Category: Detik.com Kesehatan

  • Benarkah Tubuh Manusia Perlu Berhari-hari untuk Mencerna Mi Instan? Ini Faktanya

    Benarkah Tubuh Manusia Perlu Berhari-hari untuk Mencerna Mi Instan? Ini Faktanya

    Jakarta

    Narasi bahwa mi instan susah dicerna di dalam tubuh viral di berbagai platform media sosial. Ada yang mengatakan butuh 1-2 hari hingga mi instan dapat dicerna dengan sempurna, bahkan ada yang mengatakan hingga 7 hari.

    Klaim ini pun ramai diperbincangkan dan memicu kekhawatiran, terutama terkait dampaknya terhadap sistem pencernaan. Tapi ngomong-ngomong, dari mana sih asal mula muncul pernyataan tersebut?

    Asal Mula Klaim Mi Instan Sulit Dicerna

    Jadi gini. Klaim bahwa mi instan dicerna hingga tujuh hari kerap dikaitkan dengan sebuah eksperimen yang dilakukan Dr Braden Kuo, seorang ahli gastroenterologi di Massachusetts General Hospital, sekitar tahun 2011. Dalam eksperimen tersebut, Dr Kuo menggunakan teknologi kapsul endoskopi untuk mengamati proses pencernaan setelah konsumsi mi instan dan mi buatan tangan.

    Dari pengamatan tersebut, kedua jenis mi pada dasarnya telah mengalami proses pencernaan dalam hitungan jam. Meski demikian, mi instan tampak lebih utuh dalam rekaman dibandingkan mi segar.

    Temuan ini kemudian disalahartikan sebagai bukti bahwa mi instan tidak tercerna atau menetap lama di dalam tubuh. Padahal, perbedaan kondisi konsumsi serta keterbatasan teknologi kapsul endoskopi yang tidak merekam proses pencernaan secara terus-menerus dalam waktu yang sangat panjang-membuat klaim mi instan dicerna hingga berhari-hari dinilai sebagai interpretasi yang keliru.

    Lantas, sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuh untuk mencerna mi instan? Untuk menjawabnya, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana sistem pencernaan manusia bekerja.

    Bagaimana Sistem Pencernaan Bekerja?

    Sistem pencernaan manusia bekerja secara bertahap, dan proses ini juga berlaku saat mengonsumsi mi instan. Pencernaan sebenarnya sudah dimulai sejak mi instan masuk ke mulut, yakni ketika mi dikunyah hingga menjadi lebih halus dan bercampur dengan air liur yang mengandung enzim amilase (ptialin). Enzim ini mulai memecah karbohidrat kompleks dalam mi menjadi bentuk yang lebih sederhana. Pada tahap ini, mi instan berubah dari bentuk padat atau semipadat menjadi bubur lembut (bolus) yang kemudian ditelan menuju lambung.

    Di lambung, bolus makanan bercampur dengan cairan lambung yang mengandung asam klorida (HCl) dan enzim pepsin sehingga proses ini membuat makanan menjadi cairan kental yang disebut kimus.

    Kimus selanjutnya berpindah ke usus halus, tempat sebagian besar proses pencernaan kimia dan penyerapan nutrisi terjadi. Enzim dari pankreas seperti amilase, lipase, dan protease, serta cairan empedu dari hati, bekerja memecah karbohidrat, lemak, dan protein agar dapat diserap oleh tubuh. Proses pencernaan dan penyerapan nutrisi ini umumnya berlangsung dalam hitungan jam.

    Sisa makanan yang tidak tercerna kemudian masuk ke usus besar. Di bagian ini, air diserap kembali dan sisa makanan dipadatkan dengan bantuan aktivitas bakteri usus sebelum akhirnya dikeluarkan sebagai feses. Proses di usus besar inilah yang berkaitan dengan waktu transit makanan, yang dapat berlangsung belasan hingga puluhan jam dan kerap disalahartikan sebagai lamanya waktu pencernaan.

    Secara keseluruhan, waktu transit makanan sejak ditelan hingga sisa pencernaan dikeluarkan dari tubuh berkisar 10-73 jam, atau sekitar 1-3 hari, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah publikasi di Journal of Neurogastroenterology tentang riset waktu transit makanan di saluran pencernaan.

    Durasi ini bisa berbeda-beda tergantung jenis makanan, kandungan serat, asupan cairan, aktivitas fisik, serta kondisi kesehatan pencernaan masing-masing individu.

    Secara ilmiah, komposisi makanan dan pola makan secara keseluruhan sangat memengaruhi waktu pencernaan. Makanan yang kaya serat seperti sayur, buah, dan biji-bijian cenderung mempercepat transit usus dan memperlancar buang air besar karena serat meningkatkan volume tinja dan mempercepat pergerakan melalui saluran cerna, terutama pada individu dengan waktu transit yang lebih lambat sebelumnya. Sebaliknya, makanan tinggi lemak dan rendah serat dapat memperlambat pengosongan lambung dan seluruh proses pencernaan.

    Mi Instan sebagai Produk Ultra Processed Food (UPF)

    Dalam klasifikasi NOVA, mi instan termasuk ultra-processed food (UPF), yakni makanan yang diproduksi melalui berbagai tahapan pengolahan dan mengandung beragam bahan tambahan, seperti perisa buatan, penguat rasa, pengawet, dan pewarna. Jenis makanan ini dirancang agar praktis, tahan lama, dan memiliki cita rasa kuat, namun cenderung rendah serat serta mikronutrien alami yang dibutuhkan tubuh.

    Karena karakteristik tersebut, mi instan kerap diasosiasikan dengan pencernaan yang terasa lebih lambat. Meski demikian, secara medis mi instan tetap dapat dicerna tubuh dalam hitungan jam. Sensasi begah atau perut terasa penuh setelah mengonsumsinya lebih berkaitan dengan kandungan lemak yang dapat memperlambat pengosongan lambung, sehingga makanan bertahan lebih lama sebelum masuk ke usus halus.

    Fenomena serupa juga kerap dialami setelah mengonsumsi makanan tinggi lemak lainnya, seperti gorengan, makanan bersantan kental, atau fast food. Pada jenis makanan tersebut, keluhan seperti cepat begah atau perut terasa penuh juga sering muncul, terutama jika dikonsumsi dalam porsi besar.

    Dalam konteks mi instan, kandungan lemak tidak hanya berasal dari proses penggorengan mi saat produksi, tetapi juga dari minyak dalam bumbu instan. Meski demikian, jumlah lemak dalam satu porsi mi instan umumnya tidak jauh beda dengan porsi gorengan atau makanan cepat saji lainnya. Artinya, rasa begah yang muncul lebih dipengaruhi oleh kombinasi lemak, rendahnya serat, dan pola konsumsi, bukan karena mi instan tidak tercerna atau “menempel” dalam tubuh.

    Jadi, Apakah Mi Instan Aman di Pencernaan?

    Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ultra-processed food (UPF) secara berlebihan berkaitan dengan meningkatnya risiko gangguan pencernaan, obesitas, diabetes tipe 2, hingga penyakit kardiovaskular. Risiko ini lebih dipengaruhi oleh pola dan frekuensi konsumsi jangka panjang, bukan dari konsumsi sesekali.

    Karenanya, mi instan tetap aman dikonsumsi oleh individu sehat asal dengan lebih bijak. Menambahkan sayuran dan sumber protein, mengurangi penggunaan bumbu instan, mencukupi asupan air putih, serta membatasi frekuensi konsumsi dapat membantu menekan dampaknya terhadap kesehatan pencernaan.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video Makanan UPF Jadi Aduan Terbanyak yang Diterima MBG Watch”
    [Gambas:Video 20detik]
    (fti/up)

  • Cerita Psikolog soal Pasien ‘Capek Jadi WNI’, Begini Rasanya Stres Mikir Negara

    Cerita Psikolog soal Pasien ‘Capek Jadi WNI’, Begini Rasanya Stres Mikir Negara

    Jakarta

    Media sosial dihebohkan dengan postingan salah satu psikolog bernama Lya Fahmi setelah ada dua kliennya yang datang ke ruang konseling karena stres akibat situasi negara yang dianggap tak ideal.

    “Baru kali ini terjadi selama 7,5 tahun karirku sebagai psikolog, dua klien berturut-turut datang bukan karena masalah pribadi, tapi distress karena negara,” tulis Lya, dalam unggahan yang direspons lebih dari 100 ribu pengguna Instagram, dikutip detikcom atas izin yang bersangkutan Rabu (17/12/2025).

    Hubungan Stres dan Kebijakan Negara

    Menurut Lya, dalam kajian kesehatan mental, isu struktural dan kebijakan negara memang memiliki keterkaitan erat dengan kondisi psikologis individu. Namun, biasanya klien datang tanpa menyadari langsung sumber tekanan tersebut.

    Namun dalam kasus ini, Lya merasa ada yang berbeda. Dirinya menyebut klien datang dalam kondisi emosional sejak awal sesi. Salah satunya langsung menangis dan mengungkapkan rasa putus asa sebagai warga negara indonesia.

    “Kalo ngeliat cara pemerintah menangani korban bencana Sumatera, aku merasa seolah rakyat ini nggak ada harganya. Nggak didengarkan, diabaikan pula. Putus asa banget rasanya jadi WNI,” kata klien tersebut, seperti ditirukan Lya.

    Dari situ Lya menyadari satu hal bahwa ‘capek menjadi WNI’ bukan hanya sekadar narasi yang seliweran di media sosial. Ternyata hal itu bisa muncul juga sampai di ruang konselingnya.

    Pesan Bagi Mereka yang Mengalami Hal Serupa

    Lya menilai, salah satu kebutuhan paling mendasar bagi orang-orang yang mengalami kelelahan emosional serupa adalah ruang untuk bertemu dan saling terhubung. Bertemu, saling melihat, saling mendengar, dan mengungkapkan isi hati dinilai dapat membantu individu menyadari bahwa mereka tidak sendirian.

    “Dengan merefleksikan pengalaman emosi secara bersama-sama, solidaritas akan terbentuk. Dan solidaritas selalu efektif memberi kita rasa kekuatan,” tulisnya.

    Ia juga menyoroti perasaan tidak berarti yang kerap muncul pada individu yang dilanda keputusasaan terhadap kondisi sosial dan politik. Lya mengingatkan agar perasaan tersebut tidak dibiarkan berkembang menjadi sikap meremehkan diri sendiri.

    “Buat kalian yang merasa kecil dan tidak berarti, jangan pernah meremehkan diri kalian sendiri. Semua suara itu penting, sekecil dan selirih apa pun,” tegasnya.

    Menutup pesannya, Lya Fahmi menekankan pentingnya dukungan sosial di sekitar. Ia mengingatkan agar individu tidak memikul beban emosional sendirian.

    “Cari teman di sekitar kalian. Jangan jalan sendiri. Jangan sakit hati sendiri,” katanya.

    Kata Mereka yang Lelah Menjadi WNI

    Tidak hanya dua orang pasien yang datang ke ruang konseling milik Lya, banyak orang yang merasakan hal serupa yakni merasa lelah menjadi WNI.

    Misalnya Chasty (27), karyawan swasta di Jakarta ini mulai merasa lelah menjadi WNI dalam satu tahun terakhir. Meski tidak sampai merasa ‘ter-trigger’ untuk akhirnya berkonsultasi dengan psikolog, apa yang dihadapinya kerap mengganggu keseharian.

    “Meskipun aku sudah punya pekerjaan, tetap saja ada bayang-bayang rasa nggak aman karena temenku juga belakangan banyak kena PHK, akhirnya nganggur, dan sudah banget cari kerja,” curhat Chasty kepada detikcom Rabu (17/12/2025).

    “Dengan kondisi kayak gitu menurut aku rasanya kaya nyaris mustahil buat dapet masa depan yang layak, bangun keluarga, hidupin anak suatu hari nanti, karena biaya hidup sama biaya pendidikan naik terus, nggak sebanding sama apa yang kita rasain, laluin,” cerita dia.

    Hal yang kurang lebih sama dirasakan oleh Risa. Di tengah kondisi yang sedang hamil empat bulan, stres kerap melanda imbas paparan berita negatif terkait pemerintah.

    “Semenjak belakangan ini, banyak kejadian yang ada-ada saja dilakukan pemerintah, gongnya pas bencana Sumatera. Kenapa sih nggak mau ditetapkan bencana?” ucap Risa.

    Sama seperti Chasty, meski kondisi tersebut tidak sampai membuatnya berakhir konsultasi ke psikolog, ia tetap merasa kekecewaan mendalam dan bahkan bermimpi bisa lahir sebagai warga negara lain. Idamannya, seperti kebanyakan orang, negeri sakura Jepang.

    “Bisa nggak ya seperti Jepang, nggak banyak polusi, masyarakatnya teratur, kota bersih, fasilitas publik terawat, layanan kesehatan dan sistem darurat tertata,” harapnya.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video Lansia Juga Bisa Alami Gangguan Kesehatan Mental, Seperti Apa?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/up)

  • Kata Mereka yang Lelah Jadi WNI, Psikolog Juga Ikutan Capek

    Kata Mereka yang Lelah Jadi WNI, Psikolog Juga Ikutan Capek

    Jakarta

    Keluhan ‘capek jadi warga negara indonesia’ tampak makin nyata, setelah tidak hanya menjadi diskusi publik, tetapi sampai ke ruang konsultasi psikolog. Lya Fahmi yang sudah berpraktik lebih dari 7 tahun sebagai psikolog klinis di Yogyakarta tidak menyangka beberapa hari belakangan kerap menemukan klien yang justru merasa stres pesimis bukan dengan dirinya sendiri, tetapi dengan negara.

    “Baru kali ini terjadi selama 7,5 tahun karierku sebagai psikolog, dua klien berturut-turut datang bukan karena masalah pribadi, tapi distress karena negara,” tulis Lya, dalam unggahan yang direspons lebih dari 100 ribu pengguna Instagram, dikutip detikcom atas izin yang bersangkutan Rabu (17/12/2025)

    Lya kemudian mengaku tak menyangka pengalaman profesional yang ia bagikan justru mendapat respons luas dari publik, menandakan perasaan serupa dirasakan banyak orang.

    “Aku nggak menduga postingan yang ini viral. Sebenarnya aku nulis gini karena butuh menyalurkan emosi yang terkuras,” kata Lya. Ia mengaku emosinya ikut terkuras setelah mendampingi klien yang datang dengan luapan kemarahan dan tangisan, bukan karena masalah pribadi, melainkan karena kekecewaan terhadap kondisi negara dan apa yang dipertontonkan oleh para pejabat publik.

    Beberapa warganet ikut menyoroti postingan tersebut. Beberapa merasa ‘relate’ karena menghadapi perasaan yang sama.

    Misalnya Chasty (27), karyawan swasta di Jakarta ini mulai merasa lelah menjadi WNI dalam satu tahun terakhir. Meski tidak sampai merasa ‘ter-trigger’ untuk akhirnya berkonsultasi dengan psikolog, apa yang dihadapinya kerap mengganggu keseharian.
    Kecewa dan gelisah. Dua kata yang dinilai Chasty sering muncul di pikiran, meski kondisi pekerjaan Chasty saat ini stabil.

    “Meskipun aku sudah punya pekerjaan, tetap saja ada bayang-bayang rasa nggak aman karena temenku juga belakangan banyak kena PHK, akhirnya nganggur, dan sudah banget cari kerja,” curhat Chasty kepada detikcom Rabu (17/12/2025).

    “Dengan kondisi kayak gitu menurut aku rasanya kaya nyaris mustahil buat dapet masa depan yang layak, bangun keluarga, hidupin anak suatu hari nanti, karena biaya hidup sama biaya pendidikan naik terus, nggak sebanding sama apa yang kita rasain, laluin,” cerita dia.

    Dengan gaji ‘mepet’ UMR, Chasty juga merasa tidak bisa leluasa mengalokasikan dananya untuk sekadar keinginan hiburan.

    Kekecewaan yang dirasa Chasty sebagai puncak diakuinya saat pemerintah tidak bisa menyetop deforestasi.

    Proses hilangnya tutupan hutan secara permanen akibat penebangan pohon atau pengalihfungsian lahan hutan menjadi penggunaan lain, yang menjadi salah satu dampak buruk bagi lingkungan, seperti perubahan iklim, erosi tanah, serta banjir.

    Kondisi tersebut belakangan ramai diperbincangkan pascabencana Sumatera.

    Hal yang kurang lebih sama dirasakan oleh Risa. Di tengah kondisi yang sedang hamil empat bulan, stres kerap melanda imbas paparan berita negatif terkait pemerintah.

    “Semenjak belakangan ini, banyak kejadian yang ada-ada saja dilakukan pemerintah, gongnya pas bencana Sumatera. Kenapa sih nggak mau ditetapkan bencana?” ucap Risa.

    Sama seperti Chasty, meski kondisi tersebut tidak sampai membuatnya berakhir konsultasi ke psikolog, ia tetap merasa kekecewaan mendalam dan bahkan bermimpi bisa lahir sebagai warga negara lain. Idamannya, seperti kebanyakan orang, negeri sakura Jepang.

    “Bisa nggak ya seperti Jepang, nggak banyak polusi, masyarakatnya teratur, kota bersih, fasilitas publik terawat, layanan kesehatan dan sistem darurat tertata,” harapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Purbaya Tunda Cukai MBDK, Pakar Sentil Konsumsi Minum Manis RI Sudah Mengkhawatirkan

    Purbaya Tunda Cukai MBDK, Pakar Sentil Konsumsi Minum Manis RI Sudah Mengkhawatirkan

    Jakarta

    Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunda penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun 2026 dinilai sangat berisiko. Terutama terkait dampaknya ke penyakit tidak menular, obesitas, diabetes tipe 2, hingga risiko komplikasi lain akibat tingginya konsumsi minuman berpemanis.

    Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives menyoroti penundaan ini bahkan terjadi sejak 2016, saat pertama kali kajian lintas kementerian dan lembaga terkait pengenaan cukai MBDK mencuat.

    “Keputusan pemerintah untuk kembali menunda cukai MBDK dengan berpatokan pada target pertumbuhan ekonomi 6 persen sangat disayangkan. Padahal,
    minuman berpemanis bukan kebutuhan pokok masyarakat dan justru menjadi faktor risiko meningkatnya beban kesehatan jangka panjang,” kata Nida Adzilah
    Auliani, Project Lead for Food Policy CISDI dalam keterangannya, Rabu (17/12/2025).

    Konsumsi Minuman Manis di RI Mengkhawatirkan

    Mengutip data Susenas 2024, CISDI menyoroti tren konsumsi minuman manis di Indonesia relatif mengkhawatirkan. Sebanyak 68,1 persen atau 93,5 juta rumah tangga di Indonesia tercatat mengkonsumsi MBDK.

    Fakta ini dibarengi dengan hampir setengah populasi berusia tiga tahun ke atas mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali sehari menurut laporan Survei Kesehatan Indonesia, 2023.

    Dengan data tersebut, Nida menilai alasan pemerintah untuk kembali menunda cukai MBDK jelas tak beralasan.

    Studi CISDI pada 2024 disebutnya menekankan Indonesia justru berpotensi menghemat Rp 24,9 triliun biaya pengobatan diabetes tipe 2 dan Rp 15,7 triliun kerugian akibat hilangnya produktivitas ekonomi dengan memberlakukan cukai minuman manis.

    “Jika ditotal berdasarkan perhitungan Disability-Adjusted Life Years (DALYs) di atas, penundaan cukai minuman manis berpotensi menimbulkan kerugian negara
    hingga Rp 40,6 triliun akibat diabetes tipe 2. Jika dihitung bersama penyakit tidak menular lainnya, dampak kesehatan dan ekonomi dipastikan jauh lebih besar,” ujar
    Nida.

    (naf/suc)

  • Kemenkes Kucurkan Rp 44,9 Miliar untuk Pangkep, Apresiasi Keberhasilan CKG

    Kemenkes Kucurkan Rp 44,9 Miliar untuk Pangkep, Apresiasi Keberhasilan CKG

    Pangkajene

    Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono, mengumumkan alokasi dana sebesar Rp 44,9 Miliar untuk memperkuat layanan kesehatan di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

    Suntikan dana besar ini merupakan bentuk apresiasi Kemenkes terhadap keberhasilan strategi “jemput bola” dalam Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) di wilayah kepulauan Pangkep.

    “Jadi, total Rp44,9 miliar akan kita berikan ke Kabupaten Pangkep ini atas capaian cakupan Cek Kesehatan Gratis hingga 85 persen penduduk dan tertinggi dalam skala regional 2 di Indonesia,” kata Dante dalam kunjungannya di Puskesmas Sabutung, Kabupaten Pangkep, Selasa (16/12/2025).

    Kemenkes akan membantu pengadaan alkes senilai Rp 31,9 Miliar untuk melengkapi rumah sakit di Pangkep. Alat-alat canggih yang akan disediakan mencakup kateterisasi, USG, mammografi, dan CT scan.

    Selain itu, pemerintah melalui Kemenkes juga akan mengalokasikan Rp 12 miliar untuk 23 puskesmas di Pangkep, serta tambahan dana impuls sebesar Rp 1 miliar guna melengkapi kekurangan sarana penunjang layanan kesehatan.

    Alokasi dana ini diharapkan dapat memperkuat sistem layanan kesehatan Pangkep, terutama inovasi seperti Perahu Sehat Pulau Bahagia (PSPB) yang telah berhasil mencapai cakupan CKG sebesar 83,9 persen dari total populasi.

    “CKG ini kita monitor terus. Mana daerah yang berhasil, mana yang tidak berhasil. Mana yang petugasnya diam di puskesmas saja, mana yang turun ke lapangan. Pengkep ini salah satu kepulauan, daerah susah (dijangkau). Tapi, mereka berhasil untuk melakukan pemeriksaan kesehatan gratis,” tandasnya.

    (kna/kna)

  • Nggak Semua Orang Bisa Lihat Angka di Tes Buta Warna Ini, Kamu Bisa?

    Nggak Semua Orang Bisa Lihat Angka di Tes Buta Warna Ini, Kamu Bisa?

    Asah Otak

    Daffa Ghazan – detikHealth

    Rabu, 17 Des 2025 17:02 WIB

    Jakarta – Sekilas hanya tampak kumpulan titik warna. Namun jika diperhatikan lebih teliti, tersembunyi angka yang tidak semua orang bisa langsung menemukannya.

  • Ilmuwan Klaim Hirup Aroma Kentut Sendiri Bikin Otak Makin Sehat, Kok Bisa?

    Ilmuwan Klaim Hirup Aroma Kentut Sendiri Bikin Otak Makin Sehat, Kok Bisa?

    Jakarta

    Mungkin ini bakal terdengar aneh dan menjijikan, tapi sebuah studi yang belum lama ini dipublikasikan menemukan kebiasaan mencium bau kentut sendiri dapat meningkatkan kesehatan otak. Bahkan, mereka menemukan efeknya sampai mencegah ke alzheimer.

    Alzheimer adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang merusak sel otak sehingga menyebabkan penurunan daya ingat, kemampuan berpikir, perilaku, dan kemandirian secara bertahap.

    Peneliti di Johns Hopkins Medicine menemukan hidrogen sulfida, zat kimia yang menghasilkan bau menyengat saat seseorang kentut, mungkin dapat memperlambat penurunan kognitif sel otak. Mereka menambahkan bau tersebut juga menghambat pertumbuhan alzheimer.

    “Data terbaru kami dengan kuat menghubungkan penuaan, neurodegenerasi, dan sinyal sel melalui hidrogen sulfida serta molekul gas lain di dalam sel,” ucap penulis studi Dr Bindu Paul, dikutip dari Unilad, Rabu (17/12/2025).

    Para ilmuwan mendapatkan temuan ini melalui percobaan tikus yang sudah melalui hasil rekayasa genetik. Tikus tersebut meniru penyakit Alzheimer pada manusia, lalu disuntikkan senyawa bernama NaGYY.

    Senyawa NaGGY dapat melepaskan molekul gas secara perlahan ke seluruh tubuh. Setelah itu, peneliti menunggu dan melakukan tes pada tikus-tikus tersebut 12 minggu kemudian.

    Mereka meneliti perubahan pada memori dan fungsi motorik, dan hasilnya mengejutkan. Keduanya meningkat hingga 50 persen dibandingkan tikus yang tidak disuntik. Tikus yang terpapar zat berbau tersebut menunjukkan daya ingat yang lebih baik, sekaligus menjadi lebih aktif secara fisik.

    “Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak perilaku dari penyakit Alzheimer dapat dibalik dengan memperkenalkan hidrogen sulfida,” tambah peneliti.

    Tim Johns Hopkins selanjutnya akan melakukan penelitian tentang bagaimana gugus sulfur berinteraksi dengan enzim glycogen synthase kinase beta (GSK3β) dan protein lain yang terkait dengan Alzheimer. GSK3β adalah enzim kinase di dalam sel yang berperan mengatur metabolisme, sinyal sel, dan fungsi otak, serta diketahui terlibat dalam proses neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer.

    “Memahami rangkaian peristiwa ini penting untuk merancang terapi yang dapat menghambat interaksi tersebut, seperti yang mampu dilakukan oleh hidrogen sulfida,” jelas mereka.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/naf)

  • Eks Petinggi WHO Soroti Kusta ‘Bangkit’ Lagi di Rumania Setelah 44 Tahun, Ternyata WNI

    Eks Petinggi WHO Soroti Kusta ‘Bangkit’ Lagi di Rumania Setelah 44 Tahun, Ternyata WNI

    Jakarta

    Rumania, negara di kawasan Eropa Tenggara, melaporkan kasus kusta terkonfirmasi pertama dalam lebih dari 40 tahun terakhir. Otoritas setempat menyebutkan, dua terapis pijat asal Indonesia terdiagnosis mengidap penyakit tersebut.

    Kedua Warga Negara Indonesia (WNI) itu bekerja di sebuah spa di Kota Cluj, wilayah barat laut Rumania. Mereka masing-masing berusia 21 dan 25 tahun dan saat ini tengah menjalani perawatan medis.

    Selain dua WNI tersebut, terdapat dua orang lain yang masih menjalani pemeriksaan kesehatan. Namun, hingga kini belum ada keterangan resmi mengenai kewarganegaraan kedua orang tersebut.

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra juga turut menyoroti kasus tersebut. Menurutnya, Rumania tidak melaporkan kasus kusta selama lebih dari empat dekade, namun kasus terbaru justru melibatkan pekerja migran asal Indonesia.

    Mengacu pada laporan Reuters, Prof Tjandra menjelaskan salah satu pasien diketahui baru datang dari Asia. Pasien tersebut sempat merawat ibunya yang mengidap kusta selama sekitar satu bulan di rumah sakit.

    “Untuk ini akan baik kalau Kementerian Kesehatan kita kemudian menelusuri di Rumah Sakit mana Ibu kasus ini dirawat, dan di cek juga pola penularannya karena ternyata menular ke anak si Ibu dan lalu dibawa ke Rumania ini,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu (17/12/2025).

    Ia juga menyebutkan otoritas kesehatan Rumania telah mengambil tiga langkah cepat. Pertama, kedua WNI yang terkonfirmasi kusta saat ini telah mendapatkan pengobatan dari pemerintah setempat. Kedua, dua hingga tiga orang lain kini berada dalam pengawasan medis untuk memastikan ada atau tidaknya penularan lanjutan.

    “Ke tiga, pemerintah setempat sekarang menutup sementara Spa tempat dua WNI kita yang dengan kusta itu bekerja, sambill menunggu investigasi lebih lanjut,” lanjutnya.

    Prof Tjandra menambahkan, kusta masih menjadi tantangan kesehatan di Indonesia, meskipun penyakit ini telah dikenal dunia selama lebih dari 3.500 tahun dan Indonesia telah merdeka lebih dari delapan dekade.

    Data Kementerian Kesehatan RI mencatat, pada 2025 terdapat sekitar 10.450 kasus kusta baru yang tersebar di 38 provinsi, termasuk wilayah yang terdampak bencana banjir. Indonesia saat ini termasuk dalam tiga negara dengan kasus kusta terbanyak di dunia, bersama Brasil dan India.

    “kusta adalah penyakit yang tergolong dalam “Neglected Tropical Diseases – NTD” (Penyakit Menular Terabaikan). Ada beberapa NTD yang jadi masalah kesehatan kita, yaitu Schistosomiasis, kaki gajah (filariasis), kecacingan dan patek (frambusia) dll,” lanjutnya.

    “Kusta dan berbagai penyakit tropik terabaikan di negara kita jelas merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat yang harus kita tangani, semoga segera daspat diselesaikan dengan baik,” sambungnya lagi.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/naf)

  • Foto: Tenaga Kesehatan Puskesmas Sabutung Layani Warga di 17 Pulau Pangkep

    Foto: Tenaga Kesehatan Puskesmas Sabutung Layani Warga di 17 Pulau Pangkep

    Foto Health

    Khadijah Nur Azizah – detikHealth

    Rabu, 17 Des 2025 15:03 WIB

    Jakarta – Puskesmas Sabutung hadirkan inovasi PSPB untuk jangkau 17 pulau di Pangkep. Lihat aksi nakes arungi laut demi berikan layanan kesehatan gratis bagi warga pulau.

  • Geger Kasus Flu di AS ‘Menggila’ gegara Varian Baru, Disebut Lebih Ganas

    Geger Kasus Flu di AS ‘Menggila’ gegara Varian Baru, Disebut Lebih Ganas

    Jakarta

    Mutasi virus influenza A H3N2 yang dikenal sebagai subclade K terdeteksi sebagai penyebab meningkatnya kasus flu secara global, termasuk di Amerika Serikat.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan di situs resminya bahwa subclade K menandai “evolusi signifikan pada virus influenza A (H3N2)”. Sejumlah pihak pun menilai kemunculan varian ini memunculkan pertanyaan terkait efektivitas vaksin flu pada musim ini.

    Dalam wawancara dengan Fox News Digital, profesor praktik kesehatan masyarakat di Northeastern University, Boston, Dr Neil Maniar, mengungkapkan tingkat keparahan awal dari varian flu yang tengah muncul tersebut.

    “Semakin jelas bahwa ini merupakan varian flu yang cukup berat,” ujar Maniar. “Di beberapa wilayah dunia tempat varian ini banyak beredar, kasusnya menyebabkan penyakit yang cukup parah, dan saat ini kita sudah melihat musim flu yang agresif.”

    Varian ini juga dinilai berbeda dari strain flu sebelumnya, dengan gejala khas flu yang muncul lebih berat, seperti demam, menggigil, sakit kepala, kelelahan, batuk, sakit tenggorokan, dan pilek.

    Maniar menyebut subclade K berpotensi memicu musim flu yang agresif. Pasalnya, tingkat vaksinasi flu secara umum menurun, sementara belum ada kepastian apakah vaksin flu tahun ini sepenuhnya sesuai dengan mutasi virus tersebut.

    “Vaksin tetap sangat penting untuk diberikan. Namun karena tidak sepenuhnya selaras dengan varian ini, hal tersebut kemungkinan turut berkontribusi terhadap tingkat keparahan kasus yang kita lihat,” jelasnya.

    “Kita memasuki musim flu dengan tingkat vaksinasi yang lebih rendah dan varian virus yang tampaknya memang lebih agresif.”

    Banyak kekhawatiran bahwa musim flu kali ini bisa menjadi sangat berat, baik dari sisi jumlah kasus maupun tingkat keparahannya,” ujar Maniar.

    Menurutnya, subclade K cukup berbeda dibandingkan varian flu sebelumnya. Perbedaan ini membuat kekebalan alami di tingkat komunitas menjadi lebih rendah, sehingga risiko penularan dan keparahan penyakit ikut meningkat.

    Maniar juga menekankan orang yang tidak divaksinasi berisiko mengalami gejala yang lebih berat, termasuk peningkatan risiko rawat inap.

    Selain vaksinasi, ia menyarankan masyarakat untuk rajin mencuci tangan dengan benar dan teratur.

    Maniar juga mengimbau siapa pun yang merasa tidak enak badan atau menunjukkan gejala penyakit untuk tetap tinggal di rumah, terutama jika berada dalam masa penularan flu atau penyakit menular lain yang sedang beredar, seperti norovirus, COVID-19, atau RSV.

    “Jika Anda tidak merasa sehat, tetaplah di rumah. Ini adalah cara terbaik untuk pulih lebih cepat sekaligus mencegah penularan kepada orang lain,” pungkasnya.

    Sebelumnya Data terbaru Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan, pada pekan yang berakhir 6 Desember, kunjungan ke fasilitas kesehatan di AS dengan gejala demam disertai batuk atau sakit tenggorokan mencapai 3,2 persen. Angka ini melampaui ambang epidemi nasional dan menandai dimulainya musim flu.

    “Mayoritas virus influenza yang kami temukan musim ini adalah subclade K, varian dari Influenza A(H3N2),” demikian disampaikan otoritas kesehatan AS.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)