Mendagri Terima Kunjungan Ketua Baznas, Bahas Penyaluran Bantuan Kemanusiaan di Palestina dan Tanah Air
Penulis
KOMPAS.com
– Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menerima kunjungan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI Noor Achmad beserta jajarannya di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Dalam pertemuan yang berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan tersebut keduanya membahas kiprah dan peran Baznas dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan, termasuk di Palestina beberapa waktu lalu.
Selain itu, turut dibahas juga bantuan kemanusiaan yang terus diintensifkan Baznas. Salah satunya, di bidang kesehatan melalui Kapal Ambulans Laut milik Baznas. Kapal tersebut menjadi bagian dari layanan kesehatan bergerak Rumah Sehat Baznas untuk menjangkau daerah terpencil.
Mendagri juga menyimak penjelasan dari jajaran Baznas mengenai pemanfaatan kapal itu untuk mendukung pelayanan kesehatan di daerah perbatasan.
Dengan fasilitas tersebut, diharapkan pelayanan bersalin bagi para ibu di daerah perbatasan dapat terbantu. Angka kematian ibu dan bayi diyakini dapat ditekan.
Dalam pertemuan itu, Mendagri turut mendukung upaya kolaborasi antara Baznas dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Ikhtiar tersebut diharapkan mampu memastikan pelayanan dan bantuan kemanusiaan di wilayah perbatasan tetap terjaga.
Di sisi lain, dibahas pula praktik baik daerah yang berhasil mengoptimalkan peran zakat untuk membantu persoalan sosial, salah satunya di Kabupaten Ciamis yang dinilai sebagai bukti nyata penguatan sistem zakat hingga ke level desa.
Merespons hal tersebut, Mendagri menyambut baik apabila langkah serupa dapat diimplementasikan pemerintah daerah (pemda). Dengan demikian, persoalan sosial dapat diatasi secara komprehensif melalui peran Baznas dan Pemda.
“[Pemda] bisa bermitra dengan Baznas untuk membantu persoalan yang ada di daerah,” tandas Mendagri dalam siaran persnya, Sabtu (23/8/2025).
Turut hadir dalam pertemuan itu Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri Safrizal ZA, Sekretaris BNPP Makhruzi Rahman, serta sejumlah pejabat terkait lainnya dari Kemendagri dan Baznas.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/08/23/68a968adc9332.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Dahnil: Prabowo Bentuk Kementerian Haji dan Umrah untuk Jamin Integritas Nasional 23 Agustus 2025
Dahnil: Prabowo Bentuk Kementerian Haji dan Umrah untuk Jamin Integritas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Kepala Badan Penyelenggara (BP) Haji Dahnil Azhar Simanjuntak menuturkan, Presiden Prabowo Subianto menginginkan BP Haji berisikan orang-orang yang berintegritas.
Dahnil menegaskan, proses pengubahan nama BP Haji menjadi Kementerian Haji dan Umrah tidak akan menganggu proses jalannya persiapan penyelenggaraan ibadah haji pada 2026.
“Tidak sama sekali. Ini kan sebenarnya tinggal bedol desa saja. Walaupun nanti ada syarat ya (seleksi masuk ke Kementerian Haji dan Umrah), karena Pak Presiden menginginkan institusi ini wajahnya (menjamin) integeritas dan kompetensi,” jelas Dahnil ketika ditemui di Kantor Kementerian Agama (Kemenag), Jakarta Pusat, Sabtu (23/8/2025).
Dahnil mengatakan, dengan perkembangan kasus haji yang terjadi belakangan ini, BP Haji membutuhkan orang-orang yang berintegritas tinggi.
Salah satu persoalannya, kata Dahnil, terkait kesehatan jemaah haji yang mendapat teguran langsung dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi.
“Nah, bagaimana pemerintah mengantisipasi ini, enggak lagi kecolongan kalau sebenarnya jemaah itu sakit. Yang baru ke depannya kami ingin memunculkan manasik kesehatan,” ujar Dahnil.
Untuk program manasik kesehatan tersebut, BP Haji bakal menggandeng Persatuan Kedokteran Haji Indonesia (Perdokhi) sebagai pembenahan atas teguran Arab Saudi.
“Kami bekerja sama dengan teman-teman Perdokhi, beliau-beliau nanti akan ikut membantu kami merancang persiapan manasik kesehatan,” ujar Dahnil.
Dahnil mengatakan, pihaknya juga akan mengubah standar operasional prosedur (SOP) tahap pemeriksaan kesehatan.
“Misalnya yang sakit jantung. Nah treatment yang bagus supaya satu tahun sebelum berangkat tetap sehat itu gimana. Nanti secara keilmuan itu Perdokhi, kami yang siapkan (mekanismenya),” ujar Dahnil.
Ditemui dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat (PP) Perdokhi, Muchtaruddin Mansyur menyampaikan bahwa pihaknya memberikan 16 poin rekomendasi untuk transfoirmasi kebijakan istithoah kesehatan haji bersama BP Haji.
Di antaranya, penambahan vaksin influenza berbasis sel, vaksin pneumonia, pemberian imunomodulator asli Indonesia seperti ekstrak Phyllantus Niruri yang dikombinasi dengan multivitamin.
“Kalau dari pengajuan, kami berharap dalam satu tahun terindentifikasi itu ada pembinaan-pembinaan untuk pemeliharaan istitahah. Pak Dahnil sudah sampaikan minimal dua kali pemeriksaan,” ucap Mansyur.
“Melakukan manasik fisik kemudian assesment akhir menjelang keberangkatan ke embarkasi. Jadi diembarkasi tidak ada lagi yang dinyatakan tidak istitahah,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a84dde5f62b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Immanuel Ebenezer Minta Amnesti, Istana: Prabowo Tak Bela Bawahan yang Korupsi Nasional 23 Agustus 2025
Immanuel Ebenezer Minta Amnesti, Istana: Prabowo Tak Bela Bawahan yang Korupsi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto sudah berulang kali menyatakan tidak akan membela bawahannya yang terlibat korupsi.
Hal ini disampaikannya menyusul permintaan amnesti eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang meminta amnesti kepada Presiden Prabowo Subianto usai ditetapkan tersangka oleh KPK pada Jumat (22/8/2025).
“Presiden juga pernah menyampaikan tidak akan membela bawahannya yang terlibat korupsi,” kata Hasan kepada wartawan, Sabtu (23/8/2025).
Lebih lanjut, Hasan menuturkan bahwa Prabowo selalu mengingatkan jajarannya agar bekerja untuk rakyat selama 10 bulan terakhir memimpin.
Ia menyebutkan, Kepala Negara juga mengingatkan agar jangan sekali-sekali melakukan korupsi.
“Jangan sekali-kali berani melakukan korupsi. Itu artinya presiden sangat serius. Teman-teman media juga pasti punya banyak rekaman ketika presiden menekankan hal ini,” kata Hasan.
Oleh karena itu, pihak Istana Kepresidenan akan mengikuti proses hukum yang berlaku.
“Dalam hal ini kita ikuti saja proses hukum. Biar proses hukum yang membuat semua ini terang benderang,” kata Hasan.
Diberitakan sebelumnya, Immanuel Ebenezer alias Noel berharap mendapatkan amnesti dari Prabowo setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan terkait pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
“Semoga saya mendapat amnesti Presiden Prabowo,” kata Noel di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Noel juga menyatakan permintaan maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, keluarga, dan masyarakat Indonesia.
“Pertama saya mau minta maaf kepada Presiden Pak Prabowo,” kata Noel.
“Kedua, saya minta maaf kepada anak dan istri saya. Ketiga, saya minta maaf terhadap rakyat Indonesia,” ujar dia.
KPK menetapkan Noel dan 10 orang lainnnya sebagai tersangka setelah operasi tangkap tangan pada Rabu (20/8/2025).
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan, Noel diduga menerima Rp 3 miliar dari praktik pemerasan pengurusan sertifikat K3 di Kemenaker.
“Sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara yaitu Saudara IEG (Immanuel Ebenezer) sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024,” kata Setyo dalam konferensi pers, Jumat sore.
Setyo menjelaskan, dalam perkara ini, KPK menduga ada praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang menyebabkan pembengkakan tarif sertifikasi.
“Dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp 275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000 karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” kata Setyo.
KPK mencatat selisih pembayaran tersebut mencapai Rp 81 miliar yang kemudian mengalir kepada para tersangka, termasuk Rp 3 miliar yang dinikmati oleh Noel.
Setyo menuturkan, praktik pemerasan itu sudah terjadi sejak 2019 ketika Noel belum bergabung ke kabinet.
Namun, setelah menjadi orang nomor dua di Kemenaker, Noel justru membiarkan praktik korup tersebut terus berlanjut, bahkan ia ikut meminta jatah.
“Peran IEG (Immanuel Ebenezer) adalah dia tahu, dan membiarkan bahkan kemudian meminta. Jadi artinya proses yang dilakukan oleh para tersangka ini bisa dikatakan sepengatuan oleh IEG,” kata Setyo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a85a47ae648.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR Sindir Immanuel Ebenezer: Belum Sidang Sudah Minta Amnesti Nasional 23 Agustus 2025
Anggota DPR Sindir Immanuel Ebenezer: Belum Sidang Sudah Minta Amnesti
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra menilai permintaan amnesti eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel atas kasus korupsi yang menderanya masih terlalu dini.
Tandra mengatakan, amnesti semestinya diberikan kepada orang-orang yang sudah divonis bersalah oleh pengadilan, sedangkan Noel baru saja ditetapkan sebagai tersangka dan belum menjalani sidang.
“Amnesti itu apa sih? Pengampunan, kan? Artinya kalau orang diampuni kan sudah dinyatakan bersalah. Betul nggak? Ini kan belum ada sidang, belum ada apa-apa, terus bagaimana cara presiden mengampuni?” kata Tandra saat dihubungi, Sabtu (23/8/2025).
“Nah, jadi kalau amnesti menurut saya masih terlalu jauh. Amnesti itu diberikan kalau orang sudah dinyatakan bersalah,” imbuh dia.
Politikus Partai Golkar ini juga mengaku keberatan jika amnesti diberikan dalam kasus suap hingga korupsi.
Terlebih, Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai sambutannya menyatakan secara tegas bahwa pemerintahannya akan memerangi korupsi.
Prabowo pun menyatakan tidak akan melindungi kadernya jika terjerat kasus korupsi.
“Saya pribadi keberatan kalau amnesti diberikan, karena amnesti itu diberikan kepada kejahatan-kejahatan lain kecuali korupsi. Perbuatan
crime against humanity
, kejahatan kemanusiaan,
human trafficking
, judi, narkoba,” kata Tandra.Lagipula, menurutnya, jika Noel meminta amnesti, artinya ia mengakui segala kesalahan yang dituduhkan KPK.
Tandra justru mendorong Noel untuk membuka sejelas-jelasnya kasus hukum yang menjeratnya, sebagai tanda iktikad baik untuk membantu Presiden Prabowo.
Ia mengatakan, Noel bisa menjadi
justice collaborator
(JC) untuk memperoleh maaf dari hakim kelak.
“Dari situ nanti ada pemaafan hakim, ya kan? Hakim memaafkan beliau karena berkelakuan baik, ikut serta membantu pemerintah untuk memberantas korupsi. Ya, beliau bisa jadi JC. Tapi kalau orang bersalah tetap harus dihukum. Kalau tidak, menciderai hati warga,” kata Tandra.
Sebelumnya diberitakan, KPK menetapkan Wamenaker Immanuel Ebenezer sebagai tersangka terkait kasus pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kemenaker.
Noel, sapaan akrab Immanuel Ebenezer, ditetapkan sebagai tersangka usai terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Rabu (20/8/2025) malam.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebutkan, dalam perkara ini, Noel diduga menerima aliran dana sebesar Rp 3 miliar.
Noel juga dianggap membiarkan praktik korup yang sudah berlangsung sejak 2019 itu tetap terjadi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a85a476fe45.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out" Nasional 23 Agustus 2025
Noel, Mentalitas Korup, dan “Indonesia Sold Out”
Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
SIAPA
tidak kenal Immanuel Ebenezer Gerungan? Pria kelahiran Riau yang populer dengan sapaan Noel adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Kabinet Merah-Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Noel dikenal sebagai aktivis 98 yang mengklaim punya komitmen terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi.
Suaranya menggelegar, tegas, berwibawa. Ucapannya penuh dengan kata-kata yang mengekspresikan idealisme.
”Kami tidak mau pemerintahan awal Prabowo dirusak oleh brutus, para klepto. Dalam pidato Pak Prabowo disampaikan, jangan kirim orang yang mau nyopet anggaran APBN dan APBD. Pidato itu cocok dengan karakter saya sebagai aktivis 98 yang punya komitmen dengan demokrasi dan pemberantasan korupsi,” kata Noel seusai dipanggil Prabowo Subianto pada 15 Oktober 2024 menjelang pelantikan presiden (
Kompas.id
, 21/08/2025).
Ucapan yang penuh idealisme itu dibatalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lain dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan terkait pengurusan sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). KPK menyita berbagai mobil dan motor mewah.
Noel adalah pejabat kelas menteri pertama pada pemerintahan Presiden Prabowo yang tersangkut korupsi.
Noel menambah panjang deret pejabat kelas menteri sejak era reformasi yang meringkuk di penjara akibat korupsi. Belum pejabat lain di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Siapa akan menyusul? Apakah kita yakin bahwa tak akan ada lagi pejabat kelas menteri pada pemerintahan Prabowo yang tersangkut korupsi, kendati sang presiden selalu bicara keras tentang korupsi?
Dulu saya mengira bahwa korupsi hanya dilakukan oleh kalangan tak berpunya. Tak berpunya secara ekonomi, pun tak berpunya secara kekuasaan.
Bila pendapatan naik, kesejahteraan meningkat, korupsi hilang dengan sendirinya. Ternyata, hal itu ilusi belaka.
Ternyata, ada gaya korupsi kelas kakap, korupsi kaum atasan. Mereka golongan berpunya secara ekonomi, sekaligus berpunya secara kekuasaan.
Yang terakhir, berpunya secara kekuasaan, justru kategori yang melipatgandakan nilai yang dikorupsi, pola/modus, dan komplotannya.
Di tangan mereka, korupsi dilakukan dengan menggunakan ilmu. Bukan sekadar ilmu memanfaatkan celah di dalam sistem, melainkan ilmu menyusun celah di dalam sistem.
Untuk kasus Noel, ternyata, pengurusan sertifikat K3 memberikan ruang bagi pemegang kekuasaan untuk “mengambil keuntungan” berlipat-lipat yang dilarang oleh peraturan dan berakibat pidana korupsi. Nilainya tentu sangat besar dilihat dari barang bukti yang disita KPK.
Saya lalu teringat teori budaya kemiskinan yang ditemukan Oscar Lewis. Kemiskinan ternyata bukan soal struktural belaka. Bukan urusan sistem distribusi kue pembangunan saja.
Menurut Lewis, kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri.
Kemiskinan ternyata bisa membentuk nilai-nilai, etos, dan mentalitas tertentu yang membuat kaum miskin sulit keluar dari kubangan kemiskinan.
Nilai-nilai, etos, dan mentalitas produk kemiskinan itu sebut saja “mentalitas miskin”. Perubahan sistem distribusi kue pembangunan tidak dengan sendirinya mengubah mentalitas miskin itu.
Saya melihat, realitas korupsi di negeri menyerupai kemiskinan dan membentuk “mentalitas korup”. Perubahan dari pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformasi terbukti tak membuat kita keluar dari kubangan korupsi. Meski disediakan lembaga dan perangkat hukum untuk memberantas korupsi.
Bourdieu menyebutnya habitus. Ia bukan sekadar kebiasaan atau kecenderungan, melainkan sistem disposisi yang tertanam di dalam diri individu.
Siapapun bisa terjangkiti. Tinggal ada kesempatan atau tidak. Tak mudah melawannya, karena mentalitas korup yang menjadi habitus akan membuat seseorang kehilangan kepekaan dan daya tolak, alias kebal. Bahasa awamnya, “mendarah daging”.
Mereka tahu tindakannya melanggar hukum, korup, dan merugikan negara dalam jumlah yang tidak kecil, tapi tak cukup berdaya untuk menghindarinya. Bahkan, secara sadar dijalaninya. Muncullah pola atau modus secara berulang.
Saya melihat, mentalitas korup itu terkesan diamini di zaman komodifikasi yang digerakkan kapitalisme pasar.
Di zaman pasar, nyaris tak ada hal yang tak bisa dijajakan, dikapitalisasi. Tentu saja demi keuntungan material.
Sebagaimana hukum pasar, bukan sekadar keuntungan, tapi keuntungan yang berlipat-lipat. Tak peduli urusan sakral, sosial, dan kemanusiaan.
Apa yang bisa menjelaskan korupsi di urusan haji, bantuan sosial, covid-19, dan sejenisnya kalau bukan mentalitas korup?
Ternyata, ucapan Noel yang penuh idealisme tak mampu menyelamatkannya. Habitus itu membuat jurang antara ucapan dan tindakan, memproduksi perilaku hipokrit.
Noel seharusnya mendekonstruksi sistem pengurusan sertifikat K3 yang korup, tapi malah terjerembab di dalamnya.
Air matanya yang meleleh saat mengenakan rompi oranye dengan tangan terborgol bukan lagi ekspresi kesedihan, melainkan olok-olok terhadap diri sendiri.
Kita sudah melampaui vampir. Bila vampir menghisap darah orang lain untuk bertahan hidup, kita menghisap darah untuk kemewahan.
Yang menarik, meski kebetulan saja, pada hari itu juga sejumlah massa dari Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (Gemarak) membentangkan spanduk besar bertuliskan “Indonesia Sold Out” di depan pintu gerbang Gedung DPR/MPR RI (
Kompas.com
, 21/08/2025).
Bertambahlah kosakata yang menjadi antitesis “Indonesia Emas”. Sebelumnya ada “Indonesia Gelap” dan “Indonesia Cemas”, kini bertambah “Indonesia Sold Out”.
Tak sulit membaca nalarnya. Kaum muda membaca bahwa negeri ini telah habis terjual. Harta kekayaannya dikeruk dan digadaikan kepada rentenir.
Kaum muda itu melihat Ibu Pertiwi bersedih hati. Ternyata, putra-putrinya tak setia menjaga harta pusaka. Mereka lah yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sangat logis bila mereka berteriak keras.
Nalarnya sama dengan Prabowo saat presiden kita itu menulis buku berjudul
Paradoks Indonesia dan Solusinya
. Negeri yang kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin. Penyebabnya adalah “serakahnomics”.
Mentalitas korup dan serakahnomics bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Saling melengkapi, saling mengondisikan. Keduanya menjelma sebagai habitus. Membutakan mata hati dan menumpulkan ketajaman akal sehat.
Kita lalu tak mampu merasakan dan mencerna secara kritis bahwa tata kelola negeri ini sungguh bobrok, yang kebobrokannya mengancam eksistensi Indonesia. Inilah sesungguhnya musuh utama bangsa Indonesia.
Siapa yang akan kebal di kubangan semacam itu? Barangkali hanya “kegilaan” dalam bentuk lain.
Tesis hanya bisa dilawan dengan antitesis yang setara. Bila mentalitas korup dan serakahnomics dianggap kegilaan, maka hanya bisa ditandingi oleh kegilaan yang lain.
Sejarah membuktikan. Indonesia pun lahir dari kegilaan lain pada zamannya. Perubahan besar di dunia ini selalu muncul dari kegilaan lain. Kini, sejarah Indonesia menuntut kegilaan lain.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/09/19/66eb9b3263b94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menguji Keadilan Tunjangan DPR Nasional 23 Agustus 2025
Menguji Keadilan Tunjangan DPR
Dosen Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta
“
Bangsa Mati di Tangan Politikus
” -M. Subhan S.D.
HIDUP
dalam kemewahan di tengah penderitaan. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak banyak rakyat Indonesia ketika mendengar kabar tunjangan dan fasilitas yang dinikmati oleh para Wakil Rakyat di Senayan, Jakarta.
Di satu sisi, jutaan rakyat masih berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak, mencari pekerjaan, atau sekadar makan sehari-hari.
Namun, di sisi lain, pejabat negara yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru diselimuti segudang fasilitas yang dianggap tidak masuk akal.
Tambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan sekitar Rp 100 jutaan per bulan, menjadi sorotan tajam yang membuat publik bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar mewakili penderitaan kita, ataukah mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi?
Isu ini semakin memanas ketika Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya kenaikan gaji yang fantastis tersebut, tapi membenarkan bahwa tunjangan kompensasi uang rumah diberikan karena para anggota Dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas.
Sebuah pernyataan yang, alih-alih meredam amarah, justru semakin memicu perdebatan publik tentang urgensi dan kewajaran tunjangan tersebut.
Para pihak yang pro (mungkin saja anggota DPR itu sendiri) terhadap tunjangan ini berargumen bahwa fasilitas tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas tanggung jawab besar yang diemban oleh anggota Dewan.
Mereka adalah pejabat tinggi negara yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk merumuskan undang-undang, mengawasi pemerintah, dan mengemban amanah rakyat.
Tunjangan ini juga dianggap sebagai kompensasi agar anggota Dewan dapat fokus bekerja tanpa perlu memikirkan kebutuhan finansial pribadi.
Pandangan ini juga seringkali menyebut bahwa tunjangan ini sah secara hukum karena telah diatur undang-undang.
Dengan demikian, apa yang diterima oleh para anggota Dewan adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum positif.
Alasan ini menjadi tameng yang kuat bagi DPR untuk menepis kritik publik, seolah-olah apapun yang legal sudah pasti etis dan adil.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, tentu diperlukan sistem penggajian dan tunjangan yang memadai untuk menjamin independensi lembaga legislatif dari intervensi eksternal, terutama dari pihak swasta yang berpotensi menyuap.
Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu. Perlu ada kajian lebih mendalam untuk melihat isu ini, yang tidak hanya terpaku pada legalitas formal semata.
Ada asas-asas hukum dan etika publik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kewajaran suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut uang rakyat.
Di sinilah letak pertentangan utama antara legalitas dan moralitas. Adagium hukum Latin
fiat justitia ruat caelum
, yang berarti “tegakkan keadilan walau langit runtuh,” mengingatkan kita bahwa keadilan substantif jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan formal terhadap undang-undang.
Asas Keadilan (
Principle of Justice
) menjadi pilar pertama yang perlu dipertanyakan. Gaji yang fantastis, bahkan tunjangan untuk biaya sewa rumah saja, sangat kontras dengan realitas ekonomi masyarakat.
Ketika miliaran rupiah dari pajak rakyat dialokasikan untuk memfasilitasi gaya hidup mewah para pejabat, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, lantas di mana letak keadilan sosial yang selalu digaungkan?
Pemberian tunjangan ini seolah-olah menciptakan kasta sosial antara para wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
Bahkan salah satu politisi sampai mengatakan “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata”, pernyataan yang menusuk hati terdalam masyarakat Indonesia.
Kondisi ini secara etis tidak sesuai dengan semangat demokrasi di mana para pejabat seharusnya hidup berdampingan dengan rakyat, memahami, dan merasakan langsung penderitaan mereka.
Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dan proporsionalitas dalam alokasi sumber daya negara.
Selanjutnya, kita harus menguji dengan Asas Kemanfaatan (
Principle of Utility
). Tunjangan besar yang dikeluarkan dari kas negara haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
Pertanyaannya, apakah tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan benar-benar meningkatkan kinerja anggota Dewan?
Apakah tunjangan tersebut secara signifikan mendorong mereka untuk merumuskan undang-undang yang lebih berkualitas atau melakukan pengawasan lebih ketat?
Alih-alih menjadi pendorong kinerja, tunjangan dan fasilitas berlebihan justru berpotensi menjadi bumerang.
Rakyat melihatnya sebagai pemborosan dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi DPR.
Hal ini berujung pada menurunnya partisipasi politik dan sikap apati masyarakat, yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
Ketidakwajaran tunjangan ini juga dapat dianalisis melalui Asas Kepatutan dan Kewajaran (
Principle of Appropriateness and Reasonableness
).
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran, apakah pantas bagi para pejabat negara menerima tunjangan yang melebihi kebutuhan dasar?
Seberapa rasional pengeluaran puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk biaya sewa rumah, ketika banyak masyarakat bahkan tidak memiliki tempat tinggal permanen?
Tunjangan perumahan hanyalah salah satu dari sekian banyak tunjangan yang diterima. Para anggota Dewan juga menikmati tunjangan komunikasi intensif, tunjangan alat kelengkapan, hingga tunjangan dana aspirasi.
Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total yang dikeluarkan negara untuk satu orang anggota Dewan dalam satu tahun mencapai angka miliaran rupiah, belum termasuk biaya perjalanan dinas dan fasilitas pendukung lainnya.
Pajak yang dibayarkan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tunjangan yang tidak proporsional ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan pajak rakyat, karena penggunaannya tidak efektif dan tidak memenuhi prinsip keadilan sosial.
Terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban rakyat membayar pajak dan pemanfaatannya oleh para wakilnya.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa secara luas menyoroti isu ini sebagai cerminan dari kegagalan para wakil rakyat untuk berempati.
Pandangan kontra ini menganggap bahwa tunjangan dan fasilitas berlebihan hanyalah bentuk legitimasi atas prinsip oligarki, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di kalangan elite.
Isu ini menjadi salah satu pemicu utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Lebih jauh, isu ini juga terkait erat dengan Asas Akuntabilitas Publik. Sebagai lembaga perwakilan, DPR memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap penggunaan anggaran kepada publik.
Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya berarti melaporkan angka-angka, tetapi juga menjelaskan dasar dan urgensi dari setiap pengeluaran.
Ketika tunjangan tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas yang memuaskan publik, maka asas akuntabilitas ini telah gagal ditegakkan.
Inilah ironi terbesar yang harus kita hadapi. Di tengah janji-janji kesejahteraan yang sering digaungkan, para Wakil Rakyat justru menikmati kemewahan yang jauh dari realitas kehidupan mayoritas masyarakat.
Mereka seolah hidup dalam gelembung yang terpisah dari penderitaan rakyat, mengabaikan fakta bahwa masih banyak anak kekurangan gizi, pembangunan infrastruktur yang belum merata, dan layanan publik yang masih jauh dari kata ideal.
Melihat praktik di beberapa negara lain, sistem penggajian dan tunjangan bagi legislator seringkali disesuaikan dengan standar hidup umum dan diawasi oleh komite independen.
Hal ini bertujuan mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar proporsional dengan kebutuhan dan tanggung jawab, bukan hanya didasarkan pada keinginan pribadi.
Maka secara tegas seluruh kalangan harus menyerukan agar DPR melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap semua tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
Kajian ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan didasarkan pada asas-asas hukum yang berpihak pada keadilan, kemanfaatan, dan kewajaran.
DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar memanfaatkan pajak rakyat.
Sudah saatnya DPR kembali pada khittah-nya sebagai lembaga yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi.
Penggunaan anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan penuh integritas dan keberpihakan pada kepentingan umum.
Tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah moralitas dan etika yang akan menentukan apakah DPR pantas disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat atau hanya perwakilan elite.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a84dde5f62b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tangis Immanuel Ebenezer di Balutan Rompi Oranye Setelah Jadi Tersangka Korupsi Nasional 23 Agustus 2025
Tangis Immanuel Ebenezer di Balutan Rompi Oranye Setelah Jadi Tersangka Korupsi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Hilang sudah tampang garang penuh wibawa yang biasa ditunjukkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer ketika menginspeksi mendadak perusahaan-perusahaan bandel yang memainkan hak karywan mereka.
Pada Jumat (22/8/2025) kemarin, pria yang akrab disapa Noel justru menampilkan raut muka sedih bahkan menangis dengan balutan rompi oranye dan tangan terborgol.
Noel dan 10 orang lainnya digiring petugas KPK untuk ditampilkan di ruang jumpa pers usai mereka ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
Noel berjalan paling depan, diikuti oleh tersangka lainnya.
Dia melipat bibir ke dalam seraya berjalan perlahan, menatap ke arah wartawan dengan mata sembap di balik kacamata berbingkai warna hitam.
Noel terisak dan mulutnya melepas helaan napas, pada beberapa saat ia pun sempat mengusap bagian matanya.
Sesekali ia melirik ke luar Gedung Merah Putih KPK, melihat udara bebas yang mungkin tidak bisa ia nikmati untuk beberapa waktu ke depan.
Gestur Noel yang tak biasa itu lantas mengundang sorakan dari para jurnalis yang sibuk mengabadikan momen.
Meski mendapat sorakan wartawan, Noel tetap percaya diri mengacungkan jempol ke arah mereka sambil berusaha tersenyum.
Immanuel Ebenezer sesungguhnya bukan satu-satunya ‘pemain’ dalam praktik pemerasan yang sudah terjadi sejak tahun 2019.
Selain Noel, ada 10 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, mereka adalah Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 Kemenaker tahun 2022-2025, Gerry Adita Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja Kemenaker.
Kemudian, Subhan selaku Subkoordinator Keselamatan Kerja Direktorat Bina K3 Kemenaker tahun 2020-2025, Anitasari Kusumawati selaku Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja Kemenaker, Fahrurozi selaku Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kemenaker.
Lalu, Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan Kemenaker 2021-2025, Sekarsari Kartika Putri sleaku subkoordinator, Supriadi selaku koordinator, serta Temurila dan Miki Mahfud dari pihak PT KEM Indonesia.
Dalam perkara ini, KPK menduga ada praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang menyebabkan pembengkakan tarif sertifikasi dari ratusan ribu menjadi jutaan.
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan, tarif sertifikasi K3 semestinya hanya sebesar Rp 275.000, tetapi praktik pemerasan membuat para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000 untuk pembuatan sertifikasi K3.
“Karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” kata Setyo saat jumpa pers, Jumat.
KPK mencatat selisih pembayaran tersebut mencapai Rp 81 miliar yang kemudian mengalir kepada para tersangka, termasuk kepada Noel yang mendapat jatah Rp 3 miliar.
Setyo menyebutkan, kasus pemerasan ini sudah terjadi sejak tahun 2019 ketika Noel belum menjadi pejabat.
Namun, setelah menjabat di Kemenaker, Noel justru membiarkan praktik itu terjadi bahkan ikut meminta jatah.
“Peran IEG (Immanuel Ebenezer) adalah dia tahu, dan membiarkan bahkan kemudian meminta. Jadi artinya proses yang dilakukan oleh para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG,” kata Setyo.
Setyo mengatakan, selain mendapatkan Rp 3 miliar, Noel juga mendapatkan motor merek Ducati dari hasil pemerasan tersebut.
Berdasarkan konstruksi perkara tersebut, KPK menerapkan pasal pemerasan pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Noel dan kawan-kawan,bukan pasal penyapan.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, pasal ini digunakan karena ditemukan modus mempersulit proses sertifikasi K3.
“Kenapa menggunakan Pasal Pemerasan? Tidak menggunakan Pasal Suap? Tadi di awal sudah disampaikan oleh Bapak Ketua bahwa ada tindak pemerasan ini dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses. Itu perbedaannya,” kata Asep.
Asep mengatakan, pemerasan yang dilakukan tersangka membuat para buruh mendapatkan tekanan secara psikologis karena sertifikat tersebut sangat dibutuhkan.
“Sehingga si pemohon menjadi tertekan secara psikologis. Dan dia juga kan perlu cepat barangnya. Dan dia tidak ada kepastian kapan ini bisa segera selesai,” ucap dia.
Setelah ditetapkan jadi tersangka, Noel menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
“Saya ingin sekali, pertama saya mau minta maaf kepada Presiden Pak Prabowo,” kata Noel, sapaan akrabnya, saat meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Kemudian, Noel juga menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga dan rakyat Indonesia.
“Kedua, saya minta maaf kepada anak dan istri saya. Ketiga, saya minta maaf terhadap rakyat Indonesia,” ujar dia.
Noel lantas mengeklaim bahwa ia tidak terjaring OTT KPK.
Ia juga mengaku tidak terjerat kasus pemerasan sebagaimana dituduhkan oleh KPK.
“Saya juga ingin mengklarifikasi bahwa saya tidak di-OTT, pertama itu. Kedua, kasus saya bukan kasus pemerasan, agar narasi di luar tidak menjadi narasi yang kotor memberatkan saya,” kata Noel.
Tidak tanggung-tanggung, Noel pun berharap mendapatkan amnesti setelah menjadi tersangka KPK.
“Semoga saya mendapat amnesti Presiden Prabowo,” kata Noel.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/23/68a9844c75457.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/23/68a980bd24746.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/23/68a950114530c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)