Foto Health
Tripa Ramadhan – detikHealth
Rabu, 11 Jun 2025 10:00 WIB
Kyiv – Warga Kyiv menemukan pelipur lara lewat anak babi lucu di sebuah kafe unik. Kafe dengan anak babi itu menawarkan kehangatan dan harapan.

Foto Health
Tripa Ramadhan – detikHealth
Rabu, 11 Jun 2025 10:00 WIB
Kyiv – Warga Kyiv menemukan pelipur lara lewat anak babi lucu di sebuah kafe unik. Kafe dengan anak babi itu menawarkan kehangatan dan harapan.

Jakarta –
Solusi penyanyi Monita Tahalea mengatasi masalah Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), kondisi saat asam lambung naik ke kerongkongan dan memicu gejala tak nyaman, adalah matcha. Reaksi seperti mual, sensasi panas di sekitar dada, hingga rasa nyeri nyaris tidak pernah kambuh saat mengganti sumber kafein dari semula di kopi, menjadi matcha.
Kebiasaan mengonsumsi matcha diakui Monita sudah dijalani lebih dari tiga tahun terakhir. “Dulu aku peminum kopi, dulu sekali, jaman aku kuliah, tapi terus aku memang punya riwayat asam lambung, jadi merasa harus mencari minuman yang lebih lighter,” terang Monita saat ditemui detikcom pasca sesi bincang detikSore, Selasa (10/9/2025).
Matcha disebutnya meredakan gejala asam lambung dan menghangatkan tubuh. Monita juga mengaku matcha seperti merangsang ‘dopamin’ atau hormon bahagia yang otomatis berpengaruh pada masalah GERD. Mengingat, GERD juga bisa dipicu dari stres.
Meski begitu, mengonsumsi makanan dan minuman apapun menurutnya tetap perlu dibatasi. Ada baiknya selalu mengenali kondisi tubuh juga menyesuaikan porsi matcha yang dikonsumsi.
“Jadi aku pernah minum matcha jam 9 malam, tetapi porsinya kebanyakan, dan kalau dibuatin orang kan bisa saja gula-nya terlalu banyak, jadi ada reaksi,” cerita dia.
“Intinya biasanya aku selalu minum itu satu gelas kecil dan kan bisa dibuat hangat, jadi enak ke tubuh,” sambungnya.
Selain matcha, wanita yang akan merilis album baru setelah mengeluarkan single ‘Kawan’, juga hobi mengonsumsi teh lain, bahkan mengoleksinya di rumah.
“Kenapa aku nggak pilih kopi, karena kalau jenis kopi kan ada beragam macam. Americano yang katanya bagus, arabica, dan lain-lain, aku tidak terlalu memahami, jadi aku cari yang lebih mudah aja, lebih light dari kopi,” pungkasnya.
(naf/naf)

Foto Health
Averus Kautsar – detikHealth
Selasa, 10 Jun 2025 19:59 WIB
Jakarta – Seorang bocah 10 tahun di Pakistan mengidap kondisi langka ‘sindrom manusia batu’. Kondisi tersebut membuat otot-ototnya berubah menjadi tulang.

Jakarta –
Viral pemakaian cat rambut bisa berakhir vitiligo. Vitiligo sebetulnya merupakan jenis kulit yang menandakan adanya kehilangan pigmen sehingga muncul bercak putih pada area tersebut.
“Aku kena vitiligo pas 2021 akhir, karena kena bleach rambut jadi pigmen kulitnya hilang, tadinya kecil, tetapi nyebar sampai alis dan rambut,” demikian narasi viral di pemilik akun TikTok yang mengidap vitiligo.
Tidak sedikit yang kemudian menanyakan apakah kondisi kulit semacam ini bisa benar-benar sembuh. Mengacu publikasi ilmiah di Indonesia, prevalensi vitiligo berkisar antara 0,2-2 persen, sejalan dengan angka prevalensi global. Vitiligo sering muncul pada usia muda, dengan rata-rata awal kemunculan sekitar 7,3 tahun.
“Vitiligo merupakan tantangan besar bagi kami para dokter dermatologi,” ujar dr Maureen Situmeang, SpDVE, dokter spesialis dermatovenereology di C Derma Jakarta, Senin (9/6/2025).
Menurutnya, dampak vitiligo bukan hanya terlihat pada kulit, tetapi juga memengaruhi kualitas hidup dan kepercayaan diri pasien. Diperlukan perawatan yang presisi bergantung pada area bercak kulit secara rutin dan konsisten.
Meski tidak bisa sepenuhnya disembuhkan, perawatan semacam ini bisa mengembalikan warna kulit menjadi lebih merata.
Ada beberapa langkah yang umumnya dilakukan sebagai perawatan kelainan kulit dengan vitiligo termasuk beberapa di antaranya krim kortikosteroid, terapi cahaya, penggunaan sinar ultraviolet (UVB), dan obat-obatan lain.
Konsultasi tetap disarankan sebelum melakukan sejumlah perawatan.
NEXT: Gejala Vitiligo
Gejala vitiligo adalah munculnya bercak hipopigmentasi di tubuh. Pada awalnya, bercak yang muncul berwarna lebih muda dari kulit, kemudian perlahan-lahan memutih.
Kemunculan bercak vitiligo dimulai dari bagian tubuh yang sering terpapar sinar matahari, seperti wajah, bibir, tangan dan kaki, lalu menyebar ke bagian tubuh lain.
Gejala lain vitiligo meliputi:
Hilangnya pigmen warna di rambut, janggut, bulu mata, dan alis, sehingga terlihat seperti ubanHilangnya pigmen warna di bagian hitam mata, bagian dalam mulut dan hidung, serta di area kelaminBagian tengah bercak berwarna putih sedangkan tepinya kecoklatan atau kemerahanNyeri dan gatal di area kulit yang terkena vitiligoTimbul ruam di area kulit yang terkena vitiligo setelah terpapar matahari
Bercak vitiligo umumnya muncul secara simetris di kedua sisi tubuh, tetapi bisa juga di salah satu sisi tubuh. Kapan dan seberapa cepat bercak vitiligo menyebar tidak dapat ditentukan. Di samping itu, warna kulit yang terkena vitiligo terkadang bisa kembali normal.
Simak Video “Video: Cara Yuki Kato Merawat Kulit Wajahnya”
[Gambas:Video 20detik]

Jakarta –
Lonjakan kasus COVID-19 di beberapa negara Asia tengah menjadi sorotan belakangan ini. Pakar imunologi fakultas kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo, MSi, SpMK mengimbau untuk tetap meningkatkan kewaspadaan, meski tren lonjakan kasus yang muncul tidak separah saat pandemi.
Menurut dr Agung, adanya sedikit kenaikan kasus COVID-19 pasca pandemi adalah hal yang wajar. Hal yang harus diingat adalah virus ini belum benar-benar hilang. COVID-19 hanya mengalami mutasi dan menular lebih cepat, meski gejalanya masih ringan.
Lebih lanjut dr Agung menjelaskan, kenaikan kasus COVID-19 di dunia saat ini dipicu oleh 3 faktor yakni munculnya varian baru, penurunan kekebalan populasi, serta perubahan perilaku masyarakat pasca pandemi.
“Varian baru ini merupakan hasil mutasi Omicron, mulai dari JN.1 hingga NB.1.8.1. Varian NB.1.8.1 ini dikenal dengan nama Nimbus. Nimbus memiliki perbedaan struktur spike yang sangat signifikan dari varian Omicron sebelumnya,” ujar dr Agung dikutip dari laman resmi Unair, Selasa (10/6/2025).
Ia menuturkan, mutasi seperti Omicron dan Nimbus mampu menghindari sistem kekebalan yang terbentuk tubuh, termasuk dari vaksin generasi awal. Hal ini yang membuat varian baru meningkatkan risiko penyebaran.
Perubahan cuaca juga dinilai berkontribusi menurunkan daya tubuh. dr Agung menuturkan perubahan musim yang seharusnya panas berubah menjadi dingin dan hujan, merupakan kondisi yang ideal untuk penyebaran COVID-19.
Situasi ini disebut mirip ketika virus SARS-CoV-2 ini pertama kali menyebar secara global.
Minumnya pemeriksaan dan pelacakan membuat infeksi COVID-19 tidak terdeteksi. Banyak orang mungkin yang mengalami batuk atau pilek tidak mengetahui apakah terinfeksi COVID-19.
“Perubahan musim ini memicu penurunan kekebalan tubuh masyarakat. Sementara itu, banyak orang merasa COVID-19 sudah tidak ada sehingga mereka mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, tidak adanya pemeriksaan bukan berarti virus benar-benar hilang,” terangnya.
NEXT: Persebaran Varian Nimbus
Varian Nimbus pertama kali terdeteksi pada akhir Januari 2025 di wilayah Asia. Hingga 23 Mei 2025, WHO mencatat COVID-19 varian Nimbus sudah terdeteksi di sekitar 22 negara.
Salah satunya seperti di Amerika Serikat, khususnya di negara bagian New York, California, Arizona, Ohio, Rhode Island, Washington, Virginia, dan Hawaii. Beberapa negara lain seperti Singapura, Thailand, Australia, Kanada, Hong Kong, dan Korea Selatan juga mendeteksi varian serupa.
Beberapa pasien yang terpapar varian Nimbus mengalami gejala seperti demam, menggigil, batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, kelelahan, sulit bernapas, dan diare.

Foto Health
Grandyos Zafna – detikHealth
Selasa, 10 Jun 2025 18:30 WIB
Jakarta – Pemprov DKI tengah merancang subsidi layanan kesehatan hewan bagi warga tidak mampu. Program akan dilaksanakan di Puskeswan milik pemerintah daerah.

Jakarta –
Varian COVID-19 baru ‘Nimbus’ tengah diawasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena kemunculannya telah menyebabkan peningkatan infeksi di beberapa wilayah di dunia. Sejauh ini ada sekitar 22 negara yang melaporkan varian COVID-19 ‘Nimbus’ di antaranya Singapura dan Thailand.
Berbeda dari negara tetangga, Indonesia sejauh ini belum melaporkan adanya kasus COVID-19 varian Nimbus atau NB.1.8.1 itu. Kementerian Kesehatan RI mengatakan pihaknya baru bisa memastikan setelah dilakukan pengecekan dengan tes whole genome sequencing.
“Sampai Minggu ke-23, Subvarian yang masih bersirkulasi di Indonesia adalah MB.1.1 dan KP.2.18, secara umum memiliki karakteristik yang sama dengan JN.1 (penilaian risiko rendah),” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman saat dihubungi detikcom, Selasa (10/6/2025).
Varian ‘Nimbus’ masih merupakan turunan dari sub-varian Omicron, varian COVID-19 yang dikenal dengan gejala relatif ringan. Secara umum, gejala masih sama antara lain fatigue atau kelelahan, batuk ringan, demam, nyeri otot, dan hidung tersumbat.
Varian COVID-19 ‘Nimbus’ memiliki mutasi yang dapat meningkatkan daya tularnya dan memungkinkannya lolos dari antibodi tertentu. Meskipun demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa tidak ada bukti bahwa varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan varian lain yang saat ini beredar.
NEXT: Daftar Negara yang Melaporkan Varian COVID-19 Nimbus
Berikut adalah beberapa negara yang sudah mendeteksi varian Nimbus:
Singapura: 366 kasusThailand: 176 kasusAmerika Serikat: 148 kasusAustralia: 188 kasusKanada: 108 kasusSelandia Baru: 92 kasusHong Kong: 77 kasusTaiwan: 48 kasusKorea Selatan: 47 kasusInggris: 29 kasusPrancis: 29 kasus

Jakarta –
Belimbing wuluh adalah buah kecil berwarna hijau dengan rasa asam yang menyengat. Seringkali, buah ini digunakan sebagai bahan pelengkap dalam masakan.
Namun, tak hanya itu, belimbing wuluh ternyata juga mengandung banyak manfaat kesehatan. Ada kandungan vitamin C, vitamin B, kalsium, zat besi, flavonoid, hingga tanin dalam buah asam ini.
Manfaat Belimbing Wuluh
Selain aromanya yang menyegarkan, belimbing wuluh memberikan banyak manfaat untuk kesehatan. Berikut di antaranya:
Belimbing wuluh bermanfaat dalam mengendalikan kadar gula darah, dengan memantau aktivitas insulin di dalam tubuh. Dikutip dari laman NetMeds, flavonoid dan serat yang tinggi dalam belimbing wuluh dapat mencegah lonjakan kadar glukosa darah secara tiba-tiba setelah makan, sehingga membantu mengendalikan gejala diabetes.
Belimbing wuluh dapat menjadi obat alami untuk menurunkan tekanan darah berkat kandungan antioksidan dan proteinnya. Mengonsumsi belimbing wuluh yang direbus dalam air panas membantu menurunkan tekanan darah tinggi dalam pembuluh darah, dengan memperlebar arteri, vena, dan kapiler, serta merelaksasikan otot.
Belimbing wuluh dapat mengatasi batuk. Khasiat ini karena kandungan saponin triterpen dalam belimbing wuluh bisa memberi efek antitusif dan ekspektoran yang membantu menyembuhkan batuk. Vitamin C nya juga bisa berperan dalam meningkatkan kekebalan tubuh.
Belimbing wuluh mengandung banyak kalsium yang meningkatkan kepadatan tulang dan menjaga struktural kerangka dalam tubuh. Makan ekstrak belimbing dalam bentuk kering yang ditambahkan ke kari atau sebagai acar dapat memperkuat tulang.
Mengandung fitonutrien yang memiliki khasiat analgesik dan antiradang yang kuat, belimbing wuluh menjadi obat untuk mengurangi nyeri otot dan meredakan kram. Minum jus belimbing wuluh dapat menyembuhkan nyeri, ketidaknyamanan, dan kekakuan pada otot dan sendi.
Sebuah jurnal di tahun 2015 menunjukkan bahwa kandungan saponin dalam belimbing wuluh memiliki aktivitas inflamasi, karena telah terbukti menghambat pelepasan zat proinflamasi yang distimulasi lipoposakarida. Dikutip dari laman Kemenkes, serat dalam belimbing wuluh juga membantu mengikat kolesterol dan membuangnya dari tubuh, sehingga bisa membantu mengurangi kadar kolesterol dalam darah.
Dalam penelitian Pengaruh Pemberian Infus Buah Belimbing Wuluh terhadap Kadar Kolesterol Darah Tikus, sebanyak 3,6 g dan 5,4 g belimbing wuluh menurunkan kolesterol darah tikus seberat 200 g. Dosis 5,4 g memberi efek yang setara dengan gemfibrozil 10,8 mg.
(elk/tgm)

Jakarta –
Banyak penyakit telah dikenali dan didokumentasikan selama berabad-abad, termasuk beberapa yang masih menjadi ancaman hingga saat ini. Beberapa penyakit tertua yang diketahui meliputi rabies, kusta, trakoma, cacar, malaria, tuberkulosis, dan kolera.
Beberapa penyakit, yang dulu tersebar luas dan mematikan, kini sebagian besar telah diberantas atau dikendalikan berkat kemajuan dalam kesehatan masyarakat dan vaksinasi, seperti cacar yang telah dinyatakan musnah. Namun, masih ada juga yang terus mewabah sampai saat ini.
Berikut adalah lima penyakit dengan sejarah panjang yang masih kita lawan hingga kini:
1. Malaria
Ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, parasit malaria menjadi penyebab lebih dari 620 ribu kematian setiap tahun di seluruh dunia, sebagian besar pada anak-anak di bawah usia lima tahun. Selama bertahun-tahun, ilmuwan telah mencoba berbagai pengobatan malaria, mulai dari menambahkan minyak ke genangan air untuk mematikan larva nyamuk, menggunakan pestisida, vaksin, kelambu, hingga solusi berteknologi tinggi seperti laser.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa malaria bertanggung jawab atas setengah dari semua kematian manusia sejak Zaman Batu. Statistik tersebut memperpanjang asal usul penyakit ini hingga ke masa lampau, setelah pertama kali disebutkan secara pasti dalam “Nei Ching” (“Kanon Kedokteran”) Tiongkok, sekitar tahun 2700 SM.
Di Indonesia sendiri, malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, meskipun upaya eliminasi terus digalakkan.
2. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis dianggap sebagai salah satu penyakit tertua dalam sejarah manusia, dengan bukti keberadaannya yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Sisa-sisa kerangka kuno, mumi, dan catatan tertulis dari berbagai budaya, termasuk Mesir, India, dan Cina, menunjukkan tanda-tanda TBC.
Misalnya, arkeolog telah menemukan kuman TB pada sisa-sisa seorang ibu dan anak di Atlit Yam, sebuah kota yang kini tenggelam di lepas pantai Israel, yang sudah ada sejak 9.000 tahun lalu. Selain itu, para peneliti telah menemukan bukti TB pada mumi dari Mesir kuno.
Hingga saat ini, TBC masih menjadi penyakit yang mewabah di Indonesia, dengan perkiraan 1 juta kasus baru setiap tahun, menjadikannya salah satu beban kesehatan terbesar di tanah air.
3. Rabies
Rabies juga menjadi salah satu penyakit tertua yang masih mengancam banyak orang karena kemampuannya membajak otak inangnya. Rabies telah tercatat dalam sejarah sejak tahun 2300 SM.
Meskipun kasus manusia jarang terjadi di negara-negara maju, penyakit ini masih menjadi ancaman serius di banyak negara berkembang. Kisah Jeanna Giese, seorang remaja dari Wisconsin yang pada tahun 2004 menjadi orang pertama yang diketahui selamat dari rabies tanpa vaksinasi (setelah digigit kelelawar), menjadi sorotan atas perkembangan medis yang luar biasa.
Di Indonesia, rabies masih menjadi perhatian, terutama di beberapa provinsi yang belum bebas rabies, dengan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) yang masih dilaporkan setiap tahun.
NEXT: Trakoma dan Kusta
4. Trakoma
Trakoma adalah infeksi kronis pada kelopak mata atas yang akhirnya menyebabkan kelopak mata menyempit dan bulu mata mengarah ke kornea. Seiring berjalannya waktu, gesekan pada kelopak mata yang menyempit dan terutama bulu mata membuat pasien menjadi buta. Inilah yang terjadi pada tokoh-tokoh sejarah seperti Aetius, Paulus Aeginetus, Alexander, Trailaus, Horace, dan Cicero. Trakoma juga dijelaskan dalam karya Hipokrates dan papirus Ebers Mesir.
Berkat upaya kesehatan masyarakat dan program eliminasi global, Indonesia telah dinyatakan bebas Trakoma sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh WHO pada tahun 2023. Ini adalah pencapaian signifikan dalam upaya memberantas penyakit kuno ini.
5. Kusta
Bukti penyakit kusta telah ditemukan dalam teks-teks kuno dan sisa-sisa kerangka, yang berasal dari ribuan tahun yang lalu. Penyakit ini diyakini berasal dari India, tetapi prevalensinya tersebar luas di berbagai wilayah di dunia, termasuk Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika. Bukti kusta yang paling kuno berasal dari kerangka manusia berusia 4.000 tahun yang ditemukan di India pada tahun 2009, yang memiliki pola erosi mirip dengan penderita kusta di Eropa Abad Pertengahan.
Tidak ada yang tahu bagaimana kusta muncul, atau mengapa di beberapa bagian dunia penyakit ini lebih menyebar dibanding di tempat lain.
Meskipun jumlah kasus menurun drastis secara global, kusta masih ditemukan di Indonesia, dan upaya deteksi dini serta pengobatan masih terus dilakukan untuk mencapai eliminasi total penyakit ini sebagai masalah kesehatan masyarakat.