KPK Panggil Iwan Chandra Pengantar Uang Suap Rp 3 M untuk Ketua Kadin Kaltim Dayang Dona
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil pihak swasta Iwan Chandra terkait kasus dugaan suap pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur periode 2013-2018 pada Senin (8/9/2025).
Selain Iwan, KPK juga memanggil Chandra Setiawan selaku pihak swasta dalam perkara yang sama.
“Bertempat di Gedung KPK Merah Putih, pada hari Senin, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Sdr. CS alias IC, selaku swasta,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Senin.
Meski demikian, KPK tak mengungkapkan materi yang akan didalami dari pemeriksaan tersebut.
Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pengusaha tambang Rudy Ong Chandra sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur periode 2013-2018, pada Senin (25/8/2025).
“KPK sebelumnya telah menetapkan 3 tersangka yaitu AFI, DDW, ROC (Rudy Ong),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin.
KPK menduga Rudy memberikan suap Rp 3,5 miliar dalam bentuk Dollar Singapura untuk mengurus 6 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur.
Uang tersebut diberikan Rudy kepada putri dari Gubernur Kalimantan Timur 2008-2018 Awang Faroek sekaligus Ketua Kadin, Dayang Donna Walfiaries Tania melalui perantara Iwan Chandra dan Sugeng di Hotel Samarinda.
Kasus korupsi yang menjerat Rudy Ong ini merupakan pengembangan penyidikan dari kasus dugaan suap IUP di Kalimantan Timur yang dilakukan KPK sejak September 2024.
KPK sebelumnya turut menetapkan Gubernur Kalimantan Timur 2008-2018 Awang Faroek Ishak (AFI) dan putri dari Awang Faroek sekaligus Ketua Kadin, Dayang Donna Walfiaries Tania sebagai tersangka dalam perkara ini.
Dalam proses penyidikan perkara ini, Rudy Ong pernah mengajukan praperadilan pada Oktober 2024 di PN Jakarta Selatan, namun gugatannya tidak diterima.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Rudy ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 22 Agustus sampai dengan 10 September 2025.
“Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK,” ujar Asep.
Atas perbuatannya, Rudy Ong Chandra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/07/01/68636c9140045.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Panggil Iwan Chandra Pengantar Uang Suap Rp 3 M untuk Ketua Kadin Kaltim Dayang Dona Nasional 8 September 2025
-
/data/photo/2025/07/01/68636c9140045.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Dalami Barang Bukti yang Disita dari Rumah Eks Menag Yaqut Saat Periksa Wasekjen GP Ansor Nasional 8 September 2025
KPK Dalami Barang Bukti yang Disita dari Rumah Eks Menag Yaqut Saat Periksa Wasekjen GP Ansor
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami temuan dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang disita dari rumah eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Materi tersebut didalami KPK saat memeriksa Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Syarif Hamzah Asyathry terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024, pada Kamis (4/9/2025).
“Dikonfirmasi terkait dokumen dan BBE yang ditemukan saat penggeledahan di rumah saudara YCQ (Yaqut Cholil Qoumas),” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, dikutip Senin (8/9/2025).
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Syarif Hamzah Asyathry sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024, pada Kamis (4/9/2025).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Syarif Hamzah Asyathry memenuhi panggilan penyidik di Gedung Merah Putih, Jakarta, pukul 09.30 WIB.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis.
Meski demikian, Budi belum menyampaikan materi yang akan didalami dalam pemeriksaan Syarif Hamzah.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) dari penggeledahan rumah eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada Jumat (15/8/2025).
Penggeledahan tersebut dilakukan terkait dugaan korupsi penentuan kuota haji 2024.
“Dari penggeledahan yang tim lakukan di rumah saudara YCQ (Yaqut Cholil Qoumas), tim mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE),” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat.
Budi mengatakan, dari barang bukti tersebut, penyidik akan melakukan ekstraksi untuk mencari petunjuk dan bukti yang mendukung penanganan perkara.
“Barang bukti elektronik itu macam-macam, salah satunya adalah handphone. Nanti itu akan diekstraksi, dibuka isinya, kita akan lihat informasi-informasi yang dicari,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/28/6836956d65268.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang? Nasional 8 September 2025
RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?
Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik
“
PECUNIA non olet
”, demikian postulat yang artinya uang itu tidak ada baunya (
the money doesn’t smell
“).
Postulat itu berasal dari perkataan Kaisar Romawi Vespansianus saat menanggapi kritik dari anaknya atas pengenaan pajak urine di toilet-toilet umum Romawi pada masa itu.
Vespansianus menunjukkan koin hasil pungutan pajak itu kepada anaknya sambil mengatakan bahwa sekalipun uang itu berasal dari pungutan pajak urine, uang itu tidak bau.
Kemudian ungkapan tersebut terkenal dan sering dikaitkan dengan uang-uang hasil kejahatan yang tidak menebarkan bau kejahatan, karena selalu disimpan dan disembunyikan.
Salah satu dari 17 tuntutan yang terangkum dalam ”17+8, Tuntutan Rakyat” adalah “sahkan dan tegakkan UU perampasan aset koruptor”.
Tuntutan ini tentu tidak keliru, tapi tidak sepenuhnya tepat, karena RUU Perampasan Aset bukan hanya dimaksudkan untuk tindak pidana korupsi saja, melainkan untuk merespons tindak pidana bermotif ekonomi (
economic crimes
) yang umumnya bersifat
transnational organized crime.
Dalam
economic crimes
, penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan memang bukan lagi merupakan primadona.
Pasalnya, memutus rantai aset sebagai “aliran darah” untuk kejahatan, dianggap sebagai langkah yang lebih efektif, baik terhadap aset yang berbentuk benda bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, tidak berwujud sepanjang mempunyai nilai ekonomis.
Paling tidak, anggapan ini menjadi hipotesis realita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana substitusi dari pembayaran uang pengganti dengan penjara yang tidak melebihi ancaman hukuman maksimal pidana pokoknya dapat dituding sebagai “peluang” bagi koruptor untuk memilih opsi tersebut ketimbang harus membayarnya.
Cuplikan pandangan dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di media sosial yang menyatakan bahwa akar masalah di Indonesia adalah korupsi sehingga Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset atau menerbitkan Peraturan Pemerintah dari UU No 7/2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC, 2003) nyatanya tidak semudah itu untuk diwujudkan.
Berdasarkan konstitusi, meskipun Perppu bisa serta-merta berlaku ketika ditetapkan oleh presiden, tapi suatu Perppu haruslah mendapatkan persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya.
Sedangkan untuk usulan PP dari UU No 7/2006 secara hukum bukan merupakan
self executing treaty
, sehingga karena materi muatanya adalah hukum acara yang erat dengan hak asasi manuia, maka pelaksanaannya harus dengan peraturan setingkat UU.
Namun, persoalan sebenarnya juga bukan terletak pada formalitas pengaturannya di Perppu, UU, atau di PP, melainkan pada pergeseran dari paradigma pemidanaan.
Saat ini, paradigma lama yang masih digunakan adalah “in personam”, yang fokusnya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Misalnya, korupsi dengan “hukuman” pidana yang seberat-beratnya, bahkan kalau perlu sampai pidana mati (Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor).
Sedangkan dalam RUU Perampasan Aset, paradigma barunya adalah “in rem”, yang fokusnya pada pemulihan asset (
upon the thing
), yaitu melalui rezim penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dengan permohonan kuasi perdata (
Civil Forfeiture
).
Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) jenis aset yang dapat dirampas melalui mekanisme ini.
Pertama, segala aset yang diduga merupakan hasil pidana dan aset lain yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta kekayaan lain.
Kedua, aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti. Keempat, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana sejak berlakunya RUU tersebut.
Adapun pertimbangan dilakukannya perampasan aset secara “in rem” adalah:
Dalam draft RUU Perampasan Aset yang beredar, prosesnya dimulai dari penelusuran untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul, keberadaan, dan kepemilikan aset tindak pidana yang dapat dilakukan oleh penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, BNN dan Penyidik PNS.
Selanjutnya, dilakukan pemblokiran dan penyitaan, yaitu serangkaian tindakan pembekuan sementara aset yang diduga merupakan aset tindak pidana yang kemudian diikuti tindakan untuk mengambil alih sementara penguasaan atas aset yang diduga merupakan aset tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.
Sesudah pemberkasan aset selesai dilakukan, maka penyidik atau penuntut umum akan menyerahkan hasil pemberkasan itu kepada jaksa pengacara negara pada kejaksaan negeri setempat untuk diajukan permohonannya ke pengadilan.
Setelah permohonan diajukan ke pengadilan negeri, majelis hakim yang ditunjuk akan memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan perampasan aset sehingga membuka kemungkinan adanya keberatan atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan haknya atas permohonan perampasan aset bahwa itu bukan merupakan aset tindak pidana.
Sebagai mekanisme kuasi perdata, putusan majelis hakim akan menyatakan permohonan perampasan aset diterima jika jaksa pengacara negara dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membuktikan bahwa aset yang dimintakan untuk dirampas itu merupakan aset tindak pidana.
Sebaliknya, jika pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan dapat membuktikan bahwa aset yang diblokir, disita, dan/atau aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan miliknya yang sah dan/atau bukan merupakan aset tindak pidana, maka putusan majelis hakim menyatakan bahwa permohonan perampasan aset yang diajukan jaksa pengacara negara ditolak.
Mencermati RUU Perampasan Aset yang dirancang ibarat sapu jagat, maka harapannya Pemerintah dan DPR bukan hanya fokus pada pengesahan kilat dari RUU Perampasan Aset sebagai suatu substansi hukum (
legal substance
).
DPR dan pemerintah perlu mendorong perbaikan dari sisi profesionalisme dan integritas dari aparat penegak hukum (
legal structure
).
Selain partisipasi yang bermakna (
meaningful participation
), harus dipastikan bahwa RUU Perampasan Aset ini tidak jadi bumerang, dijadikan instrumen
political engineering
yang hanya melayani kepentingan kekuasaan.
Pengesahan RUU tersebut harus berfungsi sebagai rekayasa keadilan sosial (
social justice engineering
), yakni memulihkan kembali aset hasil tindak pidana sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Tantangan dari penerapan RUU Perampasan Aset ini bukanlah semata-mata untuk menjustifikasi tindakan sewenang-wenang dari Negara terhadap warga negaranya, dan harus dapat diuji objektifitasnya di pengadilan oleh pihak ketiga yang beriktikad baik, sebagaimana postulat “ex turpi causa non oritur actio”, yang artinya penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum jika hal itu berkaitan dengan perbuatan gelapnya sendiri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/02/68b67871c6d14.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Jenazah Staf KBRI Lima Zetro Purba Segera Dipulangkan, Bagaimana Kelanjutan Kasusnya? Nasional 8 September 2025
Jenazah Staf KBRI Lima Zetro Purba Segera Dipulangkan, Bagaimana Kelanjutan Kasusnya?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kepulangan jenazah Staf KBRI Kota Lima, Peru, Zetro Leonardo Purba, segera dipulangkan.
Pemulangan jenazah tersebut dilakukan kurang lebih sepekan setelah kematian Zetro dalam peristiwa penembakan oleh orang tak dikenal pada Senin (1/9/2025) lalu.
Dia ditembak di dekat tempat tinggalnya, di Av. Cesar Vallejo, Lince, Kota Lima, Peru.
Sebelum dinyatakan meninggal, Zetro sempat dibawa ke Clínica Javier Prado, namun nyawanya tidak tertolong.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Vahd Nabyl, mengatakan bahwa untuk mengungkap peristiwa kriminal tersebut, jenazah Zetro diotopsi oleh aparat penegak hukum setempat sehari setelah kematiannya, pada Selasa (2/9/2025).
Proses otopsi tersebut memakan waktu cukup lama, hingga akhirnya pada Minggu (7/9/2025) pemerintah Indonesia mendapat kepastian bahwa jenazah bisa dipulangkan ke Tanah Air.
“Perkembangan selanjutnya adalah bahwa saat ini proses pemulangan jenazah tengah dikoordinasikan dengan pihak rumah duka dan juga sarana transportasi untuk pengiriman jenazah. Apabila semua berjalan lancar, diharapkan jenazah akan dapat tiba di Indonesia pada 9 September 2025,” imbuh Nabyl.
Lantas, seperti apa perkembangan kasus yang menimpa Zetro?
Proses otopsi yang dilakukan kepolisian Peru memakan waktu selama enam hari, terhitung sejak 2-7 September 2025.
Nabyl mengatakan, proses otopsi tersebut dilakukan pada Selasa dan baru selesai pada hari Minggu.
“Sehubungan dengan wafatnya pejabat kanselerai pada KBRI Lima, Bapak Zetro Leonardo Purba, dapat kami sampaikan perkembangan bahwa proses otopsi oleh pihak Kepolisian Peru telah selesai dilakukan,” ucap Nabyl.
Tidak ada keterangan lain yang diberikan Nabyl terkait proses otopsi, hanya menyebutkan bahwa proses tersebut telah selesai dan jenazah bisa dipulangkan ke Indonesia.
Dikutip dari The Guardian, Rabu (3/9/2025), pemerintah Peru menduga penembakan yang menewaskan Zetro bukanlah perampokan biasa, melainkan pembunuhan bayaran.
Rekaman kamera keamanan memperlihatkan pelaku menembak Zetro dari jarak dekat.
Saat korban jatuh tersungkur, peluru kedua diarahkan ke kepala.
Pelaku kemudian melarikan diri menggunakan sepeda motor yang sudah menunggu di lokasi.
Dalam rekaman itu, terlihat istri Zetro berada di sisinya sebelum Zetro dilarikan ke rumah sakit.
Namun, nyawa pria berusia 40 tahun tersebut tak tertolong.
Menteri Dalam Negeri Peru, Carlos Malaver, menegaskan bahwa peristiwa ini memiliki indikasi kuat sebagai pembunuhan yang direncanakan.
“Tidak ada barang yang diambil darinya. Mereka jelas menunggu korban, dan peluru diarahkan ke kepala. Kami tidak menutup kemungkinan apa pun,” ujar Malaver dalam pidatonya di Kongres Peru, Selasa (2/9/2025).
Media lokal La Republica melaporkan, kepolisian menduga kelompok kriminal “One Family” terlibat.
Sindikat ini dipimpin sosok bernama “El Chino” yang dikenal bergerak dalam pemerasan, prostitusi, dan pembunuhan bayaran.
Seorang penyidik kepolisian menyebut, dugaan itu muncul setelah ditemukan sejumlah nomor perempuan asal Venezuela dan Kolombia di ponsel korban.
“Korban tidak terkait dengan praktik prostitusi, tapi ia diduga memiliki kedekatan atau hubungan dengan seorang perempuan di daerah tersebut dan sosok yang dikenal sebagai ‘El Chino’ diduga terlibat dalam kematiannya,” ujarnya.
Namun, hingga kini belum ada kesimpulan terkait motif dan pelaku pembunuh Zetro yang dirilis secara resmi oleh otoritas Peru.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/07/68bd88a8c6769.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital Nasional 8 September 2025
Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
FENOMENA
yang merebak di ruang publik Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, memperlihatkan bagaimana dinamika politik kini tidak lagi sekadar berkutat pada ruang rapat parlemen, ruang sidang pengadilan, atau jalan-jalan kota yang penuh demonstran, tapi juga muncul sebagai konten digital yang dikonsumsi, dibagikan, dan diperdebatkan secara masif.
Ketika gagasan politik dirangkum dalam simbol sederhana berupa angka, warna, dan infografis lalu beredar cepat melalui ponsel jutaan orang, kita menyaksikan kelahiran bentuk artikulasi politik baru.
Tidak hanya di Indonesia, fenomena serupa telah terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Serikat dengan tagar
#BlackLivesMatter
, Hong Kong dengan
Umbrella Movement
, hingga Eropa dengan
Fridays for Future.
Semua menghadirkan satu pola yang semakin jelas: politik tidak lagi sekadar proses formal institusional, melainkan juga performa visual dan naratif yang dirancang agar cocok dengan logika algoritme media sosial.
Kasus 17+8 Tuntutan Rakyat yang meledak di Indonesia adalah contoh paling mutakhir, di mana 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang disusun dengan ringkas, tapi resonan, dikemas dalam warna pink yang lembut, namun penuh makna, dan dipopulerkan oleh influenser digital yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis politik.
Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi, hubungan antara estetika digital dengan substansi politik, dan sejauh mana masyarakat bisa bergantung pada gerakan berbasis viralitas untuk menyelesaikan problem struktural yang dalam.
Masalah yang tersirat dari semua ini adalah bagaimana politik sebagai praksis kolektif kini menghadapi tantangan ganda.
Di satu sisi, keberhasilan gerakan
digital-first
menunjukkan bahwa partisipasi rakyat masih sangat hidup, bahkan justru menemukan ruang ekspresi baru di luar kanal formal.
Di sisi lain, keterbatasan struktur, kerapuhan organisasi, dan risiko superfisialitas mengintai, sebab logika media sosial cenderung lebih menyukai konten singkat, emosional, dan mudah dibagikan ketimbang argumentasi panjang yang penuh nuansa.
Di sinilah problem konseptual muncul: apakah gerakan yang lahir dari viralitas dapat bertahan melampaui siklus trending?
Apakah politik yang disajikan sebagai konten mampu menembus sistem hukum, kebijakan, dan birokrasi yang penuh resistensi?
Pertanyaan semacam ini membawa kita pada dilema epistemologis dan normatif yang mengingatkan pada perdebatan lama tentang peran opini publik dalam demokrasi.
Jürgen Habermas, dalam karya monumentalnya tentang ruang publik, menekankan pentingnya diskursus rasional yang terbentuk dalam arena komunikasi.
Namun, pada era media sosial, yang kita hadapi bukan sekadar diskursus rasional, melainkan banjir konten yang mencampuradukkan opini, emosi, dan simbol.
Teori-teori tentang gerakan sosial membantu kita memahami transisi ini. Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol, dalam analisisnya tentang jaringan komunikasi, menggambarkan bahwa kekuatan masyarakat kini terletak pada kemampuan membentuk jaringan horizontal yang mem-
bypass
institusi formal.
Konsep
networked movement
menjelaskan mengapa gerakan tanpa pemimpin tunggal, tanpa organisasi mapan, tetap bisa meluas cepat karena jaringannya bersifat desentral.
Zeynep Tufekci, peneliti asal Turki-Amerika, juga menekankan hal serupa dalam kajiannya tentang protes digital.
Ia menunjukkan bahwa kekuatan viralitas bisa menciptakan mobilisasi masif dalam waktu singkat, tetapi tanpa kapasitas organisasi yang kokoh, gerakan tersebut rentan kehilangan arah setelah momen awal.
Persis di sinilah kita melihat paradoks. Gerakan 17+8 di Indonesia mampu menggalang dukungan luas hanya dalam hitungan hari. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ia bisa bertahan lebih lama dan menghasilkan perubahan struktural nyata?
Jika kita menggeser pandangan ke ranah filsafat politik, kita menemukan refleksi yang memperkaya analisis ini.
Alexis de Tocqueville, ketika menganalisis demokrasi Amerika pada abad ke-19, sudah menyinggung tentang bahaya tirani mayoritas dan ketidakstabilan opini publik yang cepat berubah.
Pada masa kini, fenomena itu menemukan bentuk digitalnya: opini publik yang viral dapat menjadi basis legitimasi sesaat, tetapi tidak selalu membawa konsistensi kebijakan.
Hannah Arendt, dengan fokusnya pada ruang publik sebagai arena tindakan politik, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam bertindak kolektif.
Tanpa kesinambungan, tindakan politik mudah memudar. Refleksi ini menyoroti bahwa politik sebagai konten menghadapi tantangan menjaga keberlanjutan, bukan hanya menciptakan ledakan viral sesaat.
Studi kasus dari berbagai negara memperlihatkan pola yang mirip. Di Amerika Serikat,
#BlackLivesMatter
lahir dari pengalaman diskriminasi rasial dan kekerasan polisi, lalu menjadi gerakan global melalui visual dan hashtag.
Di Hong Kong,
Umbrella Movement
pada 2014 memperlihatkan bagaimana simbol sederhana—payung kuning—mampu menjadi ikon perlawanan terhadap Beijing.
Di Swedia, Greta Thunberg memulai
Fridays for Future
dengan aksi personal yang difoto dan dibagikan, lalu berkembang menjadi protes iklim global.
Di dunia Arab, gelombang
Arab Spring
berawal dari unggahan di media sosial yang kemudian menyulut revolusi.
Di Indonesia, gerakan
#ReformasiDikorupsi
pada 2019 memperlihatkan kekuatan mahasiswa memobilisasi protes melalui visual digital.
Semua ini mengajarkan bahwa viralitas adalah katalis, tetapi tidak otomatis menjamin hasil politik.
Jika kita menganalisa lebih dalam, yang menjadi kekuatan utama gerakan digital adalah kemampuan menciptakan narasi singkat, mudah diingat, dan bersifat simbolik.
17+8 adalah contoh sempurna: angka 17 dan 8 bukan hanya jumlah tuntutan, tetapi juga resonansi dengan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.
Warna pink bukan sekadar pilihan estetis, tetapi juga strategi membedakan diri dari warna-warna protes tradisional yang keras. Pink menyampaikan kesan empati, kelembutan, dan keterlibatan emosional yang lebih luas.
Simbolisme ini sejalan dengan analisis semiotik Roland Barthes, yang menunjukkan bagaimana tanda-tanda visual dapat mengkristal menjadi mitos sosial.
Barthes menulis bahwa mitos bukan kebohongan, melainkan cara tertentu dalam memberikan makna, dan dalam konteks ini pink menjadi mitos baru tentang perlawanan yang inklusif.
Namun, di balik daya tarik simbolik, ada juga keterbatasan struktural. Tufekci menulis bahwa gerakan digital cenderung “mudah naik, mudah turun.”
Tidak adanya organisasi mapan membuat mereka cepat meluas, tetapi juga cepat memudar. BLM bertahan lebih lama karena memiliki jaringan komunitas yang sudah lama ada di Amerika.
Fridays for Future
bertahan karena terhubung dengan isu global yang berkelanjutan. Sementara
Umbrella Movement
mengalami keterpecahan karena represi keras dan perbedaan strategi internal.
Pertanyaannya, apakah 17+8 akan mengalami hal sama? Apakah ia akan menemukan struktur baru yang menghubungkan viralitas digital dengan advokasi hukum, perubahan kebijakan, atau bahkan lahirnya partai politik baru?
Implikasinya bagi demokrasi sangat signifikan. Di satu sisi, gerakan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih peduli, bahwa demokrasi tidak mati, dan bahwa rakyat menemukan cara kreatif menuntut keadilan.
Di sisi lain, ada risiko bahwa pemerintah hanya melihat gerakan ini sebagai “tren medsos” yang bisa dibiarkan padam dengan sendirinya.
Ada pula risiko bahwa partai politik justru akan meniru strategi ini untuk tujuan pencitraan, sehingga gerakan rakyat direduksi menjadi gaya kampanye. Hal ini menimbulkan dilema antara substansi dan performa.
Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulasi, mengingatkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda dan simbol sering kali lebih kuat daripada realitas itu sendiri.
Politik sebagai konten bisa jatuh dalam jebakan simulasi, di mana performa digital lebih penting daripada hasil nyata.
Di sinilah muncul kemungkinan solusi. Gerakan berbasis konten digital perlu mencari cara agar tidak hanya berhenti pada viralitas.
Salah satunya adalah menjembatani antara dunia digital dan dunia formal: tuntutan yang viral harus diterjemahkan ke dalam advokasi hukum,
judicial review,
lobi parlemen, atau pembentukan jaringan sipil yang lebih kokoh.
Hal ini membutuhkan kerja sama antara influenser digital dengan aktivis LSM, akademisi, dan praktisi hukum.
Jika gerakan digital hanya berhenti pada “konten yang indah”, maka ia akan hilang bersama arus timeline. Namun, jika ia berhasil membentuk aliansi dengan struktur yang lebih berjangka panjang, maka ia dapat menjadi katalis perubahan nyata.
Pengalaman BLM yang mendorong reformasi kepolisian, atau
Fridays for Future
yang memaksa isu iklim masuk agenda politik, menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan.
Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan viralitas dengan ketahanan institusional.
Habermas mengingatkan bahwa ruang publik harus menghasilkan diskursus rasional, bukan hanya pertukaran opini emosional.
Tantangannya adalah bagaimana membuat konten digital yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyajikan argumentasi rasional yang bisa masuk ke ranah kebijakan.
Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting. Mereka dapat menjadi jembatan antara konten digital yang viral dengan substansi kebijakan yang kompleks.
Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya “intelektual organik” yang terhubung dengan rakyat.
Dalam era digital, intelektual organik mungkin adalah mereka yang mampu menulis, berbicara, dan menyajikan analisis di media sosial tanpa kehilangan kedalaman.
Akhirnya, kita melihat bahwa politik sebagai konten adalah gejala zaman yang tidak bisa diabaikan.
Ia lahir dari perubahan struktur komunikasi global, dari media cetak ke televisi hingga media sosial. Ia memperlihatkan kreativitas rakyat dalam menyuarakan aspirasi.
Ia juga menunjukkan keterbatasan, karena viralitas tidak selalu berarti keberlanjutan. Namun, justru dalam ketegangan itulah demokrasi diuji.
Apakah ia akan mampu menyerap energi digital menjadi reformasi nyata, ataukah ia akan membiarkan energi itu hilang begitu saja.
Masa depan demokrasi Indonesia, dan mungkin demokrasi global, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menjawab pertanyaan itu.
Gerakan 17+8, dengan semua simbol, warna, angka, dan viralitasnya, adalah cermin dari era baru politik. Ia menunjukkan potensi sekaligus risiko.
Ia adalah tanda bahwa politik kini harus dipahami bukan hanya sebagai keputusan di ruang sidang, tetapi juga sebagai konten yang viral di layar ponsel.
Dan jika kita menutup refleksi panjang ini, jelas bahwa 17+8 bukan sekadar episode sesaat, melainkan momen penting yang menandai pergeseran paradigma.
Ia membuat kita menyadari bahwa generasi digital menemukan cara baru untuk berbicara, memprotes, dan menuntut. Kita tidak bisa menolaknya, karena ini adalah bahasa politik zaman ini.
Tantangan kita adalah memastikan bahwa bahasa baru ini tidak berhenti sebagai gaya visual, melainkan menjadi jalan menuju perubahan substantif.
Demokrasi yang sehat hanya mungkin jika energi viral di dunia maya menemukan perwujudannya di dunia nyata. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/07/20/669b4b68d0caa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kemenlu Pastikan Fasilitasi 30 WNI yang Ikut Misi Kemanusiaan di Gaza Nasional 7 September 2025
Kemenlu Pastikan Fasilitasi 30 WNI yang Ikut Misi Kemanusiaan di Gaza
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI memastikan bakal memfasilitasi 30 warga negara Indonesia (WNI) yang akan mengikuti misi kemanusiaan Global Sumud Flotilla menuju Gaza, Palestina.
Juru Bicara Kemlu RI Vahd Nabyl Achmad mengatakan, Kemenlu sudah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tunisia untuk memfasilitasi puluhan WNI tersebut.
“Melalui KBRI Tunisia, pemerintah telah menyediakan fasilitas selama mereka berada di Tunisia dan menyampaikan mengenai gambaran risiko yang mungkin akan dihadapi ketika mereka berada di wilayah Gaza,” ujar Vahd dalam keterangan video yang diterima Kompas.com, Minggu (7/9/2025).
Selain dukungan di Tunisia, lanjut Vahd, Kemenlu juga menginstruksikan sejumlah perwakilan RI untuk terus memantau keberadaan kapal kemanusiaan itu.
“Kami juga telah meminta KBRI Kairo dan KBRI Roma untuk memonitor keberadaan flotilla tersebut,” kata Vahd.
Dia juga menegaskan pemerintah Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina.
Namun, dukungan itu dijalankan dengan memperhatikan prinsip hukum dan aturan internasional.
“Pemerintah Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina sesuai dengan hukum dan aturan internasional,” tutur Vahd.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah telah menerima informasi resmi dari Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) mengenai rencana keberangkatan puluhan WNI tersebut.
Misi kemanusiaan yang diikuti sejumlah WNI itu dijadwalkan berangkat dari Tunisia pada 10 September 2025.
“Pemerintah Indonesia telah menerima informasi dari Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) mengenai rencana keikutsertaan 30 WNI dalam misi kemanusiaan Global Sumud Flotilla. Rencananya, misi kemanusiaan ini akan berangkat dari Tunisia menuju Gaza pada 10 September 2025,” kata Vahd.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/07/68bd76dc3e6bf.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kasum Bakal Datangi Komnas HAM Besok, Tuntut Tindaklanjut Kasus Munir Nasional 7 September 2025
Kasum Bakal Datangi Komnas HAM Besok, Tuntut Tindaklanjut Kasus Munir
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Bivitri Susanti, menyatakan pihaknya bersama elemen masyarakat sipil akan mendatangi Komnas HAM pada Senin (8/9/2025) untuk menuntut percepatan penyelidikan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.
Bivitri menegaskan, dorongan ini dilakukan karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, proses penyelidikan pelanggaran HAM berat harus dimulai dari Komnas HAM sebelum dapat dibawa ke ranah pro justitia.
“Kawan-kawan, besok kita bisa sama-sama ke Komnas HAM untuk menuntut agar kasus ini (pembunuhan Munir) segera ditindaklanjuti oleh Komnas HAM,” kata Bivitri dalam peringatan 21 tahun kepergian Munir, di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (7/9/2025).
“Kenapa Komnas HAM? Karena kalau menurut UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pertama-tama pemeriksaannya harus dimulai di Komnas HAM, baru kemudian dimulailah prosesnya secara pro justitia untuk masuk kepada Pengadilan HAM,” tambahnya.
Selain itu, Bivitri menyoroti hilangnya dokumen hasil kerja Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk pemerintah.
Ia menilai pemerintah, baik pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Joko Widodo (Jokowi), turut bertanggung jawab atas hilangnya dokumen tersebut.
“Bayangkan, dinyatakan lenyap. Padahal TPF itu bukan bentukan satu orang presiden, tapi dia harus dilihat sebagai sebuah keputusan dari lembaga kepresidenan. Artinya Jokowi bertanggung jawab tidak hanya SBY,” katanya.
“Jokowi bertanggung jawab dan sekarang Prabowo juga bertanggung jawab, karena TPF dibentuk dengan sebuah keputusan presiden,” sambung Bivitri.
Dia juga mengingatkan bahwa dalang pembunuhan Munir hingga kini belum pernah diadili, meski beberapa pelaku lapangan sudah divonis.
Ia menilai hal ini menunjukkan adanya impunitas yang berbahaya bagi penegakan HAM di Indonesia.
“Dalangnya itu sampai sekarang masih ada di pemerintahan kita. Dan kalau bilang itu gosip, oh bukan gosip, ada di laporan-laporan dan putusan yang sudah ada,” ujarnya.
Ia menegaskan, perjuangan menuntut keadilan bagi Munir tidak akan kehilangan momentum meski kasus sudah berlalu 21 tahun. Sebab, pelanggaran HAM berat tidak mengenal kedaluwarsa.
“Di sini kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa situasi hari ini kami masih terus perjuangkan. Kami sangat mendorong Komnas HAM untuk menyegerakan proses yang sedang dialami, dan besok kita sama-sama ke Komnas HAM untuk menuntut jajaran Komnas HAM segera menuntaskan di level Komnas HAM dulu sampai kemudian lanjut ke pengadilan,” pungkasnya.
Munir meninggal pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta-Amsterdam akibat diracun arsenik. Namun, hingga kini dalang utama pembunuhan belum pernah diadili.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/09/08/68be021f20e6b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/09/08/68bde421911fd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/31/68b41120a1a8a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)