Category: Detik.com Kesehatan

  • Ahli Ungkap Menekan ‘Tunda’ saat Alarm Bunyi Bisa Berdampak pada Tubuh, Kok Bisa?

    Ahli Ungkap Menekan ‘Tunda’ saat Alarm Bunyi Bisa Berdampak pada Tubuh, Kok Bisa?

    Jakarta

    Pernah menekan ‘tunda’ atau snooze saat alarm di HP berbunyi agar bisa mendapat tidur tambahan beberapa menit? Ternyata, kebiasaan ini berdampak kurang baik untuk kesehatan, lho.

    Ilmuwan asosiasi Divisi Gangguan Tidur dan Sirkadian di Brigham and Women’s Hospital, Dr Rebecca Robbins berpendapat menekan ‘tunda’ ketika alarm sudah bunyi di pagi hari dapat mengurangi kualitas tidur. Dia menekankan kualitas tidur sama pentingnya dengan durasinya.

    “Alarm pertama bisa mengganggu tahap tidur yang penting, dan apa pun yang Anda dapatkan setelah menekan snooze kemungkinan adalah tidur berkualitas rendah dan terputus-putus,” ujar Robbins dikutip dari CNN, Selasa (27/5/2025).

    Studi terbaru yang dilakukannya menunjukkan rata-rata orang menekan tombol ‘tunda’ selama 11 menit setelah alarm pertama berbunyi. Jika dikalkulasikan, kebiasaan ini setara dengan kehilangan satu malam penuh waktu tidur setiap bulan hanya karena fitur snooze.

    Ketika tidur, otak melewati berbagai aktivitas neurologis dan paruh kedua malam didominasi oleh tidur rapid eye movement (REM), waktu utama ketika bermimpi. Ini adalah tahap penting untuk fungsi kognitif dan konsolidasi memori, menurut Robbins.

    “Ketika Anda menekan tombol snooze, apalagi hanya beberapa menit, Anda hampir pasti tidak akan kembali ke tahap REM itu,” sambung Robbins.

    Sementara itu, pakar tidur dari Northwestern Medicine Canning Thoracic Institute, Dr Justin Fiala berpendapat belum ada kesepakatan bulat apakah tidur ringan selama snooze lebih banyak dampak buruknya, dibanding manfaatnya.

    Meski begitu, kehilangan tidur berkualitas dan menggantinya dengan tidur ringan dari menekan ‘tunda’ alarm memang meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif dan mood yang buruk.

    “Kalau Anda merasa malah lebih lelah setelah menggunakan alarm snooze, saya akan sarankan untuk kembali ke kebiasaan bangun langsung saat alarm pertama,” kata Fiala.

    NEXT: Apa yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kebiasaan ini?

    Konsistensi waktu tidur sama pentingnya dengan durasi tidur. Orang yang terbangun dalam tahap tidur dalam membuat proses pemulihan otak terputus. Ini memicu efek sleep inertia, rasa kantuk dan bingung setelah bangun, yang berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam.

    Jika tubuh terbiasa dengan jadwal tidur yang teratur, efek sleep inertia ini bisa berkurang.

    “Dalam dunia yang ideal, kita tidak akan mengandalkan alarm untuk bangun. Kita bisa tertidur dan bangun secara alami dan memiliki energi sepanjang hari,” kata Robbins.

    Dikutip dari IFL Science, penelitian Robbins menemukan orang yang tidur kurang dari 5 jam justru cenderung jarang menggunakan snooze, dibanding mereka yang tidur lebih lama. Peneliti menduga orang yang tidur singkat memiliki tanggung jawab mendesak yang tidak memungkinkan mereka untuk mengambil waktu tidur tambahan.

    Untuk menghilangkan kebiasaan ini, Robbins menyarankan untuk menggeser waktu alarm seakhir mungkin. Menurut Robbins, ini bisa mengoptimalkan tidur dan performa keesokan harinya.

    “Pendekatan terbaik untuk mengoptimalkan tidur dan kinerja keesokan harinya adalah dengan mengatur alarm pada waktu paling akhir yang masih memungkinkan, lalu berkomitmen untuk langsung bangun saat alarm pertama berbunyi,” tandasnya.

  • Ingat COVID-19 Masih Ada! Tak Perlu Panik, Tapi Sebaiknya Waspada

    Ingat COVID-19 Masih Ada! Tak Perlu Panik, Tapi Sebaiknya Waspada

    Jakarta

    Di tengah euforia long weekend dan aktivitas masyarakat yang mulai kembali normal, pakar mengingatkan COVID-19 belum benar-benar hilang. Meski kasus tak lagi seganas di masa puncak pandemi, virus ini masih ada dan terus dipantau ketat para ahli di berbagai negara, termasuk Indonesia.

    Thailand misalnya, belakangan mencatat 50 ribu kasus COVID-19 dalam sepekan, dengan 5 kasus di antaranya meninggal dunia. Peningkatan dilaporkan selama musim hujan dan mobilitas tinggi. Singapura juga sempat mencatat lebih dari 15 ribu kasus dalam satu minggu terakhir.

    “Beberapa negara tetangga mengalami peningkatan kasus. Itu terjadi karena mereka punya sistem surveilans yang rapi dan konsisten. Bahkan saat situasi normal, mereka tetap rajin mencatat dan melaporkan,” kata Prof Tjandra Yoga Aditama Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020 baru-baru ini.

    Ia menekankan COVID-19 masih eksis di banyak negara yang artinya fluktuasi kasus sangat mungkin terjadi. Hal yahg menjadi kunci, menurutnya, adalah bagaimana otoritas kesehatan terus memantau jumlah kasus, angka kematian, hingga pola genomik virus.

    “Sampai sekarang, belum ada varian baru yang jadi penyebab lonjakan kasus. Varian yang mendominasi masih JN.1 dan turunannya seperti LF.7 dan NB.1.8,” jelasnya.

    Vaksinasi Tambahan

    Meski tidak terjadi lonjakan signifikan, penting untuk tetap melalukan vaksinasi COVID-19 tambahan, terutama bagi kelompok rentan, seperti lansia dan mereka dengan imunitas tubuh lemah.

    “Anjuran umum adalah vaksinasi ulang setahun setelah vaksin sebelumnya. Di Amerika, seperti di New York, toko-toko farmasi seperti CVS masih menyediakan pojok vaksinasi COVID-19, walau kasusnya rendah,” ujar Prof Tjandra.

    NEXT: Langkah penting

    Tiga Langkah Penting

    Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu terus dilakukan pemerintah Indonesia:

    Perkuat surveilans epidemiologik dan genomik di dalam negeri.Pantau ketat dinamika kasus di negara lain, khususnya negara tetangga, lewat kerja sama regional dan global seperti ASEAN dan WHO.Meski belum perlu ada pembatasan perjalanan, kewaspadaan tetap harus dijaga.

    “Jadi, walau belum ada sinyal bahaya besar, kita nggak boleh lengah. COVID-19 masih ada, dan kita harus tetap waspada,” tegas Prof Tjandra.

    Simak Video “Video: Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Bagaimana dengan Indonesia?”
    [Gambas:Video 20detik]

  • COVID-19 di Thailand Melonjak, Tembus 53 Ribu dalam Sepekan! 5 Orang Meninggal

    COVID-19 di Thailand Melonjak, Tembus 53 Ribu dalam Sepekan! 5 Orang Meninggal

    Jakarta – Thailand mencatat lebih dari 50 ribu kasus COVID-19 dalam sepekan terakhir, lima orang di antaranya meninggal dunia. Menurut Departemen Pengendalian Penyakit setempat, tercatat 53.563 kasus pada periode 18 hingga 24 Mei.

    Dari total tersebut, 2.827 orang menjalani rawat inap, sementara sisanya rawat jalan. Bangkok mencatat kasus COVID-19 terbanyak.

    Dikutip dari BangkokPost, pasien yang paling banyak terpapar COVID-19 berada di usia 30 hingga 39 tahun yakni 10.740 kasus. Diikuti kelompok usia lebih muda di rentang 20 hingga 29 tahun yakni 9.527 kasus.

    Thailand juga mencatat 8.107 kasus lansia dan 4.117 anak kecil berusia empat tahun ke bawah yang terpapar COVID-19.

    Pekan lalu, Bangkok memiliki kasus terbanyak dengan total 9.539 infeksi, diikuti oleh Chon Buri (3.379), Samut Prakan (2.491), Nonthaburi (2.278) dan Rayong (2.210). P

    Secara nasional, dari 1 Januari hingga 26 Mei, ada 186.955 kasus COVID-19 yang dilaporkan di Thailand, dengan 46 kematian.

    Otoritas kesehatan setempat mewanti-wanti kasus COVID-19 bisa terus meningkat di tengah musim hujan dan masa sekolah, yang meningkatkan risiko penularan di tempat-tempat ramai termasuk transportasi umum, sekolah, rumah sakit, dan pusat perawatan lansia.

    Departemen tersebut menyarankan masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan sederhana, dengan memakai masker jika mengalami demam atau batuk, menghindari kontak dekat dengan orang yang menunjukkan gejala pernapasan, cuci tangan sesering mungkin, dan melakukan tes COVID-19 bila mencurigai adanya infeksi.

    “Jangan bawa virus pulang ke kelompok rentan seperti lansia atau mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya,” DDC memperingatkan.

    Varian JN.1 tetap menjadi strain dominan di Thailand, yang mencakup 63,92 persen dari kasus yang diurutkan. Meskipun tingkat keparahannya telah menurun, varian ini terus menyebar dengan cepat.

    (naf/naf)

  • Cerita 3 Pasien yang Idap Kanker Paru, Ini Gejala yang Mereka Rasakan

    Cerita 3 Pasien yang Idap Kanker Paru, Ini Gejala yang Mereka Rasakan

    Jakarta

    Kanker paru kerap kali tak terdeteksi pada tahap awal, dan baru terdiagnosis saat sudah memasuki stadium lanjut. Nyeri dada hingga batuk terus-menerus bisa menjadi gejala kanker paru-paru.

    Namun, hal itu juga bisa menjadi tanda dari kondisi lain, termasuk masalah jantung, anemia, dan infeksi virus, seperti COVID-19.

    “Beberapa gejala kanker paru-paru memerlukan perhatian segera,” kata ahli bedah toraks dan kardiovaskular Ara Vaporciyan, MD, dikutip dari MD Anderson Cancer Center.

    “Yang lainnya hanya perlu diperiksa dalam waktu dua atau tiga minggu. Gejala yang konstan lebih merupakan masalah daripada gejala yang hanya terjadi dalam waktu singkat dan kemudian sembuh dengan sendirinya. Dan kombinasi gejala lebih mengkhawatirkan daripada gejala yang muncul sendiri,” imbuhnya.

    Berikut pengakuan atau cerita tiga pasien kanker paru soal gejala yang mereka alami.

    1. Nyeri Dada atau Tekanan di Dada

    Deborah Schroeder, yang didiagnosis mengidap kanker paru-paru pada usia 55 tahun, mengungkapkan gejala yang dialami berupa nyeri dada yang tidak biasa.

    Menurutnya, saat masih muda, seseorang cenderung merasa seolah-olah tidak akan pernah mengalami hal buruk, termasuk penyakit serius. Namun, dia mulai curiga ada sesuatu yang tidak beres meski sebelumnya dia merasa dalam kondisi kesehatan yang cukup baik.

    “Saya mulai merasakan nyeri dada yang aneh pada musim panas tahun 2013,” kata Deborah Schroeder.

    “Saat masih muda, Anda merasa tak terkalahkan. Dan kemudian, Anda berpikir itu tidak akan pernah terjadi pada Anda. Namun, saya tahu ada yang salah karena hingga saat itu, saya cukup sehat.”

    2. Batuk yang Mengganggu

    Nancy White, seorang pensiunan guru sekolah dari Pensacola, Florida, berusia 71 tahun ketika ia didiagnosis pada tahun 2015. Ia mengalami gejala berupa batuk tak kunjung sembuh, bahkan bertambah parah saat di malam hari.

    “Saya mencoba meredakannya dengan mengonsumsi antibiotik. Saya juga menjalani beberapa tes alergi dan berkonsultasi dengan dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan. Semua itu tidak membantu,” tutur White.

    3. Sesak Napas

    Ashley Stringer, berusia 34 tahun ketika ia didiagnosis mengidap kanker paru-paru pada tahun 2017. Ibu dua anak itu mengaku mengalami gejala berupa sesak napas saat berolahraga di atas treadmill.

    Meskipun sempat melihat iklan tentang penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) di televisi, Stringer merasa dirinya masih terlalu muda untuk mengalami kondisi serius seperti itu.

    “Saya punya firasat bahwa saya perlu memeriksakannya.”

    Tonton juga “Dampak Nge-vape di Tubuh: Risiko Bronkitis hingga Kanker Paru” di sini:

    NEXT: Gejala Kanker Paru Lainnya

    Gejala kanker paru yang harus diwaspadai

    Di sisi lain, Vaporciyan mengungkapkan beberapa gejala kanker paru lainnya yang perlu diwaspadai. Antara lain:

    Batuk berdarah atau mengeluarkan dahak berwarna karatPerubahan pada batuk yang tidak berhubungan dengan tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, malaise, dll.)Nyeri dada yang konstan atau bertambah parah saat tertawa, batuk, atau berolahragaPenurunan berat badan (gejala tahap akhir)Pembengkakan pada leher atau wajah (gejala yang sudah sangat parah)

    “Banyak perokok yang mengalami batuk kronis. Tetapi jika Anda mengalami batuk baru atau batuk yang lebih parah yang tidak membaik dengan antibiotik dalam beberapa minggu, saya akan meminta semacam pencitraan,” jelas Vaporciyan.

    “Itu juga berlaku untuk mereka yang bukan perokok, karena kanker paru-paru semakin sering didiagnosis di antara orang-orang yang tidak pernah merokok atau menggunakan produk tembakau. Dan setiap kali Anda batuk berdarah, itu perlu segera diperiksakan.”

  • Sederet Bullying di PPDS Anestesi Undip, Eks Kaprodi Pungut Rp 80 Juta Tiap Mahasiswa

    Sederet Bullying di PPDS Anestesi Undip, Eks Kaprodi Pungut Rp 80 Juta Tiap Mahasiswa

    Jakarta – Kasus perundungan yang berujung pada meninggalnya dr ‘ARL’, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) prodi anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), kini memasuki tahap persidangan di Pengadilan Negeri Semarang. Sidang perdana digelar pada Senin (26/5/2025), dengan menghadirkan tiga terdakwa.

    Salah satu terdakwa adalah Zara Yupita Azra, senior dari angkatan 76 di PPDS Anestesi Undip. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut Zara sebelumnya adalah kakak pembimbing dari almarhumah dr ARL.

    “Dalam pertemuan tersebut, dr. Zara memberikan instruksi kepada angkatan 77 mengenai sistem operan tugas, termasuk penyediaan makanan prolong, joki tugas, serta keperluan lainnya,” jelas JPU Shandy dalam persidangan, dikutip dari detikJateng, Selasa (27/5/2025).

    Terdapat pula aturan yang disebut ‘pasal anestesi’ di lingkungan PPDS, yakni mengatur etika interaksi antara junior dan senior. Dalam pasal itu, tercantum prinsip-prinsip seperti ‘senior selalu benar’, ‘jika senior salah, kembali ke pasal 1’, serta larangan mengeluh karena semua dianggap telah melalui proses yang sama.

    Selain itu, mahasiswa tingkat awal atau semester nol hanya diperbolehkan berbicara dengan senior satu tingkat di atasnya. Komunikasi dengan senior lebih dari dua tingkat dilarang, kecuali jika senior yang memulai. Bahkan, berbicara tanpa izin bisa dianggap sebagai pelanggaran etika.

    Selain praktik perundungan verbal dan psikologis, mahasiswa juga dibebani kewajiban menyediakan makanan bagi senior sebagai bagian dari ‘kewajiban’ hierarki. Biaya makan ini ditanggung penuh oleh junior, tanpa kontribusi senior yang menikmati makanan tersebut.

    Tak hanya itu, junior juga diminta membayar untuk joki tugas akademik ke pihak ketiga yang mengerjakan tugas ilmiah milik senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

    Eks Kaprodi Diduga Wajibkan Pembayaran Rp 80 Juta per Mahasiswa

    Dalam sidang yang menghadirkan mantan Kepala Program Studi PPDS Anestesi Undip, dr Taufik Eko Nugroho, dan staf administrasi Sri Maryani, sebagai dua tersangka kasus dr ‘ARL’ lainnya, JPU membeberkan praktik pungutan biaya operasional pendidikan (BOP) kepada mahasiswa.

    “Terdakwa dr Taufik secara konsisten mewajibkan mahasiswa semester 2 ke atas untuk membayar BOP hingga sekitar Rp 80 juta per orang,” ungkap jaksa Shandy.

    Dana tersebut diklaim untuk mendanai berbagai kebutuhan akademik, seperti ujian CBT, OSS, penyusunan tesis, konferensi nasional, CPD, jurnal reading, dan publikasi ilmiah.

    Namun, sejak 2018 hingga 2023, banyak mahasiswa dari berbagai angkatan merasa terbebani dan tertekan oleh kewajiban ini. Meski begitu, mereka memilih diam karena khawatir kelancaran pendidikan dan kepesertaan ujian mereka akan terhambat bila tidak mematuhi perintah dr Taufik.

    “Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr Taufik Eko Nugroho itu,” ujarnya.

    “Namun, mereka tidak berdaya karena terdakwa dr Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP,” sambungnya.

    KLIK DI SINI UNTUK KE HALAMAN SELANJUTNYA.

    (naf/kna)

  • Jangan Abaikan! Disfungsi Ereksi Bisa Jadi Tanda Masalah Jantung

    Jangan Abaikan! Disfungsi Ereksi Bisa Jadi Tanda Masalah Jantung

    Jakarta – Masalah disfungsi ereksi masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Padahal, kondisi ini bukan hanya menyangkut performa seksual, tetapi juga bisa menjadi tanda awal adanya penyakit serius seperti gangguan jantung.

    Dokter Spesialis Urologi Mayapada Hospital Surabaya, dr. Aditya Pramanta, Sp.U menjelaskan ereksi adalah respons alami tubuh pria ketika aliran darah meningkat ke penis akibat rangsangan seksual atau kontak fisik, yang menyebabkan penis mengeras.

    Namun, jika terjadi gangguan pada proses ini, maka terjadilah disfungsi ereksi yang ditandai dengan kesulitan dalam mempertahankan ereksi, tidak mendapatkan ereksi, berkurangnya hasrat seksual, hingga rasa tidak puas saat berhubungan seksual.

    “Disfungsi ereksi bisa disebabkan oleh faktor organik karena penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kolesterol tinggi, diabetes, dan obesitas. Bisa juga karena faktor psikogenik karena masalah psikologis, atau perpaduan kedua faktor,” jelas dr. Aditya dalam keterangannya, Selasa (27/5/2025).

    Terdapat pula faktor risiko yang memicu disfungsi ereksi seperti faktor usia di atas 50 tahun, faktor gaya hidup seperti merokok dan konsumsi alkohol, mengkonsumsi obat-obatan tertentu, dan kurangnya olahraga.

    Sementara itu, Dokter Spesialis Urologi di Mayapada Hospital Jakarta Selatan, dr. Akbari Wahyudi Kusumah, Sp.U juga menjelaskan bahwa pria yang mengalami gangguan ereksi memiliki risiko terkena serangan jantung, maka dari itu harus segera dikonsultasikan ke dokter speasialis.

    “Pria yang mengalami gangguan ereksi memiliki risiko terkena serangan jantung dalam 3 hingga 5 tahun ke depan. Karena itu, jika mengalami gangguan ereksi, sebaiknya segera konsultasikan ke dokter spesialis urologi atau andrologi, bukan mencari pengobatan alternatif,” jelasnya.

    “Penting diingat, bahwa ereksi bukan hanya penting untuk kesehatan seksual, tetapi juga mencerminkan kondisi fisik dan psikologis pria secara keseluruhan.” sambungnya.

    Gangguan ereksi dapat diperiksa dengan Erection Hardness Score (EHS) yaitu metode pengukuran tingkat kekerasan ereksi yang terbagi menjadi empat derajat.

    Derajat pertama digambarkan seperti tahu, di mana penis membesar namun tidak keras.Derajat kedua seperti pisang kupas, yakni penis mengeras tapi belum cukup untuk penetrasi.Derajat ketiga seperti pisang, di mana penis cukup keras, namun belum maksimal.Derajat keempat seperti timun, yakni penis keras sepenuhnya dan optimal untuk aktivitas seksual.

    Tak perlu khawatir, disfungsi ereksi dapat ditangani secara medis dengan terapi bernama Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT). Hal tersebut dijelaskan oleh dr. Akbari bahwa ESWT merupakan gelombang kejut yang berfungsi untuk meningkatkan aliran darah di sekitar jaringan penis.

    “ESWT dilakukan dengan menggunakan gelombang kejut yang ditempel ke sekitar jaringan penis untuk meningkatkan aliran darah ke penis, merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru, dan memperbaiki fungsi ereksi.” jelasnya.

    Dengan metode ESWT, pasien tidak perlu disuntik atau dibius, tidak memerlukan pembedahan, tidak meninggalkan luka, durasi prosedur berlangsung cepat, dan tanpa komplikasi. Meski begitu, dr. Akbari menekankan pentingnya pemeriksaan menyeluruh untuk dapat menentukan penanganan terbaik bagi masalah disfungsi ereksi yang dialami.

    Masalah disfungsi ereksi ini perlu dikonsultasikan bersama dokter spesialis urologi di layanan yang menangani masalah saluran kemih dan reproduksi, seperti Tahir Uro Nephrology Center Mayapada Hospital yang khusus untuk menangani gangguan pada ginjal dan saluran kemih secara komprehensif mulai dari deteksi dini, diagnosis, penanganan non-invasif dan minimal invasif.

    Jika Anda atau pasangan Anda mengalami gejala disfungsi ereksi dan ingin mendapatkan pemeriksaan yang komprehensif di Tahir Uro Nephrology Center Mayapada Hospital, Anda dapat melakukan penjadwalan pemeriksaan melalui aplikasi MyCare milik Mayapada Hospital.

    Aplikasi ini dilengkapi fitur seperti Healthy Lifestyle yang terkoneksi dengan Google Fit dan Health Access untuk memantau aktivitas olahraga dan kebugaran Anda. Berbagai informasi kesehatan juga lengkap terangkum dalam fitur Health Articles & Tips di MyCare.

    Dengan aplikasi MyCare, pasien dapat mengakses layanan dengan cepat karena dapat memperoleh nomor antrean lebih awal dengan proses transaksi layanan yang praktis di berbagai kanal pembayaran.

    Aplikasi MyCare dapat diunduh melalui Google Play Store dan App Store, pengguna yang baru pertama kali registrasi akan mendapat point reward untuk potongan harga layanan di Mayapada Hospital.

    (akn/ega)

  • Kisah Nyata Pria yang Jalani Diet Ekstrem, Tak Makan Apapun Selama 382 Hari

    Kisah Nyata Pria yang Jalani Diet Ekstrem, Tak Makan Apapun Selama 382 Hari

    Jakarta

    Kebanyakan orang dapat bertahan hidup tanpa makanan setidaknya selama beberapa minggu, mungkin sedikit lebih lama. Namun, pria ini menjalaninya selama lebih dari satu tahun.

    Angus Barbieri, pria Skotlandia itu menjalani diet selama 382 hari. Kala itu, dia yang berusia 27 tahun tak makan apapun.

    Diberitakan Science Direct, ada laporan kasus yang menggambarkan pengalaman Barbieri yang dipublikasikan oleh dokternya di Postgraduate Medical Journal pada tahun 1973.

    Menurut laporan itu, Barbieri telah mendatangi Departemen Kedokteran Universitas di Royal Infirmary of Dundee, Skotlandia, lebih dari setahun sebelumnya, untuk mencari pertolongan.

    Menurut dokternya, ia sangat gemuk saat itu, dengan berat 207 kg. Dokter menyuruhnya berpuasa sebentar, dengan harapan dapat membantunya menurunkan berat badan, meskipun mereka tidak berharap ia dapat mempertahankan berat badannya.

    Hari-hari tanpa makanan berubah menjadi minggu-minggu, Barbieri merasa bersemangat untuk melanjutkan program tersebut. Meski terdengar tidak masuk akal dan berisiko, ia ingin mencapai berat badan idealnya, 82 kg.

    Tonton juga “Sukses Diet! Lizzo Pamer Tubuh Lebih Ramping di Oscar” di sini:

    Next: Hasil akhir diet ekstremnya

    Yang mengejutkan dokternya, ia menjalani kehidupan sehari-harinya sebagian besar dari rumah selama berpuasa, datang ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin dan menginap.

    Tes gula darah rutin yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ia mampu beraktivitas saat sangat hipoglikemia, meyakinkan dokter bahwa ia benar-benar tidak makan. Minggu-minggu berubah menjadi bulan.

    Ia diizinkan minum kopi, teh, dan air soda, yang semuanya bebas kalori. Ia mengatakan bahwa ada kalanya ia menambahkan sedikit gula atau susu ke dalam teh, terutama pada minggu-minggu terakhir puasanya.

    Di akhir dietnya, Barbieri mencapai berat 82 kg. Lima tahun kemudian, ia masih mempertahankan berat badannya di angka 89 kg.

    Ini adalah kasus yang sangat tidak biasa, dan salah satu contoh paling ekstrem dari diet ketat yang pernah tercatat. Oleh karena itu, puasa selama ini tidak boleh dicoba oleh siapa pun.

  • Kenapa Waktu Serasa Berjalan Lambat saat Olahraga? Ini Hasil Studinya

    Kenapa Waktu Serasa Berjalan Lambat saat Olahraga? Ini Hasil Studinya

    Jakarta

    Pernahkah berolahraga dan merasa waktu berjalan lebih lambat? Dalam sebuah studi eksperimental di tahun 2024, rupanya orang-orang memang cenderung merasakan waktu lebih lama ketika berolahraga atau berkompetisi dengan orang lain.

    Peneliti merekrut 33 orang dewasa yang aktif secara fisik, terdiri dari 16 wanita dan 17 pria. Mereka diminta melakukan tiga uji coba bersepeda sejauh 4 km dalam lingkungan virtual. Satu uji coba dilakukan sendiri, sementara dua uji coba dilakukan bersama sosok virtual yang menjadi teman bersepeda non-kompetitif atau sebagai pesaing aktif perlombaan.

    Peneliti meminta peserta untuk menilai seberapa berat mereka berolahraga pada skala 0-10 dan memperkirakan kapan waktu 30 detik berlalu. Sementara itu, peneliti akan mengukur waktu sesungguhnya dengan stopwatch.

    “Selama latihan, peserta berkata ‘berhenti’ pada detik ke-28. Sebaliknya, sebelum dan sesudah latihan, mereka menghentikan waktu pada 31,4 dan 31,6 detik,” kata peneliti dari Ulster University, Stein Menting, dikutip dari Live Science, Senin (26/5/2025).

    “Hal ini membuat kami menyimpulkan bahwa waktu terasa berjalan lebih lambat selama berolahraga dibandingkan saat istirahat,” sambungnya.

    Peneliti mengamati efek ini setiap uji coba dan dalam kondisi solo, maupun kompetitif. Meskipun kehadiran pesaing virtual tidak mempengaruhi persepsi waktu, keberadaan mereka mendorong peserta bersepeda lebih cepat.

    Ketika peserta diberitahu harus berlomba melawan pesaing di layar dan mencoba untuk menang, mereka menyelesaikan uji coba rata-rata dalam 459 detik. Ini lebih cepat dibanding mereka mereka melihat orang virtual yang sama, tapi hanya diminta untuk bersepeda secepat mungkin (sekitar 467 detik), atau ketika olahraga sendiri (470 detik).

    “Hal ini menunjukkan bahwa olahraga secara tunggal, bukan karena intensitasnya, mungkin yang menyebabkan distorsi persepsi waktu,” kata Menting.

    Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyebut intensitas olahraga juga mempengaruhi distorsi persepsi waktu.

    NEXT: Kenapa waktu terasa lambat saat berolahraga?

    Peneliti menuturkan perhatian adalah alasan kenapa waktu mungkin terasa lambat saat olahraga. Selama olahraga intens, orang cenderung masuk ke kondisi mental yang sangat waspada dan menjadi lebih sadar akan ketidaknyamanan fisik.

    Kesadaran yang meningkat memperbanyak jumlah sensasi yang mereka rasakan dalam waktu singkat, sehingga membuat waktu terasa lama dari yang sebenarnya. Tapi, mekanisme distorsi waktu yang didasarkan perhatian ini masih jadi perdebatan.

    Profesor psikologi dari University of Delaware, Phillip Gable, yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat bahwa yang mempengaruhi persepsi waktu adalah motivasi.

    Dalam serangkaian studi yang dilakukan Gable, persepsi waktu bisa terasa cepat atau lambat tergantung jenis motivasi yang dirasakan ketika beraktivitas.

    Ketika seseorang melakukan sesuatu dengan approach motivation, keinginan untuk bergerak ke sesuatu yang positif, waktu cenderung terasa lebih cepat. Sebaliknya, ketika seseorang mengalami avoidance motivation, dorongan menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan, maka waktu terasa lebih lambat.

    “Dalam studi terbaru ini (studi Ulster University), kecepatan ‘all-out’ dari para peserta kemungkinan besar terasa tidak menyenangkan dan menimbulkan motivasi penghindaran,” kata Gable.

    Menurutnya, kesan waktu terasa lambat menandakan rutinitas berolahraga menimbulkan rasa tertekan atau rasa tidak nyaman. Gable merekomendasikan untuk menemukan tempo olahraga yang bisa dipertahankan, agar tidak muncul avoidance motivation.

    Simak Video “Video Olahraga yang Direkomendasikan Dokter untuk Penderita Obesitas”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Menkes Bawa Kabar Baik, Angka Stunting RI Turun Jadi 19,8 Persen!

    Menkes Bawa Kabar Baik, Angka Stunting RI Turun Jadi 19,8 Persen!

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI resmi mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024. Hasilnya, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen pada 2023 menjadi 19,8 persen tahun ini.

    Pengumuman disampaikan dalam acara diseminasi di Auditorium Siwabessy, Gedung Kemenkes, Jakarta Selatan, Senin (26/5/2025).

    “Target kita tahun lalu 20,1 persen. Alhamdulillah, hasilnya 19,8 persen. Artinya, kita berhasil melampaui target sebesar 0,3 persen,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sambutannya.

    Meski begitu, Budi mengingatkan tantangan masih besar. Pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun jadi 18,8 persen pada 2025 dan 14,2 persen di 2029, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

    “Target ini cukup menantang. Kita harus turun 7,3 persen dalam lima tahun,” ujarnya.

    Budi juga menyebut enam provinsi dengan jumlah balita stunting tertinggi yang jadi prioritas penanganan, yakni:

    Jawa Barat: 638 ribu balitaJawa Tengah: 485.893 balitaJawa Timur: 430.780 balitaSumatera Utara: 316.456 balitaNTT: 214.143 balitaBanten: 209.600 balita

    “Kalau enam provinsi ini bisa kita turunkan 10 persen, maka nasional bisa turun 4-5 persen,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Menkes menyoroti pentingnya intervensi sejak masa kehamilan. Ia menekankan distribusi tablet tambah darah, pengukuran lingkar lengan ibu hamil, pemeriksaan hemoglobin (Hb), dan suplementasi mikronutrien.

    “Stunting itu dimulai dari kandungan. Jangan sampai ibu hamil anemia atau kurang gizi,” jelasnya.

    Program penguatan Posyandu juga terus dilakukan, termasuk distribusi 300 ribu alat antropometri, dukungan ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan (PMT), dan imunisasi.

    NEXT: Menyelamatkan 337 ribu balita dari stunting

    Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes, Prof Asnawi Abdullah, menyebut penurunan stunting ini berhasil menyelamatkan sekitar 337 ribu balita dari risiko stunting, lebih tinggi dari target RPJMN sebesar 325 ribu.

    Namun, ia mengingatkan adanya kesenjangan prevalensi antarwilayah dan kelompok sosial ekonomi.

    “Kelompok pendapatan sangat rendah jauh lebih rentan terhadap stunting. Ini perlu jadi fokus intervensi,” ujarnya.

    SSGI 2024 dilakukan di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota, dengan dukungan berbagai pihak termasuk WHO, CEMMIO, RedPhone, dan Prospera. Data hasil survei juga bisa diakses publik melalui situs resmi BKPK Kemenkes.

    “Data ini harus dimanfaatkan untuk perencanaan dan evaluasi program, agar kebijakan benar-benar berdampak,” tutup Prof Asnawi.

    Simak Video “Video: IDAI Minta Kinerja Menkes Dievaluasi Presiden Prabowo”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Video: Sorotan DPR soal Gaya Komunikasi Menkes Budi yang Dinilai Kurang Bijak

    Video: Sorotan DPR soal Gaya Komunikasi Menkes Budi yang Dinilai Kurang Bijak

    Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, soroti gaya komunikasi Menkes Budi Gunadi Sadikin yang dinilai kurang bijak. Beberapa di antaranya mulai dari soal perbandingan gaji Rp 5 juta dengan Rp 15 juta, hingga soal ukuran lingkar pinggang.

    Menkes Budi pun menyebut punya niat baik untuk mengingatkan.Ia juga berusaha akan memperbaiki gaya bahasa dan cara penyampaiannya.

    (/)