Category: Kompas.com Nasional

  • Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal Nasional 15 Agustus 2025

    Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
    Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
    DI TENGAH
    gegap gempita menyambut hari kemerdekaan ke 80 tahun Indonesia, sayup-sayup terdengar rintihan lirih anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Hingga kini jutaan balita masih harus berjuang melepaskan diri dari status stunting.
    Retorika pembangunan dan ambisi besar bangsa seperti kehilangan makna ketika tubuh-tubuh kecil itu terus tumbuh dalam kekurangan gizi, dan perlahan masa depannya terampas.
    Jika ulang tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif, maka pertanyaan yang layak diajukan bukanlah seberapa jauh kita melangkah, melainkan siapa saja yang tertinggal dalam perjalanan panjang republik ini.
    Target ambisius pemerintah untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 resmi meleset.
    Data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen di tahun 2023 menjadi 19,8 persen atau setara dengan sekitar 4,48 juta balita, dengan sekitar 377.000 kasus baru berhasil dicegah.
    Meski demikian, pemerintah membungkus penurunan stunting dari tahun ke tahun dengan retorika statistik.
    Penurunan diglorifikasi sebagai keberhasilan, meski tak sesuai target dan menyamarkan realitas lambatnya kerja di bawah kendali birokrasi.
    Kegagalan memenuhi target ini sudah dapat diduga. Pada 2023, penurunan stunting hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
    Atas dasar itu pencapaian penurunan di 2024 oleh pemerintah dianggap sebagai keberhasilan, meski hanya turun 1,7 persen.
    Sementara dana yang digelontorkan untuk isu tersebut pada tahun 2024, lebih dari Rp 186,4 triliun (APBN, 2024).
    Artinya, anggaran yang tergolong besar tersebut belum mampu membuat program percepatan penurunan stunting memutus siklus kegagalan pertumbuhan anak secara signifikan.
    Ironis memang, di tengah jargon “Indonesia Emas 2045”, masalah stunting masih bergerak seperti antrean panjang tanpa ujung yang jelas.
    Anak-anak dengan tinggi badan yang tak sesuai usia karena kekurangan gizi kronis—baik sejak dalam kandungan maupun dua tahun pertama kehidupan, lalu terganggu perkembangan kognitifnya—seolah dipaksa menjadi penumpang gelap dalam perjalanan menuju cita-cita besar bangsa.
    Jika menelisik akar masalah lambannya penanganan stunting, dua batu sandungan utama tampak nyata: birokrasi yang kaku dan ketergantungan pada pendanaan negara yang tidak selalu tersedia tepat waktu.
    Banyak program penanganan stunting di daerah harus menunggu pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau instruksi vertikal dari kementerian teknis, sementara kebutuhan di lapangan mendesak dan tidak bisa ditunda.
    Pola tersebut membuat kader-kader posyandu yang menjadi garda terdepan dalam penanganan stunting, kerap mengelus dada karena tidak mampu berbuat maksimal di tengah realitas masalah yang mereka pahami.
    Stunting bukan sekadar soal fisik, tetapi tentang peluang hidup anak di masa depan—dan setiap hari yang terlewat tanpa penanganan adalah kerugian bersama sebagai bangsa.
    Lebih jauh, pelibatan masyarakat dalam program ini minim. Padahal, kunci keberhasilan program berbasis perubahan perilaku—seperti pola makan, sanitasi, dan pemantauan kehamilan—tidak bisa hanya bertumpu pada intervensi pemerintah.
    Pengalaman di isu lain menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam identifikasi masalah dan solusi, hasilnya lebih berdampak dan berkelanjutan.
    Salah satu fase krusial yang kurang menjadi perhatian adalah masa remaja. Padahal, inilah jembatan penentu generasi berikutnya. Remaja putri yang mengalami anemia karena pola makan buruk berisiko tinggi melahirkan anak stunting.
    Di banyak daerah, praktik perkawinan dini masih berlangsung karena tekanan adat dan kemiskinan struktural. Tubuh remaja yang belum matang secara biologis maupun psikis dipaksa mengandung dan membesarkan anak, dengan konsekuensi buruk bagi tumbuh kembang anak tersebut.
    Lebih dari itu, banyak remaja korban kekerasan seksual, pernikahan paksa, hingga penyalahgunaan narkoba—semuanya berdampak langsung pada kesehatan reproduksi, kondisi mental, dan masa depan mereka sebagai calon orangtua.
    Tanpa intervensi serius pada fase ini, kita justru memperkuat mata rantai kegagalan tumbuh dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, memperkuat remaja hari ini adalah fondasi penting bagi anak-anak bebas stunting di masa depan.
    Salah satu ironi terbesar dalam narasi penurunan stunting nasional adalah kenyataan bahwa penurunan angka tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi anak.
    Anak-anak yang melewati usia lima tahun secara otomatis tidak lagi masuk dalam kategori pengukuran stunting, walaupun mereka tetap mengalami dampak jangka panjang akibat pertumbuhan yang terganggu.
    Statistik nasional pun “kehilangan” mereka, dan ini yang membuat keberhasilan semu dari penurunan angka stunting.
    Penurunan ini, jika ditelusuri lebih lanjut, bukan karena keberhasilan pelayanan gizi atau perubahan perilaku di tingkat keluarga.
    Sebaliknya, banyak terjadi karena perpindahan usia—anak yang dulunya teridentifikasi stunting, kini tidak tercatat lagi karena melewati usia 59 bulan. Pemerintah tidak memiliki data yang memadai untuk konteks tersebut.
    Namun, penulis menemui fakta lapangan di berbagai daerah, bahwa pergantian umur menjadi faktor yang determinan dari penurunan angka stunting.
    Jika hal ini berlaku umum, maka muncul pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menyelesaikan masalah, atau hanya memindahkannya dari satu kategori statistik ke kategori tak terlihat?
    Laporan UNICEF dan WHO secara konsisten menekankan bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang—menurunnya kecerdasan, produktivitas, dan meningkatnya risiko penyakit kronis di usia dewasa.
    Tanpa strategi komprehensif berkelanjutan, kita bukan hanya kehilangan satu generasi, tetapi mewariskan kelemahan struktural pada generasi berikutnya.
    Jika pemerintah benar-benar serius menuju “Generasi Emas 2045”, maka pendekatan dalam penanganan stunting harus berubah drastis.
    Kita membutuhkan desentralisasi kendali, pelibatan aktif masyarakat sipil, dan pembiayaan fleksibel yang bisa merespons kebutuhan cepat.
    Pemerintah daerah hingga di tingkat desa harus diberi ruang untuk berinovasi tanpa terbelenggu oleh sistem keuangan yang terjeda.
    Lebih penting lagi, indikator keberhasilan tidak boleh semata-mata berdasarkan penurunan angka di atas kertas, melainkan perubahan nyata dalam kualitas hidup anak-anak.
    Sistem pemantauan perlu diperluas hingga usia sekolah dasar agar anak-anak yang pernah stunting tetap menjadi bagian dari intervensi, bukan sekadar bayang-bayang statistik.
    Langkah lain yang mendesak adalah memperkuat kolaborasi lintas sektor—pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga perlindungan sosial.
    Sebab stunting bukan masalah gizi semata, tapi cerminan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar: makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan informasi kesehatan.
    Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan berbagai jargon populis tanpa peta jalan yang rasional dan komprehensif. Jargon-jargon populis tidak akan membuat antrean panjang menuju stunting berhenti.
    Jumlah anak-anak stunting bukan sekadar data, tetapi mereka berhak menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Hak itulah yang direnggut secara sistemik akibat kegagalan pembangunan.
    Generasi emas tak akan lahir dari tubuh yang lemah dan pikiran yang tertinggal. Kita tidak bisa membangun Indonesia 2045 dengan mengabaikan anak-anak hari ini.
    Menangani stunting harus menjadi panggilan moral, bukan sekadar proyek tahunan. Karena dalam setiap tubuh kecil yang gagal tumbuh, tersimpan dosa sejarah: masa lalu, saat ini, dan masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik Nasional 15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    SETELAH
    kasus Bupati Pati Sudewo mencuat, akhirnya diketahui bahwa tidak hanya Kabupten Pati yang menaikkan PBB P2.
    Bahkan ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB lebih dari 10 kali atau 1000 persenan, seperti Kabupaten Jombang dan Cirebon.
    Kedua daerah ini kini sedang dihantui penolakan masif dari warganya. Boleh jadi aspirasi “lengser” juga muncul kemudian, layaknya kepada Bupati Pati.
    Sementara daerah seperti Bone Selatan dan Semarang, juga terpantau menaikkan PBB P2 sekitar 300 dan 400-an persen.
    Malang memang bagi Bupati Pati, kenaikan PBB di Pati jauh lebih cepat ditanggapi warga dan mendadak mencuat menjadi masalah nasional.
    Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Banyak faktor tentunya. Tak semua faktor ada di daerah, beberapa faktor juga ada di pusat.
    Pertama, dalam hemat saya, berdasarkan perkembangan belakangan, faktor kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang digaungkan sejak awal tahun, juga turut menjadi penyebab utama.
    Kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat nyatanya tidak saja menyisir belanja kementerian dan lembaga nondepartemental di tingkat nasional, tapi juga menyasar berbagai macam mata anggaran di daerah, yang berujung pada pengecilan nominal total APBD.
    Kondisi ini, mau tak mau, membuat daerah harus memutar “otak” untuk mendapatkan tambahan pendapatan baru, terutama yang masuk ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk bisa membiayai berbagai rencana kebijakan dan program yang telah terlanjur dijanjikan kepada rakyat di daerah selama masa kampanye Pilkada.
    Boleh jadi dalam hal ini termasuk juga janji-janji “ilegal” kepala daerah terpilih kepada “klien-klien” politiknya atau bohir kaya yang telah ikut membantu pembiayaan politik pada Pilkada sebelumnya.
    Nah, terkait dengan kasus Pati, sebagaimana diatur di dalam UU yang terkait dengan relasi fiskal pusat dan daerah, yakni UU No. 1 tahun 2022, juga UU No. 28 2009 tentang pajak daerah, dan UU No. 33 tahun 2009 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memang sudah menjadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh daerah.
    Sehingga, secara legal konstitusional, naik atau turunnya PBB di daerah akan berada di bawah wewenang pemerintah daerah, termasuk oleh kepala daerah baru tentunya.
    Namun, pertanyaan pentingnya tentu bukan masalah legalitas konstitusional dari kasus Pati dan beberapa daerah lainnya.
    Pertanyaan pentingnya adalah mengapa daerah ramai-ramai menaikkan tarif PBB? Nah, dalam konteks ini kita bisa kembali kepada masalah kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tadi.
    Daerah-daerah pada akhirnya harus menaikkan tarif pajak untuk objek-objek pajak yang masuk ke dalam ranah “hak” pemerintah daerah, salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bagunan (PBB).
    Penyebab kedua adalah konstelasi hubungan keuangan pusat dan daerah yang selama ini sama sekali tidak menggambarkan status daerah sebagai daerah otonom.
    Kebijakan otonomi daerah selama ini hanya berlangsung di ranah politik dan administratif, tidak pada ranah fiskal.
    Jadi meskipun dipilih secara demokratis di daerah, setelah terpilih kepala daerah tetap tidak memiliki keleluasaan atas keberlangsungan pemerintahan di daerah dan keberlanjutan pembangunan di daerahnya, jika kepastian pembiayaan dari pusat tidak ada.
    Sehingga risikonya, setelah kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah resmi, untuk urusan pendapatan dan belanja daerah, mereka harus lebih sering berurusan dengan para pihak yang ada di Jakarta ketimbang di daerah.
    Tak pelak, relasi tak sehat pun terbentuk antara kepala daerah dengan wakil-wakil daerah yang ada di Senayan di satu sisi dan Kementerian Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri di sisi lain, untuk memastikan bahwa R-APBD yang telah disepakti di daerah diberi lampu hijau oleh Jakarta.
    Relasi keuangan pusat dan daerah semacam ini sangat tidak sehat dan kurang produktif. Dikatakan tidak sehat karena daerah-daerah menjadi sangat bergantung kepada pusat, terutama untuk mendapatkan proyek-proyek infrastruktur nasional di daerah.
    Relasi ini, diakui atau tidak, memberikan diskresi kepada pusat untuk menghukum daerah secara fiskal, jika daerah tidak sejalan dengan pemerintahan pusat di ranah politik.
    Di era Jokowi, misalnya, bahkan beberapa daerah yang tidak masuk kategori sebagai “daerah pemilih Jokowi”, mengalami pemangkasan anggaran yang cukup signifikan atau menjadi korban politik fiskal pemerintah pusat.
    Dan dikatakan tidak produktif karena daerah-daerah merasa tidak memiliki insentif untuk membangun daerahnya akibat perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil.
    Di China, misalnya, sekalipun dikenal secara politik sebagai negara komunis, tapi dalam praktik relasi fiskal pusat dan daerah, China masuk ke dalam negara yang paling desentralistis di dunia.
    Daerah-daerah mendapatkan bagian dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), yang dibagi secara proporsional antara pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kota, dan perfektur.
    Dengan konstelasi hubungan fiskal seperti di China, daerah-daerah menjadi sangat termotivasi untuk membangun daerahnya dengan cara mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan mendorong seluas-luasnya pembukaan lapangan pekerjaan baru.
    Pasalnya, setiap kenaikan produktifitas di daerah (karena produksi dari investasi baru), akan ada pendapatan tambahan dari pembagian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk daerah.
    Di sisi lain, kenaikan produktifitas tersebut akan berjalan simetris dengan pertambahan lapangan pekerjaan baru, di mana daerah pun kembali akan mendapatkan bagian pajak dari pajak pendapatan atas lapangan pekerjaan baru yang terbentuk.
    Dalam banyak kajian tentang ekonomi di China, relasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah yang demikian ternyata terbukti menjadi salah satu sebab mengapa para kepala daerah sangat bersemangat untuk memajukan daerahnya dengan mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan membuka selebar-lebarnya lapangan kerja baru di daerah, selain karena faktor prospek karier politik di dalam Partai Komunis China bagi kepala daerah yang berhasil membangun daerahnya.
    Dan secara nasional, praktik semacam ini ikut berkontribusi secara signifikan kepada kemajuan yang sangat dinamis di China di dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir.
    Sementara di Indonesia, konstelasi fiskal semacam itu masih menjadi mimpi “di siang bolong” hingga hari ini. Daerah-daerah sangat tergantung kepada pusat secara fiskal, sekalipun secara politik daerah-daerah dibiarkan berpesta pora atas nama demokrasi semu.
    Pola ini kemudian secara politik memunculkan kesan bahwa pemimpin daerah yang berhasil adalah pemimpin yang bisa membawa sebanyak-banyaknya anggaran dari pusat ke daerah dalam berbagai bentuk, mulai dari pembesaran anggaran untuk APBD, penetapan daerah sebagai lokasi proyek strategis nasional, sampai pada penggiringan investasi BUMN ke daerah di berbagai sektor.
    Semuanya, lagi-lagi, sayangnya terkait dengan “kuasa” yang ada di Jakarta, bukan di daerah.
    Dan terakhir, masalah ketiga, adalah rendahnya moralitas politik dan sensitifitas sosial kepemimpinan baru di daerah.
    Akibat sumbatan keuangan dari pusat, baik karena konstelasi fiskal antara pusat dan daerah maupun karena kebijakan efisiensi nasional, kepala-kepala daerah justru mengembalikan bebannya kepada rakyat di daerah dengan menaikkan berbagai jenis pajak yang menjadi hak daerah.
    Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa keadaan ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja sejak dua tahun terakhir.
    Sikap beberapa kepala daerah ini mirip dengan sikap “para kapitalis” nasional di saat pajak barang dan jasa naik. Seketika harga barang dan jasa dinaikkan oleh produsennya alias dibebankan kembali kepada konsumen.
    Pemerintah pusat boleh saja berharap, atau tepatnya bermimpi, bahwa pemerintahan daerah akan berkreasi secara fiskal saat kebijakan efisiensi diberlakukan di awal tahun.
    Namun untuk Indonesia, harapan dan mimpi itu terlalu muluk. Bagi daerah yang takut kepada rakyatnya atau khawatir ditegur oleh pusat, kebijakan efisiensi ditanggapi dengan “aksi kembali ke rutinitas” di mana anggaran untuk pembangunan dipangkas sedemikian rupa, sementara anggaran rutin semakin membesar.
    Walhasil, pemerintah daerah hanya berjalan berdasarkan rutinitas yang sudah berlangsung selama ini. Tak ada pembangunan berarti, pun tak ada investasi baru yang diperjuangkan karena tidak ada anggaran untuk memperjuangkannya. Ujung-ujungnya juga “nol” alias “nihil”.
    Sementara bagi kepala daerah yang merasa terlalu banyak “utang” yang harus dibayar dengan berbagai macam proyek daerah yang dibiayai dari APBD, mau tak mau sumber pendapatan baru harus diraih, agar beberapa “proyek” atau “rencana” yang telah disepakati dengan “pihak ketiga” semasa Pilkada tetap bisa dibiayai di tahun depan.
    Jika PAD meningkat, plus realisasi belanja di tahun ini bisa maksimum, maka di tahun depan ajuan APBD yang akan disepakati oleh pusat dipastikan juga akan membesar. Bagi kepala daerah semacam ini, rakyat tak berada pada barisan prioritas.
    Jika rakyat masih bisa dibebani dengan kenaikan pajak-pajak daerah demi ambisi fiskal kepala daerah terpilih, maka tanpa malu dan ragu, rakyat di daerah akan terus dibebani.
    Namun, yang lupa dimasukkan ke dalam ekuasi politik fiskal kepala daerah jenis ini adalah bahwa potensi resistensi dan perlawanan dari rakyat daerah bisa meledak secara tak terduga.
    Dan itulah yang terjadi di Pati, mungkin juga nanti di Cirebon atau Jombang, jika kepala daerahnya tak segera merevisi aturan kenaikan PBB di daerahnya.
    Boleh jadi kali ini kepala-kepala daerah ini akan selamat secara politik, setidaknya sampai 2029. Namun sejatinya, dukungan sebenarnya sudah hilang.

    If you once forfeit the confidence of your fellow citizen, you can never regain their respect and esteem
    ,” kata Abraham Lincoln di tahun 1854.
    Sekali rakyat merasa benar-benar telah tersakiti, jangan harap kepercayaan itu akan kembali seperti semula.
    Dan dalam hemat saya, pernyataan Lincoln ini harus menjadi catatan untuk semua pemimpin di Indonesia, tidak hanya kepala daerah, tapi juga Presiden Prabowo Subianto, bahkan Jokowi sekalipun, yang bayang-bayangnya masih menghantui ruang publik kita sampai hari ini. Semoga!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Ungkap Ada Komitmen “Fee” hingga 7.000 Dollar AS dalam Kasus Kuota Haji
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    KPK Ungkap Ada Komitmen “Fee” hingga 7.000 Dollar AS dalam Kasus Kuota Haji Nasional 14 Agustus 2025

    KPK Ungkap Ada Komitmen “Fee” hingga 7.000 Dollar AS dalam Kasus Kuota Haji
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi informasi terkait adanya komitmen
    fee
    yang dibayarkan agen travel untuk setiap kuota haji khusus yang mereka dapatkan.
    Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, dalam hitungan sementara, komitmen fee tersebut berada di kisaran 2.600-7.000 Dollar Amerika Serikat (AS) per kuota.
    “Kemudian fee-nya berapa? Apakah sudah pasti? Sedang kami hitung. Tapi, kira-kira kisarannya antara ada yang per kuota ya, 2.600 sampai dengan 7.000 (dollar),” kata Asep, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
    Asep mengatakan, komitmen
    fee
    tersebut bergantung pada perusahaan agen travel tersebut.
    Ia mengungkapkan, perusahaan agen travel yang sudah besar dan memiliki pelayanan baik memiliki
    fee
    tertentu.
    Asep juga mengatakan, KPK masih mendalami informasi komitmen
    fee
    tersebut, termasuk adanya “timbal balik” dari penerbitan SK Menteri yang membagi kuota haji tambahan menjadi proporsional.
    “Jadi, makanya berbeda-beda di sini ya, ada 2.600 sampai dengan 7.000 (Dollar AS),” ujar dia.
    KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
    Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
    Asep menuturkan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
    Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
    Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama.
    “Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
    “Jadi, kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
    KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
    KPK pun sudah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PDI-P Sudah Komunikasi dengan Kemenkum soal Pendaftaran Pengurus 2025-2030
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    PDI-P Sudah Komunikasi dengan Kemenkum soal Pendaftaran Pengurus 2025-2030 Nasional 14 Agustus 2025

    PDI-P Sudah Komunikasi dengan Kemenkum soal Pendaftaran Pengurus 2025-2030
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPP PDI-P Ganjar Pranowo menyebut, pihaknya telah berkomunikasi dengan Kementerian Hukum (Kemenkum) terkait pendaftaran struktur kepengurusan partai banteng periode 2025-2030.
    Pernyataan itu Ganjar sampaikan saat dimintai konfirmasi kapan PDI-P akan mendaftarkan kepengurusan baru itu ke Kementerian Hukum, mengingat strukturnya telah lengkap.
    Pihaknya tengah menyiapkan sejumlah syarat administrasi untuk mendaftarkan struktur organisasi partai politik tersebut.
    “Insya Allah secepatnya, kita sudah komunikasi dengan pihak Kumham. Beberapa syarat administratif sedang disiapkan,” kata Ganjar, saat ditemui di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
    Menurut Ganjar, di antara syarat itu meliputi data identitas, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan penunjukan notaris.
    Mantan Gubernur Jawa Tengah itu memperkirakan dalam waktu dekat PDI-P akan mendaftarkan struktur baru ke Kemenkum.
    “Mungkin kalau minggu ini bisa dikumpulkan, rasanya tinggal minta jadwal saja ke Kumham. Kumham juga sudah siap,” ujar Ganjar.
    Adapun struktur kepengurusan PDI-P 2025-2030 lengkap setelah Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri, melantik sejumlah pengurus yang belum disumpah pada Kongres Keenam di Bali pada awal Agustus lalu.
    Termasuk di antaranya penunjukan Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P untuk ketiga kalinya.
    Posisi itu sempat dikosongkan saat Megawati mengumumkan struktur kepengurusan baru periode 2025-2030 di Bali.
    Kala itu, Megawati mengumumkan posisi Sekjen juga diisi oleh dirinya selaku ketua umum.
    Adapun Hasto, saat itu masih menjalani proses administrasi untuk bebas dari jeruji besi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemenkes Beri Hadiah Rp 50 Juta untuk Puskesmas Penemu Kusta Terbanyak di Tangerang
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Kemenkes Beri Hadiah Rp 50 Juta untuk Puskesmas Penemu Kusta Terbanyak di Tangerang Nasional 14 Agustus 2025

    Kemenkes Beri Hadiah Rp 50 Juta untuk Puskesmas Penemu Kusta Terbanyak di Tangerang
    Editor
    KOMPAS.com
    – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyiapkan hadiah insentif sebesar Rp 50 juta bagi satuan unit puskesmas di Kabupaten Tangerang, Banten, yang berhasil mengeliminasi dan menemukan kasus kusta terbanyak.
    “Puskesmas yang bisa menemukan kasus kusta tertinggi, akan kita berikan hadiah insentif sebesar Rp 50 juta. Ini khusus di Kabupaten Tangerang,” kata Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono, di Tangerang, seperti dilansir dari Antara, Kamis (14/8/2025).
    Hadiah ini, kata Dante, bertujuan memotivasi petugas puskesmas agar lebih giat melakukan eliminasi dan deteksi dini penanganan kasus kusta di wilayah itu.
    “Jadi, saya minta pada akhir tahun untuk dihitung dan dilaporkan, khusus di Kabupaten Tangerang, ada pemberian hadiah,” ucap dia.
    Selain hadiah utama Rp 50 juta, Kemenkes juga menyiapkan insentif untuk puskesmas penemu kasus kusta terbanyak kedua dan ketiga.
    “Untuk puskesmas kedua terbanyak menemukan kusta diberi Rp 25 juta dan ketiga sebesar Rp 15 juta,” ujar dia.
    Menurut Dante, apresiasi ini diharapkan membantu mempercepat target pembebasan penyakit kusta di 111 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2030.
    “Maka target kita dalam pembebasan penyakit kusta dinaikkan saat ini menjadi 111 kabupaten/kota di 2030,” tutur dia.
    Tahap awal eliminasi, kata Dante, adalah mengenalkan gejala penyakit kusta kepada masyarakat. Dengan begitu, kasus dapat segera diidentifikasi dan diobati.
    “Kemudian kita berikan kemoprofilaksis kusta, ini diberikan sebagai upaya pencegahan terhadap timbulnya penyakit kepada mereka kontak erat dengan penderita kusta,” ungkap dia.
    Dante menambahkan, Indonesia saat ini masih berada di peringkat ketiga dunia untuk jumlah kasus kusta terbanyak setelah India dan Brasil.
    “Oleh karena itu kita memberikan target. Sesuai target WHO yang cukup ketat, maka kita upayakan agar ini bisa ditangani secara maksimal,” kata Dante.
    Ia menegaskan, kusta merupakan salah satu dari 21 penyakit tropis terabaikan di dunia yang harus dieliminasi.
    Menjaga lingkungan yang sehat menjadi salah satu upaya pencegahannya.
    “Sebetulnya untuk pengobatan saat ini sudah tersedia di puskesmas, jadi sudah tidak perlu ke rumah sakit. Kalau ke rumah sakit itu jika ada gejala yang berat misal ada kecacatan yang berat, kalau hanya gejala ringan kita upayakan ditangani di puskesmas,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Ungkap Ada Komitmen “Fee” hingga 7.000 Dollar AS dalam Kasus Kuota Haji
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    KPK Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Tambang di Lombok Nasional 14 Agustus 2025

    KPK Selidiki Kasus Dugaan Korupsi Tambang di Lombok
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut kasus dugaan korupsi di sektor pertambangan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
    KPK mengatakan, kasus tersebut dalam tahap penyelidikan.
    “Bisa saya sampaikan bahwa benar sedang menangani perkara (tambang di Lombok) dimaksud,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
    Asep belum menyampaikan secara detail konstruksi perkara korupsi tersebut lantaran masih dalam tahap penyelidikan.
    “Tapi, masih dalam proses lidik, jadi belum kita bisa sampaikan,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Pamerkan Uang Rp 2,4 Miliar dan Rubicon yang Disita Saat OTT Dirut Inhutani V
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    KPK Pamerkan Uang Rp 2,4 Miliar dan Rubicon yang Disita Saat OTT Dirut Inhutani V Nasional 14 Agustus 2025

    KPK Pamerkan Uang Rp 2,4 Miliar dan Rubicon yang Disita Saat OTT Dirut Inhutani V
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memamerkan barang bukti berupa uang tunai sebesar 189.000 Dollar Singapura atau sekitar Rp 2,4 miliar – kurs hari ini dan satu unit mobil Rubicon yang disita dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) PT Inhutani V, pada Kamis (14/8/2025).
    OTT tersebut terkait dengan dugaan kasus suap pengurusan izin pemanfaatan kawasan hutan.
    “Kita akan tampilkan barang bukti dalam kegiatan tangkap tangan ini, sementara mobil Rubicon akan ditampilkan di parkiran belakang ya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    Berdasarkan pantauan
    Kompas.com
    , satu penyidik KPK lengkap dengan rompi, bermasker dan topi masuk ke ruangan konferensi pers.
    Dia membawa satu kotak kardus berwarna cokelat bertuliskan KPK.
    Ia kemudian membuka kardus tersebut dan menunjukkan tumpukan uang mata uang Singapura tersebut.
    Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, KPK mengamankan 9 orang dari empat lokasi dalam OTT tersebut.
    Mereka yang ditangkap di Jakarta di antaranya, Dicky Yuana Rady selaku Direktur Utama PT Inhutani V; Raffles selaku Komisaris PT Inhutani V; Djunaidi selaku Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML); Arvin selaku staf PT PML; Joko dari SB Grup; dan Sudirman dari PT PML.
    Kemudian satu yang ditangkap di Bekasi adalah Aditya selaku staf perizinan SB Grup.
    Lalu, satu orang di Depok yaitu Bakhrizal Bakri selaku Mantan Direktur PT INH, dan satu orang di Bogor yaitu Yuliana selaku eks Direktur PT Inhutani V.
    “Tim KPK juga mengamankan sejumlah barang bukti, berupa uang tunai senilai SGD189.000 (atau sekitar Rp2,4 miliar – kurs hari ini), uang tunai senilai Rp8,5 juta, 1 (satu) unit mobil RUBICON di rumah Dicky Yuana (DIC); serta 1 unit mobil Pajero milik DIC di rumah ADT (Aditya selaku staf perizinan SB Grup),” kata Asep.
    Dari OTT tersebut, KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus korupsi tersebut yakni, Direktur Utama PT Inhutani V Dicky Yuana Rady; Djunaidi selaku Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML); dan Aditya selaku staf perizinan SB Grup.
    Dalam konstruksi perkara ini, Asep mengatakan, permasalahan ini muncul pada 2018, saat PT Inhutani V dan PT PML menghadapi masalah hukum atas kerja sama mereka.
    PT PML tidak melakukan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) periode tahun 2018 – 2019 senilai Rp 2,31 miliar, dan pinjaman dana reboisasi senilai Rp 500 juta per tahun, serta belum memberi laporan pelaksanaan kegiatan kepada PT Inhutani V per bulannya.
    Pada Juni 2023, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang telah inkracht atas permasalahan hukum antara PT Inhutani V dan PT PML menjelaskan bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang telah diubah pada tahun 2018 antara kedua belah pihak masih berlaku.
    Namun, PT PML wajib membayar ganti rugi sebesar Rp3,4 miliar.
    Meskipun dengan berbagai permasalahan tersebut, pada awal 2024, PT PML tetap berniat melanjutkan kerja sama dengan PT Inhutani V untuk kembali mengelola kawasan hutan di lokasi register 42, register 44, dan register 46 berdasarkan PKS kedua belah pihak yang telah diubah pada tahun 2018.
    Selanjutnya, pada Juni 2024, terjadi pertemuan di Lampung antara jajaran Direksi beserta Dewan Komisaris PT Inhutani V dan Direktur PT PML Djunaidi dan tim guna menyepakati pengelolaan hutan oleh PT PML dalam RKUPH (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan).
    Lalu, pada Agustus 2024, Dirut PT PML Djunaidi mengeluarkan uang senilai Rp4,2 miliar untuk pengamanan tanaman dan kepentingan PT Inhutani V ke rekening PT Inhutani V.
    “Dalam kesempatan yang sama, Dicky Yuana diduga menerima uang tunai dari Djunaidi senilai Rp100 juta, yang digunakan untuk keperluan pribadi,” ujarnya.
    Pada Februari 2025, Dicky Yuana menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Inhutani V yang di dalamnya juga mengakomodir kepentingan PT PML.
    Selanjutnya, Djunaidi meminta Sudirman selaku Staf PT PML membuat bukti setor yang direkap dengan nilai Rp3 miliar dan Rp4 miliar dari PT PML kepada PT Inhutani V.
    “Hal ini membuat laporan keuangan PT INH berubah dari “merah” ke “hijau”, dan membuat posisi Dicky Yuana “aman,” tuturnya.
    Kemudian Sudirman menyampaikan kepada Djunaidi, bahwa PT PML sudah mengeluarkan dana Rp21 miliar kepada PT Inhutani V untuk modal pengelolaan hutan.
    Pada Agustus 2025, KPK menemukan adanya pertemuan Direktur Utama PT Inhutani V Dicky Yuana Rady dan Direktur PT PML Djunaidi di lapangan golf di Jakarta pada Juli 2025.
    Dalam pertemuan itu, Dicky Yuana meminta dibelikan mobil baru kepada Djunaidi.
    Dalam beberapa hari, DJN (Djunaidi) melalui ADT (Aditya) menyampaikan kepada DIC (Dicky Yuana) bahwa proses pembelian 1 unit mobil baru seharga Rp2,3 miliar telah diurus oleh DJN (Djunaidi).
    “Pada saat bersamaan, Sdr. ADT (Aditya) mengantarkan uang senilai SGD189.000 dari Sdr. DJN (Djunaidi) untuk Sdr. DIC (Dicky) di Kantor Inhutani,” kata dia.
    Selanjutnya, Djunaidi melalui Arvin selaku Staf PT PML menyampaikan kepada Dicky Yuana bahwa pihaknya telah memenuhi seluruh permintaan Dicky, termasuk pemberian kepada salah seorang Komisaris PT Inhutani V.
    Atas rangkaian peristiwa tersebut, KPK melakukan pemeriksaan dan menetapkan Dicky Yuana, Djunaidi, dan Aditya sebagai tersangka. Ketiganya langsung dilakukan penahanan.
    “KPK selanjutnya melakukan penahanan untuk 20 hari pertama, terhitung tanggal 14 Agustus sampai dengan 1 September 2025 di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih,” tuturnya.
    Atas perbuatan Djunaidi dan Aditya sebagai pihak pemberi, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sedangkan Dicky, sebagai pihak penerima, diduga melakukan perbuatan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korupsi Izin Pemanfaatan Hutan, Dirut Inhutani V Diduga Minta Mobil Baru
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Korupsi Izin Pemanfaatan Hutan, Dirut Inhutani V Diduga Minta Mobil Baru Nasional 14 Agustus 2025

    Korupsi Izin Pemanfaatan Hutan, Dirut Inhutani V Diduga Minta Mobil Baru
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    KPK menyebut tersangka suap pengurusan izin pemanfaatan kawasan hutan yakni Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady, meminta mobil baru ke pihak perusahaan swasta.
    Dalam perkara ini, KPK menemukan bahwa Dicky Yuana meminta suap berupa mobil baru kepada PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML) Djunaidi.
    “Pada Juli 2025, terjadi pertemuan antara DIC (Dicky Yuana) dan DJN (Djunaidi) di lapangan golf di Jakarta. Di mana Sdr. DIC (Dicky Yuana) meminta mobil baru kepada Sdr. DJN (Djunaidi),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
    “Kemudian DJN (Djunaidi) menyanggupi keinginan DIC (Dicky Yuana) untuk membeli unit mobil baru tersebut,” sambungnya.
    Asep mengatakan, pada Agustus 2025, Dicky Yuana menerima kabar bahwa proses pembelian mobil baru senilai Rp 2,3 miliar sudah diurus oleh Djunaidi.
    Tak hanya itu, Staf Perizinan SB Grup, Aditya, mengantarkan uang senilai 189.000 Dolar Singapura dari Djunaidi untuk Dicky Yuana di Kantor Inhutani V.
    “Selanjutnya, DJN (Djunaidi) melalui Staf PT PML, Arvin (ARV), menyampaikan kepada DIC (Dicky Yuana) bahwa pihaknya telah memenuhi seluruh permintaan Dicky, termasuk pemberian kepada salah seorang Komisaris PT. INH (Inhutani V),” ujarnya.

    Asep mengatakan, Dicky Yuana dan delapan orang lainnya ditangkap penyidik dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (13/8/2025).
    Dalam OTT itu, KPK juga menyita dua unit mobil Rubicon dan uang tunai 189.000 Dollar Singapura.
    Atas rangkaian peristiwa itu, KPK menetapkan tiga orang tersangka, yaitu Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady; Djunaidi selaku Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML); dan Aditya selaku staf perizinan SB Grup.
    Atas perbuatan Djunaidi dan Aditya sebagai pihak pemberi, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sedangkan Dicky, sebagai pihak penerima, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    “KPK selanjutnya melakukan penahanan untuk 20 hari pertama, terhitung tanggal 14 Agustus sampai dengan 1 September 2025, di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih,” ucap dia.
    Sebelumnya, KPK menangkap sembilan orang, termasuk Direksi Industri Hutan V atau Inhutani V, dalam OTT di Jakarta pada Rabu (13/8/2025).
    Dalam OTT tersebut, KPK juga menyita uang sebesar Rp 2 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gugatan UU Sisdiknas agar Kuliah Digratiskan Ditolak MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Gugatan UU Sisdiknas agar Kuliah Digratiskan Ditolak MK Nasional 14 Agustus 2025

    Gugatan UU Sisdiknas agar Kuliah Digratiskan Ditolak MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang meminta agar pendidikan jenjang perguruan tinggi dibiayai sepenuhnya oleh negara alias gratis.
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang yang digelar di MK, Kamis (14/8/2025).
    Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat membahas dalil jaminan terhadap pendanaan pendidikan di jenjang perguruan tinggi yang diajukan pemohon.
    Pemohon menyebut, ketiadaan jaminan hukum terhadap pendanaan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi mencederai hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
    MK menilai, dalil para pemohon tidak tepat dalam mengartikan jaminan atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diamanatkan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
    “Karena norma Pasal 11 Ayat (2) UU 20/2003 tidak dapat diartikan berimplikasi munculnya ketidakpastian mengenai apakah pemohon dapat mengikuti jenjang pendidikan di tingkat pendidikan menengah dan/atau pendidikan tinggi,” kata Arief.
    Arief mengatakan, justru Pasal 11 Ayat (2) UU 20/2003 telah secara tegas memberikan kepastian atas kewajiban negara dalam pemenuhan pendidikan dasar, dan menjadi salah satu dasar hukum terwujudnya pendidikan dasar yang bebas biaya, bukan untuk perguruan tinggi atau sekolah menengah atas.
    Karena menurut Arief, dapat atau tidaknya para pemohon mengikuti pendidikan menengah atau pendidikan tinggi tidak semata-mata ditentukan oleh kewajiban negara dalam menyediakan biaya untuk seluruh jenjang pendidikan.
    Sebagai informasi, gugatan dengan nomor perkara 111/PUU-XXIII/2025 ini meminta agar MK menyatakan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tito Langsung Telepon Bupati dan Gubernur Jawa Tengah Usai Polemik PBB Pati Mencuat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Tito Langsung Telepon Bupati dan Gubernur Jawa Tengah Usai Polemik PBB Pati Mencuat Nasional 14 Agustus 2025

    Tito Langsung Telepon Bupati dan Gubernur Jawa Tengah Usai Polemik PBB Pati Mencuat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengaku langsung menghubungi Bupati Pati, Sudewo dan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi terkait polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Pati, Jawa Tengah.
    Tito mengatakan dirinya mempertanyakan mekanisme penetapan kebijakan tersebut, termasuk apakah sudah memperhitungkan kemampuan ekonomi masyarakat.
    “Saya langsung telepon Pak Bupati, Pak Gubernur. Saya tanyakan kenapa mekanismenya seperti itu,” kata Tito di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
    Tito menegaskan, pencabutan kebijakan oleh Bupati Pati Sudewo seharusnya mengakhiri polemik tersebut.
    Apalagi, tuntutan yang muncul belakangan dinilainya tidak berkaitan langsung dengan persoalan pajak itu.
    “Kita berharap dengan dicabut, sudah lah. Sekarang, ada tuntutan lain, ini saya kira bukan berhubungan dengan itu,” ucapnya.
    Mendagri juga mengingatkan agar persoalan ini tidak ditunggangi kepentingan politik.
    Menurut dia, bupati adalah pejabat yang dipilih rakyat sehingga keberatan terhadap kebijakan sebaiknya disampaikan melalui mekanisme yang berlaku.
    “Tolong jangan sampai juga ada kepentingan politik di balik itu. Tolong jangan lah, bagaimanapun bupati dipilih oleh rakyat,” kata Tito.
    “Kalau ada keberatan-keberatan lakukanlah dengan mekanisme yang ada. Di antaranya melalui DPRD mungkin, bisa juga melalui meminta Mendagri untuk melakukan sanksi, peneguran misalnya,” imbuhnya.
    Kebijakan kenaikan PBB di Pati sebelumnya memicu protes besar dari warga lantaran tarifnya disebut naik hingga 250 persen.
    DPRD Pati bahkan membentuk panitia khusus untuk menyelidiki proses penetapannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.