KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan
Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
TINGKAT
kepuasan publik terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kini berada pada posisi relatif tinggi.
Survei terbaru menunjukkan tujuh dari sepuluh peserta menyatakan puas terhadap layanan yang mereka terima.
Bahkan, hanya segelintir yang belum pernah memanfaatkan fasilitas kesehatan melalui kartu BPJS Kesehatan.
Angka ini menegaskan bahwa legitimasi sosial program JKN cukup kuat. Bagi masyarakat luas, JKN bukan sekadar program pemerintah, melainkan pelindung konkret, jaring pengaman ketika risiko kesehatan mengancam rumah tangga.
Kartu ini menjelma simbol solidaritas nasional: buruh, petani, pedagang, hingga pegawai, semua berada dalam satu sistem gotong royong yang sama.
Namun, di tengah apresiasi itu, publik dihadapkan pada wacana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang memicu diskusi sengit.
Tujuan KRIS sejatinya mulia: menstandarkan kualitas minimum ruang rawat inap sehingga setiap pasien, tanpa memandang kelas kepesertaan, tidak dirawat di bawah ambang mutu.
Negara ingin memastikan tidak ada lagi warga yang harus berbaring di ruangan sempit tanpa privasi atau tanpa akses oksigen memadai.
Namun, gagasan ini justru menimbulkan tafsir beragam. Sebagian pejabat menyebut KRIS berarti penghapusan kelas menjadi satu standar tunggal.
Sebagian lain menegaskan kelas tetap ada, hanya saja setiap kelas wajib memenuhi dua belas kriteria dasar, seperti jarak antarbed, ketersediaan kamar mandi, hingga suhu ruangan yang stabil.
Ambiguitas inilah yang menimbulkan kebingungan publik. Peserta kelas tiga cenderung mendukung karena berharap mutu meningkat, sementara peserta kelas satu khawatir kehilangan kenyamanan yang selama ini dianggap haknya.
Masalah mendasar terletak pada makna “standar”. Dalam teori keadilan sosial, standar minimum adalah pagar bawah yang wajib dijaga negara, bukan seragam yang memaksa semua orang sama.
Standar minimum memastikan keselamatan, privasi, dan martabat dasar, tetapi tidak meniadakan ruang bagi pilihan tambahan.
Sayangnya, komunikasi publik gagal menjelaskan hal ini dengan gamblang. Alhasil, muncul persepsi bahwa KRIS akan menghapus diferensiasi, bukan memperbaiki mutu.
Padahal, di banyak negara, standardisasi pelayanan dasar justru menjadi kunci keberhasilan sistem jaminan kesehatan.
Inggris dengan National Health Service (NHS) menetapkan standar minimum perawatan, tetapi tetap memberi ruang pilihan layanan tambahan bagi mereka yang membayar lebih.
Thailand dengan Universal Coverage Scheme juga menjaga standar dasar, sehingga tidak ada warga miskin yang tertinggal.
Indonesia seharusnya belajar bahwa standar bukan ancaman, melainkan instrumen pemerataan.
Kesiapan infrastruktur menjadi tantangan lain. Tidak semua rumah sakit berada pada titik yang sama.
Rumah sakit rujukan nasional di kota besar mungkin sudah memenuhi hampir seluruh kriteria, tetapi banyak rumah sakit daerah masih tertinggal.
Perpanjangan masa transisi hingga Desember 2025, adalah langkah realistis, tetapi waktu tanpa peta jalan jelas hanya berarti penundaan.
Penerapan KRIS harus dibagi dalam tahapan yang transparan. Kriteria yang menyangkut keselamatan pasien—seperti akses oksigen, privasi, dan sanitasi—harus dipenuhi lebih dulu, sedangkan kriteria tambahan dapat menyusul.
Tanpa pembagian prioritas, standardisasi hanya akan menjadi beban yang membingungkan.
Persoalan biaya tidak kalah penting. Renovasi ruang, penyediaan peralatan, dan pelatihan tenaga memerlukan investasi besar.
Rumah sakit swasta dan daerah sering kali kesulitan menanggung beban tersebut. Jika tidak ada dukungan pembiayaan proporsional, maka risiko penurunan kapasitas layanan akan muncul.
Rumah sakit bisa mengurangi jumlah tempat tidur atau memperketat penerimaan pasien. Lebih buruk lagi, muncul praktik defensif: pasien dipulangkan lebih cepat, penanganan ditunda, atau layanan dipersulit.
Beberapa kasus pasien yang dikembalikan ke rumah meski kondisi klinisnya belum stabil adalah peringatan bahwa garis merah pelayanan harus dijaga. Nyawa tidak boleh tunduk pada prosedur klaim.
Transformasi digital yang selama ini dipromosikan sebagai solusi birokrasi pun belum menjawab masalah mendasar.
Antrean daring masih tidak memotong waktu tunggu. Rujukan elektronik kerap gagal menjamin kepastian slot rumah sakit lanjutan.
Aplikasi digital justru membebani pasien yang tidak terbiasa dengan teknologi atau tinggal di daerah dengan jaringan internet terbatas.
Digitalisasi seharusnya diukur dari manfaat yang dirasakan pasien: lebih cepat, lebih jelas, lebih mudah.
Jika aplikasi hanya memindahkan antrean dari loket ke layar tanpa mengurangi kerumitan, maka digitalisasi tidak lebih dari ilusi modernisasi.
Implikasi dari persoalan ini tidak ringan. Ambiguitas definisi KRIS akan melahirkan ketidakpastian implementasi di lapangan.
Rumah sakit akan menafsirkan aturan sesuai kapasitas masing-masing, sehingga tercipta ketidakmerataan baru, bukan hilangnya ketidakadilan lama.
Ketidakjelasan pembiayaan akan menekan rumah sakit hingga mengorbankan akses pasien. Digitalisasi yang tidak efektif akan meningkatkan frustrasi warga, terutama generasi muda yang terbiasa dengan layanan cepat.
Semua ini bermuara pada satu risiko paling serius: hilangnya kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan adalah fondasi jaminan sosial.
Tanpa kepercayaan, iuran dipandang sebagai beban, bukan gotong royong. Tanpa kepercayaan, klaim dipandang sebagai sengketa, bukan kontrak. Tanpa kepercayaan, pelayanan dipandang sebagai formalitas, bukan penyelamatan.
Karena itu, ada beberapa langkah yang harus segera ditempuh. Pertama, pemerintah perlu menyampaikan narasi tunggal tentang KRIS, dengan ilustrasi nyata bagaimana ruang rawat akan berubah. Visualisasi sederhana lebih meyakinkan daripada jargon abstrak.
Kedua, implementasi harus berbasis prioritas. Kriteria yang menyangkut keselamatan harus segera terpenuhi, sementara aspek lain dapat menyusul.
Ketiga, pembiayaan transisi harus adil. Rumah sakit yang berhasil memenuhi standar layak diberi insentif, sementara yang tertinggal perlu mendapat pendampingan, bukan sanksi yang menutup layanan.
Keempat, prosedur “zero denial” harus ditegaskan: tidak ada pasien ditolak pada kondisi darurat, tidak ada pasien dipulangkan sebelum stabil.
Kelima, digitalisasi harus berorientasi hasil: mempercepat waktu, memperjelas rujukan, dan meningkatkan transparansi antrean. Jika aplikasi tidak memenuhi tujuan itu, lebih baik disederhanakan.
Selain itu, penting untuk melihat KRIS bukan hanya sebagai kebijakan teknis, melainkan sebagai cermin politik kesehatan.
Sebagai negara dengan penduduk hampir 280 juta jiwa, Indonesia sedang membangun narasi bahwa kesehatannya dijamin oleh solidaritas nasional.
Bila kebijakan ini gagal dikomunikasikan dan dilaksanakan, yang rusak bukan hanya layanan rumah sakit, melainkan legitimasi negara di mata rakyat.
Publik menilai negara bukan dari teks undang-undang, melainkan dari pengalaman di meja registrasi, dari sikap perawat di ruang tunggu, dari ketersediaan oksigen di ruang rawat.
Keadilan sosial tidak diuji di ruang sidang, tetapi di ruang gawat darurat.
Kita juga perlu belajar dari sejarah. Sejak JKN diluncurkan pada 2014, banyak kritik diarahkan pada defisit keuangan, birokrasi klaim, dan keterlambatan pembayaran rumah sakit.
Namun, seiring waktu, sistem ini berkembang menjadi instrumen penting pemerataan kesehatan.
Tantangan kini bukan sekadar menjaga kelangsungan finansial, melainkan memperkuat kualitas.
KRIS adalah kesempatan untuk mengubah wajah JKN dari sekadar jaminan biaya menjadi jaminan mutu. Namun, kesempatan ini bisa berubah menjadi bumerang jika salah ditangani.
Pada akhirnya, KRIS bukan sekadar soal kelas rawat inap, melainkan soal martabat. Standar minimum yang ditegakkan dengan konsisten adalah janji negara bahwa tidak ada warga yang dirawat di bawah garis kemanusiaan.
Standar yang baik tidak menurunkan yang sudah baik, tetapi mengangkat yang tertinggal. Ia bukan seragam yang menghapus perbedaan, melainkan fondasi yang memastikan semua orang diperlakukan layak.
Bila dijalankan dengan arah yang jelas, pembiayaan adil, komunikasi jujur, dan etika pelayanan yang memprioritaskan keselamatan, KRIS akan dikenang sebagai tonggak pemerataan, bukan ancaman kenyamanan.
Standar, pada akhirnya, adalah janji. Janji bahwa di ruang rawat yang terang, dengan partisi yang menjaga privasi, oksigen yang selalu tersedia, panggilan perawat yang segera dijawab, dan kamar mandi yang memadai, negara hadir bukan sekadar sebagai pengawas, tetapi sebagai penopang.
Dan ketika pasien pulang dengan tubuh yang pulih dan hati yang lega, kebijakan itu menemukan arti sejatinya: bukan di lembar peraturan, tetapi di kehidupan yang kembali utuh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/05/26/68346f79f1257.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KRIS dan Janji Ekuitas Layanan Kesehatan Nasional 6 September 2025
-
/data/photo/2025/09/04/68b9b63b18017.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Apa Hasil Pertemuan Mahasiswa dengan Mensesneg di Istana? Nasional 6 September 2025
Apa Hasil Pertemuan Mahasiswa dengan Mensesneg di Istana?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sejumlah mahasiswa bertemu dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan sejumlah menteri di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (4/9/2025) malam.
Pertemuan pada Kamis malam tersebut dihadiri lebih dari 30 perwakilan organisasi kemahasiswaan dari berbagai perguruan tinggi dan organisasi ekstra.
Beberapa yang hadir di antaranya Himapolindo, BEM SI Kerakyatan, Fornasossmass, PB HMI, GMNI, GMKI, PMII, SEMMI, KAMMI, hingga Generasi Muda FKPPI.
Prasetyo pun turut didampingi Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto serta Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro saat menerima sejumlah perwakilan mahasiswa.
Pertemuan ini terlaksana sehari setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga menemui para mahasiswa, termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) Kerakyatan, di Kompleks Parlemen pada Rabu.
Pada momen itu, Wakil Ketua DPR RI Suami Dasco Ahmad menyebut, pihak pemerintah melalui Istana Kepresidenan bakal menemui mahasiswa untuk menyerap aspirasi 17+8 Tuntutan Rakyat.
Menurut para mahasiswa, 17+8 harus diakomodasi pemerintah.
“Bahwasannya 17+8 harus bisa diakomodir dan Pak Mendikti serta Pak Mensesneg pun mengiyakan untuk bisa mengakomodir setiap aspirasi yang sedang trending per hari ini, 17+8, seperti itu,” kata Ketua BEM UPN Veteran Jakarta, Kaleb Otniel Aritonang, usai pertemuan tersebut.
Di momen yang sama, BEM SI Kerakyatan menekankan agar jajaran eksekutif, yudikatif, dan legislatif menegakkan supremasi sipil dan menolak militerisme.
Adapun tuntutan dan penolakan ini terjadi usai demo yang berlangsung berhari-hari sejak Senin (25/8/2025).
Demo pada awalnya menuntut untuk menghapus tunjangan irasional wakil rakyat, termasuk tunjangan perumahan Rp 50 juta.
“Tolak militerisme sebab seharusnya militer menjadi alat negara dan harus balik ke barak, seperti itu,” tegas Kaleb.
Bukan hanya militerisme, mahasiswa mendesak Presiden Prabowo Subianto membentuk tim investigasi makar.
Permintaan ini bermula dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Minggu (31/8/2025) usai mengumpulkan para ketua umum (ketum) partai politik (parpol) dan menteri di Istana.
Pertemuan ini merespons demo yang berlangsung ricuh hingga terjadi pembakaran fasilitas umum (fasum), meliputi halte TransJakarta, stasiun MRT, hingga gerbang tol.
Begitu pula penjarahan terhadap rumah Anggota DPR seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio;
serta rumah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Dalam konferensi pers tersebut, Prabowo menduga ada tindakan makar yang menunggangi demo.
“Kami segera secara lantang juga atas nama BEM SI Kerakyatan menyampaikan bahwa kami dengan tegas menuntut dan menekan Bapak Presiden Republik Indonesia untuk segera membentuk tim investigasi terkait dugaan makar,” ujar Koordinator Media BEM SI Kerakyatan Pasha Fazillah Afap di kesempatan yang sama.
Para mahasiswa juga mendesak pemerintah untuk mempercepat dan mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
RUU ini diketahui menjadi usul inisiatif pemerintah yang bakal dibahas bersama dengan DPR RI.
Begitu pun meminta agar 17+8 Tuntutan Rakyat diakomodasi pemerintah.
Menurutnya, aspirasi yang disampaikan BEM SI Kerakyatan juga sudah disampaikan kepada DPR RI pada Rabu (4/9/2025).
“Artinya memang kemarin Pak Sufmi Dasco (Wakil Ketua DPR) menegaskan dan memberikan informasi bahwa kemarin di legislatif, dan kami hari ini diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi kami di lembaga eksekutif seperti itu,” ujarnya.
Poin selanjutnya, mahasiswa meminta para aktivis yang dijemput paksa dan ditangkap kepolisian atas dugaan penghasutan, dibebaskan.
Dua di antaranya adalah Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, dan Admin #GejayanMemanggil, Syahdan.
Diketahui, penangkapan ini menuai kritik.
Polri diminta untuk fokus terhadap pelaku penjarahan, alih-alih menangkap para aktivis.
Anggota DPR Benny K. Harman salah satunya, menyatakan bahwa ajakan untuk berdemo tidak salah.
Yang salah justru ketika seseorang mengajak membuat kericuhan dan melakukan provokasi saat demo, seperti membawa pentungan hingga bom molotov.
Oleh karenanya, ia menilai Polri salah mengambil langkah dengan menangkap Delpedro hingga dijadikan tersangka.
“Yang salah, kalau kamu mengajak bahwa, ‘eh bawa pentungan semua, bawa molotov ya’, nah kamu salah itu,” jelas Benny.
Karena alasan itu pula, para mahasiswa meminta aktivis segera dibebaskan, meski sudah ada yang ditetapkan menjadi tersangka.
“Beberapa yang menjadi titik fokus kami adalah bagaimana kawan-kawan aktivis di seluruh daerah dan seluruh kabupaten/kota bisa tidak ada yang dilakukan kriminalisasi. Pembebasan aktivis ini tentu menjadi tujuan pokok kami,” jelas Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Muhammad Risyad Fahlevi yang tergabung dalam mahasiswa Cipayung Plus.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi berjanji akan mempelajari semua aspirasi yang disampaikan perwakilan mahasiswa.
Prasetyo menegaskan hal ini dalam sambutannya saat menerima sejumlah perwakilan organisasi mahasiswa di Kompleks Istana, Jakarta, Kamis (4/5/2025) malam.
“Saya dan kami terus mempelajari apa yang menjadi aspirasi dari seluruh pihak, apalagi dari adik-adik mahasiswa,” jelas Prasetyo, lewat keterangan tertulis Sekretariat Presiden.
Prasetyo turut menyampaikan apresiasi kepada para mahasiswa yang berkenan hadir di Istana Negara untuk berdialog bersama pemerintah.
Ia mengungkapkan bahwa telah meminta izin kepada Presiden RI untuk menggunakan Istana Negara dalam pertemuan semalam.
“Saya tadi minta izin Bapak Presiden, meskipun bukan Bapak Presiden, bolehkah kami pinjam? ‘Silahkan, Istana itu bukan punya Presiden, itu adalah punya kita bersama-sama karena saya mau bertemu dengan adik-adik’,” ucap dia.
Kepala Negara bahkan menyampaikan salam untuk para mahasiswa yang hadir lewat Prasetyo.
Sebab, Prabowo berhalangan hadir karena ada kegiatan peringatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal, Jakarta.
“Sampaikan salam hormat saya dan silakan sampaikan apa yang menjadi kehendak adik-adik,” ujar Prasetyo mengutip perkataan Prabowo kepadanya.
Terkait kematian driver ojek online yang dilindas rantis Brimob saat demo ricuh, Menteri Koordinator (Menko) bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra menilai peluang pidana terbuka bagi para anggota Brimob yang terlibat.
Yusril menerangkan, proses pidana dapat dilakukan jika ditemukan aspek pidana setelah para polisi itu menjalani sidang etik.
“Kalau misalnya sidang etik itu sudah mengambil satu keputusan, dan masih terdapat aspek-aspek pidana, tidak tertutup kemungkinan juga akan dilakukan langkah pidana terhadap kesalahan yang dilakukan,” kata Yusril, di Istana, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Menurut Yusril, langkah hukum terhadap pelaku pelindas Affan sudah diproses oleh Kepolisian.
“Prosedur dalam Kepolisian memang seperti itu, bahwa kalau terjadi pelanggaran di lapangan, melaksanakan tugas harus disidangkan etiknya lebih dulu,” ujar Yusril.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/05/68bac90b679e1.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Deadline 5 September, DPR Jawab 17+8 Tuntutan Rakyat dengan 6 Keputusan Ini Nasional 6 September 2025
Deadline 5 September, DPR Jawab 17+8 Tuntutan Rakyat dengan 6 Keputusan Ini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Tenggat waktu bagi pemerintah untuk memenuhi 17+8 Tuntutan Rakyat yang dilayangkan koalisi masyarakat sipil telah berakhir pada Jumat (5/9/2025).
Dokumen 17+8 Tuntutan Rakyat diserahkan oleh perwakilan Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah yang diisi sejumlah aktivis dan influencer, yakni Abigail Limuria, Andhyta F. Utami (Afutami), Jerome Polin, Andovi da Lopez, Jovial da Lopez, Fathia Izzati, dan Ferry Irwandi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2025).
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade dan anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI-P Rieke Diah Pitaloka yang menerima 17+8 Tuntutan Rakyat tersebut.
Tujuh belas poin tuntutan dibagi ke beberapa segmen dengan tujuan masing-masing lembaga dan institusi negara, yakni Presiden RI, DPR, Ketua Umum Partai Politik, Polri, TNI, dan Kementerian Sektor Ekonomi.
Tugas Dewan Perwakilan Rakyat yakni Bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiun), Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR), Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).
Pada hari terakhir, pimpinan DPR menggelar konferensi pers untuk menjawab 17+8 Tuntutan Rakyat melalui enam keputusan, Jumat (5/9/2025).
Enam poin keputusan hasil rapat konsultasi pimpinan DPR bersama fraksi-fraksi dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Senayan, Jakarta Pusat.
“Ditandatangani oleh pimpinan DPR RI Ibu Puan Maharani, saya Sufmi Dasco Ahmad, dan Pak Saan Mustopa dan Pak Cucun Ahmad Syamsurijal,” ujar Dasco.
Enam poin keputusan DPR tersebut adalah:
1. DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR RI terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2025.
2. DPR RI melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri DPR RI terhitung sejak tanggal 1 September 2025, kecuali menghadiri undangan kenegaraan.
3. DPR RI akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR, setelah evaluasi meliputi biaya langganan;
a. daya listrik dan
b. jasa telpon, kemudian biaya komunikasi iintensif dan biaya tunjangan transportasi.
4. Anggota DPR RI yang telah dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya.
5. Pimpinan DPR menindaklanjuti penonaktifan beberapa anggota DPR RI yang telah dilakukan oleh partai politik melalui mahkamah partai politik masing-masing dengan meminta Mahkamah Kehormatan DPR RI untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik masing-masing yang telah memulai pemeriksaan terhadap anggota DPR RI dimaksud.
6. DPR RI akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.
Dalam poin enam, Dasco menyampaikan bahwa DPR berjanji akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi maupun kebijakan lainnya.
Usai konferensi pers, Dasco menyerahkan keterangan tertulis yang dibacakannya kepada awak media.
Tercantum dalam Hak Keuangan Anggota DPR tersebut,
take home pay
anggota dewan sebesar Rp65 juta per bulan setelah tunjangan perumahan hingga tunjangan lainnya dipangkas merespons 17+8 Tuntutan Rakyat.Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan (melekat)
Tunjangan Konstitusional
a. Fungsi legislasi Rp8.461.000
b. Fungsi pengawasan Rp8.461.000
c. Fungsi anggaran Rp8.461.000Total tunjangan konstitusional Rp57.433.000 Total Bruto: Rp74.210.680
Pajak PPh 15% (total tunjangan konstitusional) Rp8.614.950
Take home pay (THP): Rp65.595.730
Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat yang ditujukan untuk anggota dewan salah satunya adalah Bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru, termasuk pensiun.
Namun dalam lembar berjudul “Hak Keuangan Anggota DPR” di catatan Pensiun Anggota DPR RI, menyatakan bahwa anggota DPR berhak mendapatkan uang pensiun, dengan besaran uang yang diterima bergantung pada lama masa jabatannya.
Ketentuan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara Pasal 12 (1) dan Pasal 13 (1).
“Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun yang ditetapkan berdasarkan lama masa jabatan,” demikian tercantum pada surat tersebut.
Besaran pensiun sekurang-kurangnya 6 persen dan sebesar-besarnya 75 persen dari dasar pensiun.
Berdasarkan PP 75 Tahun 2000, perhitungan pensiun yang diterima paling tinggi adalah Rp 3.639.540 bagi anggota DPR RI yang telah menjabat selama dua masa jabatan.
Lalu, bagi anggota DPR RI yang menjabat selama satu periode, paling tinggi mendapatkan Rp 2.935.704.
Sementara itu, untuk anggota DPR RI yang hanya menjabat selama 1-6 bulan, mendapatkan pensiun dengan besaran tertinggi Rp 401.894.
Dalam keterangan tertulis juga tidak disampaikan kalau mereka akan mendorong Badan Kehormatan DPR untuk periksa anggota yang bermasalah, termasuk selidiki melalui KPK.
Namun, DPR tetap akan menindaklanjuti penonaktifan beberapa anggota DPR RI yang telah dilakukan oleh partai politik melalui mahkamah partai politik masing-masing.
Adapun Berdasarkan pantauan Kompas.com hingga Jumat (5/9/2025) pukul 23.46 WIB, situs Bijak Memantau menyatakan 10 tuntutan berstatus “Baru mulai”, 4 tuntutan “Malah mundur”, 8 tuntutan “Belum digubris”, dan 3 tuntutan “Udah dipenuhi”.
Bijak Memantau yang merupakan platform independen pemantau pemerintah juga menyajikan kanal untuk memantau progres pemenuhan 17+8 Tuntutan Rakyat.
Anda dapat memantaunya di tautan berikut: https://bijakmemantau.id/tuntutan-178
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/20/68a51a8a13cf3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
17+8 Tuntut Pembekuan Pensiun, DPR Jelaskan Haknya Diatur UU Nasional 5 September 2025
17+8 Tuntut Pembekuan Pensiun, DPR Jelaskan Haknya Diatur UU
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Salah satu poin dalam 17+8 Tuntutan Rakyat adalah membekukan uang pensiun anggota DPR, dan kini DPR menyatakan hak pensiunnya diatur undang-undang.
Penjelasan disampaikan Pimpinan DPR lewat keterangan tertulis soal keputusan rapat, usai menggelar konferensi pers di Gedung Parlemen RI, Jakarta, Jumat (5/9/2025).
Dalam halaman berjudul “Hak Keuangan Anggota DPR RI”, terdapat catatan bahwa pensiun anggota DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tingggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Berikut adalah bunyi pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 itu:
Pasal 12
(1) Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun.
Pasal 13
(1) Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan berdasarkan lamanya masa jabatan.
DPR menjelaskan, besaran pensiun sekurang-kurangnya 6% dan sebesar-besarnya 75% dari dasar pensiun.
Berdasarkan PP 75 Tahun 2000, perhitungan yang diterima paling tinggi Rp3.639.540 untuk masa jabatan dua periode.
Untuk anggota DPR dengan masa jabatan satu periode, besaran pensiunnya adalah Rp2.935.704.
Untuk anggota DPR dengan masa jabatan satu sampai enam bulan, besaran pensiunnya adalah Rp401.894.
DPR menjelaskan bahwa pajak penghasilan atas gaji dan tunjangan melekat (total gaji dan tunjangan melekat Rp16.777.680) sebesar 15% ditanggung oleh pemerintah.
Sedangkan pajak penghasilan atas tunjangan konstitusional (total tunjangan konstitusional Rp57.433.000) dipotong sebesar 15%.
“Ketentuan ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,” kata dia.
17+8 Tuntutan Rakyat yang disuarakan oleh aktivis aksi Agustus 2025 mendesak agar DPR menghapus uang pensiun.
Desakan penghapusan uang pensiun DPR itu tercantum dalam 17 tuntutan yang ber-
deadline
5 September 2025 hari ini.
Berikut bunyi petikan tuntutan tersebut:
Tugas Dewan Perwakilan Rakyat
3. Bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiun)
4. Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR)
5. Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/05/68bac90b679e1.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Uang Pensiun DPR RI: Paling Tinggi Rp 3,6 Juta Nasional 5 September 2025
Uang Pensiun DPR RI: Paling Tinggi Rp 3,6 Juta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pimpinan DPR RI merespons tuntutan 17+8 dengan menyatakan bahwa anggota DPR berhak mendapatkan uang pensiun, dengan besaran uang yang diterima bergantung pada lama masa jabatannya.
Hal ini tercantum dalam lembar berjudul “Hak Keuangan Anggota DPR” di catatan Pensiun Anggota DPR RI yang dibagikan Pimpinan DPR RI usai konferensi pers di Gedung Parlemen RI, Jakarta, Jumat (5/9/2025).
Ketentuan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara Pasal 12 (1) dan Pasal 13 (1).
“Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara yang berhenti dengan hormat dari jabatannya berhak memperoleh pensiun yang ditetapkan berdasarkan lama masa jabatan,” demikian tercantum pada surat tersebut.
Besaran pensiun sekurang-kurangnya 6 persen dan sebesar-besarnya 75 persen dari dasar pensiun.
Berdasarkan PP 75 Tahun 2000, perhitungan pensiun yang diterima paling tinggi adalah Rp 3.639.540 (masa jabatan 2 periode); Rp 2.935.704 (masa jabatan 1 periode); dan Rp 401.894 (masa jabatan 1-6 bulan).
Dengan demikian, bagi anggota DPR RI yang telah menjabat selama dua masa jabatan, berhak mendapatkan pensiun paling tinggi sebesar Rp 3.639.540.
Lalu, bagi anggota DPR RI yang menjabat selama satu periode, paling tinggi mendapatkan Rp 2.935.704.
Sementara itu, untuk anggota DPR RI yang hanya menjabat selama 1-6 bulan, mendapatkan pensiun dengan besaran tertinggi Rp 401.894.
Uang pensiun ini berhak diterima oleh anggota DPR yang berhenti dengan hormat dari jabatannya.
17+8 Tuntutan Rakyat yang disuarakan oleh aktivis aksi Agustus 2025 mendesak agar DPR menghapus uang pensiun.
Desakan penghapusan uang pensiun DPR itu tercantum dalam 17 tuntutan yang berdeadline 5 September 2025 hari ini.
Berikut bunyi petikan tuntutan tersebut:
Tugas Dewan Perwakilan Rakyat
3. Bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiun)
4. Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR)
5. Dorong Badan KehormatanDPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/05/68baca5ed1561.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
DPR Jawab 17+8 Tuntutan Rakyat: Hapus Tunjangan Rumah dan Janji Perkuat Partisipasi Publik Nasional 5 September 2025
DPR Jawab 17+8 Tuntutan Rakyat: Hapus Tunjangan Rumah dan Janji Perkuat Partisipasi Publik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– DPR menjawab 17+8 Tuntutan Rakyat, di mana 17 poin tuntutan di antaranya memiliki tenggang waktu untuk dilaksanakan pada 5 September 2025.
Tanggapan DPR terhadap 17+8 Tuntutan Rakyat terdiri dari enam poin pernyataan. Pertama, menyepakati dihentikannya tunjangan perumahan untuk anggota DPR.
“Poin pertama, DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR RI terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2025,” ujar Dasco dalam konferensi pers, Jumat (5/9/2025) malam.
Kedua, DPR melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri terhitung sejak 1 September 2025, kecuali menghadiri undangan kenegaraan.
Ketiga, lembaga legislatif itu akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR setelah evaluasi, meliputi biaya listrik, jasa telpon, komunikasi intensif, hingga tunjangan transportasi.
Selanjutnya, anggota DPR yang telah dinonaktifkan oleh partai politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya.
“Lima, Pimpinan DPR menindaklanjuti penonaktifan, beberapa anggota DPR RI yang telah dilakukan oleh partai politik melalui mahkamah partai politik masing-masing dengan meminta Mahkamah Kehormatan DPR RI untuk berkoordinasi dengan mahkamah partai politik masing-masing yang telah memulai pemeriksaan terhadap anggota DPR RI dimaksud,” ujar Dasco.
Terakhir, DPR akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.
“Adapun sebagai bentuk transparansi apa yang kemudian sudah dilakukan evaluasi dengan total yang akan diterima oleh anggota DPR berupa komponen-komponen tunjangan, serta hal-hal lain. Ini kami akan lampirkan dan nanti akan dibagikan kepada awak media,” ujar Dasco.
Diketahui, tuntutan rakyat ini disusun dan lahir dari sekelompok influencer seperti Andovi Da Lopez, Salsa Erwin, hingga Jerome Polin yang merangkum berbagai aspirasi rakyat
Daftar 17+8 Tuntutan Rakyat ini lahir dari gabungan berbagai kanal aspirasi publik, seperti desakan 211 organisasi masyarakat sipil, siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, dan pernyataan sikap Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia
Sebanyak 17 tuntutan rakyat itu memiliki tenggang waktu hingga 5 September 2025 untuk direalisasikan oleh pihak eksekutif, legislatif, hingga aparat keamanan itu.
Berikut isi 17+8 Tuntutan Rakyat:
Selain 17 poin tersebut, terdapat delapan tuntutan jangka panjang dengan tenggang waktu untuk direalisasikan hingga 31 Agustus 2026, yakni:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/19/68a457189328a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ini Daftar Tunjangan Anggota DPR Terbaru: Ada Tunjangan Beras hingga Kehormatan Nasional 5 September 2025
Ini Daftar Tunjangan Anggota DPR Terbaru: Ada Tunjangan Beras hingga Kehormatan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– DPR resmi menghentikan tunjangan perumahan untuk anggota dewan sebesar Rp 50 juta per bulan, terhitung sejak 31 Agustus 2025.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers menanggapi 17+8 Tuntutan Rakyat, pada Jumat (5/9/2025).
“Satu, DPR RI menyepakati menghentikan pemberian tunjangan perumahan untuk anggota DPR terhitung sejak 31 Agustus 2025,” ujar Dasco di Ruang Abdul Muis, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (5/9/2025).
DPR juga melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri terhitung sejak 1 September 2025, kecuali menghadiri undangan kenegaraan.
Lembaga legislatif itu juga akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR setelah evaluasi meliputi biaya langganan, daya listrik, jasa telepon, komunikasi intensif, dan transportasi.
“DPR RI akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR setelah evaluasi,” ujar Dasco.
Dalam konferensi pers tersebut, Dasco juga melampirkan gaji dan tunjangan terbaru anggota DPR. Berikut Daftarnya:
Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan
Tunjangan Konstitusional
Total Bruto: Rp 74.210.680
Pajak PPH 15 persen: Rp 8.614.950
Take Home Pay: Rp 65.595.730.
Sebelumnya, delapan fraksi yang ada di DPR sepakat untuk menghapus tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan.
Kesepakatan tersebut diambil usai Ketua DPR Puan Maharani memimpin rapat bersama delapan pimpinan fraksi di parlemen.
“Semua Ketua Fraksi sepakat menghentikan tunjangan perumahan bagi anggota, dan melakukan moratorium kunjungan kerja bagi anggota dan komisi-komisi DPR,” ujar Puan dalam siaran persnya, Kamis (4/9/2025).
Rapat tersebut turut dihadiri oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR Saan Mustofa, dan Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal.
Selain menghapus tunjangan perumahan DPR, Puan mengatakan bahwa rapat tersebut juga membahas tuntutan masyarakat terhadap lembaga yang dipimpinnya.
Puan memastikan bahwa DPR bakal berupaya melakukan reformasi kelembagaan agar bisa sesuai harapan masyarakat luas.
“Saya sendiri yang akan memimpin reformasi DPR,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
“Prinsipnya kami DPR akan terus berbenah dan memperbaiki diri. Apa yang menjadi aspirasi masyarakat pasti akan kami jadikan masukan yang membangun,” sambungnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/09/03/68b85742abd8e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/09/04/68b973c2a0863.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)