Category: Detik.com Kesehatan

  • COVID Thailand Tembus 420 Ribu Kasus di 2025, Meninggal 112

    COVID Thailand Tembus 420 Ribu Kasus di 2025, Meninggal 112

    Jakarta

    Departemen Pengendalian Penyakit (DDC) Thailand melaporkan 14.716 kasus baru COVID-19 dan sembilan kematian pada Senin (9/6/2025). Total kasus infeksi sejak 1 Januari 2025 kini menjadi 420.937 kasus dan 112 kematian.

    Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terdiri dari Bangkok, Chonburi, Nonthaburi, Nakhon Ratchasima, dan Saraburi.

    Direktur Jenderal DDC, Dr Panumas Yanawetsakul mengatakan pada Selasa (10/6), infeksi pernapasan, termasuk COVID-19 dan influenza, cenderung melonjak selama musim hujan.

    “Penyakit ini biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri dan menyebar dengan mudah melalui droplet dari batuk atau bersin, kontak dengan permukaan yang terkontaminasi, atau kontak dekat dengan orang yang terinfeksi,” jelasnya yang dikutip dari Nation Thailand.

    Sebagai pencegahan penularan, Dr Panumas mengimbau masyarakat, terutama kelompok berisiko tinggi seperti anak-anak, lansia, orang dengan penyakit kronis, dan ibu hamil di atas usia kehamilan 12 minggu untuk memantau kesehatan mereka.

    “Jika Anda mengalami gejala seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, atau pilek harus menggunakan masker, mengisolasi diri, dan segera mencari pertolongan medis,” tambahnya.

    Dr Panumas juga memperingatkan, orang yang berisiko tinggi lebih mungkin mengalami komplikasi parah atau meninggal jika terinfeksi COVID-19.

    (sao/suc)

  • Gejala Keracunan Kentang Bertunas, Segera ke RS Sebelum Telat

    Gejala Keracunan Kentang Bertunas, Segera ke RS Sebelum Telat

    Jakarta – Kentang merupakan sayuran bergizi dan serba guna serta kaya akan serat, vitamin dan mineral. Meskipun aman untuk dimakan, kentang yang bertunas atau memiliki bintik-bintik hijau mengandung racun alami yang dapat membuat seseorang jatuh sakit setelah dikonsumsi.

    Dikutip dari Healthline, kentang merupakan sumber alami solanin dan chaconin, dua senyawa glikoalkaloid yang secara alami ditemukan dalam berbagai makanan lain, termasuk terong dan tomat.

    Dalam jumlah kecil, glikoalkaloid dapat memberikan manfaat kesehatan, termasuk sifat antibiotik dan efek penurun kadar gula darah dan kolesterol. Namun, senyawa ini dapat menjadi racun jika dikonsumsi secara berlebihan.

    Pada dosis rendah, konsumsi glikosida yang berlebihan biasanya menyebabkan:

    muntahdiaresakit perutsakit kepalagelisah

    Bila dikonsumsi dalam jumlah besar, dapat menyebabkan tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, demam, sakit kepala, kebingungan, dan dalam beberapa kasus, bahkan kematian.

    Ada beberapa kasus kematian langka setelah memakan kentang beracun, menurut sebuah studi tahun 2024 dalam Journal of Experimental and Basic Medical Sciences, gejala biasanya muncul dalam beberapa jam, tetapi dalam beberapa kasus bisa memakan waktu hingga satu hari.

    Keracunan kentang bertunas dapat diminimalisir dengan hanya membeli kentang saat membutuhkannya dan menyimpan kentang di wadah yang sejuk dan kering.

    Kentang harus disimpan dalam wadah yang dapat menyerap udara. Jangan simpan kentang dalam wadah tertutup. Jika sudah ragu dengan kondisi kentang, jangan dimakan, buang saja.

    (kna/kna)

  • Ramai di Asia Soal COVID Nimbus: Indonesia Gimana?

    Ramai di Asia Soal COVID Nimbus: Indonesia Gimana?

    Jakarta – Setelah hampir tidak terdengar istilah COVID-19 sejak akhir dari masa pandemi pada tahun 2021, kali ini virus tersebut kembali muncul. Peningkatan kasus COVID-19 di beberapa negara Asia tengah menjadi sorotan. Meski belum separah saat pandemi, hal ini menjadi semacam peringatan kepada para tenaga kesehatan.

    COVID-19 varian ‘Nimbus’ menjadi biang kerok dari melonjaknya kasus COVID-19 di wilayah Asia. Varian ini pertama kali diidentifikasi pada akhir Januari 2025, varian tersebut memiliki nama resmi NB.1.8.1 dan merupakan turunan dari subgaris COVID jenis Omicron.

    Hingga bulan Mei kemarin, terdapat 22 negara yang mendeteksi varian Nimbus di wilayahnya. Beberapa pasien yang terpapar virus ini melaporkan gejala seperti demam, menggigil, batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, kelelahan, kesulitan bernapas, hingga diare.

    Kasus COVID Nimbus ini juga tidak lepas dari pengamatan tenaga kesehatan dalam negeri. Pakar Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) Dr dr Agung Dwi Wahyu Widodo, MSi, SpMK mengimbau untuk tetap meningkatkan kewaspadaan.

    Dirinya menjelaskan jika kenaikan kasus COVID-19 di dunia saat ini dipicu oleh 3 faktor. Faktor pertama adalah munculnya varian baru, kedua penurunan kekebalan populasi dan ketiga yaitu perubahan perilaku masyarakat pasca pandemi. Perubahan cuaca dinilai juga ambil peran dalam menurunkan daya tahan tubuh.

    Dikutip dari detikHealth, “Perubahan musim ini memicu penurunan kekebalan tubuh masyarakat. Sementara itu, banyak orang merasa COVID-19 sudah tidak ada sehingga mereka mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, tidak adanya pemeriksaan bukan berarti virus benar-benar hilang,” terangnya.

    Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI, situasi terkini kasus COVID-19 di Indonesia mengalami peningkatan 8 persen, dari minggu sebelumnya yang hanya 4 persen. Data ini diambil pada minggu ke-22 tahun 2025 (22-31 Mei). Total terdapat 75 kasus positif COVID-19 yang tercatat di Indonesia pada 2025.

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin memberikan tanggapannya terkait peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia.

    “Betul ada peningkatan kasus COVID di negara ASEAN, kita aja juga ada kenaikan sedikit. Jadi temen-temen tetap waspada, kalau ada batuk-batuk segera dites,” katanya saat ditemui di acara RSHS Bandung, dikutip dari detikJabar, Rabu (10/6)

    Meski begitu, ia meminta kepada masyarakat untuk tak perlu khawatir karena varian COVID-19 yang ada saat ini relatif lemah dan kasusnya masih di bawah 1 persen. Dirinya juga menyarankan untuk segera melakukan tes apabila mengalami gejala batuk. Lalu, apa saja yang perlu diperhatikan masyarakat terkait peningkatan kasus COVID varian Nimbus ini? Seperti apa gejala awalnya? Simak obrolannya bersama redaktur detikHealth.

    Beralih ke Jawa Timur, Detiksore akan membahas terkait polemik Jukir Liar yang sedang diberantas oleh Walikota Surabaya Eri Cahyadi. Mengutip detikJatim Eri menegaskan bahwa TNI dan Polri menyatakan siap membantu Pemkot Surabaya memberantas jukir liar di minimarket dan berbagai tempat lainnya. Terutama jika jukir liar itu ternyata terafiliasi dengan kelompok preman di Surabaya. Dia meminta masyarakat aktif melapor bila menemukan mereka. Seberapa parah polemik jukir liar di Surabaya ? Apakah akan ada peraturan baru terkait jukir liar di Surabaya? ikuti laporan nya bersama detikJatim hanya di detiksore.

    Pada penghujung acara nanti, detikSore kembali menghadirkan pakar perencanaan keuangan Firman Marihot. Dirinya akan membagikan ilmu investasi menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI). Awalnya AI diciptakan untuk membantu, bukan menggantikan kemampuan berpikir manusia. Masalahnya, saat ini semakin banyak orang menyerahkan semua keputusan ke AI. Hal itu secara tidak sadar membuat kita terlalu nyaman, terlalu percaya, dan lupa bahwa AI itu buatan manusia. Kalau kita tidak hati-hati, kita bisa jadi manusia yang dikendalikan mesin – bukan sebaliknya. Seberapa besar keuntungan dalam berinvestasi menggunakan AI? Apakah malah banyak kerugiannya? Simak diskusinya hanya di Sunsetalk.

    Ikuti terus ulasan mendalam berita-berita hangat detikcom dalam sehari yang disiarkan secara langsung langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 15.30-18.00 WIB, di 20.detik.com dan TikTok detikcom. Sampaikan komentar Anda melalui kolom live chat yang tersedia.

    “Detik Sore, Nggak Cuma Hore-hore!”

    (far/far)

  • Nenek Umur 71 Tewas Terinfeksi Amoeba Pemakan Otak, Tertular dari Air Keran

    Nenek Umur 71 Tewas Terinfeksi Amoeba Pemakan Otak, Tertular dari Air Keran

    Jakarta

    Seorang nenek di Texas, Amerika Serikat, meninggal karena infeksi yang disebabkan oleh amuba pemakan otak beberapa hari setelah ia membersihkan sinusnya menggunakan air keran.

    Menurut laporan CDC, nenek berusia 71 tahun yang digambarkan sehat sebelum infeksi itu, mengalami gejala neurologis yang parah termasuk demam, sakit kepala dan perubahan status mental, empat hari setelah mencuci hidungnya dengan air keran

    Ia dirawat karena meningoensefalitis amuba primer, infeksi otak yang disebabkan oleh Naegleria fowleri, yang sering disebut sebagai ‘amoeba pemakan otak’.

    “Meskipun telah dirawat, wanita tersebut mengalami kejang dan meninggal karena infeksi tersebut delapan hari setelah ia mengalami gejala,” kata badan kesehatan AS itu.

    Tes laboratorium mengonfirmasi adanya amoeba dalam cairan serebrospinal wanita tersebut.

    Sebuah penyelidikan yang dilakukan oleh CDC menemukan bahwa wanita tersebut belum lama ini terpapar air tawar tetapi telah melakukan irigasi hidung menggunakan air yang tidak direbus dari keran air.

    Tangki air minum, menurut penyelidikan, telah diisi sebelum wanita tersebut membeli RV tiga bulan lalu dan dapat berisi air yang terkontaminasi. Penyelidikan tersebut juga menyimpulkan bahwa sistem air kota, yang terhubung ke sistem air minum dan melewati tangki, dapat menyebabkan kontaminasi.

    (kna/kna)

  • Rutin Minum Kopi Tanpa Gula Punya Efek Ini

    Rutin Minum Kopi Tanpa Gula Punya Efek Ini

    Jakarta – Bagi sebagian orang, kopi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rutinitas harian. Kopi memiliki citarasa yang pahit, tapi menyimpan sejumlah manfaat untuk kesehatan.

    Meski demikian, menambahkan gula ke secangkir kopi bisa mengurangi manfaat yang ditawarkan. Ketahui sejumlah manfaat kesehatan saat rutin mengkonsumsi kopi pahit atau tanpa gula berikut ini.

    Manfaat Rutin Minum Kopi Tanpa Gula

    Dikutip dari Healthline, minum kopi tanpa gula dapat menurunkan risiko terkena diabetes tipe 2, menyehatkan otak, serta meningkatkan suasana hati. Berikut penjelasannya.

    Menurut penelitian, minum kopi hitam pahit secara teratur bisa menurunkan risiko terkena diabetes tipe 2. Salah satu studi menunjukkan bahwa setiap secangkir kopi bisa menurunkan risiko diabetes hingga 11 persen.

    2. Menyehatkan Otak

    Kopi bisa membantu melindungi dari gangguan neurodegeneratif tertentu, seperti penyakit alzheimer dan parkinson. Salah satu penelitian menemukan, orang yang rutin mengonsumsi kafein memiliki risiko terkena penyakit parkinson lebih rendah. Tak hanya itu, konsumsi kafein juga bisa memperlambat perkembangan penyakit parkinson.

    3. Membantu Mengelola Berat Badan

    Peneliti menemukan bahwa kopi hitam bisa membantu mengelola berat badan. Sebuah studi menunjukkan bahwa minuman berkafein, seperti kopi cenderung tidak menyebabkan berat badan naik.

    Studi lainnya membuktikan bahwa minum minuman berkafein 30 menit hingga 4 jam sebelum makan bisa mengurangi nafsu makan. Meski demikian, perlu diketahui bahwa manfaat ini bisa berkurang jika kopi ditambah krimer dan zat pemanis lainnya.

    4. Meningkatkan Energi

    Kafein dalam kopi dapat membantu meningkatkan energi dan melawan rasa lelah. Sebab, kafein bisa memblokir neurotransmitter yang dikenal dengan adenosin. Sehingga, kadar neurotransmitter lain di otak yang mengatur tingkat energi meningkat.

    5. Mengurangi Risiko Kanker

    Asupan kopi bisa membantu menurunkan risiko terkena beberapa jenis kanker, seperti kanker payudara, kolorektal, dan hati. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian. Menurut para ilmuwan, manfaat ini disebabkan oleh antioksidan dalam kopi yang membantu melindungi sel-sel tubuh dari radikal bebas.

    6. Meningkatkan Suasana Hati

    Kandungan kafein juga bisa membantu meningkatkan suasana hati. Menurut penelitian, konsumsi empat cangkir kopi atau lebih dalam sehari bisa membantu mengurangi depresi.

    Asupan kopi tanpa gula disarankan tidak lebih dari empat cangkir dalam sehari. Perlu diketahui bahwa beberapa orang perlu membatasi asupan kopi, seperti orang hamil atau menyusui, anak-anak dan remaja, sera orang dengan kondisi kesehatan tertentu

    (elk/tgm)

  • India Membara! Dilanda Gelombang Panas, Suhunya Bisa Tembus 47 Derajat Celcius

    India Membara! Dilanda Gelombang Panas, Suhunya Bisa Tembus 47 Derajat Celcius

    Jakarta

    Gelombang panas atau heatwave yang menyengat melanda India bagian utara, dengan suhu yang melonjak di atas normal. Kondisi ini tentunya mengganggu kehidupan sehari-hari dan menimbulkan masalah kesehatan.

    Departemen Meteorologi India mengungkapkan pada Senin (9/6/2025), suhu udara melonjak hingga 47,3 derajat Celsius di Sri Ganganagar, sebuah kota gurun di negara bagian barat laut Rajasthan.

    Panas yang menyengat membuat infrastruktur kesehatan negara menjadi kewalahan. Paparan suhu ekstrem yang berkepanjangan sering kali menyebabkan sengatan panas atau heat stroke, yang sangat berdampak pada orang yang bekerja di luar ruangan, anak-anak, dan orang tua.

    Tahun lalu, gelombang panas selama berbulan-bulan di seluruh wilayah India. Menurut data Kementerian Kesehatan India, kondisi tersebut menewaskan lebih dari 100 orang dan menyebabkan lebih dari 40 ribu kasus dugaan heat stroke.

    Pada Senin (9/6), ibu kota India yakni New Delhi mengalami gelombang panas pertama musim ini dengan suhu yang melonjak hingga lebih dari 45 derajat Celsius. Cuaca panas yang menyengat tidak hanya sekedar angka karena suhu yang dirasakan, indeks panas yang memperhitungkan kelembapan relatif lebih tinggi beberapa tingkat.

    Seorang pengemudi becak, Pradeep Kumar, sangat merasakan dampak panas yang menyengat itu dan berpengaruh pada kesehatannya. Hal ini juga mempengaruhi pendapatannya karena orang-orang menghindari perjalanan pulang pergi di siang hari.

    “Panas ini membuat kami sangat lelah. Kami minum air untuk bertahan. Tetapi, kesehatan kami sering kali terganggu. Saya merasa terganggu,” tutur Kumar yang dikutip dari South China Morning Post.

    Departemen cuaca telah mengeluarkan peringatan gelombang panas untuk beberapa hari ke depan di India utara yang mencakup negara bagian Rajasthan, Uttar Pradesh, Haryana, dan wilayah ibu kota nasional New Delhi.

    Beberapa bagian wilayah tersebut mungkin akan mengalami hujan ringan mulai hari Kamis (12/6), yang akan membawa kelegaan.

    Gelombang panas ini juga dirasakan oleh seorang turis dari Amerika Serikat, Ryan Rodriguez. Pria 22 tahun itu mengonsumsi minuman dingin untuk menyejukkan dirinya di Delhi.

    “Cuaca di sini cukup panas. Saya baru saja datang dari perjalanan ke Timur Tengah, jadi saya masih beradaptasi. Tetapi, (cuaca di sini) jauh lebih panas daripada Virginia. Sejauh ini saya belum pernah melihat cuaca yang lebih panas dari ini di India,” kata Rodriguez.

    Di Uttar Pradesh, gelombang panas yang menyiksa membuat masyarakat sulit karena masalah jaringan listrik.

    “Tidak ada cahaya selama berjam-jam di sore hari, tepat saat panasnya tak tertahankan. Kipas angin berhenti, pendingin tidak berfungsi, dan kami hanya bisa duduk di lantai, basah kuyup oleh keringat,” beber Shabnam Khan, seorang ibu rumah tangga di Lucknow, Uttar Pradesh.

    Ilmuwan senior di Pusat Meteorologi Regional di Lucknow, Atul Kumar Singh, mengatakan gelombang panas di musim panas yang brutal ini masih akan terus berlangsung. Sebab, hujan monsun musiman masih beberapa minggu lagi.

    “Kami melihat yang terburuk dari panas dan kelembaban. Ini bukan lagi sekadar masalah ketidaknyamanan. Ini telah menjadi keadaan darurat kesehatan masyarakat,” pungkasnya.

    (sao/kna)

  • Jangan Makan Kentang yang Sudah Bertunas, Sefatal Ini Efeknya ke Tubuh

    Jangan Makan Kentang yang Sudah Bertunas, Sefatal Ini Efeknya ke Tubuh

    Jakarta – Viral di media sosial unggahan yang menyebut pasangan suami istri meninggal setelah mengonsumsi kentang bertunas. Kabar ini menjadi sorotan karena memicu kekhawatiran terkait konsumsi makanan sehari-hari.

    “Bahaya banget, inget dosenku pernah bilang kalau umbi-umbian udh bertunas dia bukan makanan lagi,” tulis seorang pengguna X menanggapi unggahan tersebut.

    Jika disimpan terlalu lama, kentang dapat mulai bertunas, sehingga menimbulkan perdebatan mengenai apakah kentang aman untuk dimakan.

    Di satu sisi, sebagian orang menganggap kentang yang bertunas aman untuk dimakan, asalkan membuang tunasnya. Di sisi lain, banyak yang memperingatkan bahwa kentang yang bertunas beracun dan dapat menyebabkan keracunan makanan dan bahkan kematian.

    Mengapa makan kentang bertunas bahaya?

    Kentang bertunas berarti kadar racunnya terlalu tinggi dan kentang tidak lagi aman untuk dikonsumsi. Menurut Andrew Stolbach, MD, MPH, seorang ahli toksikologi dan dokter gawat darurat di Departemen Kedokteran Gawat Darurat di Johns Hopkins Hospital, glikosida dalam kentang yang bertunas dapat menyebabkan beberapa gejala yang cukup tidak nyaman bagi tubuh.

    “Glikoalkalkoid menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti kram, diare, mual, dan muntah. Secara teori, mengonsumsi kentang bertunas bisa bikin tekanan darah turun, mengalami demam, gejala neurologis bahkan meninggal, tetapi ini jarang terjadi,” kata Stolbach kepada Eating Well.

    “Kebanyakan orang hanya akan mengalami gangguan gastrointestinal ringan,” sambung dia.

    Menurut sebuah studi tahun 2024 di Journal of Experimental and Basic Medical Sciences, ada beberapa kasus kematian langka setelah memakan kentang beracun. Gejala biasanya muncul dalam beberapa jam, tetapi dalam beberapa kasus bisa memakan waktu hingga satu hari.

    Umumnya, keracunan akibat kentang beracun dapat diobati di rumah. Pada akhirnya, cara terbaik untuk melindungi diri sendiri adalah membuang kentang yang bercak hijau atau bertunas.

    Bisa juga dengan membuang bagian yang berwarna hijau dan memasaknya bersamaan dengan kentang lain, meski hal ini tidak disarankan.

    “Bahan kimia alami ini tidak hilang dengan menggoreng, memanggang, memanaskannya dalam microwave, atau merebus. Memotong tunas dan kulit hijau akan mengurangi, tetapi tidak menghilangkan, paparan Anda,” tandasnya.

    (kna/kna)

  • Pengakuan Pasien Terpapar COVID-19 Varian ‘Nimbus’, Ini Gejala yang Dirasakan

    Pengakuan Pasien Terpapar COVID-19 Varian ‘Nimbus’, Ini Gejala yang Dirasakan

    Jakarta

    Varian COVID-19 baru NB.1.8.1 kini tengah menyebar di sejumlah negara, termasuk Thailand dan Singapura. Varian ini disebut sebagai ‘Nimbus’ atau dalam ilmu cuaca merujuk pada salah satu awan berwarna abu-abu gelap dan tebal yang menyebabkan hujan. Nama resminya adalah varian COVID-19 NB.1.8.1.

    Seorang ahli epidemiologi di China, Dr Zhong Nanshan, mengungkapkan varian ‘Nimbus’ ini memiliki gejala yang khas yakni sakit tenggorokan. Banyak pasien yang melaporkan gejala sakit tenggorokan seperti ‘tersayat pisau cukur atau pecahan kaca’.

    Banyak warga China yang memposting di media sosial, salah satunya Weibo, mereka tertular COVID-19 dan menunjukkan gejala yang menyakitkan. Hal itu bahkan membuat mereka merasa seperti kehabisan tenaga.

    Varian NB.1.8.1 telah menyebabkan lonjakan kasus COVID-19 di sejumlah negara, termasuk China. Berdasarkan data dari Maret-Mei, pasien yang dirawat di UGD yang dites positif COVID-19 naik dari 7,5 menjadi 16,2 persen.

    Analisis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan varian ‘Nimbus’ lebih menular. Namun, masih belum ada bukti bahwa varian tersebut dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah atau kematian.

    Pengakuan Pasien soal Gejala Akibat Varian ‘Nimbus’

    Selain sakit tenggorokan, pasien yang terinfeksi varian ‘Nimbus’ juga melaporkan gejala yang mirip dengan varian sebelumnya, seperti batuk, demam, nyeri otot, dan hidung tersumbat. Dr Nanshan juga mengatakan gelombang COVID-19 saat ini tidak jauh berbeda dari yang sebelumnya.

    “Namun kali ini, laporan klinis menunjukkan bahwa gejala radang tenggorokan akibat silet lebih jelas, dan batuknya lebih banyak,” bebernya yang dikutip dari Daily Mail.

    Melalui unggahan media sosial Weibo, warga China juga mengungkapkan gejala yang muncul akibat varian ‘Nimbus’.

    “Saat makan siang beberapa hari yang lalu, seorang kolega batuk sangat parah hingga saya pikir dia tersedak makanan,” tulis seorang warga di Weibo.

    “Dia mengatakan itu adalah efek yang masih ada dari gelombang COVID ini. Ketika saya bertanya tentang gejala utamanya, dia mengatakan radang tenggorokan yang seperti tersayat silet,” sambungnya.

    Warga lainnya juga mengungkapkan keluhan yang hampir sama, yakni sakit tenggorokan.

    “Saya pernah terserang radang tenggorokan seperti tersayat silet, dan merasa sangat lelah,” katanya.

    Seorang warga juga menyebutkan gejala yang sama. Radang tenggorokan menjadi tanda atau gejala yang pertama kali terasa.

    “Radang tenggorokan akibat silet pasca COVID sangat parah. Bengkak, nyeri, dan saya hampir tidak bisa bicara. Adakah pengobatan yang cepat?” tulisnya.

    (sao/suc)

  • Kini Ada Nimbus, Ternyata Ini Alasan Varian Baru COVID-19 Bermunculan

    Kini Ada Nimbus, Ternyata Ini Alasan Varian Baru COVID-19 Bermunculan

    Jakarta

    Baru-baru ini, sejumlah negara melaporkan peningkatan kasus COVID-19, termasuk di Indonesia. Hal ini biasanya tak luput dari kemunculan varian baru COVID-19, seperti XFG, NB.1.8.1 atau varian nimbus, hingga MB.1.1 dan KP.2.18.

    Varian XFG misalnya, saat ini tengah merebak di India. XFG ini merupakan varian rekombinan atau hasil dari gabungan materi genetik dari dua varian berbeda yang menginfeksi seseorang secara bersamaan.

    Varian NB.1.8.1 atau varian Nimbus saat ini sudah merebak di 22 negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, hingga Australia. Varian ini juga menjadi dominan di beberapa wilayah Asia, termasuk Singapura, China, hingga Hong Kong. Varian ini bukanlah rekombinan, melainkan sublineage atau turunan dari varian Omicron, khususnya bagian dari keluarga XBB.

    Sementara itu, MB.1.1 dan KP.2.18 adalah varian yang saat ini merebak di Indonesia. Keduanya memiliki karakteristik yang sama dengan JN.1.

    Selain varian-varian tersebut, masih banyak lagi varian COVID yang beredar. Lantas, apa yang menjadi pemicu varian baru terus bermunculan?

    Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan SARS-CoV-2, penyebab COVID-19, adalah virus RNA yang memiliki sifat mudah bermutasi, terutama ketika masih beredar luas di populasi manusia. Setiap kali virus tersebut menginfeksi seseorang, ada peluang terjadinya perubahan atau mutasi genomnya.

    “Mayoritas mutasi ini tidak signifikan, tetapi beberapa mutasi bisa membuat virus lebih menular, lebih mampu menghindari kekebalan, atau bahkan lebih sulit terdeteksi oleh sistem kekebalan tubuh,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (11/6/2025).

    “Varian seperti XFG, MB.1.1, dan NB.1.8.1 adalah bagian dari turunan Omicron varian yang paling dominan saat ini. Mereka berkembang karena seleksi alam, artinya varian yang bisa bertahan dan menyebar lebih baik akan lebih mendominasi,” imbuhnya lagi.

    NEXT: Perlu waspada

    Oleh karena itu, Dicky mengimbau agar masyarakat tetap waspada namun tidak perlu panik. Sejauh ini, lanjutnya, varian baru tersebut belum menunjukkan peningkatan keparahan penyakit secara signifikan jika dibandingkan dengan varian Omicron sebelumnya.

    Meski begitu, ia menilai vaksinasi tetap penting dilakukan, khususnya bagi kelompok rentan. Hal ini dikarenakan penularan virus masih tinggi, terutama di populasi yang imunitasnya mulai menurun, baik karena belum vaksinasi ulang (booster) atau karena infeksi sebelumnya sudah lama terjadi.

    Selain vaksin, perlu juga menggunakan masker di ruangan tertutup dan ramai, terutama saat ada lonjakan kasus atau saat merasa tidak enak badan.

    “Tetap di rumah bila sakit adalah bentuk tanggung jawab sosial untuk mencegah penularan. Perhatikan ventilasi ruangan dan tetap jaga kebersihan tangan,” sambungnya lagi.

  • Dikenal Antivax, Menkes AS Pecat Semua Panel Ahli Komite Vaksin CDC

    Dikenal Antivax, Menkes AS Pecat Semua Panel Ahli Komite Vaksin CDC

    Jakarta – Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan atau Health and Human Services Secretary (HHS) Robert F. Kennedy Jr. mengumumkan bahwa ia akan mencopot semua 17 anggota tetap komite penasihat vaksin Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dan menggantinya dengan anggota baru.

    Komite Penasihat untuk Praktik Imunisasi atau The Advisory Committee for Immunization Pract (ACIP) membuat rekomendasi tentang keamanan, kemanjuran, dan kebutuhan klinis vaksin.

    “Hari ini kami memprioritaskan pemulihan kepercayaan publik di atas agenda pro atau antivaksin tertentu,” kata Kennedy dalam sebuah pernyataan dikutip dari ABC News, Rabu (11/6/2025).

    Dalam siaran pers, HHS mengatakan pemerintahan Biden menunjuk semua 17 anggota ACIP yang sedang menjabat, dengan 13 dari penunjukan tersebut terjadi pada tahun 2024.

    Penunjukan tersebut berarti pemerintahan Trump harus menunggu hingga tahun 2028 sebelum memilih mayoritas anggota komite, menurut Kennedy.

    Kennedy mengatakan mengganti anggota komite yang sedang menjabat akan membantu memulihkan kepercayaan publik.

    “Pembersihan menyeluruh diperlukan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap ilmu vaksin,” pernyataan Kennedy berlanjut.

    “Anggota baru ACIP akan memprioritaskan kesehatan masyarakat dan pengobatan berbasis bukti. Komite tidak akan lagi berfungsi sebagai stempel karet untuk agenda industri yang mencari untung,” sambung dia.

    Kennedy juga menulis bahwa ACIP tidak pernah merekomendasikan vaksin ‘bahkan yang kemudian ditarik karena alasan keamanan.’

    Pertemuan ACIP berikutnya dijadwalkan pada tanggal 25-27 Juni. Kennedy mengatakan pada hari Selasa (10/2) malam bahwa ia akan menunjuk anggota baru dalam “beberapa hari mendatang” dan bahwa mereka akan memilih “dokter dan ilmuwan yang sangat berkualifikasi” dan bukan “anti-vaksin ideologis.”

    Kennedy telah menghadapi kritik atas aktivisme anti-vaksinnya, yang mencakup pendirian lembaga nirlaba anti-vaksin terbesar di negara itu.

    (kna/kna)