Category: Kompas.com Nasional

  • SBY, JK, hingga Ma”ruf Amin Ikut Upacara HUT ke-79 Bhayangkara Bareng Prabowo-Gibran

    SBY, JK, hingga Ma”ruf Amin Ikut Upacara HUT ke-79 Bhayangkara Bareng Prabowo-Gibran

    SBY, JK, hingga Maruf Amin Ikut Upacara HUT ke-79 Bhayangkara Bareng Prabowo-Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI
    Prabowo Subianto
    menghadiri acara Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Bhayangkara di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
    Pantauan dari lokasi sekitar pukul 08.00 WIB, Prabowo tiba bersama dengan Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka dan istrinya, Selvi Ananda.
    Dalam upacara ini, Prabowo akan menjadi Inspektur Upacara.
    Selain Prabowo dan Gibran, para pejabat tokoh nasional lain turut hadir di antaranya Presiden ke-6 RI
    Susilo Bambang Yudhoyono
    (
    SBY
    ); Wapres ke-13 RI Ma’ruf Amin; Wapres ke-10 dan ke-12 RI
    Jusuf Kalla
    (JK), Wapres ke-6 Try Surtisno, hingga anak Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, yakni Alissa Wahid dan Yeny Wahid.
    Selain itu, hadir tuan rumah Kapolri Jenderal Lisyo Sigit Prabowo. Kemudian sejumlah menteri Kabinet Merah Putih yaitu Panglima TNI Agus Subiyanto, Menteri Koperasi Budi Arie; Menteri ESDM Bahlil Lahadali; Ketua DPR RI Puan Maharani; Ketua MPR RI Ahmad Muzani; Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
    Adapun dalam acara
    HUT Bhayangkara
    ini turut dihadiri masyarakat umum yang sudah memenuhi Kawasan Monas sejak pagi hari.
    Sejak pagi hari, di lokasi terpajang sejumlah kendaraan taktis milik Polri serta penampilan pasukan terjun payung yang membawa bendera logo satuan Korps Bhayangkara dan bendera Merah Putih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ditarget Selesai 17 Agustus, Penulisan Ulang Sejarah Sudah Sampai Mana?

    Ditarget Selesai 17 Agustus, Penulisan Ulang Sejarah Sudah Sampai Mana?

    Ditarget Selesai 17 Agustus, Penulisan Ulang Sejarah Sudah Sampai Mana?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Penulisan ulang sejarah
    Indonesia ditargetkan selesai pada 17 Agustus 2025 mendatang, bertepatan dengan 80 tahun negara Indonesia merdeka.
    Kini, progres
    penulisan ulang sejarah
    sudah hampir selesai.
    Menurut Menteri Kebudayaan (Menbud)
    Fadli Zon
    , progres proyek itu sudah mencapai 80 persen.
    “Itu kan para sejarawan yang nulis ya, jadi progresnya sekitar 80 persen. Penulisan sejarah itu yang menulis adalah para sejarawan yang memang profesional,” kata Fadli Zon di Cibinong, Kabupaten Bogor, dilansir ANTARA, Senin (30/6/2025).
    Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, penulisan sejarah melibatkan para sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia melalui pendekatan ilmiah dan faktual.
    Fadli Zon menyampaikan bahwa Indonesia telah lebih dari dua dekade tidak melakukan penulisan sejarah secara menyeluruh.
    Ia menyebut era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak yang belum tercatat secara utuh dalam narasi sejarah nasional.
    Oleh karenanya, Fadli menegaskan revisi sejarah bukan bertujuan untuk mengubah fakta, melainkan untuk memperbarui dan melengkapinya.
    Selain itu, penulisan ulang ini juga akan memuat temuan arkeologis dan dokumentasi yang selama ini terabaikan.
    Ia mencontohkan temuan penting seperti situs Bongal yang mengindikasikan masuknya Islam ke Indonesia sejak abad ke-7, serta sejumlah prasasti dan artefak yang belum banyak diteliti secara serius.
    “Jadi enggak ada hal-hal yang aneh-aneh gitu. Jadi kita justru meng-
    update
    yang belum ada, tadi seperti temuan-temuan situs Bongal apalagi yang prasejarahnya,” ujarnya.
    “Ini bagian dari kerja peradaban. Kita ingin sejarah kita tidak stagnan, tapi terus berkembang seiring dengan penemuan baru dan kajian ilmiah,” ujarnya.
    Senada, Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan (Kemenbud), Restu Gunawan, menjelaskan buku sejarah nasional Indonesia butuh pembaruan.
    Sebab, terakhir kali buku sejarah nasional Indonesia diperbaharui adalah 25 tahun lalu.
    Meski rencana penulisan ulang sejarah ini menimbulkan pro dan kontra, Restu menyebut bahwa penggarapan akan terus dilanjutkan hingga rampung pada Agustus 2025.
    Restu lantas mengatakan bahwa sebelum buku tersebut terbit, akan ada uji publik dan sosialisasi terlebih dahulu ke masyarakat.
    Namun, Restu belum merinci bagaimana mekanisme uji coba buku penulisan ulang sejarah nasional Indonesia ini.
    “Kalau itu sih secara teknis kayak gitu. Kalau uji publiknya gitu. Tunggu saja nanti kita lakukan. Pasti kita lakukan lah,” kata dia.
    Adapun program ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk soal tone positif dalam penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.
    Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam
    Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia
    (AKSI) juga menolak penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah.
    Alasannya, AKSI menilai proyek itu adalah sarana untuk merekayasa masa lalu dengan menggunakan tafsir tunggal dari pemerintah.
    Bagi AKSI, pengalaman pahit bangsa Indonesia merupakan pengalaman penting yang tak boleh diselewengkan.
    Bukan hanya itu, ada juga sejumlah kejanggalan yang disampaikan Arkeolog Profesor Harry Truman Simanjuntak.
    Beberapa di antaranya terkait target penyelesaian penulisan sejarah yang terlalu singkat hingga proses yang disusun tanpa melibatkan seminar atau diskusi mendalam dengan para sejarawan.
    Pihak Istana pun membela Fadli Zon atas munculnya kritikan yang ada soal penulisan ulang sejarah Indonesia.
    Kepala Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) Hasan Nasbi menegaskan ada puluhan sejarawan yang dilibatkan dalam proses penulisan ulang sejarah.
    Hasan meyakini para sejarawan tersebut tidak akan menggadaikan integritas dan profesionalitasnya.
    “Orang-orang ini tidak akan menggadaikan integritas akademik mereka, profesionalitas mereka untuk hal-hal yang tidak diperlukan,” kata Hasan di tayangan YouTube Universitas Al Azhar Indonesia, Senin (30/6/2025).
    Oleh karenanya, ia meminta publik menunggu hasil dari penulisan ulang sejarah tersebut.
    Dia menambahkan pihak yang mengkritik proyek penulisan ulang sejarah juga harus punya kompetensi untuk memberikan penilaian.
    “Kita yang mengkritik ini juga harus tahu diri nih, kita punya kompetensi dan literatur profesionalitas dalam menilai sebuah tulisan sejarah apa tidak,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD 45 karena Pisahkan Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
    Nasdem
    menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait
    pemisahan pemilu
    adalah melanggar konstitusi serta mencuri kedaulatan rakyat. Begini pernyataan lengkap
    NasDem
    .
    Pernyataan sikap partai ini disampaikan di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025) malam.
    Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tinggi
    Partai Nasdem
    Lestari Moerdijat, yang disaksikan oleh sejumlah kader Nasdem.
    Adapun kader-kader yang hadir meliputi Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Ada pula Ketua Komisi II DPR RI yang merupakan kader Nasdem, Rifqinizamy Karyasuda.
    DPP Partai Nasdem menilai putusan tersebut
    inkonstitusional
    sehingga mencuri kedaulatan masyarakat.

    Nasdem pun beranggapan bahwa
    putusan MK
    seolah mengambil tanah legislasi.
    “Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyangkut pemisahan skema pemilihan umum, Dewan Pimpinan Pusat
    Partai NasDem
    menyampaikan bahwa terdapat problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” kata Lestari memulai pernyataan sikap.
    Berikut adalah 10 poin yang disampaikan Lestari Moerdijat mewakili DPP Partai NasDem:
    1. Kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C Ayat (1) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
    2. Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock konstitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi. Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD [ayat (2)]. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
    3. MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
    4. MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum; ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.
    5. Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
    6. MK, dalam kapasitas sebagai guardian of constitution, tidak diberikan kewenangan untuk mengubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22B UUD NRI 1945.
    7. Bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis, padahal jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD NRI 1945. Artinya, berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional.
    8. Perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK yang mengambil posisi positive legislator ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak, yang pertimbangannya bukan didasarkan tafsir konstitusional yang berdasarkan risalah pembahasan terkait pelaksanaan pemilu dengan 5 kotak, termasuk kotak DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun, dalam putusan MK kali ini, MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tanpa ada perintah sistem pemilu seperti apa yang harus dijalankan, sehingga pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi open legal policy sesuai yang dimaksudkan oleh konstitusi itu sendiri.
    9. MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan mengubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
    10. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    dalam pernyataan sikapnya mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta penjelasan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait putusan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (
    pemilu
    ) serentak nasional dan lokal.
    “Partai
    NasDem
    mendesak
    DPR RI
    untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat di kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Pasalnya, Nasdem dengan tegas menyatakan bahwa
    putusan MK
    tersebut menyalahi konstitusi.
    “Pemisahan skema pemilihan presiden,
    DPR
    RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ujar Lestari.
    Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari lagi.
    Selain itu, dia menyebut, MK telah memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah. Sebab, penentuan waktu pasti penyelenggaraan pemilu merupakan
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata Lestari.
    Tak hanya itu, Nasdem menilai, MK melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat karena memutuskan pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal.
    Sebab, lagi-lagi berdasarkan Pasal 22e ayat 1 UUD NRI 1945, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” ujar Lestari.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    NasDem
    menilai putusan
    MK
    soal pemisahan pemilu serentak tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lantaran bersifat inkonstitusional.
    “Dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem,
    Lestari Moerdijat
    di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Dalam pengumuman pernyataan sikap DPP Partai NasDem ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    NasDem menilai putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali.
    Adapun menurut putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu nantinya dipisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda antara 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Putusan itu akan diberlakukan untuk
    Pemilu 2029
    .
    “Pemisahan skema pemilihan presiden, DPR RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” kata Rerie, sapaan Lestari Moerdijat.
    NasDem juga menyatakan MK tidak punya kewenangan mengubah norma hukum dan konstitusi.
    Sebagaimana diketahui, MK memutuskan bahwa pemilu serentak dibagi menjadi dua, yakni, pertama, pemilu serentak nasional terdiri dari Pilpres, Pileg DPR, MPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal terdiri dari Pilkada, Pileg DPRD Provinsi, dan Pileg DPRD Kabupaten/Kota.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…

    Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah karena memutuskan
    pemilu
    anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Pasalnya, dalam pernyataan sikapnya, Nasdem menegaskan bahwa hal itu harusnya
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata anggota Majelis Tinggi Partai
    NasDem
    , Lestari Moerdijat di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Selain itu, Lestari mengatakan, Nasdem menilai bahwa MK telah menjadi negative legislator sendiri. Padahal, bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis.
    “Dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa
    putusan MK
    itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari melanjutkan.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite Nasdem lain antara lain Ketua Fraksi Nasdem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar Nasdem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penahanan Kembali Eks Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK Dinilai Melanggar HAM

    Penahanan Kembali Eks Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK Dinilai Melanggar HAM

    Penahanan Kembali Eks Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK Dinilai Melanggar HAM
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kuasa Hukum Eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Maqdir Ismail menyebut, penahanan kliennya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
    pelanggaran hak asasi manusia
    (HAM).
    Menurut dia, kasus yang saat ini menimpa kliennya setelah menjalani vonis enam tahun sengaja tidak digabungkan dengan kasus sebelumnya.
    “Bukan cuma seolah-olah menunda, ini melanggar hak asasi manusia. Ini gitu loh, karena bagaimanapun juga kan prinsip dasar hukum acara pidana kita itu kan peradilan itu cepat dengan biaya ringan,” kata Maqdir, saat dihubungi melalui telepon, Senin (30/6/2025).
    Maqdir mengaku mendapat informasi Nurhadi ditahan kembali atas dugaan
    tindak pidana pencucian uang
    (TPPU).
    Namun, menurut dia, penangkapan dan penahanan kembali Nurhadi bukan soal kasus baru yang ditemukan KPK, tetapi soal proses hukumnya.
    “Kenapa tidak dilakukan pengadilannya secara bersamaan? Ini ternyata tidak, ini (kasus baru) dipisah sedemikian rupa,” kata dia.
    Maqdir mengatakan, Nurhadi akan ditahan dalam kurun waktu 20-40 hari oleh penyidik KPK.
    Penahanan ini dilakukan setelah Nurhadi akan bebas murni dari Lapas Sukamiskin pada 28 Juni 2025.
    Atas peristiwa ini, Maqdir berencana melaporkan tindakan KPK ke Dewan Pengawas.
    “Kita lapor ke Dewas juga, mudah-mudahan Dewas akan melakukan tindakan kalau kita lapor,” kata dia.
    Sebelumnya, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut pihaknya telah menangkap Nurhadi sebelum dinyatakan bebas murni.
    “Benar, KPK melakukan penangkapan dan kemudian dilakukan penahanan kepada saudara NHD di Lapas Sukamiskin,” kata Budi dalam keterangannya, Senin (30/6/2025).
    Budi mengatakan, penangkapan dan penahanan dilakukan pada Minggu (29/6/2025) dini hari.
    “Penangkapan dan penahanan tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang di lingkungan MA,” kata dia.
    Nurhadi pernah divonis enam tahun penjara dalam
    kasus suap dan gratifikasi
    penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
    Dalam kasus tersebut, Nurhadi dinyatakan menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016, Hiendra Soenjoto, terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
    Selain itu, dia juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tom Lembong Akan Dituntut Jumat Pekan Ini

    Tom Lembong Akan Dituntut Jumat Pekan Ini

    Tom Lembong Akan Dituntut Jumat Pekan Ini
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong akan menjalani sidang tuntutan kasus dugaan korupsi
    importasi gula
    , pada Jumat (4/7/2025).
    Informasi ini disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim
    Pengadilan Tipikor
    Jakarta Pusat, Dennie Arsan Fatrika, saat mengingatkan jaksa penuntut umum terkait agenda persidangan yang telah disepakati.
    Dennie mengatakan, pemeriksaan terdakwa terhadap Tom yang urung digelar malam ini dan ditunda hingga Selasa (1/7/2025), tidak mengubah jadwal pembacaan surat tuntutan.
    “Catatan juga untuk penuntut umum, penundaan besok tidak menunda untuk agenda tuntutan yang dijadwalkan di hari Jumat tanggal 4 (Juli). Demikian, terima kasih,” kata Dennie, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Adapun Tom sedianya diperiksa dalam kapasitasnya sebagai terdakwa untuk perkaranya sendiri hari ini.
    Sidang rencananya digelar setelah para pihak selesai memeriksa Tom Lembong sebagai saksi mahkota untuk terdakwa eks Direktur Pengembangan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus.
    Namun, hingga malam hari, sidang perkara Charles belum selesai sehingga tidak memungkinkan untuk memeriksa Tom sebagai terdakwa.
    “Untuk persidangan atas nama Thomas Trikasih Lembong ditunda di hari Selasa, besok, 1 Juli 2025, agenda masih sama, untuk mendengarkan keterangan terdakwa,” kata Dennie.
    Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar.
    Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polri Kembangkan Robot Bantu Pantau Pelanggaran Lalu Lintas hingga Tangani Bencana

    Polri Kembangkan Robot Bantu Pantau Pelanggaran Lalu Lintas hingga Tangani Bencana

    Polri Kembangkan Robot Bantu Pantau Pelanggaran Lalu Lintas hingga Tangani Bencana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Polri
    tengah menyiapkan teknologi berupa robot untuk membantu kerjanya di awal tahun 2026 nanti.
    Robot ini akan diperkenalkan kepada publik pada upacara peringatan
    HUT ke-79 Bhayangkara
    di Monas, Jakarta, Selasa (1/7/2025) nanti.
    “Memang di kita masih awam, Hari Bhayangkara menjadi momen pertama Polri memperkenalkan robot-robot ini,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho, di Jakarta, Senin (30/6/2025).
    Sandi mengatakan, optimalnya robot-robot ini akan beroperasi di tahun 2030.
    Namun, tahapan awal implementasinya akan dilaksanakan pada tahun 2026.
    “Tahun 2030 ‘wajah’ kepolisian di sejumlah negara akan diwarnai kehadiran robot-robot yang dinilai efektif untuk tugas kepolisian,” kata Sandi.
    Ia menjelaskan, kehadiran
    robot polisi
    ini adalah untuk mengejar teknologi yang digunakan kepolisian di luar negeri.
    “Thailand sudah memperkenalkan robot humanoidnya, Dubai sudah mendeklarasikan juga soal pemanfaatan robot untuk membantu tugas-tugas kepolisian. Bahkan China sudah uji coba robot polisi untuk patroli. Singapura mengembangkan kecoak cyborg untuk kegiatan SAR (
    search and rescue
    ),” ujar dia.
    Nantinya, robot yang digunakan Polri juga akan berbentuk manusia atau humanoid dan juga berbentuk binatang, salah satunya anjing alias robodog.
    Dalam pengembangannya, robot-robot ini akan ditempatkan untuk membantu kerja Polri di ranah yang terbilang sulit dijangkau atau berbahaya bagi manusia.
    Misalnya, robodog akan digunakan untuk membantu tim K9 dalam mendeteksi bahan dan benda berbahaya.
    “Kegunaan sama dengan K9, untuk mendeteksi bahan-bahan dan benda-benda berbahaya, namun lebih efektif karena tidak perlu kita beri makan setiap hari, tidak perlu proses latihan dengan tenaga pawang, tahan cuaca ekstrem, dan sebagainya,” ujar Sandi.
    Pengadaan robodog ini sudah masuk ke dalam anggaran Polri di tahun 2026.
    Namun, saat ini Sandi belum membocorkan berapa besar anggaran yang dicanangkan.
    Sementara itu, untuk robot humanoid yang lebih kompleks, belum disebutkan kapan akan dirilis.
    Namun, robot ini akan diatur untuk membantu proses pemantauan pelanggaran lalu lintas.
    Robot humanoid ini akan memiliki pergerakan yang dinamis dan memiliki jarak pandang hingga 360 derajat.
    “Untuk robot humanoid hampir sama, untuk melakukan
    scanning
    , identifikasi biometrik Polri, pengenalan wajah di tempat-tempat keramaian, dan untuk pemantauan pada jalur-jalur rawan pelanggaran lalu lintas,” ujar dia.
    Selain untuk pemantauan lalu lintas dan membantu proses pembuatan SIM, robot ini juga akan dibuat agar bisa mengawasi dan memantau sejumlah area rawan, misalnya gedung terbengkalai dan area bencana.
    Tak hanya itu, robot-robot ini juga akan dikembangkan untuk membantu Polri dalam menangani situasi berbahaya, misalnya penjinakan bahan peledak dan penyanderaan, serta pencarian dan penyelamatan korban dalam bencana alam maupun kebakaran.
    Untuk mengembangkan teknologi robot ini, Polri menggandeng PT SARI Teknologi, salah satu perusahaan anak bangsa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemenbud Bakal Uji Publik Buku Penulisan Ulang Sejarah pada Juli 2025

    Kemenbud Bakal Uji Publik Buku Penulisan Ulang Sejarah pada Juli 2025

    Kemenbud Bakal Uji Publik Buku Penulisan Ulang Sejarah pada Juli 2025
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI akan melakukan sosialisasi dan
    uji publik
    untuk
    penulisan ulang sejarah
    nasional Indonesia pada Juli 2025.
    “Iya nanti bulan Juli kita akan lakukan sosialisasi dan uji publik di beberapa kota,” kata Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan (Kemenbud), Restu Gunawan, di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Restu menuturkan, uji coba yang akan melibatkan partisipasi masyarakat bakal dilakukan di Jakarta.
    “Ada di Jakarta, ada di mungkin tadi di (Jakarta) Barat satu, di Tengah satu, di Timur satu. Kira-kira gitu sih,” tutur dia.
    Namun, Restu belum merinci bagaimana mekanisme uji coba buku penulisan ulang sejarah nasional Indonesia ini.
    “Kalau itu sih secara teknis kayak gitu. Kalau uji publiknya gitu. Tunggu saja nanti kita lakukan. Pasti kita lakukan lah,” kata dia.

    Sebagai informasi, Menteri Kebudayaan (Menbud)
    Fadli Zon
    menyebut bahwa terakhir kali pemerintah menulis ulang sejarah dilakukan 25 tahun lalu.
    “Lebih-lebih lagi karena kita terakhir menulis sejarah itu ya hingga 25 tahun yang lalu dan belum pernah ada lagi penulisan,” ujar Fadli, dalam Rapat Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (26/5/2025).
    Setidaknya ada 113 ahli yang terlibat dalam penulisan 10 jilid buku sejarah nasional Indonesia.
    Adapun ditargetkan proyek ini rampung pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan 80 tahun negara Indonesia merdeka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.