa (17/6/2025) kemarin.
    “(Penyidik memeriksa) JFT selaku Manager Sindikasi Bank BNI tahun 2012 dan FS selaku Kepala Departemen Pembiayaan LPEI tahun 2012,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar dalam keterangannya, Selasa.
    Selain kedua saksi ini, penyidik juga memeriksa empat orang saksi lainnya.
    Mereka adalah AS selaku Staf PT Sritex dan HRM selaku Staf Keuangan PT Sritex.
    Kemudian, AH selaku Direktur PT Perusahaan Dagang Djohar dan SYF selaku Direktur PT Asuransi Central Asia.
    “Adapun keenam orang saksi tersebut diperiksa terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, PT Bank DKI, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah kepada PT Sri Rejeki Isman, Tbk (PT Sritex) dan entitas anak usaha atas nama Tersangka Iwan Setiawan Lukminto dkk,” kata Harli.
    Sejauh ini, Kejagung telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus korupsi pemberian kredit.
    Tiga tersangka itu adalah DS (Dicky Syahbandinata) selaku Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) Tahun 2020, Zainuddin Mappa (ZM) selaku Direktur Utama PT Bank DKI Tahun 2020, dan Iwan Setiawan Lukminto (ISL) selaku Direktur Utama PT Sritex Tahun 2005–2022.
    Angka pinjaman dari BJB dan Bank DKI mencapai Rp 692 miliar dan telah ditetapkan sebagai kerugian keuangan negara karena pembayaran kredit yang macet.
    Hingga saat ini, Sritex tidak dapat melakukan pembayaran karena sudah dinyatakan pailit sejak Oktober 2024 lalu.
    Tapi, berdasarkan konstruksi kasus, Sritex memiliki total kredit macet hingga Rp 3,58 triliun.
    Angka ini didapat dari pemberian kredit kepada sejumlah bank daerah dan bank pemerintah lain yang dasar pemberian kreditnya masih ditelusuri oleh penyidik.
    Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng) diketahui memberikan kredit sebesar Rp 395.663.215.800.
    Sementara, sindikasi bank yang terdiri dari Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI juga memberikan kredit dengan total keseluruhan kredit mencapai Rp 2,5 triliun. Status kedua bank ini masih sebatas saksi.
    Berbeda dengan BJB dan Bank DKI yang sudah ditemukan ada tindakan melawan hukumnya.
    Atas tindakannya, para tersangka telah melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
    Mereka juga langsung ditahan di rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan untuk kebutuhan penyidikan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out

    Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out

    Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sorot mata
    Ari Yusuf Amir
    kecewa saat tak mendapati batang hidung mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno muncul di persidangan.
    Ari adalah mantan pengacara pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada pemilihan presiden 2024.
    Kali ini, ia duduk membela Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, koleganya pada tim pemenangan Anies-Muhaimin.
    Bagi pihaknya, Rini adalah saksi kunci. Keterangannya dinilai turut menentukan nasib
    Tom Lembong
    yang dijerat korupsi importasi gula.
    Kekecewaan Ari terus berlipat ketika mendengar jaksa penuntut umum menyatakan hendak membacakan keterangan Rini yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) ke penyidik.
    Ari protes. Keterangan saksi yang sah menjadi alat bukti, menurutnya, adalah kesaksian yang disampaikan di muka sidang.
    “Demikian keterangan saksi dalam BAP hanya dapat menjadi alat bukti keterangan apabila saksi tersebut hadir dan memberikan keterangan di persidangan ini,” ujar Ari di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
    Ari juga menyebut, banyak keterangan saksi yang berubah ketika diperiksa di muka persidangan.
    Menurutnya, hal itu terjadi lantaran mereka menjalani proses pemeriksaan di penyidikan sendirian.
    Pihaknya pun menolak jaksa membacakan keterangan Rini. Sebab, pengacara tidak memiliki kesempatan menggali keterangan dari Rini.
    “Kenapa yang lain bisa dihadirkan, kenapa saksi ini tidak bisa dihadirkan? Kenapa saksi lain disumpah yang ini tidak disumpah waktu pemeriksaan?” tanya Ari.
    Menyadari amarah pengacara Tom Lembong beranjak naik, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika mencoba tetap tenang.
    Ia memahami kubu Tom Lembong menolak sikap jaksa yang tidak menghadirkan Rini dan memilih hanya membacakan keterangannya di penyidikan.
    Namun, Dennie merasa majelis hakim perlu mendengarkan keterangan Rini di dalam BAP untuk dibacakan.
    Persoalan keberatan pengacara Tom Lembong menurutnya bisa dituangkan dalam pleidoi.
    “Kami juga sudah mendengar tadi tentunya nilainya adalah lain dengan saksi yang langsung dihadirkan di persidangan,” ujar Dennie.
    Mendengar ini, Ari semakin kecewa. Ia bahkan mempertanyakan fungsi kehadiran kuasa hukum di persidangan.
    “Kalau majelis hakim berpendapat bahwa itu tetap dibacakan lalu untuk apa kami hadir di sini?” ujar Ari.
    Sementara itu, jaksa berdalih Pasal 162 KUHAP menyatakan bahwa saksi yang sudah diperiksa di penyidikan meninggal dunia atau berhalangan secara sah tidak dapat hadir di sidang, maka keterangannya bisa dibacakan.
    Selain itu, jika keterangan itu diberikan di bawah sumpah, maka nilainya juga disamakan dengan keterangan yang disumpah.
    “Keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi yang di bawah sumpah,” tutur jaksa.
    Mendengar ini, Ari semakin berang.
    Hakim Dennie pun mencoba menengahi dan meminta jaksa menjelaskan lebih gamblang alasan Rini dipanggil empat kali tidak hadir.
    Menurut jaksa, Rini kali ini kembali tidak hadir karena tengah mengikuti acara keluarga di Jawa Tengah.
    “Dari surat tersebut saksi, ada acara di Jawa Tengah. Di surat-surat sebelumnya pun saksi sedang berada di luar negeri,” kata jaksa.
    Mendengar ini, pengunjung sidang, beberapa merupakan simpatisan Tom Lembong yang ikut gusar seiring kekecewaan Ari, tak lagi bisa menahan diri.
    Mereka menyoraki jaksa karena mendengar Rini hanya tengah mengikuti acara keluarga di Jawa dan tidak menghadiri sidang Tom Lembong.
    “Wuuu!” teriak pengunjung sidang.
    Sementara itu, Ari masih melihat ketidakhadiran Rini dan keterangannya yang hanya dibacakan, ganjil.
    Menurutnya, Rini bisa saja diperiksa di waktu lain.
    Ari mencoba bersikukuh pada pendapatnya bahwa batang hidung Rini harus hadir di muka sidang.
    Situasi lalu menjadi semakin tegang saat jaksa memotong pertanyaan Ari.
    “Saya belum selesai,” kata Ari berang.
    “Kenapa tadi saya ngomong saya disetop kenapa begitu mereka ngomong mereka tidak disetop. Kita gantian ngomongnya. Kita sudah capek dengan keadilan di negara ini!” kata Ari marah.
    Menghadapi ketegangan itu, Hakim Dennie tampak beberapa kali mencoba berunding dengan dua anggotanya.
    Akhirnya, ia tetap memutuskan untuk mendengar keterangan Rini di tahap penyidikan.
    Sikap majelis hakim pun membuat Ari kecewa dan memutuskan untuk meninggalkan ruang sidang.
    “Kalau begitu kami izin keluar, silakan nikmati keadilan yang kalian miliki,” ujar Ari.
    Kecuali Ari, tim pengacaranya mulai berdiri dan meninggalkan sidang.
    Sementara Tom Lembong yang duduk di kursi terdakwa tampak memahami kemarahan kuasa hukumnya.
    Pengacara senior itu akhirnya memuntahkan seluruh keluh kesah yang selama ini ditahan.
    Menurutnya, persidangan tidak mendudukkan pengacara terdakwa dan jaksa dengan setara, sejak awal.
    Hal ini di antaranya terlihat dari kursi jaksa yang lebih mewah dari pengacara.
    Kursi penuntut itu terbuat dari kayu dengan busa empuk pada tempat duduk dan punggung.
    Ukurannya lebih besar dan elegan dengan ukiran di bagian atas.
    Sementara, kursi pengacara tampak lebih mirip seperti kursi hajatan.
    “Sebelum ini dimulai saya mau mengingatkan ya, seringkali dalam persidangan ini tidak ada kesetaraan. Contoh kecil saja bagaimana anda lihat kursi-kursi jaksa penuntut umum seperti itu, kursi-kursi kami seperti ini?” protes Ari kecewa.
    Tidak hanya itu, pihaknya juga harus menyiapkan sendiri screen proyektor di persidangan.
    Menurutnya, pengacara tidak mendapat bantuan teknis di persidangan.
    “Ketika ingin menghadirkan ini (screen) harus kami kerjakan sendiri,” kata Ari.
    Setelah itu Ari bersama rombongan pengacara Tom Lembong meninggalkan ruang sidang.
    Langkahnya meninggalkan arena sidang diiringi ungkapan kecewa para pendukung Tom Lembong kepada majelis hakim.
    Adapun majelis hakim menjelaskan kursi pengacara berbeda karena kursi kayu seperti yang diduduki jaksa terbatas.
    Selain itu, pengacara juga meminta kursi dalam jumlah banyak.
    “Kami adakan kursi seperti itu karena kursi yang seperti ini (kursi jaksa) jumlahnya sangat terbatas. Kalau pun ini nanti dibagi, nanti mungkin jumlahnya tidak bisa sebanyak yang sekarang ini,” ujar Hakim Dennie.
    Setelah tim kuasa hukum keluar, persidangan tetap berjalan.
    Tom Lembong diminta duduk di muka sidang seorang diri, tanpa didampingi pengacara.
    “Saya ikut penilaian dan keputusan Yang Mulia bapak-bapak majelis hakim,” ujar Tom.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terbesar Dalam Sejarah, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Kasus CPO Wilmar Group

    Terbesar Dalam Sejarah, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Kasus CPO Wilmar Group

    Terbesar Dalam Sejarah, Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun Uang Kasus CPO Wilmar Group
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tumpukan uang pecahan Rp 100.000 menggunung di Gedung Bundar
    Kejaksaan Agung
    , Jakarta, Selasa (17/6/2025). Jika dihitung, tingginya mencapai dua meter di sejumlah sisi, dengan jumlah mencapai Rp 2 miliar.
    Namun, uang yang asal usulnya berasal dari penyitaan kasus yang menyeret
    Wilmar Group
    itu belum semuanya dipamerkan oleh Kejagung. Sebab, ada Rp 11,8 triliun lain yang disita penyidik dalam kasus ini.
    “Barangkali, hari ini merupakan konferensi pers terhadap penyitaan uang, dalam sejarahnya, ini yang paling besar (angka penyitaan dan jumlah barang buktinya),” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.
    Secara keseluruhan ada Rp 11.880.351.802.619 uang yang dikembalikan lima korporasi di bawah naungan Wilmar Group ke Kejagung terkait kasus pemberian fasilitas ekspor 
    crude palm oil
    (CPO) periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
    Kelima korporasi itu yakni PT Multimas Nabati Asahan; PT Multinabati Sulawesi; PT Sinar Alam Permai; PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Uang tersebut tadinya nyaris hilang, usai Pengadilan Tindak Pidana
    Korupsi
    (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis lepas atau
    ontslag van alle rechtsvervolging
    dalam perkara
    a quo
    .
    Melansir laman resmi Mahkamah Agung (MA), tiga korporasi yang terlibat dalam perkara ini, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, dibebaskan dari semua tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
    Dalam putusannya, majelis hakim menyebut ketiga terdakwa terbukti melakukan perbuatan hukum sebagaimana dakwaan JPU. Tapi, perbuatan para terdakwa ini dinyatakan bukan suatu tindak pidana. Para terdakwa kemudian dibebaskan dari semua dakwaan JPU, baik primair maupun sekunder.
    Belakangan, putusan itu berbuntut panjang. Tiga hakim yang menyidangkan perkara itu, Djuyamto (hakim ketua), Agam Syarif Baharuddin (hakim anggota), dan Ali Muhtarom (hakim
    ad hoc
    ), ditetapkan sebagai tersangka usai diduga turut menikmati uang suap atau gratifikasi bersama Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta sebesar Rp 60 miliar.
    Ketiga hakim itu diduga mendapat imbalan Rp 22,5 miliar atas putusan yang mereka buat.
    Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno mengatakan, uang yang telah dikembalikan Wilmar Group itu akan dimasukkan ke dalam memori kasasi untuk diserahkan kepada Mahkamah Agung.
    Sutikno menegaskan, kasus CPO masih belum berkekuatan hukum tetap alias inkrah. Oleh karena itu, ia berharap uang yang disita ini dapat memperkuat berkas jaksa di level kasasi.
    “Memasukkan uang yang telah kami sita tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memori kasasi sehingga keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh hakim agung yang memeriksa kasasi,” kata Sutikno.
    Ia berharap majelis hakim kasasi dapat mempertimbangkan uang yang telah disita sebagai kompensasi dari kerugian negara yang ditimbulkan oleh Wilmar Group cs.
    “Uang tersebut supaya dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan
    korupsi
    yang dilakukan para terdakwa korporasi,” lanjutnya.
    Sementara itu, Sutikno juga berharap agar dua perusahaan lain yang turut divonis lepas di tingkat pertama, yaitu Permata Hijau Group dan Musim Mas Group, dapat mengikuti jejak Wilmar Group mengembalikan uang.
    Sebagai informasi, dalam tuntutannya, jaksa menuntut pidana denda sebesar Rp 1 miliar masing-masing kepada setiap terdakwa korporasi. Selain itu, mereka juga diminta membayar pidana tambahan dengan jumlah berbeda-beda.
    Wilmar Group sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Group sebesar Rp 937,5 miliar.
     
    Sutikno mengatakan, dua korporasi ini masih mengupayakan pengembalian kerugian negara yang dimaksud.
    “Mereka sedang berproses, kita harapkan mereka akan mengembalikan secara utuh juga,” kata Sutikno lagi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan

    Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan

    Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perhimpunan Advokat Indonesia (
    Peradi
    ) mengusulkan penghapusan sejumlah aturan di dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kewenangan tersebut diusulkan dihapus karena, menurut mereka, berpotensi disalahgunakan aparat.
    Usulan itu disampaikan saat rapat lanjutan yang membahas revisi KUHAP bersama Komisi III DPR RI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
    Berikut beberapa usulan yang disampaikan Peradi:
    Wakil Ketua Umum Peradi Sapriyanto Refa mengatakan, ketentuan
    penyadapan
    telah diatur di dalam UU sektoral seperti UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Penyadapan, terang dia, merupakan bagian dari upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum, yang berpotensi disalahgunakan. Oleh karena itu, ia berpandangan, ketentuan serupa tak perlu lagi diatur di dalam KUHAP yang sifatnya lebih umum.
    “Bentuk-bentuk upaya paksa ini ada beberapa upaya paksa. Ini mengusulkan dalam upaya paksa yang dimiliki ini untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini penyadapan ini harus dihilangkan karena kami khawatir penyadapan ini akan disalahgunakan oleh penyidik dalam mengungkap sebuah tindak pidana,” kata Sapriyanto dalam rapat, Selasa.
    Ketentuan Peninjauan Kembali (PK), menurut Peradi, sebaiknya hanya dapat dilakukan paling banyak dua kali dan hanya boleh diajukan oleh terpidana.
    Saat ini, PK yang masuk ke dalam upaya hukum luar biasa, bisa diajukan lebih dari satu kali untuk perkara pidana. Di luar perkara
    a quo
    , seperti perdata, tata usaha negara, dan agama, PK hanya bisa diajukan satu kali.
    Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasa 268 ayat (3) KUHAP. Belakangan, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang mengesampingkan putusan MK, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA.
    “Kami berharap
    peninjauan kembali
    tidak dibatasi waktu dan hanya diajukan paling banyak dua kali, ini berkaitan dengan rasa keadilan. Bisa saja ketika dia mengajukan novum yang pertama yang menganggap ini belum menguntungkan, lalu kemudian dia menemukan novum baru lagi itu bisa saja menghasilkan sesuatu rasa keadilan bagi mereka,” ucap Sapriyanto.
    Sapriyanto menyoroti lamanya proses hukum akibat banyaknya alasan yang diperbolehkan untuk mengajukan PK. Menurutnya, kondisi itu bisa memperpanjang penanganan perkara dan menghambat kepastian hukum.
    Oleh karena itu, Peradi mengusulkan agar PK dibatasi hanya dua, dengan alasan  ditemukan novum (bukti baru) dan adanya putusan yang saling bertentangan.
    Di sisi lain, mereka menegaskan bahwa hak untuk mengajukan PK seharusnya hanya diberikan kepada terpidana, bukan kepada penuntut umum.
    “Dan peninjauan kembali hanya milik terpidana, bukan penuntut umum,” tegas Sapriyanto.
    Peradi juga mengusulkan agar bukti petunjuk dan keterangan ahli tidak lagi dimasukkan sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dalam
    RKUHAP
    .
    “Terkait alat bukti, kami hanya mengajukan empat alat bukti, yakni keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa,” kata Sapriyanto.
    Bukti petunjuk sebagaimana Pasal 184 KUHAP adalah alat bukti sah.
    Definisi “petunjuk” sebagaimana Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
    Menurutnya, bukti petunjuk sebaiknya dihapus karena dianggap berbahaya dan rawan disalahgunakan.
    Dia menjelaskan, bukti petunjuk kerap dijadikan sebagai pelengkap keyakinan hakim ketika alat bukti lain tidak mampu secara eksplisit menunjukkan siapa pelaku tindak pidana.
    Selain bukti petunjuk, Peradi juga mengusulkan agar keterangan ahli tidak lagi dimasukkan dalam kategori alat bukti.
    Menurut Sapriyanto, selama ini posisi ahli dalam proses peradilan pidana dinilai tidak netral dan justru kerap menguntungkan salah satu pihak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional

    Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional

    Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    ADA
    satu adigium di dalam penulisan sejarah yang sering dikutip di seluruh dunia. Bunyinya, “
    History is written by the victors
    ” atau sejarah ditulis oleh para pemenang.
    Kabarnya, jika kita merujuk kepada buku sejarah, tak terlalu jelas siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.
    Belakangan dalam beberapa kajian terbaru di Amerika Serikat, pencetus pertama kalimat tersebut mengerucut kepada dua tokoh, yang dalam perjalanan sejarah di masa lampau ternyata saling bermusuhan.
    Pertama, Herman Gering, salah satu tangan kanan Adolf Hitler. Pada pengadilan tribunal Nuremberg, Herman Gering memang tercatat pernah mengatakan “
    Der Sieger wird immer der Richter und der Besiegte stets der Angeklagte sein
    ,” yang berarti “
    The victor will always be the judge, and the vanquished the accused.

    Lebih kurang dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa “pemenang akan selalu menjadi hakim, sementara yang kalah akan menjadi terdakwa”.
    Kedua, Winston Churcill. Dalam sebuah pernyataan yang bernada candaan di hadapan
    House of Common
    pada 23 Januari 1948, Churcill tercatat mengatakan “
    For my part, I consider that it will be found much better by all parties to leave the past to history, especially as I propose to write that history myself
    ”.
     
    Lebih kurang artinya, “Menurut saya, akan jauh lebih baik bagi semua pihak untuk membiarkan masa lalu menjadi sejarah, terutama karena saya sendiri yang mengusulkan untuk menulis sejarah itu.”
    Namun lebih dari itu, dalam penelusuran sejarah, istilah senada acapkali muncul di dalam diskusi masyarakat di masa lalu.
    Peneliti Ken Hirsch menemukan kepingan dialog di dalam masyarakat Perancis pada 1848 yang berbunyi “
    histoire est juste peut-être, mais qu’on ne l’oublie pas, elle a été écrite par les vainqueurs
    ”.
    Dalam bahasa Inggris memiliki arti bahwa “
    The history is right perhaps, but let us not forget, it was written by the victors.

    Pun Ken menemukan di dalam dialog masyarakat Italia pada 1852, berbunyi “
    La storia di questi avvenimenti fu scritta dai vincitori
    ” di mana dalam bahasa Inggris berarti “
    The history of these events was written by the winners
    ”.
    Namun, kata Ken, pernyataan yang beragam itu muncul dalam bahasa yang jauh lebih elegan sebagaimana dikenal hari ini melalui mulut tokoh besar Revolusi Perancis, yakni Maximilien Robespierre.
    Bunyinya, “
    Vanquished, his history written by the victors
    ”. Lebih kurang berarti bahwa sejarah pihak yang kalah ditulis oleh para pemenang.
    Di sini tentu saya tidak ingin memperpanjang daftar pengucap pertama adigium tersebut. Selain bukan bidang saya secara keilmuan, saya sejatinya juga kurang tertarik untuk memperpanjang cerita kronologis-etimologis dari adigium tersebut.
    Saya di sini lebih memilih untuk fokus kepada pesan yang tersimpan di balik adigium tersebut, dikaitkan dengan perkembangan kontemporer di Indonesia saat ini.
    Poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sejarah Indonesia tidak akan berubah secara faktual historis, sekalipun ditulis ulang di dalam bahasa kekuasaan.
    Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya tidak perlu membagi fokus antara mengurus rakyat dan menulis ulang sejarah nasional Indonesia.
    Karena secara moral dan substansial, mengurus rakyat jauh lebih “wajib” ketimbang menulis ulang sejarah versi pemerintah sendiri yang notabene juga hanya untuk kepentingan pemerintah sendiri.
    Biarkan sejarawan dan para ilmuwan yang akan mengurusnya, karena mereka memang secara moral dan substansial bertugas untuk menulis itu semua.
    Kata seorang kolega akademisi di luar negeri tentang negaranya, bahwa tak perlu semua negara termasuk negaranya harus diseragamkan tentang sejarah. Menurut dia, negerinya bukan “negeri Hitler” atau “negeri Stalin”, di mana segala sesuatunya harus berdasarkan versi pemerintah.
    Hal tersebut sangat perlu saya sampaikan di sini karena pernyataan pemerintah terkait dengan sejarah nasional belakangan sudah mulai melenceng terlalu jauh.
    Jangan sampai ambisi pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional dengan bahasa kekuasaan justru memunculkan preseden buruk di negeri ini untuk masa-masa mendatang.
    Cukup mengkhawatirkan untuk membayangkan sepuluh tahun dari sekarang, katakanlah ketika gerbong kekuasaan mulai bergeser ke pusat yang lain, hal yang sama juga dilakukan nantinya atau kejadian berulang merujuk penguasa yang baru.
    Apa jadinya negeri ini jika sejarahnya diacak-acak secara politik setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
    Poin kedua saya adalah bahwa terlepas apapun bentuk keberatan pemerintah atas beberapa titik di dalam sejarah nasional, bahkan jika benar sekalipun keberatan tersebut, tugas pemerintah hanya menyampaikan keberatan tersebut kepada publik.
    Lalu biarkan ahli sejarah dan sejarahwan serta para cerdik pandai yang akan mengurusnya. Bahkan jika pada akhirnya tidak ditemukan titik kesamaan antarpara sejawaran dan ahli sejarah serta cerdik pandai, maka biarkanlah tetap seperti itu, karena akan jauh lebih baik seperti itu dibandingkan dengan ditulis ulang menggunakan bahasa kekuasaan.
    Apalagi jika keberatan pemerintah atas satu atau dua keping peristiwa sejarah hanya berdasarkan satu sudut sempit di satu sisi dan apalagi jika memiliki “modus” yang kurang baik di sisi lain, tentu akan jauh lebih berbahaya bagi negeri ini dan fatal bagi eksistensi ilmu sejarah di kampus-kampus nasional.
    Lihat saja, betapa berbahayanya pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang menafikan validitas pemerkosaan massal di tahun 1998.
    Karena hasil temuan tim pencari fakta sudah sangat jelas dipaparkan selama ini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan korban-korbannya sudah diungkapkan secara jelas pula.
    Ucapan tersebut setali tiga uang dengan bahaya yang tersimpan di balik ambisi pemerintah yang ingin menulis ulang sejarah versi “pelat merah”.
    Dan dalam konteks itu pula mengapa di awal tulisan ini saya harus memulainya dengan adigium di atas.
    Potensi distorsinya akan sangat tinggi jika kekuasaan sudah mulai berusaha “cawe-cawe” di dalam penulisan sejarah nasional negara.
    Pasalnya, di dalam kekuasaan, tak ada bahasa “ilmiah” yang bisa dipegang secara objektif, tanpa ada kepentingan di baliknya.
    Akan selalu ada “udang” di balik “batu”, jika bahasa kekuasaan sudah mulai memasuki ranah yang tak perlu dimasuki itu. Jika tak demikian, bukan kekuasaan namanya toh.
    Sehingga, kita sebagai anak bangsa sebaiknya jangan pernah mau terprovokasi untuk diajak mencampuradukkan antara kepentingan kekuasaan dengan penulisan sejarah nasional yang sejatinya harus ditulis secara ketat dan ilmiah oleh para pihak yang kompeten, yakni sejarawan dan ilmuwan.
    Karena itu, dalam hemat saya, sekaligus sebagai usulan baik saya kepada pemerintah, langkah terbaik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan sejarah nasional adalah mencontoh sikap dan tindakan dari negara besar lain, terutama Amerika Serikat.
    Jika memang pemerintah memiliki data dan informasi yang selama ini belum mampu diakses publik, terutama oleh ahli sejarah dan sejarawan, maka “release” data tersebut, layaknya CIA, misalnya, merilis data yang mereka miliki setelah 50 tahun waktu berlalu.
    Lalu biarkan ilmuwan dan sejarawan yang menjadikannya serpihan-serpihan ilmiah sejarah nasional Indonesia.
    Dan poin ketiga, saya tidak mau naif dalam hal ini, jadi saya akan menghormati para pihak yang ingin menulis ulang sejarah, tapi bukan dengan mengatasnamakan pemerintah atau negara.
    Usul saya, ada cara lain yang juga tak kalah elegannya untuk para pihak di dalam pemerintahan agar bisa terlibat di dalam dinamika dan proses penulisan sejarah nasional Indonesia, yakni menulis kepingan sejarah atas nama sendiri.
    Sebagaimana diketahui, Fadli Zon sebagai salah satu anak bangsa pilihan (karena diangkat menjadi salah satu menteri), bukan sebagai pejabat negara, menuliskan versinya sendiri atas satu atau dua peristiwa di dalam perjalanan sejarah nasional yang menurutnya kurang bisa ia terima.
    Hal semacam ini juga lazim dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah di mana pun di dunia ini. Namun lagi-lagi tidak mengatasnamakan pemerintah atau negara, tapi mengatasnama diri sendiri (biasanya setelah tak lagi menjabat).
    Memang tidak akan menjadi versi resmi pemerintah, karena sebaiknya tidak ada istilah “versi resmi pemerintah” di dalam penulisan sejarah. Hal itu toh memang tak diperlukan. 
    Namun setidaknya keresahan para pihak di dalam pemerintahan secara orang perorang terhadap satu atau dua kepingan sejarah nasional tidak pernah dilarang untuk disampaikan kepada publik melalui cara-cara yang baik.
    Apalagi tokoh-tokoh sekelas Fadli Zon dan kawan-kawan diyakini memiliki sumber daya berlimpah untuk menerbitkan ribuan eksemplar buku, tanpa harus membawa-bawa nama pemerintah dan negara.
    Dengan cara itu, Fadli Zon dan kawan-kawan bisa mempertahankan thesisnya soal peristwa pemerkosaan massal 1998 atau versi lain pemberontakan Madiun, atau apapun, misalnya.
    Saya yakin, jika thesis Fadli Zon tak kuat, maka para sejarawan dan publik akan menelanjanginya. Namun jika benar, saya juga yakin, publik dan sejarawan akan mengafirmasi dan mengapresiasi.
    Dan lagi-lagi, dialektika semacam itu akan berlangsung objektif dan mulus, karena tidak ada dinding negara dan kekuasaan yang harus dihadapi.
    Lain cerita kalau sudah mengatasnamakan negara atau pemerintah, maka dialektika ilmiah sudah nyaris tidak ada lagi di satu sisi dan adigium bahwa “
    history is written by the victors
    ” akan berlaku di sisi lain.
    Oleh karena itu, di sini saya harus mengulangi lagi, negara dan pemerintah tak perlu “cawe-cawe” di dalam penulisan ulang sejarah.
    Sebagai bagian dari rakyat biasa saya dengan kerendahan hati hanya berharap agar pemerintah fokus saja kepada janji-janji politik yang sudah terlanjur dinyanyikan selama masa kampanye. Itu sudah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.