Memahami Fenomena Bendera One Pice
Pemerhati masalah hukum dan kemasyarakatan
FENOMENA
bendera bajak laut “Jolly Roger” dari serial
One Piece
yang dikibarkan oleh sejumlah remaja dan mahasiswa di berbagai kampus dan ruang publik di Indonesia telah memantik perhatian publik.
Fenomena pop yang muncul menyusul redupnya tagar “Indonesia gelap” dan “Kabur aja dulu”.
Tak sedikit yang menyambutnya sebagai ekspresi budaya pop. Namun, ada yang mengaitkannya dengan radikalisme, pemberontakan simbolik terhadap negara, hingga indikasi pelecehan terhadap simbol-simbol kebangsaan. Tentu saja klaim yang terlalu berlebihan dan emosional.
Namun, apakah bendera
One Piece
harus ditafsirkan secara politis dan ideologis seiring dengan momentum perayaan HUT Kemerdekaan NKRI ke 80 tahun?
Secara sosiologis, fenomena ini dapat dipahami melalui pendekatan budaya populer (
popular culture
).
John Storey dalam bukunya
Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction
(Routledge, London, 2009) menjelaskan bahwa budaya pop merupakan bentuk ekspresi sosial dari masyarakat yang mengalami transformasi nilai dan identitas dalam konteks global.
Bendera
One Piece
bukan sekadar simbol bajak laut, tetapi telah menjadi ikon perlawanan simbolik terhadap sistem yang dianggap represif, ketidakadilan sosial, dan impian akan dunia yang bebas dan adil.
Pemerintah seharusnya melihat dan memahami dari perspektif ini untuk kemudian ditanggapi secara positif.
Dalam narasi
One Piece
, bendera tengkorak tersebut bukan simbol kekerasan atau kejahatan semata, tetapi menjadi representasi dari impian, kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap tirani.
Karakter utama, Monkey D. Luffy, memperjuangkan keadilan dan pembebasan dari penindasan melalui jalur “bajak laut”, yang dalam konteks fiksi justru dimaknai sebagai pahlawan anti-mainstream.
Hal ini mencerminkan bagaimana generasi muda mengekspresikan diri melalui identifikasi simbolik terhadap narasi-narasi perlawanan alternatif yang ditawarkan budaya pop.
Paradigma yang tepat untuk memahami fenomena ini adalah paradigma kulturalisme dan hermeneutika simbolik.
Dalam paradigma kulturalisme, budaya tidak hanya dipahami sebagai produk seni dan estetika, melainkan sebagai medan pertarungan makna antara dominasi dan resistensi (Raymond Williams, Culture and Society 1780–1950, Columbia University Press, New York, 1958).
Sedangkan dalam pendekatan hermeneutika simbolik, seperti dikembangkan oleh Clifford Geertz (The Interpretation of Cultures, Basic Books, New York, 1973), simbol-simbol budaya ditafsirkan dalam konteks makna yang hidup di benak masyarakat, bukan secara literal atau legalistik.
Mengibarkan bendera
One Piece
di kampus dan di mobil-mobil angkutan, jika tidak disertai dengan niat subversif, bukan berarti menghina negara, melainkan bagian dari ekspresi budaya identitas dan perasaan keterasingan masyarakat (generasi muda) terhadap realitas sosial-politik yang sedang berlangsung.
Data dari Google Trends menunjukkan bahwa pencarian terkait
One Piece
di Indonesia mengalami lonjakan signifikan pada Juli hingga Agustus 2025, bertepatan dengan rilis film terbaru
One Piece: Red
dan viralnya aksi pengibaran bendera bajak laut di berbagai tempat.
Media sosial seperti TikTok dan X (Twitter) juga memperlihatkan ribuan unggahan dengan tagar
#BenderaOnePiece
dan
#FreedomLikeLuffy
. Ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh budaya Jepang terhadap generasi muda Indonesia hari ini.
Beberapa puluh tahun lalu, sebelum maraknya media sosial, serial TV yang sangat populer dan digandrungi masyarakat adalah “Oshin”.
Studi dari Japan Foundation tahun 2022 mencatat bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan penggemar budaya Jepang terbanyak di dunia, dengan
One Piece
sebagai salah satu ikon utama.
Pengaruh ini sangat besar dalam membentuk cara pandang, bahasa simbolik, dan identitas sosial generasi muda.
Sejatinya negara dan institusi hukum tidak boleh serta-merta menarik batas antara simbol budaya pop dan simbol subversif.
Teori Michel Foucault tentang kekuasaan dan resistensi (Discipline and Punish, Pantheon Books, New York, 1977) mengingatkan kita bahwa kekuasaan selalu diimbangi dengan resistensi dalam bentuk simbolik maupun nyata.
Ketika negara terlalu cepat menilai tindakan simbolik sebagai bentuk pelanggaran, maka yang terjadi bukan pendidikan, melainkan
represi
.
Di sinilah negara dan aparat keamanan perlu bijak dalam memahami bahwa tidak semua simbol adalah ancaman. Dalam ruang publik demokratis, simbol-simbol budaya populer seringkali menjadi kanal katarsis sosial, bukan deklarasi ideologi.
One Piece
mengajarkan bahwa keadilan tidak selalu lahir dari sistem formal, tapi juga dari perjuangan tanpa pamrih demi sesama.
Fenomena bendera bajak laut bukan soal makar, tetapi tentang pencarian makna hidup, solidaritas, dan harapan akan dunia yang lebih baik, meski dalam bentuk simbol animasi.
Ketimbang mencurigai, lebih baik kita mengajak generasi muda berdialog, membahas makna kebebasan, keadilan, dan nasionalisme dengan bahasa yang mereka pahami: bahasa simbol dan budaya pop.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/08/01/688c5371af3b4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Memahami Fenomena Bendera One Pice Nasional 3 Agustus 2025
-
/data/photo/2025/08/03/688ef6c39e74a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kronologi Pesawat Latih TNI AU Jatuh yang Membuat Marsma Fajar Adriyanto Gugur Nasional 3 Agustus 2025
Kronologi Pesawat Latih TNI AU Jatuh yang Membuat Marsma Fajar Adriyanto Gugur
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pihak TNI Angkatan Udara (AU) mengungkapkan kronologi jatuhnya
pesawat latih
yang menyebabkan
Marsma Fajar Adriyanto
, seorang penerbang pesawat tempur F-16, gugur.
Kepala Dinas Penerangan
TNI AU
(Kadispenau) Marsma I Nyoman Suadnyana mengatakan, Marsma Fajar gugur saat menjalani misi latihan profisiensi penerbangan olahraga dirgantara.
“Bagian dari pembinaan dan pemeliharaan kemampuan,” ungkap Suadnyana, dalam keterangan resminya, Minggu (3/8/2025).
Suadnyana menyebut, Marsma Fajar terbang mengendarai Microlight Fixed Wing Quicksilver GT500 dengan register PK-S126 milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI).
Ia duduk sebagai pilot, sementara Roni sebagai co-pilot.
Pesawat lepas landas dari Landasan Udara Atang Sendjaja (Lanud ATS) pukul 09.08 WIB.
Selang 11 menit kemudian, atau 09.19 WIB, pesawat hilang kontak dan ditemukan di sekitar Tempat Pemakaman Umum (TPU) Astana.
Marsma Fajar dan Roni langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU) dr. M. Hassan Toto.
“Namun, Marsma TNI Fajar dinyatakan meninggal setibanya di rumah sakit,” tutur Suadnyana.
Perwira TNI AU itu menjelaskan, sebelum Marsma Fajar mengudara, pesawat latih dipastikan dalam kondisi baik.
Pesawat juga telah mengantongi Surat Izin Terbang (SIT) nomor SIT/1484/VIII/2025 dari Lanud ATS.
“Pesawat dinyatakan laik terbang dan merupakan sortie kedua pada hari itu,” tutur Suadnyana.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/03/688f0035e154f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pertamina Raih Best Booth Interactive Experience di GIIAS 2025 Nasional 3 Agustus 2025
Pertamina Raih Best Booth Interactive Experience di GIIAS 2025
Penulis
KOMPAS.com
–
Pertamina
berhasil meraih penghargaan Best Booth Interactive Experience di ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (
GIIAS
) 2025.
Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi terhadap Pertamina yang telah menghadirkan beragam hiburan interaktif dan edukatif kepada pengunjung selama perhelatan yang berlangsung selama 24 Juli–3 Agustus 2025 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Kabupaten Tangerang, Banten.
Bertempat di Hall 6 ICE BSD, Pertamina hadir dengan stan bertema “Energizing The Acceleration”. Tema ini menggambarkan semangat untuk mempercepat transformasi energi di Indonesia yang sejalan tema besar GIIAS 2025, yakni “Empowering the Future”.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, pihaknya terus berinovasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar lebih mudah memahami seluruh bisnis yang dijalankan perseroan.
“Beragam aktivitas seru yang dipersembahkan Pertamina selama GIIAS 2025 ditujukan untuk menarik keterlibatan masyarakat agar bisa berperan aktif dalam mendukung pengelolaan energi nasional dan
transisi energi
yang berkelanjutan,” ujar Fadjar dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Minggu (3/8/2025).
Fadjar menambahkan, selama GIIAS 2025, pengunjung stan Pertamina bisa merasakan sensasi menjadi pembalap MotoGP maupun balapan mobil kelas dunia.
Pertamina menghadirkan simulator motor MotoGP resmi serta Pertamax Turbo x Fastron Screen Challenge yang memungkinkan pengunjung merasakan sensasi balapan mobil secara virtual.
“Peserta yang berhasil memenangkan kompetisi berkesempatan memenangkan tiket nonton MotoGP di Mandalika dan bertemu pembalap Pertamina Enduro VR 46 di Mandalika. Tentu ini akan menjadi pengalaman luar biasa menyenangkan,” imbuh Fadjar.
Stan Pertamina juga menghadirkan wahana Mini RC, Zona Sustainability, serta toko yang menjual produk-produk berkualitas dan
merchandise
eksklusif MotoGP.
Seluruh aktivitas terintegrasi melalui aplikasi
MyPertamina
yang memungkinkan pengunjung merasakan pengalaman
digital end-to-end
.
Pengunjung juga bisa mengikuti “Ngobrol Seru di Booth Pertamina” dengan beragam tema, seperti pengelolaan energi berkelanjutan, kredit karbon, dan promo MyPertamina.
Temu wicara dengan durasi 30 menit itu dikemas interaktif dengan menghadirkan pembalap Sean Gelael dan Rifat Sungkar. Di akhir sesi, pengunjung bisa mendapatkan beragam
doorprize
melalui game Kahoot yang seru dan menyenangkan.
Pengunjung yang hobi berswafoto dan membuat konten kreatif bisa memenangkan
merchandise
dan
e-voucher
menarik. Pertamina menyediakan
photo booth
berlatar Tikungan 10 Mandalika dan Sustainability. Konten paling kreatif dan seru yang jadi pemenangnya.
Tak hanya itu, Pertamina juga menghadirkan formula khusus Pertamina yang menciptakan bahan bakar ramah lingkungan, seperti Fastron Eco Green dan Fastron Diesel 5W-30.
Produk hijau itu merupakan dukungan perusahaan dalam mendukung otomotif masa depan, sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim dan kebutuhan pasar global yang semakin sadar lingkungan.
“Pertamina menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas antusiasme masyarakat yang telah mengunjungi stan Pertamina dan terlibat aktif dalam berbagai diskusi menarik. Pertamina berkomitmen akan terus memberikan produk-produk terbaik bagi masyarakat Indonesia,” tandas Fadjar.
Stan Pertamina masih dapat dikunjungi pada hari terakhir gelaran GIIAS di ICE BSD. Masyarakat dapat merasakan keseruan menjadi pembalap profesional, bahkan berkesempatan mendapatkan hadiah menonton gelaran internasional MotoGP di Mandalika, Lombok, pada Oktober 2025.
Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan
environmental, social, and governance
(
ESG
) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/02/688dfa20f3ef2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P… Nasional 3 Agustus 2025
Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P…
Tim Redaksi
NUSA DUA, KOMPAS.com
– Tangis haru dan pekikan “merdeka” menggema di ruang utama Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Sabtu (2/8/2025), ketika
Hasto Kristiyanto
melangkah di tengah ruang kongres ke-6 partai, untuk kembali ke panggung politik partai berlambang banteng.
Suasana yang semula hening berubah menjadi riuh dan penuh emosi di tengah pidato politik Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri
dalam penutup kongres ke-6 partai.
Suara Megawati mendadak terhenti saat dia tengah menyampaikan pesan tentang pentingnya keberanian dan kejernihan dalam menghadapi tantangan bangsa.
“Kita tidak boleh menutup mata, kita harus menghadapi kenyataan ini dengan keberanian, kejernihan pikiran dan hati nurani, serta keteguhan sikap. Tetap berdiri tegak sebagai kesatria,” ujar Megawati.
Namun, kalimat itu belum sempat dirampungkan oleh Megawati.
Teriakan “Merdeka!” dari sejumlah orang memotong suasana.
Spontan, seluruh kader berdiri dari tempat duduk masing-masing, tepuk tangan bergemuruh.
Megawati, yang duduk di bangku di atas panggung, sempat bingung. Pandangannya celingukan.
Ekspresi haru pun mencuat dari wajah Megawati kala matanya menangkap sosok seseorang yang berjalan ke arah panggung.
Saat itulah, Sekjen Demisioner PDI-P Hasto Kristiyanto muncul di tengah-tengah peserta kongres.
Dengan mengenakan kemeja merah khas PDI-P dan kopiah berhias pin wajah Bung Karno, Hasto melangkah mantap menuju panggung utama.
Di tangan kiri, dia menggenggam buku berjudul “Spiritualitas PDI Perjuangan.”
Karya yang ditulis dan dipersembahkan untuk Megawati dari balik jeruji ruang tahanan KPK.
Megawati terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca. Tatapannya mengikuti langkah Hasto.
Air mata Megawati pun perlahan jatuh membasahi pipi.
Dia menyeka wajahnya, sebelum akhirnya berdiri menyambut Hasto yang naik ke atas panggung.
Sambil menangis, Megawati pun memeluk erat Hasto.
Di hadapan ribuan kader, Hasto tampak berusaha menenangkan ketua umumnya yang diliputi haru.
Hasto kemudian membungkuk dan mencium tangan Megawati.
Pekikan “Merdeka!” pun kembali menggema.
Para kader yang menyaksikan momen itu dari berbagai penjuru ruangan meneriakkannya sambil bertepuk tangan.
Setelah itu, Hasto langsung berbalik badan, lalu mengepalkan tangan ke udara dan berteriak “Merdeka!” sebelum turun dari panggung.
Pekikan itu serempak diikuti oleh para peserta kongres.
Usai turun panggung, Hasto bersalaman dengan dua tokoh PDI-P yang duduk di barisan depan: Prananda Prabowo dan Puan Maharani.
Hasto kemudian menempati kursi yang baru saja disiapkan oleh panitia di sisi kanan barisan terdepan.
Sementara itu, Megawati kembali duduk dengan penuh keharuan.
Dia pun tak langsung melanjutkan pidatonya karena masih diselimuti emosi.
Melihat hal itu, para kader berinisiatif menyanyikan yel-yel penyemangat dengan lirik “Megawati siapa yang punya, Megawati siapa yang punya, yang punya kita semua!”.
Yel-yel itu pun memecah keheningan dan menghangatkan suasana.
Perlahan, Megawati kembali mengambil alih suasana.
“Ternyata yang saya katakan, Satyam Eva Jayate. Ternyata kebenaran itu pasti menang. Alhamdulillah, Tuhan memberikan apa yang telah diinginkan oleh beliau,” ucap Megawati, dengan suara bergetar.
Dia mengaku selalu mendoakan Hasto, namun tak pernah menyangka bahwa pria yang menjadi tangan kanannya itu bisa hadir secara langsung dalam forum penting partai, hanya sehari setelah dibebaskan.
Untuk diketahui, Hasto baru saja bebas dari rumah tahanan KPK setelah mendapat amnesti dari
Presiden Prabowo Subianto
, dalam kasus penyuapan terkait perkara korupsi Harun Masiku, Jumat (1/8/2025) kemarin.
“Tadi saya berdoa. Tapi saya tidak terlalu berharap, bahwa yang namanya Pak Hasto berada kembali di keliling kita,” tuturnya disambut tepuk tangan.
Dalam pidatonya, Megawati juga mengungkap bahwa Hasto adalah satu dari sekian nama tokoh dan kader yang kerap ia sebut saat berdzikir.
“Kalau saya sedang berdzikir, saya sebut semua nama, termasuk Pak Hasto,” ucap Megawati.
“Saya minta kepada Yang Di Atas. Bukan karena apa-apa, (tetapi untuk) keadilan yang hakiki pada orang-orang yang dari sisi hukum diperlakukan tidak adil,” lanjut Presiden ke-5 RI itu.
Menurut Megawati, Hasto hanyalah contoh dari sekian banyak warga yang menjadi korban ketidakadilan hukum.
Dia pun menyerukan agar keadilan ditegakkan setegak-tegaknya.
“Apakah kalian tidak punya anak-anak, tidak punya saudara? Kalau diperlakukan seperti itu lalu bagaimana, di mana kalian akan mencari keadilan yang hakiki?” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Megawati juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.
Dia menyatakan, lembaga yang dulu turut digagasnya itu kini membuatnya sedih.
“Kalau saya lihat KPK sekarang, sedihnya bukan main. Saya lah yang membuat yang namanya Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Megawati.
“Kalau sekarang modelnya kayak begini, lalu bagaimana? Coba saja pikir. Saya merasa aneh kok,” sambung dia.
Megawati pun menyinggung peran Presiden Prabowo Subianto yang harus turun langsung menangani persoalan KPK.
“Masa urusan begini saja, Presiden harus turun tangan? Coba pikirkan,” kata dia.
Sebagai mantan kepala negara, Megawati menegaskan bahwa dirinya memahami dinamika kekuasaan.
Namun, dia menyayangkan jika penegakan hukum justru makin kehilangan kepercayaan publik.
“Saya kan pernah presiden, jadi saya tahu liku-likunya. Coba kalau kalian, lucu ya. Kenapa sih kok KPK jadi begitu? Itulah,” ujar Megawati.
Megawati menutup pidatonya dengan menyampaikan janji setia kepada Pancasila yang dia layangkan kepada almarhum ayahnya yang juga Presiden Pertama RI, Soekarno.
“Kepada Bung Karno, izinkan kami berjanji, di Kongres-6 ini, kami akan terus setia pada Pancasila, pada Trisakti yang akan kami wujudkan melalui pola pembangunan nasional semesta berencana,” katanya dengan suara bergetar.
Megawati juga berjanji bahwa dia dan partainya akan setia pada ajaran kebenaran yang diberikan oleh ayahnya tersebut.
Baginya, ajaran kebenaran Soekarno perlu diterapkan demi terwujudnya Indonesia yang sejati.
“Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, dengan berakhirnya pidato ini, maka dengan resmi Kongres keenam PDI-P secara resmi saya tutup,” kata Megawati.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/02/688dfa20f3ef2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Amnesti Hasto dan Sikap Politik Megawati… Nasional 3 Agustus 2025
Amnesti Hasto dan Sikap Politik Megawati…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden
Prabowo Subianto
mengeluarkan keputusan untuk memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
PDI-P
), Hasto Kristiyanto, yang terseret kasus Harun Masiku.
Pemberian amnesti tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang telah mendapat pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
Secara hukum, amnesti adalah tindakan negara yang menghapus seluruh akibat pidana atas suatu perbuatan, termasuk menghentikan proses hukum yang tengah berjalan.
Melalui amnesti ini, status hukum Hasto dinyatakan berakhir secara permanen, termasuk penyidikan dan penuntutan yang sempat dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Artinya, negara mengambil sikap bahwa perkara tersebut tidak lagi dianggap sebagai tindakan pidana yang perlu diproses lebih lanjut.
Secara politik, keputusan ini menjadi isyarat penting dari pemerintahan Prabowo, terutama dalam menghadapi dinamika relasi dengan partai-partai di luar koalisi pemerintah.
Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai bentuk rekonsiliasi, amnesti terhadap figur sentral PDI-P jelas menyimpan bobot politis yang tidak kecil.
Langkah ini juga mencerminkan pemanfaatan kewenangan konstitusional Presiden untuk mengintervensi proses hukum demi pertimbangan keadilan dan kepentingan nasional yang lebih luas.
Dalam praktik ketatanegaraan, pemberian amnesti kerap digunakan untuk meredam ketegangan politik atau menyelesaikan perkara yang dianggap sarat kepentingan non-hukum.
Sebelum amnesti disampaikan, Ketua Umum
Megawati Soekarnoputri
memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam acara Bimbingan Teknis atau Bimtek PDI-Perjuangan di Bali.
Perintah Megawati agar kadernya mendukung pemerintahan Prabowo ini diungkapkan oleh Ketua DPP PDI-P Deddy Yevri Sitorus.
“Sembari juga memastikan bahwa kita punya cukup banyak gagasan dalam rangka menjaga dan mendukung pemerintah agar betul-betul ada pada rel yang seharusnya,” kata Deddy, di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (31/7/2025) malam.
Menurut dia, dukungan yang diberikan itu bagi upaya-upaya positif yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga negara, bangsa, dan rakyat agar mampu melalui kondisi yang belum baik saat ini.
Dia mengatakan, upaya-upaya yang perlu didukung di antaranya untuk mengatasi kondisi fiskal yang sangat tidak stabil, pemasukan negara yang berkurang, tantangan pembayaran utang luar negeri, hingga tantangan geopolitik dan ekonomi global.
Secara umum, dia mengatakan bahwa Megawati ingin supaya partai berlambang kepala banteng itu tetap solid secara organisasi dengan memiliki frekuensi yang sama.
Untuk itu, menurut dia, Megawati meminta kepada para kadernya untuk turun ke masyarakat agar mengetahui persoalan-persoalan murni yang dialami masyarakat.
Menurut dia, Megawati selalu berpesan bahwa partai politik adalah tiang utama dari pemerintahan.
Dengan landasan undang-undang yang ada, dia mengatakan bahwa partai politik harus solid untuk bisa berperan dengan baik.
“Sudah tentu kita sebagai partai, terutama anggota legislatif kita, sebagai bagian dari negara ini, tentu harus berpikir menyatukan frekuensi. Selain itu, kita juga menggunakan kesempatan itu untuk menemukan inovasi-inovasi baru,” kata Anggota Komisi II DPR RI itu.
Meski tidak menjadi oposisi, partai berlambang banteng moncong putih itu menegaskan tetap berada di luar pemerintahan.
Politikus PDI-P Yasonna Laoly menuturkan, dukungan yang dilakukan PDI-P adalah sebagai penyeimbang atau menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah.
“Kan kalau PDI-P kemarin di bimtek, ibu sudah mengatakan. Kita dukung pemerintahan Pak Prabowo, walaupun kita berada di luar kabinet. Kita tetap mendukung sebagai penyeimbang,” ujar Yasonna, di sela-sela rangkaian Kongres ini.
Presiden Prabowo Subianto menyatakan, Partai Gerindra yang ia pimpin dan PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri merupakan kakak dan adik.
Meski hubungan kedua partai bagaikan saudara kandung, Prabowo menyebutkan bahwa PDI-P dan Gerindra tidak boleh berada dalam koalisi bila merujuk praktik demokrasi di negara barat.
“Ini sebenarnya PDI-P sama Gerindra ini kakak-adik. Tapi, benar kita ini karena apa ya, demokrasi kita kan diajarkan oleh negara barat, jadi enggak boleh koalisi satu,” kata Prabowo, dalam peluncuran Koperasi Desa Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025).
Prabowo menuturkan, sebagai negara demokrasi, harus ada pihak yang mengoreksi kebijakan pemerintah.
PDI-P dalam hal ini tidak menjadi bagian dari koalisi bersama Gerindra.
Perwakilan PDI-P juga tidak ada dalam Kabinet Merah Putih dan lebih banyak menduduki kursi di parlemen.
“Itu memang benar, harus ada yang di luar (koalisi), koreksi kita gitu, ngoreksi. Tapi, ya sedulur, ya kan?” ucap Prabowo.
“Kalau bahasanya itu jaksa Agung, hopeng (hao pengyou—teman baik). Bahasanya Pak Utut hopeng, karena suhunya sama dia ini,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2015/05/25/1008166010-fot0160780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum Nasional 3 Agustus 2025
Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
DALAM
panggung sejarah kekuasaan, keputusan politik kerap menjadi penentu arah nasib individu, bahkan bangsa.
Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, publik terbelah antara lega dan gusar, antara optimisme dan skeptisisme.
Di satu sisi, tindakan ini dibaca sebagai bentuk keberanian politik untuk memutus lingkaran balas dendam kekuasaan. Di sisi lain, keputusan ini diselubungi tanda tanya: mengapa mereka yang terkena hukuman? Mengapa bukan yang lain?
Amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan simbol kebijakan negara dalam memaknai keadilan.
Dalam pengertian hukum positif, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada individu atau kelompok atas tindakan pidana tertentu, biasanya bermuatan politik, yang menghapuskan segala akibat hukum.
Abolisi, sebaliknya, adalah penghapusan proses hukum terhadap seseorang dan diberikan atas dasar pertimbangan politik tertentu.
Keduanya diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
Dalam kasus Hasto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang terjerat tuduhan
obstruction of justice
dan suap dalam perkara Harun Masiku dengan vonis 3,5 tahun penjara; amnesti menjadi pilihan untuk memulihkan martabat seorang politikus yang dianggap menjadi korban kriminalisasi.
Sementara itu, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016) terdakwa kasus impor gula dengan vonis hukuman 4,5 tahun penjara, mendapat abolisi yang menghapus semua proses dan putusan hukum.
Kedua tindakan ini, secara hukum sah, tapi secara moral dan politik memanggil renungan lebih dalam.
Apresiasi atas amnesti dan abolisi tak boleh membutakan kita dari ketimpangan hukum yang telah lama menjadi borok tak tersembuhkan dalam demokrasi Indonesia.
Ketika keputusan hakim tampak seperti salinan naskah kekuasaan, dan ketika tuntutan jaksa mencerminkan atmosfer politik ketimbang asas legalitas, maka kita sedang menyaksikan bagaimana keadilan kehilangan sakralitasnya.
Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam pada kasus-kasus korupsi yang nilainya jauh lebih besar, bahkan seukuran gajah?
Mengapa kejaksaan lamban dalam mengusut skandal-skandal besar yang menguapkan triliunan rupiah uang rakyat?
Di saat yang sama, aparat penegak hukum tampak sangat aktif ketika berhadapan dengan figur-figur yang berada di luar lingkar kekuasaan.
Pola ini mengulangi siklus gelap dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini: selektif, transaksional, dan sarat kepentingan.
Buku Daniel S. Lev berjudul “Legal Evolution and Political Authority in Indonesia” (Equinox Publishing, 2000) menjadi titik awal refleksi penting.
Lev menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak pernah menjadi entitas otonom, melainkan selalu dibentuk dan dibelokkan oleh agenda kekuasaan.
Hal ini masih relevan hingga hari ini. Ketika figur seperti Hasto dan Tom Lembong dijerat atau dibebaskan berdasarkan kalkulasi politik, bukan semata prosedur hukum, maka jelas bahwa supremasi hukum masih menjadi ideal yang jauh dari kenyataan.
Penegakan hukum di Indonesia semakin diragukan setelah KPK dilemahkan melalui revisi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. KPK yang dahulu independen dan progresif, kini berada di bawah kendali dewan pengawas yang berafiliasi dengan pemerintah.
Hukum menjadi sunyi ketika pelakunya adalah kroni atau bagian dari sistem kekuasaan. Padahal, dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas bahwa setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok wajib dihukum berat.
Namun, teks hukum kehilangan makna jika aparatnya tunduk pada perintah kekuasaan.
Hal ini dipertegas oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” (Kompas, 2008), bahwa hukum di Indonesia terlalu kaku pada prosedur tetapi gagal pada substansi keadilan.
Ia menyerukan agar aparat hukum lebih berpihak kepada nilai keadilan sosial daripada sekadar teks hukum.
Dalam konteks Prabowo, pemberian amnesti dan abolisi bisa dibaca sebagai upaya koreksi terhadap praktik hukum yang telah kehilangan arah moral.
Sebastian Pompe (2012) juga mencatat bahwa hukum di Indonesia sangat rentan digunakan sebagai alat politik.
Dari Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung, Pompe menunjukkan bahwa tekanan kekuasaan menjadi bagian inheren dalam pengambilan keputusan.
Dengan itu, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemimpin yang berani memberikan pengampunan, tetapi sistem hukum yang berani berdiri sendiri.
Apa arti keadilan dalam sistem hukum yang telah dibajak oleh logika kekuasaan? Ketika hukum tidak memberi perlindungan kepada yang lemah, dan justru menjadi senjata untuk menundukkan lawan politik, maka legitimasi hukum pun runtuh.
Rakyat melihat bahwa keadilan hanyalah milik mereka yang dekat dengan kekuasaan, dan hukum adalah panggung sandiwara tanpa penonton yang percaya.
Keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dapat dipandang sebagai gestur moral yang melampaui prosedur teknis hukum.
Namun, hal ini tak cukup jika tidak diikuti reformasi institusional. KPK harus dikembalikan kepada independensinya.
Jaksa Agung harus benar-benar bebas dari kendali partai politik. Hakim harus memperoleh jaminan keamanan politik dan kesejahteraan agar tidak mudah dibeli atau ditekan. Dan yang terpenting, semua proses hukum harus terbuka untuk diawasi rakyat.
Konstitusi memberikan ruang untuk koreksi politik terhadap kesewenang-wenangan hukum, sebagaimana Pasal 14 UUD 1945 yang menjadi dasar pemberian amnesti dan abolisi.
Namun, koreksi itu tidak boleh menjadi pengganti dari sistem hukum yang rusak. Ia hanya boleh menjadi intervensi moral ketika hukum telah dibajak oleh tirani prosedural.
Di sinilah refleksi penting kita: bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak gagal karena kekurangan undang-undang, melainkan karena lemahnya komitmen politik dan keberanian moral para penyelenggara negara.
Hukum dipakai bukan untuk membangun keadilan, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan jejaring ekonomi politik para elite. Inilah yang melahirkan krisis sistem penegakan hukum kita.
Apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo mesti diikuti oleh dorongan publik untuk terus memperjuangkan sistem hukum yang rasional, independen, dan berpihak kepada rakyat.
Jika tidak, maka amnesti dan abolisi hanya akan dipahami sebagai strategi kompromi politik, bukan jalan menuju keadilan sejati.
Dan selama hukum masih berpihak pada mereka yang kuat, bukan pada kebenaran, maka keadilan akan tetap menjadi angan yang dituliskan dalam pasal-pasal undang-undang, tetapi tak pernah benar-benar hidup dalam kenyataan.
Hal ini tentu bertentangan dengan sifat dasar Indonesia yang merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/02/688e25c89f078.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ribka Tjiptaning soal Megawati Rangkap Sekjen: Ibu Punya Perhitungan Politik Sendiri Nasional 2 Agustus 2025
Ribka Tjiptaning soal Megawati Rangkap Sekjen: Ibu Punya Perhitungan Politik Sendiri
Tim Redaksi
NUSA DUA, KOMPAS.com
– Ketua DPP PDI-P
Ribka Tjiptaning
meyakini keputusan
Megawati Soekarnoputri
merangkap jabatan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) bukan tanpa alasan. Menurutnya, langkah itu diambil atas dasar perhitungan politik pribadi Megawati.
Ribka juga menduga rangkap jabatan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan berlangsung hingga akhir periode kepengurusan.
“Iya, pasti Ibu punya kebijakan, punya perhitungan sendiri,” ujar Ribka saat ditemui di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu (2/8/2025).
Menurut dia, salah satu pertimbangan Megawati mengambil keputusan tersebut adalah untuk merehabilitasi nama
Hasto Kristiyanto
.
Sebab, Sekjen demisioner PDI-P itu sempat dijatuhi vonis dalam kasus suap, namun akhirnya dibebaskan setelah memperoleh amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
“Ibu kan orangnya ingin merehabilitasi juga kan. Hasto tidak terstigma karena korupsi. Itu penting ya. Ini kan pembelajaran politik juga,” ujar Ribka saat ditemui di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu (2/8/2025).
Oleh karena itu, Ribka menegaskan bahwa Megawati ingin memastikan posisi Hasto saat ini dipahami dengan benar oleh publik.
Dalam kesempatan itu, Ribka juga membantah anggapan bahwa Megawati kesulitan mencari sosok pengganti Hasto.
“Jangan dong dianggap nanti, kan di luar beda nanti digorengnya, Pak Hasto enggak jadi Sekjen karena persoalan tahanan korupsi. Itu harus clear dulu. Kalau itu sudah, itu Ibu merehabilitasi,” kata Ribka.
Sebelumnya, Megawati resmi melantik jajaran pengurus DPP PDI-P periode 2025–2030 dalam Kongres VI di BNDCC, Sabtu (2/8/2025).
Sebanyak 37 nama diumumkan untuk menempati posisi strategis di partai, namun posisi Sekjen masih diisi oleh Megawati sendiri.
“Sekretaris Jenderal belum diputuskan oleh Ibu. Jadi Ibu masih merangkap,” ujar Ketua Steering Committee Kongres, Komarudin Watubun.
Komarudin menyatakan tidak mengetahui secara pasti alasan Megawati belum menunjuk Sekjen baru, namun ia meyakini keputusan itu diambil dengan pertimbangan politik yang cermat. “Pasti Ibu punya pertimbangan yang lebih matang untuk kepentingan internal partai ataupun yang lebih besar,” kata Komarudin.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/03/688e47c0e21d3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/17/68281e7038c2b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)