Kemenperin Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana Banjir dan Longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar
Penulis
KOMPAS.com
– Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat terdampak banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Pelepasan bantuan dilakukan oleh Menteri Perindustrian (Menperin)
Agus Gumiwang Kartasasmita
pada Rabu (3/12/2025) di Jakarta.
“Kami memahami bahwa bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini memiliki skala yang cukup besar, sehingga masyarakat di daerah terdampak tentu membutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak,” ujar Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Kamis (4/12/2025).
Bantuan yang dikirimkan terdiri atas kebutuhan dasar, seperti paket sembako, air minum, pakaian layak pakai, perlengkapan kebersihan, serta dukungan logistik lainnya.
Selain bantuan barang, Kemenperin juga menyalurkan bantuan uang tunai yang dihimpun dari pejabat dan pegawai sebagai bentuk gotong royong internal.
Pengumpulan donasi internal ini telah mencapai satu truk muatan bantuan barang dan dana tunai yang akan disalurkan melalui satuan kerja Kemenperin di daerah untuk mendukung operasional dapur umum dan kebutuhan mendesak lainnya.
“Hari ini kami mengirimkan sebagian bantuan terlebih dahulu sebagai tahap awal, dan akan ada pengiriman berikutnya yang kami susulkan,” ujar Agus Gumiwang Kartasasmita.
Ia juga mengapresiasi para pelaku industri yang turut memberikan dukungan baik dalam bentuk barang maupun dana tunai.
“Banyak bantuan dari perusahaan manufaktur yang sudah disalurkan, baik melalui Kemenperin maupun lembaga lain. Yang terpenting adalah adanya panggilan kepedulian untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak,” ungkapnya.
Salah satu bantuan yang dikirimkan hari ini adalah Alat Mekanis Multiguna Pedesaan (AMMDes) untuk penyulingan air dan kendaraan multifungsi berbasis teknologi manufaktur nasional yang dapat menyediakan air bersih.
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, AMMDes untuk penyulingan air sangat relevan dengan kebutuhan wilayah terdampak, mengingat persoalan air bersih menjadi kendala utama.
“Hari ini dikirim satu unit, dan kami sedang berkoordinasi dengan produsen untuk mempercepat penambahan unit berikutnya. Semua barang bantuan yang kami kirim akan kami pastikan bahwa barang tersebut adalah produk industri dalam negeri,” jelas Menperin.
Dari sisi industri, laporan sementara menunjukkan bahwa kawasan industri di Aceh, Sumut, dan Sumbar secara umum tidak mengalami kerusakan berarti dan masih dapat beroperasi.
Kendala justru dialami beberapa pabrik di luar kawasan industri akibat masalah akses serta
gangguan utilitas, terutama pasokan air dan listrik.
“Pemerintah berkomitmen mempercepat pemulihan utilitas dan akses agar aktivitas masyarakat dan industri dapat kembali normal,” tegasnya.
Untuk mendukung ketepatan distribusi bantuan, Kemenperin juga bekerja sama dengan TNI yang menyiapkan pesawat angkut menuju tiga wilayah terdampak.
Sementara itu, bantuan uang tunai yang dihimpun akan digunakan satuan kerja di daerah untuk memperkuat operasional dapur umum dan pemenuhan kebutuhan harian masyarakat terdampak secara cepat.
Kemenperin berharap kolaborasi pemerintah, pelaku industri, dan berbagai pihak dapat
mempercepat pemulihan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat di wilayah terdampak bencana.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/12/04/6930bda3afe7f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bagaimana Cara Membuat Masyarakat Makin Waspada terhadap Bencana? Nasional 4 Desember 2025
Bagaimana Cara Membuat Masyarakat Makin Waspada terhadap Bencana?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Banjir bandang Sumatera menyentak Indonesia, perlu ada peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana alam.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menegaskan bahwa masa depan pembangunan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketangguhan menghadapi bencana.
“Urusan bencana adalah urusan kita semua. Kita harus tangguh, bukan hanya manusianya, tapi juga alamnya, perusahaannya, masyarakatnya,” kata Pratikno di Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Ia menyebutkan bahwa apa yang sedang terjadi di sejumlah provinsi saat ini menjadi pengingat bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam semata, melainkan peristiwa sosial yang berdampak luas.
Ribuan warga terdampak, akses jalan terputus, suplai beras dan logistik terganggu, hingga air bersih sulit didapat.
Pratikno menekankan pentingnya kolaborasi pentahelix, yakni pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat sipil. Model kolaborasi ini, menurutnya, menjadi fondasi untuk membangun ketangguhan nasional dalam menghadapi bencana yang semakin kompleks.
“Pemerintah butuh masukan, butuh dukungan, butuh kolaborasi. Kita harus sekuat tenaga mencegah bencana. Kalau bencana tidak bisa dihindari, kita harus punya mitigasi yang kuat,” jelas dia.
“Kita perlu kapasitas tanggap darurat yang kuat, dan kapasitas rehabilitasi serta rekonstruksi yang kuat,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa interaksi antara berbagai pihak tidak boleh terjadi hanya satu kali dalam setahun, tapi harus dilakukan secara berkelanjutan untuk memperkuat kesiapsiagaan bangsa menghadapi ancaman bencana.?
“Ini kerjaan kita bersama, bukan hanya pemerintah. Kami terus menerima masukan dari berbagai pihak untuk memperkokoh ketangguhan kita,” ujar Pratikno.
Terkait bagaimana membangun kewaspadaan atau
awareness
masyarakat, Pratikno menilai Indonesia memiliki banyak instrumen sosial yang dapat digerakkan. Salah satunya adalah lembaga pendidikan, yang ada di hampir semua desa.
Sekolah, katanya, dapat menjadi pusat edukasi kebencanaan yang efektif karena mampu menjangkau generasi muda dan komunitas lokal.
Selain itu, ia menyoroti peran besar lembaga keagamaan, yang memiliki jaringan luas dan kedekatan langsung dengan masyarakat.
“Lembaga keagamaan ada di seluruh Indonesia. Mereka memiliki forum, struktur, dan komunitas yang bisa menjadi mitra dalam membangun pemahaman kebencanaan,” jelasnya.
Forum-forum masyarakat lainnya, baik formal maupun informal juga disebut dapat berfungsi sebagai saluran edukasi dan mobilisasi. Dengan pendekatan multisektor inilah, Pratikno berharap ketangguhan masyarakat dapat ditingkatkan.
“Kami mengajak semua pihak untuk membangun masyarakat tangguh. Tidak cukup hanya pemerintah yang tangguh, tetapi masyarakat juga harus tangguh. Infrastruktur kita juga harus tangguh,” tegasnya.
Untuk meningkatkan kewaspadaan publik, Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, memastikan pihaknya juga memperkuat aksesibilitas informasi cuaca dan iklim melalui berbagai kanal komunikasi.
Peringatan dini berbasis dampak terus ditingkatkan kualitasnya agar masyarakat tidak hanya mengetahui potensi cuaca berbahaya, tetapi juga memahami kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan.
“Untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, BMKG memperkuat penyampaian informasi cuaca dan iklim yang mudah diakses, meningkatkan kualitas peringatan dini berbasis dampak, serta memperluas edukasi publik melalui berbagai program literasi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait,” ungkap dia kepada
Kompas.com
, Rabu (3/12/2025).
BMKG juga memperluas edukasi publik melalui literasi kebencanaan, kerja sama dengan pemerintah daerah, sekolah, komunitas, hingga lembaga penanggulangan bencana.
“Informasi kami sampaikan secepat mungkin dan melalui banyak kanal, supaya masyarakat menerima peringatan tepat waktu dan mengetahui langkah antisipatif yang perlu dilakukan,” ujar Andri.
Andri mengatakan, meski informasi dan peringatan dini telah disampaikan secara rutin, kejadian banjir dan longsor masih sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian besar.
Menurut Andri, hal ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya pada penyebaran informasi, tetapi juga pada peningkatan pemahaman risiko dan kesiapsiagaan masyarakat dalam merespons peringatan tersebut.
“Faktanya, meskipun peringatan sudah keluar, masih banyak masyarakat yang belum memahami risiko atau belum melakukan langkah mitigasi yang diperlukan,” kata Andri.
Ke depan, BMKG menilai bahwa penguatan edukasi risiko, perencanaan tata ruang yang lebih adaptif, dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci mencegah jatuhnya korban dalam kejadian bencana hidrometeorologi yang cenderung meningkat frekuensinya.
“Tantangan ke depan tidak hanya pada aspek penyampaian informasi, tetapi juga pada peningkatan pemahaman risiko serta kesiapsiagaan masyarakat dalam merespons peringatan dini secara lebih efektif,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/04/6930b97495dd9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana Nasional 4 Desember 2025
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute
INDONESIA
kembali memasuki musim bencana dengan luka yang belum benar-benar sembuh dari tahun-tahun sebelumnya.
Di berbagai daerah, banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem terus merenggut nyawa dan menenggelamkan harapan.
Dari Sumatera hingga Sulawesi, dari desa-desa terpencil hingga pesisir yang padat penduduk, tangisan warga sering kali lebih cepat terdengar melalui video amatir di media sosial ketimbang pernyataan resmi pemerintah.
Situasi ini bukan sekadar persoalan cuaca atau geologi, tetapi ujian bagi komunikasi kepemimpinan kita. Bencana alam setiap tahun seolah mengulang pertanyaan yang sama bagaimana pemimpin hadir, berbicara, dan memenuhi tanggung jawab moralnya?
Dalam lanskap bencana yang kompleks ini, ada satu hal yang terasa makin langka: empati yang otentik. Kita menyaksikan bukan empati yang sekadar dangkal, tetapi lebih berbahaya: nirempati, kondisi ketiadaan empati.
Nirempati dalam makna sesungguhnya berarti ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memahami, merasakan, atau merespons perasaan dan kebutuhan emosional orang lain.
Ini adalah sikap mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
Kita menyaksikan pejabat berdiri di tengah puing-puing rumah yang hanyut, memegang mikrofon, diapit kamera dan perangkat dokumentasi, mengucapkan frasa-frasa seperti “kami berduka”, “kami hadir untuk rakyat”, atau “kami akan segera bergerak”.
Namun, pada saat yang sama masyarakat bertanya apa bedanya dengan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi?
Mereka menunggu bukan sekadar kata-kata yang menenangkan, tetapi jaminan bahwa hidup mereka benar-benar diperhatikan dan tidak hanya dijadikan latar belakang cuplikan berita.
Sebagai pengamat aspek kepemimpinan, saya melihat bahwa gestur-gestur superfisial itu bukanlah empati semu, melainkan manifestasi dari nirempati yang berwajah manis.
Nirempati muncul ketika pemimpin hanya menampilkan gestur empatik, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh atau kebijakan yang berubah.
Mereka hadir, tetapi tidak betul-betul hadir, hanya memenuhi protokol visual yang steril. Mereka berbicara, tetapi tidak memasuki ruang emosional masyarakat, menjaga jarak aman dari trauma yang sebenarnya.
Empati yang diharapkan korban bencana bukanlah simpati instan yang memisahkan, melainkan kehadiran yang memahami, mengakui, dan berkomitmen untuk bertindak nyata.
Banyak penelitian tentang kepemimpinan dalam krisis menyebutkan bahwa empati yang otentik mampu menurunkan kecemasan kolektif, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kepercayaan publik.
Ketika pemimpin tidak mampu menunjukkan empati sejati, maka ruang publik terisi oleh kebingungan, frustrasi, dan kecurigaan, yang dalam konteks manajemen bencana, adalah penghambat terbesar bagi koordinasi dan pemulihan, sebuah kegagalan kepemimpinan pada tingkat moral.
Ketika bencana datang bertubi-tubi, masyarakat tidak hanya mencari pertolongan fisik, tetapi juga petunjuk moral, mereka mencari arah yang jelas dan kejujuran.
Untuk melawan nirempati yang fatal ini, pemimpin harus mengusung Komunikasi Kehadiran Moral yang menuntut pertanggungjawaban utuh.
Konsep ini menuntut pemimpin untuk menyapu bersih kabut informasi, menuntaskan kebingungan publik, dan menghadirkan kejelasan yang menenangkan.
Pemimpin harus menyampaikan informasi secara jujur apa yang sudah dilakukan, apa yang belum, apa yang salah, dan apa yang sedang diperbaiki.
Tidak ada pencitraan, tidak ada pengaburan, hanya komitmen untuk kejelasan dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi paling kuat untuk membangun kembali kepercayaan pascabencana.
Sebaliknya, komunikasi yang berakar pada nirempati cenderung menghasilkan pesan yang rapi, tetapi steril. Pemimpin berbicara dengan kalimat normatif yang telah disusun tim komunikasi, lengkap dengan struktur yang mulus, tetapi minim substansi.
Tidak jarang bahasa yang digunakan terasa terlalu teknokratis atau defensif, alih alih humanis. Ketika masyarakat sedang trauma, kehilangan keluarga, rumah, atau masa depan, mereka tidak membutuhkan paragraf teknis tentang status tanggap darurat atau bilai logistik.
Mereka membutuhkan pengakuan bahwa penderitaan mereka dipahami, dan bahwa negara hadir bukan hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi melalui keputusan dan tindakan yang nyata.
Komunikasi jenis ini, yang fokus pada data dan bukan jiwa, adalah kegagalan humanisme di tengah krisis dan penanda bahwa pemimpin berada pada posisi nirempati.
Salah satu masalah besar yang saya amati dalam komunikasi kepemimpinan bencana adalah kecenderungan mengalihkan fokus hanya pada respons darurat.
Kita terbiasa mendengar narasi “yang penting sekarang fokus dulu pada penanganan korban”, seolah pembahasan akar masalah hanya menambah beban emosional di tengah situasi sulit. Padahal, justru di momen genting inilah keberanian politik diuji.
Apakah pemimpin bersedia menyatakan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi soal pilihan kebijakan?
Jika pemimpin hanya mengulang retorika “musibah alam” atau “takdir ilahi”, maka masyarakat dipaksa percaya bahwa mereka hidup dalam siklus bencana yang tak memiliki hubungan dengan kebijakan publik.
Retorika itu merupakan pemikiran yang menyesatkan secara intelektual dan berbahaya secara moral karena mengesankan bahwa negara tak berdaya di hadapan alam. Padahal banyak elemen kerentanan berasal dari keputusan manusia.
Nirempati dalam manajemen bencana adalah ketika masalah diulang setiap tahun tanpa ada intervensi kebijakan yang fundamental.
Di era digital seperti sekarang, tantangan semakin pelik karena bencana tidak terjadi di ruang fisik saja, melainkan juga di ruang informasi.
Saat air menggenangi rumah-rumah, linimasa kita juga dibanjiri oleh hoaks, misinformasi, dan spekulasi yang viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi pemerintah.
Warga sering merasa lebih terhubung dengan laporan
real time
dari influencer, relawan independen, atau akun-akun warga daripada dari kanal resmi pemerintah.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya mencari informasi, tetapi mencari kehadiran yang konsisten dan otentik.
Mereka ingin merasakan bahwa suara mereka didengar, kebutuhan mereka direspons, dan pola komunikasi yang digunakan pemimpin tidak memosisikan mereka sebagai objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
Dalam manajemen bencana modern, komunikasi yang gagal menguasai ruang digital sama fatalnya dengan kegagalan distribusi logistik, dan kevakuman ini adalah ruang yang diciptakan oleh nirempati birokrasi.
Dalam situasi seperti ini, saya berpendapat komunikasi kepemimpinan harus dipahami sebagai bagian integral dari logistik darurat.
Sama pentingnya dengan perahu karet, tenda pengungsian, atau suplai makanan, komunikasi yang jernih dan empatik dapat menyelamatkan hidup.
Komunikasi yang baik mencegah kepanikan, memastikan bantuan sampai ke titik yang tepat, dan menjaga masyarakat tetap terinformasi.
Sebaliknya, komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan, memperlebar jarak antara pemerintah dan warga, dan memicu sentimen negatif yang menggerogoti legitimasi institusi.
Jika pada masa lalu komunikasi publik dianggap sebagai pelengkap kebijakan, kini komunikasi adalah kebijakan itu sendiri, ia adalah
action
yang harus direncanakan dan dieksekusi dengan presisi, layaknya operasi penyelamatan.
Pemimpin yang mampu melewati badai bencana dengan komunikasi yang efektif biasanya menunjukkan tiga hal penting.
Pertama, mereka merumuskan narasi berdasarkan data akurat, bukan angka yang dibuat stabil demi menenangkan publik. Transparansi data adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap martabat warga.
Menyampaikan angka korban secara jujur, mengakui ketidakpastian, atau meminta tambahan waktu untuk verifikasi adalah bagian dari komunikasi etis.
Kedua, mereka mengakui penderitaan masyarakat tanpa meromantisasinya. “Warga kita tangguh” memang terkesan positif, tetapi sering kali frasa itu dipakai untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.
Mengakui kesedihan dan trauma warga, serta menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memperbaiki sistem, jauh lebih bermakna daripada pujian kosong.
Ketiga, mereka menghubungkan komunikasi dengan tindakan. Setiap pidato, setiap konferensi pers, setiap unggahan di media sosial harus memiliki konsekuensi kebijakan, harus ada pertanggungjawaban di balik setiap janji. Komunikasi tanpa aksi hanya akan memperburuk rasa kehilangan dan ketidakpercayaan.
Dalam banyak kasus, saya melihat bagaimana pejabat lebih fokus pada gestur simbolis daripada pendengaran yang mendalam.
Mereka mengunjungi lokasi bencana, meninjau dapur umum, atau mengangkat anak kecil untuk difoto.
Tindakan ini tentu baik, tetapi jika berhenti di situ, maka itu hanya menjadi panggung estetika penderitaan, sebuah pementasan yang menunjukkan nirempati yang tersembunyi.
Pada sisi lain, korban bencana sering kali hanya ingin didengar. Mereka ingin menceritakan apa yang terjadi, bagaimana mereka kehilangan rumah, atau kegelisahan mereka tentang masa depan. Di sinilah kehadiran tanpa kamera menjadi penting.
Pemimpin yang turun tanpa protokol berlapis lapis, yang duduk bersama warga tanpa mikrofon, yang mendengar tanpa interupsi, akan lebih dipercaya daripada pemimpin yang hanya datang untuk “membuka jalur liputan”.
Tindakan humanis sederhana ini, duduk dan mendengarkan, adalah investasi kepercayaan jangka panjang.
Beberapa pemimpin dunia menunjukkan bagaimana empati otentik dapat mengubah dinamika krisis. Jacinda Ardern, misalnya, dipuji karena gaya komunikasinya yang tegas sekaligus penuh kehangatan selama krisis Covid 19 dan tragedi penembakan di Christchurch.
Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai manusia yang hadir sepenuhnya. Ia mengakui ketakutan publik, tetapi menawarkan kejelasan. Ia menangis ketika masyarakat berduka, tetapi bertindak cepat dalam kebijakan.
Contoh lain adalah Presiden Korea Selatan, Moon Jae in, yang terkenal dengan kebiasaan mendengar langsung aspirasi warga tanpa perantara dalam berbagai situasi darurat.
Pemimpin seperti mereka menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan strategis dalam membangun kepercayaan dan kohesi sosial yang esensial dalam fase pemulihan.
Refleksi saya sebagai pengamat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam jiwa kearifan lokal. Kita memiliki sejarah panjang tokoh-tokoh lokal yang mempraktikkan empati otentik di masa bencana, meskipun tidak selalu mendapat sorotan media.
Banyak kepala desa, camat, lurah, dan relawan komunitas yang menghadirkan empati total secara alami. Mereka mungkin tidak memiliki kalimat retoris yang indah, tetapi mereka hadir secara fisik dan emosional.
Mereka menjaga warganya, berjalan dari rumah ke rumah, memastikan semua orang selamat. Pemimpin seperti ini mengajarkan bahwa empati sejati tidak membutuhkan mikrofon atau pencitraan.
Ia hadir dalam tindakan, dalam kejujuran, dalam komitmen, dan paling penting, dalam pengakuan bahwa penderitaan warga adalah penderitaan negara.
Dalam konteks inilah kita perlu bertanya bagaimana seharusnya model komunikasi kepemimpinan Indonesia di era bencana ke depan?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa komunikasi harus diperlakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana, bukan sebagai pelengkap, menuntut investasi pada sistem komunikasi risiko terpadu.
Kedua, kita perlu mendorong pemimpin untuk berani mengakui kesalahan dan ketidakpastian, sebab ini adalah tanda kematangan dan kedewasaan kepemimpinan yang humanis.
Ketiga, kita harus membangun budaya baru di mana pejabat publik tidak dihargai karena kelancaran berbicara, tetapi karena kedalaman mendengarkan dan ketepatan bertindak yang menyelamatkan nyawa dan martabat.
Akhirnya, kita sampai pada refleksi paling penting bencana alam sebenarnya hanyalah satu bagian dari cerita.
Bencana yang lebih besar bisa jadi adalah bencana komunikasi ketika pemimpin gagal memberikan kejelasan, gagal menghadirkan kehangatan, dan gagal memaknai penderitaan rakyat.
Kegagalan ini, yang berakar pada nirempati birokrasi, meruntuhkan jembatan kepercayaan antara negara dan warga.
Jembatan yang runtuh itu, sebagai seorang pengamat, saya yakini jauh lebih sulit dibangun kembali dibanding jalan yang ambles atau jembatan fisik yang putus, sebab ia melibatkan rekonsiliasi emosional dan psikologis mendalam.
Dalam dunia yang dipanaskan oleh perubahan iklim, intensitas bencana di Indonesia tidak akan menurun.
Hujan mungkin tidak bisa kita hentikan. Lempeng bumi tidak bisa kita kendalikan. Namun, bagaimana pemimpin hadir di hadapan warganya itulah yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.
Pada akhirnya, masyarakat yang berdiri di depan rumah yang hanyut tidak menilai pemimpin dari betapa indahnya kata-kata yang diucapkan, tetapi dari satu pertanyaan sederhana apakah saya merasa lebih sendiri atau lebih ditemani setelah pemimpin berbicara?
Jika jawaban publik adalah “lebih ditemani”, maka kita sedang dipimpin oleh empati yang sejati. Jika jawabannya “lebih sendiri”, maka yang hadir adalah bayangan kekuasaan yang acuh.
Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu menunjukkan empati total untuk memulihkan rasa percaya.
Sebab di tengah badai bencana, hal yang paling menyelamatkan bukan hanya bantuan fisik, tetapi keyakinan bahwa negara benar-benar hadir sepenuhnya, gerak cepat, utuh, dan manusiawi.
Sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk keluar dari ruang kosong retorika dan mengisi kehampaan komunikasi dengan kejujuran, komitmen kebijakan, dan kehadiran yang seutuhnya.
Tanggung jawab moral ini ada di pundak kita semua. Mari bersama-sama menggugat nirempati, menuntut pemimpin untuk bertindak dengan hati nurani, sebelum bencana komunikasi meruntuhkan semua yang tersisa.
Pray for Sumatera, pray for Indonesia….
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/04/693102ae3a0e1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/6930f1120992e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/6930e5b6f21eb.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/6930b2a06f6d4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/03/692ffa46bfe01.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/03/692fef9851cb1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/30/69034a8ee538e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/13/6915c3b67f247.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)