SK Kepengurusan PDI-P Digugat, Kepengurusan Diklaim Berakhir Agustus 2024
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dua kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggugat Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM terkait perpanjangan kepengurusan DPP PDI-P ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Anthonius Manoppo dan Gogot Kusumo Wibowo yang mengaku sebagai kader PDI-P lewat kuasa hukumnya,
Anggiat BM Manalu
menyebut bahwa SK perpanjangan masa kepengurusan DPP PDI-P telah melanggar anggaran dasar partai.
Pasalnya dalam anggaran dasar PDI-P, perpanjangan masa kepengurusan harus diputuskan lewat kongres. Adapun partai berlambang kepala banteng itu belum juga menggelar forum tersebut.
Sedangkan kepengurusan DPP PDI-P periode 2019-2024 seharusnya sudah berakhir sejak 8 Agustus 2024. Namun, kepengurusan itu diperpanjang dengan dalih hak prerogatif Ketua Umum PDI-P,
Megawati Soekarnoputri
.
“Ini kepengurusan sudah berakhir 8 Agustus 2024, diperpanjang tanpa kongres dengan alasan merupakan hak prerogatif daripada ketua umum,” ujar Anggiat saat ditemui di PTUN Jakarta, Jakarta Timur, Rabu (25/6/2025).
“Namun, kami selaku penasihat hukum daripada para penggugat sudah mencermati semua anggaran dasar, maupun hasil-hasil penetapan di Kongres V, itu tidak ada memberikan secara eksplisit hak prerogatif,” sambungnya.
Ia melanjutkan, pihaknya akan mengajukan satu orang saksi dan satu orang ahli dalam sidang berikutnya.
Namun, Anggiat enggan mengungkap siapa saksi dan ahli yang akan dihadirkan, mengingat adanya dugaan intimidasi jika ia mengungkap namanya.
“Berbagai macam, minta dicabut, ada juga sedikit intimidasi, ada juga iming-iming berbagai macam cara,” ujar Anggiat.
Perkara ini terdaftar dengan nomor 113/G/2025/PTUN.JKT dan telah memasuki sidang ke-8. Sidang berikutnya dijadwalkan pada Rabu (2/7/2025), dengan agenda pemeriksaan bukti tambahan serta keterangan saksi dan ahli dari pihak penggugat.
Jika berkaca pada pernyataan Anggiat, ia mengkritik tidak adanya aturan terkait hak prerogatif Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dalam memperpanjang masa kepengurusan.
Adapun dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) DPP PDI-P periode 2019-2024 yang diunduh dari laman resmi DPD PDI-P Jawa Timur, hak prerogatif ketua umum diatur dalam Pasal 15.
Dalam Pasal 15 AD/ART itu menjelaskan tujuh hak prerogatif Ketua Umum PDI-P. Pertama, mengambil sikap yang diperlukan atas nama partai apabila negara dalam keadaan darurat.
Kedua, mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga keutuhan organisasi dan ideologi partai.
“Menentukan perubahan sikap politik Partai dalam hal pemerintahan tidak menjalankan nilai-nilai Pancasila,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan program-program pemerintahan yang tidak sesuai dengan TRI SAKTI,” bunyi poin ketiga hak prerogatif Ketua Umum PDI-P.
Keempat, menentukan pelaksanaan Kongres. Kelima, mengajukan calon ketua umum partai kepada Kongres Partai. Keenam, memutuskan calon presiden dan/atau calon wakil presiden serta calon menteri dan/atau calon wakil menteri.
“Mengganti personalia DPP Partai,” bunyi poin terakhir ihwal hak prerogatif Ketua Umum PDI-P.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/02/19/67b5b878afd48.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
SK Kepengurusan PDI-P Digugat, Kepengurusan Diklaim Berakhir Agustus 2024 Nasional 25 Juni 2025
-
/data/photo/2024/12/06/6752355727420.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ini 21 Sosok yang Pernah Jadi Dubes RI di AS, Nama ke-22 Disebut Telah Dikantongi Nasional 25 Juni 2025
Ini 21 Sosok yang Pernah Jadi Dubes RI di AS, Nama ke-22 Disebut Telah Dikantongi
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah disebut telah mengantongi nama bakal calon Duta Besar (
Dubes
) Indonesia untuk Amerika Serikat (AS).
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto mengungkapkan, nama-nama bakal calon
Dubes Indonesia
untuk AS memiliki latar belakang diplomat hingga politikus.
“Ada yang dari diplomat, ada yang dari politik. Ada beberapa lah,” ujar Bambang di Graha Pengayoman, Jakarta, Senin (23/6/2025).
Kendati demikian, ia juga enggan mengungkap nama-nama yang sudah dikantongi pemerintah untuk mengisi posisi Dubes di AS.
Bambang hanya menyampaikan, pihaknya menunggu arahan Presiden
Prabowo Subianto
untuk menetapkan satu nama sebelum diserahkan ke DPR.
“Kita tunggu arahan presiden tentang itu. Sampai sekarang sudah ada arahan, cuma kita lagi olah untuk ngisinya. Ada beberapa nama cuma sedang kita proses,” ujar Bambang.
Sementara itu, posisi Dubes Indonesia yang ditempatkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington DC sudah pernah diisi oleh 21 nama.
Berdasarkan laman resmi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), pada periode pemerintahan Presiden Soekarno setidaknya ada lima nama yang pernah menduduki posisi tersebut, yakni Ali Sastroamidjojo, Moekarto Notowidigdo, Zairin Zain, Lambertus Nicodemus Palar, dan Suwito Kusumowidagdo.
Selanjutnya pada era pemerintahan Presiden Soeharto terdapat sembilan nama yang pernah mengisi jabatan itu, yakni Soedjatmoko, Syarief Thayeb, dan Roesmin Noerjadin.
Kemudian ada Ashari Danudirdjo, Hasnan A. Habib, Soesilo Soedarman, Abdul Rahman Ramly, Arifin Siregar, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Lalu pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, hanya terdapat satu nama yang pernah mengisi posisi
Dubes Indonesia untuk AS
di Washington DC, yakni Soemadi Brotodiningrat.
Kemudian pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada Sudjadnan Parnohadiningrat, Dino Patti Djalal, dan Budi Bowoleksono.
Terakhir pada dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terdapat tiga nama yang pernah menduduki jabatan itu, yakni Mahendra Siregar, Muhammad Lutfi, dan
Rosan Roeslani
.
Rosan tak lagi menduduki posisi Dubes Indonesia untuk AS karena pada saat itu ditunjuk sebagai Wakil Menteri BUMN oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Setelah Rosan, Jokowi pasa sisa kepemimpinannya belum lagi menunjuk Dubes Indonesia untuk AS di Washington DC sejak 17 Juli 2023.
Prabowo Subianto yang dilantik sebagai Presiden sejak 20 Oktober 2024 juga belum menunjuk nama yang akan mengisi kursi Dubes Indonesia untuk AS. Namun, Prabowo disebut sudah mengantongi nama-nama bakal calon Dubes Indonesia untuk AS.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/25/685b47445fb71.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Isi Pembicaraan Telepon antara Prabowo dan Presiden Korsel Nasional 25 Juni 2025
Isi Pembicaraan Telepon antara Prabowo dan Presiden Korsel
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Kabinet (Seskab) Letkol Teddy Indra Wijaya mengungkapkan bahwa Presiden
Prabowo
Subianto melakukan panggilan telepon dengan Presiden Republik Korea Yang Mulia Lee Jae-myung pada Senin (23/6/2025) malam.
Hal itu disampaikan Seskab Teddy melalui unggahan melalui akun Instagram Sekretariat Kabinet @sekretariat.kabinet pada Selasa, 24 Juni 2025.
Lantas apa yang dibicarakan kedua pemimpin negara tersebut?
Seskab Teddy mengatakan, Lee Jae-myung menyampaikan terima kasih kepada
Presiden Prabowo
karena mengucapkan selamat kepadanya.
“Dalam kesempatan ini, Presiden Lee menyampaikan ucapan terima kasih atas surat ucapan dari Presiden Prabowo atas kemenangan Presiden Lee pada pemilihan umum Presiden yang diselenggarakan pada 3 Juni 2025 yang lalu, dan langsung dilantik di keesokan harinya,” ujar Teddy.
Kemudian, menurut dia, Presiden Lee menyampaikan harapannya untuk segera melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia.
Selanjutnya, Prabowo dan Lee Jae-myung disebut bertukar pikiran mengenai situasi global hingga bicara soal memperkuat hubungan kedua negara.
“Kedua pemimpin negara juga bertukar pandangan mengenai perkembangan situasi global, dan sepakat untuk melanjutkan dan memperkuat kemitraan kedua negara,” kata Teddy.
Apalagi, Teddy menyebut bahwa Republik Korea merupakan salah satu mitra utama Indonesia dalam perdagangan dan investasi.
“Di mana kerja sama bilateral antara Indonesia dan Republik Korea terus menunjukkan tren peningkatan yang sangat baik,” ujar Teddy.
Saat berbicara dengan Presiden Lee, Prabowo tampak didampingi Seskab Teddy dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono.
Dalam unggahan di akun @sekretariat.kabinet, Prabowo tampak duduk berkomunikasi dengan Presiden Lee. Sedangkan Seskab Teddy dan Menlu Sugino duduk di depan Prabowo sambil dengan seksama menyimak pembicaraan kedua pemimpin negara tersebut.
Diketahui, selama bulan Juni 2025, Prabowo sudah beberapa kali terhubung dengan pemimpin negara lain melalui sambungan telepon.
Pada 6 Juni 2026, Prabowo menerima telepon dari Perdana Menteri (PM) Kanada Mark Carney.
Melalui sambungan telepon itu, PM Carney mengundang Presiden Prabowo secara resmi untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven (G7) tahun 2025 yang akan digelar di Kananaskis, Alberta, Kanada.
Meskipun akhirnya Prabowo tak menghadiri KTT G7 karena sudah telebih dahulu berjanji menghadiri St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia.
Kemudian, pada 12 Juni 2025, Prabowo menerima panggilan telepon dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Pembicaraan Prabowo dan Trump berlangsung sekitar 15 menit. Keduanya, saling mengucapkan selamat atas terpilihnya mereka sebagai pemimpin negara masing-masing.
Kemudian, dalam pembicaraan singkat itu, Prabowo dan Trump disebut sepakat untuk meningkatkan kerja sama antara kedua negara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/19/682b14561f236.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Koordinasi dengan Polisi Usai Sita Senjata Api Terkait Kasus ASDP Nasional 25 Juni 2025
KPK Koordinasi dengan Polisi Usai Sita Senjata Api Terkait Kasus ASDP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian usai menyita dua
senjata api
dalam penggeledahan dua rumah yang berlokasi di
Jakarta Selatan
, pada Senin (23/6/2025) malam.
Penyitaan tersebut dilakukan KPK terkait dengan kasus korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022.
“KPK akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian ya terkait dengan temuan senjata api tersebut,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu (25/6/2025).
Budi mengatakan, penyidik akan melakukan pengecekan secara detail terkait kelengkapan dokumen senjata api laras pendek dan panjang kaliber 32 tersebut.
“Kami akan cek dokumen pendukung detail dari senpi tersebut, tapi tentu juga KPK akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait,” ujarnya.
Budi mengatakan, senjata api tersebut milik salah satu tersangka dalam kasus
korupsi PT ASDP
. Namun, ia tak mengungkapkan identitas tersangka yang dimaksud.
“Salah satu tersangka dalam perkara ASDP,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita lima unit mobil mewah dan senjata api usai menggeledah dua rumah yang berlokasi di Jakarta Selatan, pada Senin (23/6/2025) malam.
“Pada Senin malam (23/6), Tim KPK melakukan penggeledahan terhadap 2 rumah yang berlokasi di Jakarta Selatan. Penggeledahan ini terkait dengan Penyidikan Perkara ASDP yang masih berjalan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa (24/6/2025).
Budi mengatakan, lima unit mobil yang disita KPK dari penggeledahan tersebut di antaranya, 2 unit mobil merek Lexus, 1 unit Mercedes-Maybach, 1 unit Alphard, dan 1 unit Xpander.
“Selain kendaraan, Penyidik juga menyita senjata api laras pendek dan panjang kaliber 32,” ujarnya.
Meski demikian, Budi belum mengungkapkan secara detail identitas pemilik rumah yang dilakukan penggeledahan dan penyitaan.
Dia hanya mengatakan, penyidik juga melakukan pemasangan tanda penyitaan terhadap rumah dan tanah di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
“Kemudian Penyidik juga melakukan pemasangan tanda penyitaan terhadap rumah dan bidang tanah yang berlokasi di Pondok Indah, Jakarta Selatan,” ucap dia.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi PT ASDP ini mencapai Rp 893 miliar.
“Transaksi akuisisi PT JN oleh PT ASDP terindikasi menimbulkan kerugian keuangan negara hampir Rp 900 miliar atau sekurang-kurangnya Rp 893.160.000.000,” kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (13/2/2025).
KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu Ira Puspadewi selaku Direktur Utama PT ASDP tahun 2017–2024; Harry Muhammad Adhi Caksono selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP tahun 2020–2024; Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP tahun 2019–2024; dan Adjie selaku Pemilik PT Jembatan Nusantara Group.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2018/06/24/3415437599.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Politik Narcissus di Negeri Para Ketua Nasional 25 Juni 2025
Politik Narcissus di Negeri Para Ketua
Seorang politisi pecinta bola dan dunia usaha
DI MEDAN
, ada istilah yang sangat populer dan masyhur di berbagai kalangan, yakni kata “ketua”, “engkol”, dan “mengumbang”. Istilah-istilah ini lazim digunakan mulai dari kalangan cendekia hingga akar rumput.
Tulisan ini meminjam ketiga frasa itu untuk menjelaskan benang kusut sosial politik Indonesia dalam bingkai yang disebut sebagai “politik
narsistik
”.
Istilah ini bukan hanya kosakata lokal, tetapi cerminan struktur sosial dan psikologis yang terbentuk dari budaya relasi kuasa.
Ketiga istilah tersebut menunjukkan bagaimana identitas politik terbentuk, dirawat, dan disimbolkan dalam narasi sehari-hari.
Istilah ini tak sekadar kosakata, tetapi bagian dari ekologi sosial-politik yang memperlihatkan bagaimana simbolisme dapat menggeser substansi.
Ia mencerminkan cara
kekuasaan
dimaknai, dipertontonkan, dan dikelola di ranah publik, sekaligus memperlihatkan sisi rapuh dari demokrasi simbolik.
Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah pemuda tampan yang dikutuk jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri. Ia akhirnya mati karena tak mampu melepaskan diri dari refleksi wajahnya di permukaan air.
Kisah ini menjadi simbol obsesi pada citra diri dan ketidakmampuan membangun relasi sejati. Dalam konteks ini, Narcissus menjadi metafora untuk memahami bagaimana kekuasaan dan kebijakan seringkali dikonstruksi demi memuja citra pemimpin.
Narcissus tak hanya gagal mengenali kenyataan, tetapi juga terperangkap dalam cermin identitas yang semu.
Inilah gambaran dari kekuasaan yang tidak lagi melihat rakyat sebagai tujuan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pusat imajinasi politik.
Dalam ruang kekuasaan kontemporer, narasi tentang Narcissus menemukan bentuk baru. Ketika pemimpin lebih sibuk mengatur pencitraan ketimbang pengaruh nyata, kita melihat cermin mitologis itu hidup dalam praktik kekuasaan modern.
Tiga istilah tadi membentuk konstruksi sosial politik yang khas. ‘Ketua’ merepresentasikan status simbolik yang datang dengan beban sosial tinggi.
‘Engkol’ adalah strategi pencitraan—baik bagi yang melakukannya maupun yang menerima dampaknya.
Sedangkan ‘mengumbang’ adalah teknik mengangkat lalu menjatuhkan, sebuah seni dalam memainkan narsisme kekuasaan.
Dalam praktiknya, istilah ini menjadi pisau bermata dua—membentuk loyalitas dan pada saat yang sama memelihara kepalsuan.
Istilah-istilah ini telah menubuh dalam tata komunikasi politik lokal dan membentuk gaya kepemimpinan yang cenderung berorientasi simbol.
Bahkan dalam praktik elektoral, ketiga istilah itu hidup dalam interaksi antara elite dan massa. Ia mengatur siapa yang layak naik, siapa yang harus menjaga jarak, dan siapa yang siap dijatuhkan demi tatanan relasi kuasa yang stabil secara simbolik, tapi rapuh secara moral dan struktural.
Christopher Lasch dalam
The Culture of Narcissism
menggambarkan masyarakat yang menjadikan ruang publik sebagai panggung ego.
Jan-Werner Müller menjelaskan bahwa populisme melahirkan pemimpin yang mengidentikkan diri dengan negara.
Sementara Erich Fromm melihat narsisme sebagai pelarian dari ketidakamanan eksistensial. Semua ini membantu memahami fenomena politik narsistik hari ini.
Lasch mengingatkan bahwa narsisme bukan sekadar perilaku individu, tetapi struktur sosial.
Müller memperlihatkan bahaya dari klaim eksklusif kebenaran oleh pemimpin yang merasa diri satu-satunya representasi rakyat.
Fromm menekankan bahwa kekuasaan yang narsistik akan lebih sibuk melindungi citra daripada menyelesaikan persoalan nyata.
Ketiganya menegaskan bahwa narsisme bukan sekadar penyakit personal, melainkan bisa menjadi ideologi politik diam-diam yang dijalankan dengan penuh kesadaran.
Kekuasaan
yang berorientasi citra menjadikan rakyat sebagai latar belakang, bukan subjek utama kebijakan.
Di banyak ruang publik, pemimpin tampil sebagai pusat narasi—bukan sebagai pelayan publik, tetapi ikon yang dipuja.
Istilah ‘ketua’ menjadi status kultural yang mengharuskan pengawalan dan pemujaan. ‘Engkol’ menjadi alat untuk menjaga jarak dengan kekuasaan, dan ‘mengumbang’ sebagai cara menyusun atau merontokkan citra.
Maka tak heran jika wajah pemimpin lebih sering muncul di spanduk ketimbang data kebijakan. Fenomena ini menandai pergeseran dari orientasi pelayanan menjadi pertunjukan berulang tentang siapa yang layak dipuja.
Politik narsistik dalam kebijakan tampak dari: (1) kebijakan demi pencitraan, (2) proyek prestise tak berkelanjutan, (3) minim partisipasi publik, (4) pengambilan keputusan yang sentralistik, dan (5) komunikasi yang lebih visual daripada substansial.
Dari kelima ciri itu, bisa disimpulkan bahwa kebijakan menjadi sarana glorifikasi personal, bukan alat intervensi struktural.
Politik menjadi ruang sinematik, tempat pencapaian dikisahkan secara dramatis dan penuh muatan emosional, tapi miskin substansi jangka panjang.
Relasi kuasa kemudian tidak lagi berbasis mandat rakyat, melainkan pada performa. Seseorang dipilih bukan karena kapasitas, tetapi karena tampilan dan retorika.
Kritik terhadap kebijakan bisa dengan cepat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap ‘citra’, bukan sebagai evaluasi rasional terhadap keputusan publik.
Kebijakan sering dibuat bukan sebagai solusi struktural, tapi untuk mengejar efek emosional sesaat—viralitas, simpati publik, atau tepuk tangan media sosial.
Masyarakat dijadikan penonton atas pertunjukan heroisme semu, bukan subjek perubahan. Kebijakan berubah dari alat transformasi menjadi alat pemujaan.
Proyek mercusuar diluncurkan tanpa rencana keberlanjutan, sekadar memantik efek visual dan menenangkan pasar simpati.
Efektivitas kebijakan menjadi nomor sekian, selama framing dan respons publik di media sosial bisa dikendalikan.
Akibatnya, banyak ruang publik menjadi ladang kontestasi visual, bukan arena pertukaran gagasan. Keberanian berpikir dikalahkan oleh keahlian berpose.
Inilah paradoks demokrasi era narsistik: semakin terlihat, semakin dipercaya, walau tak selalu berdasar realitas lapangan.
Gejala ini memperlemah ruang partisipasi. Kritik dianggap serangan pribadi karena pemimpin mengidentikkan dirinya dengan negara.
Sistem deliberatif melemah, digantikan budaya loyalitas. Partisipasi menjadi formalitas belaka, sedangkan keputusan dibuat berdasarkan intuisi politis, bukan evaluasi rasional.
Keterlibatan rakyat diposisikan bukan sebagai pemegang kedaulatan, tetapi sebagai penonton yang harus bersorak. Padahal demokrasi mensyaratkan dialog, bukan sekadar aklamasi. Ketika kritik dibungkam, negara kehilangan fungsi korektifnya.
Budaya narsistik ini tumbuh karena masyarakat permisif terhadap pencitraan, media lebih suka tayangan heroik ketimbang debat substantif, dan pendidikan politik kritis minim.
Masyarakat pun tanpa sadar menjadi pengumbang atau pengengkol, yang membantu melanggengkan logika narsisme.
Ketika ruang publik lebih menghargai retorika daripada rekam jejak, maka pemimpin hanya perlu piawai berbicara, bukan bekerja.
Pendidikan politik yang dangkal, media yang pragmatis, dan masyarakat yang lebih mencintai euforia menjadi lahan subur bagi narsisme kolektif.
Politik narsistik menggantikan nilai dengan impresi, kolektivitas dengan kultus individu. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari pemujaan pada ‘ketua’, tetapi dari warga yang kritis menjaga ruang publik dari simbolisme menyesatkan.
Demokrasi butuh substansi, bukan sekadar sensasi. Ini bukan hanya soal figur, tetapi soal arah politik nasional.
Demokrasi harus dibangun di atas kesadaran kritis, bukan mitos tokoh penyelamat. Dalam masyarakat yang sehat, pemimpin adalah pelayan ide, bukan penguasa atas simbol.
Kegelisahan muncul ketika narsisme bukan lagi soal individu, tetapi sistem. Kebijakan publik kehilangan empati, menolak evaluasi, dan menjadikan pemimpin pusat segalanya.
Gejala ini bisa disebut sebagai
Narcissistic Policy Disorder
—bukan diagnosis medis, tetapi istilah reflektif untuk menggambarkan kebijakan yang lebih mencerminkan ego kekuasaan daripada kebutuhan rakyat.
Dalam kondisi ekstrem, seluruh sistem pemerintahan dapat berubah menjadi alat pemantul ego tunggal.
Jika seluruh institusi hanya berfungsi sebagai penguat narasi personal, maka kebijakan publik kehilangan jiwa dan jangkarnya.
Sebagai masyarakat demokratis, kita harus membalik logika ini. Menilai pemimpin dari hasil, bukan hanya narasi.
Melihat kebijakan dari dampak, bukan hanya dari iklan. Menjaga agar ruang deliberatif tetap hidup adalah tugas intelektual sekaligus tanggung jawab kewargaan.
Narcissistic Policy Disorder
adalah panggilan untuk meninjau kembali cara kita menilai kebijakan, tidak hanya dari efektivitas teknis, tetapi dari moralitas dan etika kekuasaan.
Jika kebijakan hanya menjadi cermin pemimpin, maka demokrasi kehilangan arah. Kritik bukan oposisi, tetapi kewarasan publik yang harus dijaga bersama.
Ini juga merupakan ajakan agar akademisi, jurnalis, dan warga aktif terlibat membongkar mekanisme narsisme struktural.
Refleksi publik harus terus dilakukan agar kebijakan tetap berpijak pada kebutuhan rakyat, bukan pada kecemasan personal pemimpin akan ketidakabadian.
Gagasan ini mengajak kita semua, terutama akademisi dan aktor masyarakat sipil, untuk lebih kritis membaca bahasa kekuasaan.
Jika tidak, maka kita berisiko terjebak dalam lingkaran kebijakan yang indah di poster, tetapi hampa di lapangan. Demokrasi yang demikian hanya akan melahirkan kekuasaan yang anti-kritik, rapuh, dan penuh ilusi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/20/6855618b18f4d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cak Imin: Pesantren Harus Pimpin Perubahan, Tak Boleh Cuma Jadi Penonton Nasional 24 Juni 2025
Cak Imin: Pesantren Harus Pimpin Perubahan, Tak Boleh Cuma Jadi Penonton
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (
Cak Imin
) mendorong
pesantren
untuk memimpin perubahan, bukan hanya duduk di kursi penonton.
“
Pesantren
tidak boleh hanya menjadi penonton, tetapi harus memimpin perubahan,” ujar Cak Imin.
Hal tersebut disampaikan Cak Imin saat membuka International Conference on the Transformation of Pesantren (ICTP) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).
Cak Imin menyebut, algoritma media sosial kini memengaruhi perilaku masyarakat, termasuk dalam aspek keagamaan.
Dengan begitu, kata dia, pesantren harus bersiap menghadapi tantangan tersebut.
Cak Imin menilai, meski pesantren memiliki ketahanan dan kemandirian, banyak yang belum memiliki daya saing kuat dalam mencetak generasi unggul.
“Kesimpulannya pesantren itu mandiri, iya, pesantren itu memiliki daya tahan, iya, tetapi harus diakui pesantren tidak memiliki daya kompetisi yang unggul,” tuturnya.
Cak Imin pun menyoroti belum adanya evaluasi menyeluruh terhadap program modernisasi pesantren yang pernah dijalankan, termasuk integrasi dengan sistem pendidikan unggulan dan kompetisi berbasis nilai.
Kemudian, Cak Imin mengungkapkan kekhawatirannya terhadap sejumlah masalah yang mencoreng citra pesantren, seperti kekerasan seksual, perundungan antar santri, hingga intoleransi.
Cak Imin berharap konferensi ini mampu memetakan potensi pesantren di bidang industri dan keilmuan.
Dia bahkan menyebut PKB siap menjadi fasilitator antara pemerintah, pesantren, dan dunia industri, baik nasional maupun global.
Sementara itu, Cak Imin turut menyinggung keberadaan 39.000 pesantren di Indonesia, yang menurutnya perlu diklasifikasikan secara lebih akurat, termasuk untuk mengantisipasi keberadaan pesantren palsu yang mencoreng nama baik dunia pesantren.
“Kita harus jujur, dari jumlah itu berapa yang mandiri, berapa yang benar-benar memberikan manfaat bagi umat, bangsa, dan negara,” ujar Cak Imin.
Adapun konferensi tersebut mengusung tema “Pesantren Berkelas Menuju Indonesia Emas: Menyatukan Tradisi, Inovasi, dan Kemandirian.” Turut hadir Ketua Dewan Syura DPP PKB Maruf Amin, Menteri Agama Nasaruddin Umar, serta mantan Ketua PBNU Said Aqil Siradj.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/24/685aae81521ce.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anies Harap Hakim Kasus Tom Lembong Tak Ditekan Siapapun Nasional 24 Juni 2025
Anies Harap Hakim Kasus Tom Lembong Tak Ditekan Siapapun
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mantan Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan
meminta semua pihak memberi ruang kepada majelis hakim yang mengadili perkara eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, agar tidak tertekan dalam menjatuhkan putusan.
Pernyataan tersebut disampaikan Anies usai menghadiri sidang dugaan korupsi importasi gula yang menjerat
Tom Lembong
di
Pengadilan Tipikor
Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).
“Mari kita semua, seluruh unsur yang ada di negeri ini memberikan ruang kepada hakim untuk mengambil keputusan dengan objektif tanpa ada tekanan dari manapun juga,” kata Anies saat ditemui awak media di lokasi.
Anies enggan mengomentari berbagai keterangan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan.
Ia hanya berharap majelis hakim bisa menjunjung tinggi keadilan dan menghormati objektivitas dalam memeriksa perkara Tom Lembong.
“Saya yakin hakim akan memutuskan dengan mengandalkan prinsip kebenaran, kejujuran, kepastian hukum, dan objektivitas di situ,” ujar Anies.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/04/11/67f90b2170126.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/23/68594b91441e8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/24/685acc79c2fad.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)