Jakarta, Beritasatu.com – Setiap tahun, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) menjadi pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terjadi, termasuk di ruang digital. Momentum ini sekaligus menjadi dorongan untuk mengerahkan upaya kolektif demi menciptakan ruang digital yang aman bagi perempuan.
Segala bentuk ancaman kekerasan berbasis gender online (KGBO) dapat terjadi pada siapa, kapan dan di mana saja. Ruang digital yang sejatinya diciptakan untuk belajar, berkoneksi, dan memberdayakan, justru sering menjadi ruang yang penuh ancaman bagi perempuan.
Seorang mahasiswa dan diaspora Indonesia di Amerika dan Eropa, Aurelia Aranti Vinton bercerita, di balik tekanan akademik, hambatan bahasa, perbedaan budaya, hingga rasa terasing yang kerap membayangi perempuan Indonesia di luar negeri, masih tersimpan kerentanan lain yang tak kalah berat, yakni kekerasan digital. Bagi mereka yang aktif bersuara dan berkegiatan di media sosial, ancaman itu terasa semakin dekat.
“Apalagi, banyak dari kita tinggal jauh dari keluarga dan jaringan dukungan emosional. Jadi, ketika terjadi kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan digital, sering kali korban tidak tahu harus mengadu kemana, menggunakan mekanisme hukum apa, atau mencari bantuan dari siapa,” ungkap Aurelia, dalam forum diskusi daring yang digelar komunitas Rumah Aman Kita (Ruanita) untuk memperingati momentum 16 HAKTP, pada Sabtu (6/12/2025).
Menurutnya, keresahan ini merupakan tanggung jawab semua pihak. Perlu adanya kesadaran bersama untuk menciptakan ruang digital yang aman bagi perempuan.
“Ketika kita membangun ruang digital yang aman bagi perempuan, kita juga sesungguhnya membangun ruang digital yang aman bagi semua orang,” tuturnya.
Untuk itu, Aurelia berharap adanya aksi nyata, baik melalui kampanye, edukasi digital, riset, atau advokasi kebijakan, dan memperkuat suara perempuan Indonesia, baik yang ada di dalam negeri, maupun yang sedang menempuh pendidikan dan bekerja di luar negeri.
Ketua Resource Center Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani menyampaikan, di tengah meningkatnya penggunaan teknologi dan digitalisasi kehidupan, dunia maya telah menjadi “ruang hidup kedua” bagi banyak perempuan.
Dia berpendapat, dunia maya kini bukan lagi sekadar tempat berkomunikasi, melainkan ruang pembangunan relasi sosial, politik, ekonomi, hingga ekspresi diri.
“Di ruang digital, perempuan bukan hanya harus hadir, tetapi juga harus terlindungi dan memiliki daya, berdaya, dan juga yang penting adalah harus diakui hak-haknya,” ujar Chatarina dalam kesempatan yang sama.
Miris, di balik segala peluangnya, ruang digital juga menyimpan bahaya. Mulai dari ujaran kebencian, pemerasan seksual, penyebaran data pribadi, hingga narasi misoginis yang memperkuat kultur kekerasan berbasis gender.
“Seolah-olah, dimana pun ada sinyal, di situlah kerentanan perempuan juga hadir,” tutur Chatarina.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, jumlah pengaduan kasus KGBO mengalami peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, Komnas Perempuan menerima 281 aduan kasus KGBO, angka ini lalu melonjak naik menjadi 1.791 aduan pada 2024.
Aksi Nyata Kembalikan Ruang Aman Perempuan
Menurut Chatarina, ada beberapa upaya untuk mengembalikan ruang digital yang aman bagi perempuan.
Pertama, dimulai dari individu perorangan yang harus paham terhadap literasi digital.
“Bukan hanya soal kemampuan teknis menggunakan teknologi, tetapi yang paling penting bagi kita untuk mengenali risiko, membaca tanda bahaya, dan memahami jejak digital,” ucap Chatarina.
Kedua, perempuan harus memberikan dukungan dimulai dari orang-orang terdekat.
“Perlu membangun persaudaraan digital yang aktif, bukan hanya saling menguatkan, tetapi juga saling menjaga,” katanya.
Ketiga, pemerintah harus memperkuat regulasi dan kebijakan yang responsif gender. Khususnya terkait keamanan digital, perlindungan data pribadi, dan juga penanganan kasus KGBO.
“Sejalan dengan itu, negara juga perlu meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum yang berperspektif korban, memperhatikan kondisi psikologis korban,” sambungnya.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Desy Andriani menambahkan, dimana pun perempuan berada, berhak memperoleh rasa aman. Mereka berhak untuk bersuara, dan berhak untuk tidak diserang di ranah digital.
Dalam menjaga rasa aman di ranah digital bagi perempuan, KemenPPPA memaksimalkan upaya pencegahan dan penanganan kasus KGBO.
Beberapa upaya tersebut, yakni edukasi literasi digital kepada masyarakat, peningkatan keahlian aparat penegak hukum untuk menangani kasus KGBO yang kompleks, sinergi penegakan hukum melalui koordinasi bersama kepolisian untuk membongkar kasus kejahatan siber, pengembangan regulasi sesuai standar internasional, hingga meningkatkan kolaborasi bersama organisasi dunia.
Secara lebih konkret, KemenPPPA juga membuka layanan pengaduan untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Layanan tersebut dapat diakses melalui telepon 129, WhatsApp 08111-129-129, atau form pengaduan online.
“Tujuannya untuk memberikan ruang aman bagi korban atau pelapor untuk mendapatkan bantuan, pendampingan, dan perlindungan dengan cepat dan mudah,” pungkasnya.