Jakarta – Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Nabiel Almusawa menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi akidah ahlussunnah wal jamaah (aswaja) di Indonesia yang dinilai semakin memudar.
Ia menyoroti fenomena perselisihan di kalangan umat Islam yang saling mengeklaim paling sesuai dengan sunah, tetapi kerap mudah membidahkan atau bahkan mengkafirkan kelompok lain.
Habib Nabiel menegaskan bahwa Aswaja, yang berpegang pada sunah Nabi Muhammad SAW, adalah ajaran yang lembut, tidak tergesa-gesa dalam menilai sesat orang lain, dan berorientasi pada persatuan umat.
“Ahlussunnah Wal Jamaah adalah nilai moral dan akhlak Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kasih sayang dan kebaikan. Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Oleh karena itu, sikap merasa paling benar dan mengklaim paling saleh adalah bentuk keangkuhan yang dapat merusak nilai keislaman,” ujar Habib Nabiel kepada Antara pada Jumat (17/1/2025) di Jakarta.
Ia juga menyoroti kecenderungan sebagian kelompok yang mudah menghakimi dan menganggap ritual seperti Maulid Nabi atau Isra Mikraj sebagai bidah. Menurutnya, pola pikir semacam ini menyerupai kelompok ekstrem masa lalu seperti khawarij dan takfiri.
Habib Nabiel, yang juga anggota Dewan Syuro Majelis Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa empat mazhab besar dalam Islam, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, semuanya berlandaskan pada akidah aswaja.
Di Indonesia, aswaja berkembang dengan ciri khas yang moderat dan mampu beradaptasi dengan budaya lokal, sebagaimana strategi Wali Songo dalam menyebarkan Islam.
“Aswaja di Indonesia memiliki karakter yang toleran dan fleksibel. Sikap ekstrem, seperti mudah menghakimi atau intoleransi, bertentangan dengan budaya Indonesia yang penuh harmoni. Pendekatan yang kaku hanya akan memicu konflik,” tambahnya.
Habib Nabiel juga mengkritik pandangan kelompok Salafi Wahabi yang menganggap semua bidah sebagai kesesatan yang berujung pada neraka. Ia menekankan bahwa menurut Imam Syafii, bidah dibedakan menjadi dua, yakni mahmudah (terpuji) dan mazmumah (tercela).
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang membagi bidah menjadi hasanah (baik) dan sayyiah (buruk). Karena itu, praktik seperti ziarah, tahlil, atau perayaan Isra Mikraj dapat dianggap sebagai kebaikan.
Ia mengingatkan bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam fikih tidak boleh menjadi alasan untuk menyesatkan atau mengafirkan pihak lain. “Jika memiliki dalil, itu sah-sah saja, tetapi kita harus saling menghormati. Jangan mudah memvonis orang lain sebagai kafir atau syirik. Menghormati perbedaan adalah adab yang diajarkan Nabi Muhammad SAW,” tegasnya.
Sebagai penutup, Habib Nabiel menyerukan perlunya mengembalikan nilai-nilai moral dan akhlak aswaja dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menekankan pentingnya menjaga adab dan menghormati pandangan orang lain untuk merawat kerukunan di tengah masyarakat yang semakin beragam.
“Toleransi adalah bagian dari ajaran aswaja yang harus kita jaga di masyarakat yang plural ini,” pungkasnya.









