Category: Beritasatu.com Nasional

  • PSU PilkadaPulau Taliabu Maluku Utara Digelar pada 5 April 2025

    PSU PilkadaPulau Taliabu Maluku Utara Digelar pada 5 April 2025

    Ternate, Beritasatu.com – KPU Maluku Utara menyatakan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kabupaten Pulau Taliabu akan berlangsung pada 5 April 2025. Pemkab setempat sudah menyediakan anggaran hibah untuk PSU.

    “Jadwal PSU pada 5 April 2025, karena persoalan anggaran sudah final, tetapi tinggal menunggu keputusan KPU RI sesuai dengan tahapannya,” kata Komisioner KPU Maluku Utara Reni S Banjar, Sabtu (1/3/2025).

    KPU mengapresiasi Bupati Pulau Taliabu Aliong Mus yang telah menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk PSU Pilkada Taliabu.

    Dikutip dari Antara, anggaran yang dialokasikan, yakni sebanyak Rp 2,69 miliar untuk KPU, Rp 550 juta untuk TNI, dan Rp 1,5 miliar untuk Polri.

    PSU Pilkada Pulau Taliabu akan digelar di sembilan tempat pemungutan suara (TPS) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    Putusan MK wajib dilaksanakan dalam waktu 45 hari setelah perkara diputuskan, mulai 25 dari Februari hingga 10 April 2025.

    Menurut Reni, sebenarnya dalil yang disampaikan pemohon ada 20 TPS untuk PSU, tetapi dalam putusan tersebut hanya putuskan pemungutan suara di sembilan TPS dinyatakan tidak sah.

    Berikut TPS yang Harus PSU di Pulau Taliabu: TPS 02 Desa Woyo, Kecamatan Taliabu BaratTPS 01 Desa Salati, Kecamatan Taliabu Barat LautTPS 02 Desa Wayo, Kecamatan Taliabu BaratTPS 01 Desa Bua Mbono, Kecamatan Taliabu UtaraTPS 01 Desa Lede, Kecamatan LedeTPS 01 Desa Malui, Kecamatan Taliabu SelatanTPS 01 Desa Bapenu, Kecamatan Taliabu SelatanTPS 02 Desa Malui, Kecamatan Taliabu Selatan TPS 02 Desa Langganu, Kecamatan Lede.

    Putusan MK untuk PSU sembilan TPS di Pulau Taliabu sekaligus menunda kemenangan pasangan nomor urut 1 Salsabila L Mus–La Ode Yasir yang diusung koalisi Partai Demokrat.

    KPU Pulau Taliabu sebelumnya menetapkan pasangan Salsabila L Mus–La Ode Yasir sebagai pemenang Pilkada Pulau Taliabu 2024 dengan 14.769 suara atau 41,66%, disusul paslon nomor urut 2 Citra Puspasari Mus-La Utu Ahmadi dengan 13.546 suara atau 38,21%, dan paslon nomor urut 3 Abidin Jaaba–Dedy Mirzan dengan 6.438 suara atau 18,6%.

  • FSGI Dorong Siswa Sekolah Ikut Pesantren Kilat selama Ramadan 2025

    FSGI Dorong Siswa Sekolah Ikut Pesantren Kilat selama Ramadan 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menilai pesantren kilat menjadi salah satu program yang penting untuk anak-anak sekolah selama Ramadan 2025. Program ini biasanya berfokus pada pendidikan agama, seperti mengenalkan makna puasa dan sejarah nabi-nabi.

    Di tingkat SMA, pesantren kilat biasanya dilengkapi dengan kajian-kajian mendalam tentang ayat-ayat tertentu yang dapat dipahami dengan perspektif berbeda.

    “Untuk siswa SMA, tahapan untuk mendiskusikan isu-isu semacam ini sudah sangat tepat, karena mereka berada pada usia yang cukup matang untuk memahami dan berdialog mengenai berbagai perspektif,” kata Retno kepada Beritasatu.com.

    “Hal ini dapat membantu mereka dalam memperdalam pemahaman agama dan kepercayaan mereka, serta membentuk pandangan hidup yang lebih kritis,” tambahnya.

    Sementara itu, untuk anak-anak tingkat SD atau yang berusia di bawah 13 tahun, program pesantren kilat lebih berfokus pada pembangunan karakter. Misalnya, mereka bisa mempelajari nilai-nilai kebersihan dan makna pentingnya menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman.

    “Materi yang diajarkan harus disesuaikan dengan usia peserta didik, sehingga dapat dipahami dengan baik dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Retno.

    Retno menilai dengan mengisi libur awal Ramadan 2025 ini dengan pesantren kilat, tidak hanya bertujuan untuk memberikan edukasi religius, tetapi juga dapat membentuk akhlak dan budi pekerti anak-anak. Selain itu, kegiatan ini juga memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk beraktivitas bersama teman-teman sebayanya, yang dapat mempererat tali persaudaraan.

  • Libur Awal Ramadan 2025, FSGI: Harus Diisi Kegiatan Kreatif Antara Orang Tua dan Anak

    Libur Awal Ramadan 2025, FSGI: Harus Diisi Kegiatan Kreatif Antara Orang Tua dan Anak

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mengungkapkan pandangannya terkait libur awal Ramadan 2025 bagi anak-anak sekolah mulai dari PAUD hingga SMA. Libur berlangsung mulai 27 Februari 2025 hingga 5 Maret 2025.

    Retno menyarankan agar orang tua memanfaatkan waktu libur ini dengan kegiatan yang bermanfaat dan kreatif untuk anak-anak.

    “Saat mengisi liburan, tidak selalu harus berkaitan dengan buku atau pelajaran. Anak-anak bisa belajar hal-hal baru yang berbeda, baik di luar ruang kelas maupun dari referensi lainnya,” kata Retno Listyarti kepada Beritasatu.com.

    Menurutnya, libur awal Ramadan 2025 ini bisa diisi dengan kegiatan yang bervariasi. Orang tua dan sekolah dapat memfasilitasi anak-anak untuk mengikuti kegiatan seperti membaca Al-Qur’an secara rutin, salat berjemaah, atau mengikuti pesantren kilat menjelang Idulfitri. Namun, orang tua juga dapat merencanakan kegiatan yang menarik dan berkesan di luar aktivitas keagamaan.

    “Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengunjungi tempat ibadah yang bersejarah, seperti masjid tertua atau terbesar di daerah sekitar. Selain itu, anak-anak juga bisa diajak mengunjungi tempat-tempat lain yang positif, seperti museum atau tempat wisata edukasi,” jelas Retno.

    Selain itu, Retno juga menekankan pentingnya komunikasi dengan anak-anak dalam merencanakan kegiatan liburan. Orang tua bisa berdiskusi dengan anak tentang kegiatan yang mereka inginkan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.

    “Liburan tidak harus selalu mahal. Kegiatan positif yang dapat dilakukan di sekitar kota atau tempat tinggal anak juga bisa sangat bermanfaat pada awal Ramadan 2025 ini,” ujarnya.

  • Peran Kejaksaan Agung dan KPK dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

    Peran Kejaksaan Agung dan KPK dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

    Jakarta, Beritasatu.com – Upaya memberantas korupsi di Indonesia melibatkan dua institusi utama yang memiliki peran penting, yakni Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi merupakan salah satu kasus yang marak terjadi dan dapat ditindak pidana apabila terdapat cukup bukti.

    Kejagung dan KPK memiliki peran penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, meskipun masing-masing lembaga memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda.

    Dalam tindak pidana korupsi, Kejagung lebih berfokus pada penuntutan dan eksekusi putusan pengadilan. Sementara KPK memiliki kewenangan lebih luas dalam hal pencegahan, koordinasi, dan pengawasan terkait kasus korupsi.

    Lebih dalam, berikut merupakan peran Kejagung dan KPK dalam kasus tindak pidana korupsi, dikutip dari berbagai sumber.

    Peran Kejaksaan Agung

    Kejaksaan Agung berfungsi sebagai lembaga penuntut umum yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum, termasuk sebagai berikut.

    1. Penuntutan

    Melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi setelah proses penyidikan selesai. Kejaksaan bertanggung jawab untuk membawa kasus ke pengadilan dan memastikan pelaksanaan putusan hakim.

    2. Penyelidikan dan penyidikan

    Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus tertentu yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan undang-undang.

    3. Pelaksanaan putusan

    Setelah pengadilan memutuskan suatu kasus korupsi, Kejagung bertugas untuk melaksanakan putusan tersebut, termasuk eksekusi hukuman bagi terpidana.

    Peran KPK

    KPK memiliki mandat yang lebih luas dalam pemberantasan korupsi, di antaranya adalah berikut.

    1. Koordinasi dan supervisi

    KPK bertugas melakukan koordinasi dengan instansi lain yang berwenang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi serta mengawasi pelaksanaan tugas instansi tersebut.

    2. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

    KPK memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. KPK dapat mengambil alih kasus dari kepolisian atau kejaksaan jika ditemukan indikasi ketidakefisienan atau penyalahgunaan wewenang.

    3. Pencegahan korupsi

    Selain penindakan, KPK juga melakukan tindakan pencegahan untuk mengurangi potensi terjadinya tindak pidana korupsi di berbagai sektor pemerintahan.

    Peran Kejaksaan Agung dan KPK sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Sinergi antara kedua lembaga ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Meskipun memiliki peran yang berbeda, keduanya saling melengkapi dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi secara menyeluruh.

  • Takjil dan Kesatuan Bangsa, dari Resistensi Kultural hingga Wujud

    Takjil dan Kesatuan Bangsa, dari Resistensi Kultural hingga Wujud

    Takjil, yang semula hanya dipahami sebagai sekadar hidangan ringan untuk berbuka puasa pada bulan Ramadan, ternyata menyimpan narasi mendalam tentang perjalanan kebangsaan Indonesia. Tradisi berbagi makanan ini tidak sekadar ritual kuliner, melainkan sebuah metafora sosial yang menggambarkan kompleksitas hubungan antarmanusia dalam bingkai keberagaman. Ia menjadi saksi bisu perjalanan panjang toleransi, mulai dari masa-masa kelam kolonial hingga era digital kontemporer.

    Setiap sajian takjil memiliki cerita tersendiri tentang resiliensi masyarakat Indonesia dalam mempertahankan kohesi sosial di tengah beragam tantangan. Di balik kemasan sederhana makanan berbuka ini, tersimpan kekuatan transformatif yang mampu menembus batas-batas primordial—baik suku, agama, ras, maupun antarkelompok sosial. Fenomena war takjil yang kini marak di media sosial adalah bukti nyata bagaimana tradisi kuno ini terus beradaptasi, menghadirkan ruang dialogis yang inklusif dan humanis.

    Artikel ini akan menelusuri metamorfosis takjil sebagai praktik sosial, mengungkap bagaimana sebuah tradisi sederhana mampu menjadi instrumen perekat kebangsaan. Melalui perspektif sejarah, antropologi, dan sosiologi, kita akan melihat bagaimana takjil tidak sekadar tentang makanan, melainkan tentang bagaimana sebuah bangsa yang majemuk terus menegosiasikan identitasnya melalui praktik berbagi yang bermakna. 

    Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa toleransi bukanlah konsep abstrak, melainkan sesuatu yang dapat dirasakan, dibagi, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

    Akar Sejarah Takjil dalam Konteks Sosial

    Secara etimologis, kata “takjil” berasal dari bahasa Arab “at-tajliyah” yang bermakna pemberian atau hidangan ringan untuk berbuka puasa. Praktik ini memiliki sejarah panjang yang jauh melampaui sekadar ritual makan, ia adalah representasi mendalam dari praktik sosial kemanusiaan yang telah berkembang selama berabad-abad. 

    Pada masa awal Islam, Rasulullah Muhammad SAW telah mencontohkan tradisi berbuka dengan kurma atau air, yang kemudian menjadi inspirasi bagi perkembangan konsep takjil di berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara.

    Di Indonesia, praktik takjil tidak dapat dilepaskan dari konteks multikulturalisme yang menjadi karakteristik utama masyarakat Nusantara. Pada masa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, tradisi berbagi makanan telah menjadi instrumen penting dalam menjaga kohesi sosial. Praktik “sego kucing” di Keraton Yogyakarta misalnya, menunjukkan bagaimana makanan tidak sekadar dimaknai sebagai kebutuhan fisik, melainkan juga sebagai medium komunikasi sosial yang melampaui batas-batas status, etnis, dan agama.

    Transformasi sosial takjil terus berlangsung sepanjang sejarah. Pada periode kolonial, praktik berbagi makanan ini menjadi bentuk resistensi kultural, di mana ruang-ruang berbagi makanan di masjid, pesantren, dan komunitas menjadi titik berkumpul untuk membangun solidaritas menghadapi penindasan. 

    Pasca kemerdekaan, takjil semakin diperkaya dengan nuansa kebangsaan, di mana praktik berbagi tidak sekadar menunjukkan kepatuhan ritual keagamaan, melainkan juga menegaskan komitmen terhadap semangat persatuan dan kebersamaan.

    Masa Kolonial: Takjil sebagai Resistensi Kultural

    Periode kolonial merupakan masa paling kritis dalam transformasi makna sosial-kultural takjil di Nusantara. Di tengah tekanan sistematis penjajah yang bertujuan memutus solidaritas masyarakat pribumi, praktik berbagi makanan berbuka puasa muncul sebagai benteng pertahanan kultural yang tak ternilai. Masjid-masjid, pesantren, dan ruang-ruang komunal menjadi basis utama perlawanan tidak langsung melalui tradisi berbagi yang inklusif.

    Dalam konteks sosial-politik kolonial, takjil lebih dari sekadar hidangan ringan—ia adalah instrumen strategis untuk memelihara kohesi sosial dan semangat perlawanan. Para pemimpin agama dan tokoh masyarakat menggunakan momen berbuka puasa sebagai ruang dialog tersembunyi, membangun jaringan solidaritas yang sulit terpantau oleh aparatus kolonial.

    Praktik berbagi makanan ini menciptakan ikatan emosional antar warga yang melampaui batas-batas suku, kelas sosial, dan kedudukan, menghasilkan kekuatan komunal yang sistematis namun tak kasat mata.

    Dokumentasi sejarah menunjukkan bagaimana tradisi takjil menjadi medium transformasi kesadaran kolektif. Di daerah-daerah seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, praktik berbagi makanan selama Ramadan tidak sekadar ritual keagamaan, melainkan menjadi momen strategis untuk mendiskusikan perlawanan, menyebarkan semangat kebangsaan, dan mempersiapkan gerakan kemerdekaan. 

    Para pejuang kemerdekaan seperti kiai Ahmad Dahlan, Sukarno, dan Mohammad Hatta kerap memanfaatkan momentum berbuka puasa untuk membangun kesadaran nasional, membuktikan bahwa takjil adalah senjata kultural yang ampuh melawan hegemoni kolonial.

    Fenomena War Takjil: Toleransi di Era Digital

    Di era digital, fenomena war takjil muncul sebagai evolusi kontemporer dari tradisi berbagi yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Istilah “war takjil” yang mulai populer pada dekade terakhir merujuk pada gerakan sosial berbagi makanan berbuka puasa secara masif melalui platform media sosial, yang mentransformasi praktik tradisional menjadi Gerakan solidaritas berskala yang lebih luas dan dinamis.

    Teknologi media sosial telah mengubah paradigma berbagi takjil dari sekadar praktik lokal menjadi gerakan sosial yang terkoneksi secara digital. Platform seperti Instagram, Twitter (saat ini bernama X), dan Facebook menjadi ruang kolaborasi di mana komunitas-komunitas berbeda dapat saling terhubung, merencanakan, dan mengeksekusi kegiatan pembagian makanan. Fenomena ini tidak sekadar tentang berbagi makanan, melainkan menciptakan ekosistem digital kemanusiaan yang melampaui batas-batas geografis, etnis, dan agama.

    Menariknya, war takjil di era digital memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari praktik berbagi tradisional. Gerakan ini didorong oleh generasi muda yang aktif di media sosial, dengan motivasi yang kompleks—mulai dari kepedulian sosial, ekspresi spiritualitas, hingga keinginan untuk menciptakan ruang dialogis antarkelompok. Berbagai komunitas, dari mahasiswa, profesional, hingga influencer, berlomba-lomba menggelar war takjil, menciptakan semacam “kompetisi kebaikan” yang memberikan dampak positif bagi masyarakat.

    Perjalanan panjang takjil dalam sejarah Indonesia membuktikan bahwa praktik sederhana berbagi makanan jauh melampaui sekadar ritual kuliner. Ia adalah narasi berkelanjutan tentang ketangguhan bangsa dalam mempertahankan solidaritas di tengah beragam tantangan sejarah. Dari masa kolonial hingga era digital kontemporer, takjil telah menjadi saksi bisu transformasi sosial, sekaligus instrumen penting dalam menjaga keutuhan masyarakat multikultur Indonesia.

    Metamorfosis takjil menghadirkan potret autentik tentang bagaimana toleransi dirawat dan diwariskan antar generasi. Setiap sajian makanan ringan berbuka puasa adalah metafora resolusi konflik, ruang dialog yang tak terucapkan, dan komitmen terhadap semangat kemanusiaan. Di tengah kompleksitas tantangan sosial-politik kontemporer, tradisi ini terus membuktikan diri sebagai kekuatan transformatif yang mampu menembus batas-batas primordial—etnis, agama, kelas sosial, dan ideologi.

    Ke depan, warisan takjil bukan sekadar tentang melestarikan tradisi, melainkan komitmen aktif untuk terus membangun narasi kebangsaan yang inklusif dan humanis. Generasi muda dipanggil untuk tidak sekadar meneruskan praktik, tetapi mengkreasikan ulang makna toleransi dalam konteks dinamika sosial yang semakin kompleks. Takjil adalah pengingat konstan bahwa dalam keberagaman, berbagi bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan untuk mempertahankan keutuhan bangsa.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Berpuasalah Sampai Abadi dalam Takwa!

    Berpuasalah Sampai Abadi dalam Takwa!

    Seluruh sisi perintah Tuhan memiliki aspek lahiriah yang kita laksanakan dengan gerakan badan dan aspek batiniah yang kita laksanakan dengan jiwa. Aspek lahiriah dapat disaksikan dengan mata, aspek batiniah disaksikan oleh mereka yang melaksanakan bersama Tuhan.

    Perbedaan manusia dan binatang tidak terletak dari gerak tubuhnya. Binatang mungkin saja melaksanakan salat dengan gerakan sempurna bila dilatih, tapi salatnya tidak diberi pahala. Perbedaannya terletak di dalam jiwa. Kita juga dapat bergerak tapi tidak mendapatkan pahala. Begitu juga puasa, lapar tidak menjadi jaminan diterimanya puasa. Puasa dapat menjadi sia-sia jika hanya melaksanakan sisi lahiriah puasa. Karena itu, marilah kita abadi dalam takwa melalui puasa yang juga memenuhi aspek batiniah puasa.

    Bila puasa adalah persoalan perut maka takwa sebagai tujuan puasa tidak akan tercapai. Sudah sering kita dengar setiap ceramah tarawih, la’allakum tattaqūn, supaya kalian bertakwa. Bukannya takwa yang diperoleh, melainkan hanya lapar dan haus setelah puasa. Ditambah lagi, di hari lebaran, lapar selama tiga puluh hari dibalas dengan makan rendang sepuasnya.

    Imam Ghazali dalam Iḥyā ‘Ulūmuddin membagi orang yang berpuasa menjadi puasa orang awam, puasanya orang khusus, dan puasanya orang paling khusus. Perbedaannya ada pada hal-hal yang ditahan. Jika awam hanya menahan hal-hal yang membatalkan dalam fikih, orang khusus dan setelahnya menahan organ-organ tertentu dan akhlak yang buruk.

    Sebenarnya, semua umat muslim bukan orang awam. Mereka sudah termasuk orang-orang yang paling khusus. Semangat Al-Qur’an menjadikan muslim untuk bertakwa untuk semuanya. Tidak ada yang khusus (khaṣṣ) atau paling khusus (khaṣṣ al-khawaṣṣ). Karena itu, saatnya meredefinisi ulang puasa untuk semua umat muslim pada arti paling khususnya, tidak hanya menjalankan kewajiban fiqhiyyat, sehingga puasa bukan hanya soal menahan lapar.

    Puasa juga bukan soal menjalankan kewajiban Ramadan. Berpuasa berarti mengambil kesempatan untuk abadi dalam takwa. Kenapa puasa hanya diwajibkan ketika Ramadan? Bulan ini memang punya keistimewaan. Saat itu Al-Qur’an diturunkan, ada malam yang yang lebih baik dari seribu bulan, sampai pahala dilipatgandakan. Tetapi, paradigma ibadah sebaiknya tidak berhenti sebagai pelaksanaan kewajiban.

    Paradigma kewajiban membuat seseorang khawatir ketika meninggalkannya dan lega setelah melaksanakannya. Meskipun syarat-syarat fikihnya terlaksanakan, dengan paradigma kewajiban bisa saja hal-hal batiniah tertinggal. Khawatirnya, paradigma kewajiban semakin lama dapat mengubah ‘tujuan’ ibadah dari Tuhan menuju kewajiban. Karena itu, kita perlu mengubah paradigma kita terhadap puasa menjadi paradigma alat. 

    Inti puasa adalah pengosongan menurut Ibn ‘Arabi dalam Futūḥāt al-Makkiyyah. Puasa dan ibadah-ibadah lainnya hanya alat yang mesti dijalankan dengan baik, secara lahiriah maupun batiniah. Berpuasa berarti menjaga kecenderungan-kecenderungan jiwa agar mencerminkan karakter ketuhanan. Ramadan menjadi momen yang paling memengaruhi proses pengosongan jiwa sehingga takwa (kemampuan menjaga diri) dapat bertahan lama setelah sebulan berpuasa.

    Mencapai Tuhan bukan dengan imajinasi atau cara-cara yang dapat dilihat dengan mata. Nabi memerintahkan kita untuk takhalluq bi akhlāqillah, berakhlaklah dengan akhlak Tuhan. Dalam tradisi tasawuf, berakhlak dengan akhlak Tuhan artinya menjadikan jiwa kita seperti cermin bagi Tuhan. Jiwa kita seperti cermin yang dapat terkena debu dan kotoran sehingga memantulkan gambaran yang tidak jelas. Dengan puasa, kita berusaha menggosok-gosok cermin itu sampai mengilap sehingga tidak jelas perbedaan antara cermin dan gambar yang dipantulkannya.

    Jalaluddin Rumi pernah menceritakan sayembara lukisan yang diperintahkan seorang Raja. Raja itu ingin gambar alam yang paling indah. Peserta pertama mengambil kanvas kemudian melukis dengan hati-hati dan teliti. Gambarannya sangat indah. 

    Peserta kedua tidak mengambil kanvas. Ia justru menaruh cermin lalu menggosok cermin itu selama beberapa jam. Ia meletakkan cermin itu menghadap ke gunung. Hingga akhirnya setelah penilaian, peserta kedua mendapatkan juara. Itu analogi bagi orang yang hanya memahami Tuhan melalui pikiran dengan orang yang mendidik jiwa dan melakukan tazkiyatun nafs.

    Jangan sampai kita membatalkan batin puasa! Syarat-syarat puasa yang ada pada lahiriah puasa, juga ada pada batin puasa. Saya mendengar cerita seorang ulama kharismatik bertanya kepada pemuda, “Apakah kalian berpuasa?” Pemuda itu kemudian mengiyakan. Ulama itu bertanya, “Puasa semuanya?” Pemuda itu tertegun mendengarnya, karena ia sudah membatalkan puasanya dengan membicarakan aib temannya. Puasa lahirnya sah, tetapi puasa batinnya batal.

    Bagaimana kita mencapai takwa? Kata ini cukup abstrak di dengar. Lazim diketahui takwa merupakan keterjagaan dari seluruh larangan syariat dan pelaksanaan seluruh perintah Tuhan. Lebih dari itu, keterjagaan dalam takwa adalah kondisi di mana dengan telinga hamba, Tuhan mendengar; dengan tangannya, Tuhan memegang; dengan kakinya, Tuhan berjalan. Kondisi itu disebutkan dalam hadis Qudsi di Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Kondisi itu bisa diperoleh dengan melaksanakan hal-hal yang dicintai Allah sehingga mendapatkan kecintaan-Nya.

    Puasa adalah perisai sebagaimana hadis yang masyhur. Ia menjaga. Tapi, tidak cukup hanya puasa, hal lain yang semestinya ada bersama seseorang ialah melaksanakan karena cinta. Musa pernah berdialog dengan Tuhan dalam kitab Jāmi’ al-Akhbār.

    وَ أَوْحَى اَللَّهُ تَعَالَى إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ هَلْ عَمِلْتَ لِي عَمَلاً قَطُّ قَالَ إِلَهِي صَلَّيْتُ لَكَ وَ صُمْتُ وَ تَصَدَّقْتُ وَ ذَكَرْتُ لَكَ فَقَالَ إِنَّ اَلصَّلاَةَ لَكَ بُرْهَانٌ وَ اَلصَّوْمَ جُنَّةٌ وَ اَلصَّدَقَةَ ظِلٌّ وَ اَلذِّكْرَ نُورٌ فَأَيَّ عَمَلٍ عَمِلْتَ لِي فَقَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ هُوَ لَكَ فَقَالَ يَا مُوسَى هَلْ وَالَيْتَ لِي وَلِيّاً وَ هَلْ عَادَيْتَ لِي عَدُوّاً قَطُّ فَعَلِمَ مُوسَى أَنَّ أَحَبَّ اَلْأَعْمَالِ اَلْحُبُّ فِي اَللَّهِ وَ اَلْبُغْضُ فِي اَللَّهِ 

    Dan Allah ta’ala mewahyukan kepada Musa as: “Apakah engkau pernah melakukan suatu amalan untuk-Ku?” Musa menjawab: “Wahai Tuhanku, aku telah salat untuk-Mu, berpuasa, bersedekah, dan berzikir kepada-Mu.” Allah berfirman: “Sesungguhnya salat adalah bukti bagimu, puasa adalah perisai, sedekah adalah naungan, dan zikir adalah cahaya. Lalu amalan apa yang telah engkau lakukan untuk-Ku?” Maka Musa as berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang murni untuk-Mu.” Allah berfirman: “Wahai Musa, pernahkah engkau mencintai seseorang karena-Ku dan membenci seseorang karena-Ku?” Maka Musa pun mengetahui bahwa amalan yang paling dicintai adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Meneladani Dakwah Nabi Musa: Implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin

    Meneladani Dakwah Nabi Musa: Implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin

    Jakarta, Beritasatu.com – Bagi umat Islam, mengajak ke jalan kebaikan hukumnya adalah farḍu kifayah (kewajiban yang dibebankan kepada semua umat Islam, namun jika sudah ada satu yang menjalankan, maka sudah dianggap cukup). Hal ini bisa kita lihat dalam perintah Allah:

    وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِ​ؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏ ١٠٤

    Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali ‘Imran [3]: 104).

    Menurut pandangan al-Maturidi, penggalan ayat waltakun minkum memiliki dua kemungkinan pemahaman. Pertama, berupa redaksi khabar secara hakikat meskipun secara dzahir berupa perintah. Kedua, berupa perintah secara dzahir dan hakikat. Kedua bentuk redaksi tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda.

    Jika berupa khabar secara hakikat, maka maknanya bahwa berdakwah hukumnya adalah farḍu kifayah. Namun, jika redaksi tersebut berupa perintah secara dzahir dan hakikat, maka konsekuensinya dakwah menjadi farḍ ‘ain, atau setiap umat wajib menjalankan perintah untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran.

    Sementara itu, al-Zamakhsyari lebih cenderung memaknai perintah tersebut sebagai farḍu kifayah, yang berarti bahwa umat Islam, baik secara individu maupun perwakilan, diperintahkan untuk mengajak kebaikan.

    Meskipun Islam pada dasarnya memerintahkan umatnya untuk menyeru kepada kebaikan dan jalan Allah, namun Islam tidak serta-merta menyuruh memusnahkan orang-orang yang berbuat salah tanpa memberikan kesempatan untuk bertaubat. Namun, dalam pelaksanaannya, umat Islam memiliki sikap yang berbeda-beda.

    Sebagian kelompok menggunakan cara yang longgar dan moderat, sementara yang lain cenderung keras dan brutal. Hal ini tentu menjadi sorotan dunia, sehingga muncul anggapan bahwa Islam adalah agama yang brutal dan identik dengan kekerasan.

    Salah satu metode dakwah yang menarik untuk dipelajari guna menghilangkan pandangan negatif tersebut adalah metode dakwah Nabi Musa kepada Firaun. Dalam Al-Qur’an, metode dakwah Nabi Musa digambarkan sebagai berikut:

    اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

    Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (QS. Thaha [20]: 43).

    فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

    Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. Thaha [20]: 44).

    Ayat di atas secara eksplisit memerintahkan Musa dan Harun untuk pergi menemui Firaun guna menyadarkannya, karena ia telah melewati batas dengan mengaku sebagai Tuhan serta melakukan berbagai kezaliman seperti pembunuhan sewenang-wenang. Allah sebenarnya bisa saja langsung menghancurkan Firaun dengan badai atau bencana lainnya, tetapi Allah memilih untuk mengutus Nabi Musa dan Harun agar memperingatkan Firaun terlebih dahulu.

    Bahkan, dalam perintah-Nya, Allah menggunakan redaksi اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ, yang menunjukkan bahwa Musa dan Harun diperintahkan untuk menemui Firaun secara langsung dan tertutup tanpa melibatkan kaumnya.

    Al-Qafal, sebagaimana dikutip oleh Al-Fakhr al-Razi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa salah satu makna dari اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ adalah perintah untuk menemui Fir’aun secara pribadi. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika mengingatkan kesalahan seseorang, sebaiknya dilakukan secara pribadi dan tidak diumbar di tempat umum.

    Sebab, jika kesalahan seseorang dibuka di depan umum, justru akan semakin sulit baginya untuk menerima kebenaran. Ini merupakan adab yang harus dijaga dalam mengingatkan orang lain, karena kesalahan bukan untuk dipertontonkan atau mempermalukan.

    Dalam ayat berikutnya, Allah berfirman:

    فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

    Artinya: Berkatalah mereka berdua: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas” (QS. Thaha [20]: 45).

    Ayat ini memerintahkan Musa dan Harun untuk berdiskusi dengan Firaun dengan ucapan yang lembut. Al-Māturīdī dalam tafsirnya berpendapat bahwa alasan Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berkata lembut adalah karena ucapan yang lembut lebih mudah diterima oleh hati dibandingkan dengan ucapan yang kasar, terutama ketika berbicara kepada seorang penguasa.

    Sejalan dengan itu, Al-Samarqandī juga menjelaskan bahwa Musa dan Harun diperintahkan untuk berdakwah dengan penuh kasih sayang dan tanpa kekerasan, sebab ucapan yang lembut lebih efektif dalam menyentuh hati seseorang dibandingkan dengan kata-kata yang kasar.

    Metode dakwah seperti ini tidak hanya berlaku untuk pemimpin, tetapi juga dalam konteks yang lebih umum. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

    ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

    Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl: 125).

    Al-Māwardi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ adalah agama Islam. Sedangkan بِالْحِكْمَةِ memiliki dua arti, yaitu Al-Qur’an (menurut Al-Kalabī) dan kenabian. Sementara وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ dapat bermakna Al-Qur’an dalam kelembutan ucapan serta dalam perintah dan larangan.

    Dari uraian di atas, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah dakwah Nabi Musa dan Harun kepada Firaun bahwa dalam berdakwah, kita harus menjaga perasaan objek dakwah, tidak menyalahkannya di depan umum, serta berbicara dengan ucapan yang lembut. Sebab, pendekatan yang lembut lebih menyentuh hati dibandingkan dengan kata-kata yang kasar.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Islam dan Budaya: Menyambut Bulan Ramadan dengan Tradisi Meugang dan Megengan

    Islam dan Budaya: Menyambut Bulan Ramadan dengan Tradisi Meugang dan Megengan

    Ramadan bukan hanya tentang aspek fisik, tetapi juga merupakan kesempatan untuk membersihkan hati, memperdalam spiritualitas, dan mempererat hubungan sosial. Dalam momen yang penuh ampunan ini, umat Islam berusaha meraih pahala sebanyak-banyaknya dan menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh-Nya. 

    Hal ini tertuang pada Q.S.al-Baqarah [2]:183.

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

    Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S.al-Baqarah:183).

    Menurut Abdullah bin Mas’ud, apabila suatu ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai hingga akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini mengandung perihal yang penting atau larangan yang berat. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadan merupakan suatu hal yang wajib.

    Bahkan Nabi SAW memiliki cara tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan memperbanyak puasa sunah di bulan Syakban. Salah satu riwayat yang masyhur diceritakan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwa Nabi SAW mengisi bulan Syakban dengan memperbanyak berpuasa.

    .ْمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
    . َ أَخْرَجَه ُ الْبُخَارِي ُّ وَمُسْلِم

    Tidaklah aku melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadan dan aku tidak melihat beliau berpuasa sebanyak pada bulan Syakban. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

    Hadis di atas setidaknya memunculkan nilai-nilai yang baik dalam menyambut bulan suci Ramadan. Uniknya terdapat tradisi tersendiri di kalangan masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan mengakulturasikannya pada budaya. Tradisi meugang di Aceh dan megengan di Jawa adalah dua contoh ritual budaya yang mendalam dan sangat dihargai oleh masyarakat setempat, terutama dalam konteks menyambut bulan Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. 

    Kedua tradisi ini menggabungkan dimensi sosial, budaya, dan keagamaan yang saling berkaitan, menciptakan sebuah kesempatan untuk mempererat hubungan sosial, menunjukkan rasa syukur, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk menjalani ibadah puasa.

    Tradisi Meugang di Aceh

    Meugang merupakan tradisi yang dilaksanakan pada tiga waktu utama, menjelang Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Pada hari-hari tersebut, masyarakat Aceh melakukan pemotongan hewan seperti sapi atau kambing yang dibeli secara kolektif. Setelah penyembelihan dilakukan sesuai dengan prosedur syar’i, daging hewan tersebut dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar. 

    Pembagian daging ini memiliki makna simbolis berupa rasa kebersamaan dan berbagi, terutama kepada mereka yang kurang mampu, yang menjadikan meugang sebagai bentuk solidaritas sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh.

    Terdapat empat model yang dipraktikkan masyarakat Aceh dalam menyediakan daging untuk meugang. Pertama, acara meuripee, di mana masyarakat mengumpulkan uang untuk membeli hewan sembelihan yang kemudian dibagikan sesuai kontribusi peserta. Kedua, membeli daging pada agen yang akan menyembelih hewan pada hari meugang, dengan daging dibagikan dalam bentuk tumpok (campuran daging, tulang, dan kulit). 

    Ketiga, membeli daging di pasar, di mana pedagang daging menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, dan berbagai kalangan membelinya sesuai status sosial mereka. Keempat, beberapa masyarakat memilih menyembelih ayam atau bebek yang dipelihara sendiri, biasanya oleh mereka yang kurang mampu, sebagai alternatif untuk merayakan meugang.

    Tradisi Megengan di Jawa

    Sama halnya dengan meugang, tradisi megengan dilakukan beberapa hari sebelum Ramadan, biasanya melalui acara makan besar bersama keluarga besar atau tetangga, dengan hidangan khas seperti nasi, lauk-pauk, dan hidangan tradisional lainnya. Selain makan bersama, tradisi ini juga mencakup kegiatan bersih-bersih rumah dan desa, serta menghias rumah dengan ornamen khas. 

    Dimensi sosial dari megengan terletak pada kebersamaan yang tercipta antara anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Acara makan bersama menjadi ajang untuk mempererat hubungan sosial antar individu dan memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas.  Selain itu, megengan juga melibatkan pembagian makanan kepada tetangga atau mereka yang kurang mampu, menunjukkan solidaritas sosial yang kuat di kalangan masyarakat Jawa.

    Secara keagamaan, megengan memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur dan kesiapan untuk menjalankan ibadah puasa. Makanan yang disajikan dalam acara megengan tidak hanya berfungsi sebagai hidangan fisik, tetapi juga sebagai simbol persiapan batin untuk menahan nafsu dan menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesabaran. 

    Dalam banyak kasus, acara megengan juga disertai dengan doa bersama sebagai bentuk harapan agar bulan Ramadan dapat dijalani dengan baik dan penuh berkah.

    Kesamaan antara Meugang dan Megengan

    Titik temu meugang dan megengan terletak pada dimensi sosial dan keagamaan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Aceh dan Jawa. Kedua tradisi ini berfungsi sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial antar individu dalam komunitas, sambil menunjukkan rasa syukur dan berbagi kebahagiaan. Keduanya juga mengandung makna spiritual yang mendalam, yang mengingatkan umat Islam akan pentingnya berpuasa dan menahan diri. 

    Baik meugang maupun megengan mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan ketaatan kepada Allah Swt, serta mempersiapkan umat Islam untuk menjalani ibadah puasa dengan penuh kesabaran dan pengendalian diri. Selain itu, kedua tradisi ini juga memberikan dampak positif pada sector ekonomi, dengan mendorong perputaran ekonomi lokal, terutama bagi pedagang dan peternak.

    Dengan demikian, baik meugang maupun megengan tidak hanya berfungsi sebagai tradisi budaya, tetapi juga sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang mengajarkan kebersamaan, rasa syukur, dan persiapan spiritual dalam menjalankan ibadah puasa. 

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Isu Politik Terkini: Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati hingga Penutupan Retret Kepala Daerah

    Isu Politik Terkini: Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati hingga Penutupan Retret Kepala Daerah

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah isu politik terkini menjadi perbincangan hangat para pembaca. Rencana pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menarik perhatian para pembaca Beritasatu.com.

    Isu politik lainnya, yakni terkait Presiden Prabowo Subianto yang mengingatkan kepala daerah untuk menjaga kekayaan alam, mayoritas publik yang puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, wisata Ramadan di Indonesia, hingga terobosan dalam waktu lebih dari 100 hari kerja Prabowo-Gibran.

    Isu politik terkini Beritasatu.com.

    1. Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Puan: Insyaallah Secepatnya

    Ketua DPR Puan Maharani mengungkapkan pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri akan segara terlaksana. Hal tersebut disampaikan Puan Maharani seusai menghadiri retret kepala daerah di Kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Jumat, (28/2/2025).

    Puan menjelaskan, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri turut diundang untuk menghadiri Parade Senja, tetapi berhalangan hadir. Meski demikian, Megawati menyampaikan pesan kepada Prabowo Subianto dan kepala daerah yang hadir.

    Rencana pertemuan Prabowo dan Megawati Soekarnoputri sebenarnya sudah mengemuka sejak akhir tahun lalu, tetapi sampai saat ini belum terwujud.

    2. Tutup Retret Kepala Daerah, Prabowo Ingatkan Jaga Kekayaan Alam

    Presiden Prabowo Subianto resmi menutup rangkaian retret kepala daerah yang berlangsung selama delapan hari di Kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Jumat, (28/2/2025).

    Sebelum menutup rangkaian acara tersebut, Prabowo menyampaikan arahannya terkait Asta Cita kepada ratusan kepala daerah dan wakilnya yang hadir. Hal itu dikemukakan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya.

    Acara penutupan retret sendiri berlangsung secara tertutup. Dalam arahannya, ungkap Bima, Prabowo mengingatkan kepala daerah untuk menjaga kekayaan alam serta mengelola potensi daerah dengan sebaik-baiknya, agar hasilnya bisa dinikmati masyarakat.

    3. Survei LPI: Mayoritas Publik Puas dengan Kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Selain berita terkait rencana pertemuan Prabowo-Megawati, berita politik lainnya yang menarik perhatian, yakni hasil survei terbaru Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menunjukkan mayoritas publik puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

    Berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat kepuasan publik berada di angka 66,5% dengan perincian responden yang sangat puas sebanyak 28,75% dan yang puas sebanyak 37,75%. Dari hasil survei tersebut, alasan publik sangat puas atau puas dengan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah karena pemberantasan korupsi berjalan dengan tingkat kepuasan 29,85%.

    4. Nasaruddin Umar: Wisata Ramadan Paling Indah Ada di Indonesia

    Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Menteri Agama Nasaruddin Umar mengeklaim, wisata Ramadan yang paling indah ada di Indonesia. Menurutnya, suasana Ramadan di Tanah Air begitu tentram, aman, dan istimewa, berbeda dengan negara lain yang sering kali menghadapi konflik.

    Selain keamanan, Nasaruddin Umar juga menyoroti bagaimana suasana Ramadan di Indonesia sangat identik dengan sikap saling menghargai antarumat beragama. Ia mencontohkan bagaimana masyarakat di ruang publik menunjukkan kepedulian terhadap bulan suci ini.

    5. 100 Hari Prabowo-Gibran: Terobosan Bermunculan, Soliditas Teruji

    Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka membuat banyak terobosan dalam waktu lebih dari 100 hari kerja. Menurut Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna salah satu kunci utamanya adalah soliditas Prabowo dan Gibran dalam menjalankan pemerintahan.

    Dia menyebutkan sejumlah terobosan pemerintahan Prabowo-Gibran selama ini, mulai dari pemberlakuan PPN 12% hanya barang mewah, penghapusan utang petani, nelayan dan UMKM, pelaksanaan program makan bergizi gratis, implementasi cek kesehatan gratis, kebijakan efisien anggaran, pelibatan UMKM daerah mengelola tambang, pembentukan Danantara, retret para menteri dan kepala daerah, dan peluncuran bank emas pertama di Indonesia.

    Lebih lanjut, Sutisna juga mengingatkan situasi pemerintahan saat ini berada dalam kondisi dunia yang tidak pasti dan tidak baik-baik saja. Karena itu, kita membutuhkan soliditas dan persatuan.

    Demikian isu politik terkini Beritasatu.com, di antaranya rencana pertemuan Prabowo dan Megawati.

  • Mengapa Perlu Bangun Subuh?

    Mengapa Perlu Bangun Subuh?

    Mengapa kita masih sulit bangun subuh, padahal sudah banyak pembahasan mengenai manfaat bangun subuh?

    Bangun subuh bukan sekadar rutinitas, tetapi kebiasaan yang membawa banyak manfaat secara spiritual, kesehatan, dan produktivitas. Sayangnya, banyak orang belum menyadari betapa berharganya waktu subuh dan lebih memilih terlelap dibanding memulai hari dengan penuh energi dan keberkahan.

    Bangun subuh bukan hanya perintah agama, tetapi juga rahasia kesuksesan banyak tokoh besar. Dari sisi Islam, Rasulullah SAW telah menekankan keberkahan waktu pagi. Ilmu kesehatan modern pun membuktikan bangun lebih awal meningkatkan kualitas hidup secara signifikan. Orang-orang sukses di berbagai bidang juga memanfaatkan waktu subuh untuk berpikir, merencanakan hari, dan melakukan aktivitas produktif. Jadi, mengapa kita masih ragu untuk memulai kebiasaan ini?

    Pembahasan ini dimulai dari pertanyaan sederhana: kenapa sih harus bangun subuh? Tentu alasan utamanya adalah kewajiban untuk salat subuh bagi setiap muslim. Akan tetapi realitanya tidak sesederhana itu. Masih banyak muslim yang menganggap remeh kewajiban ini dan meninggalkan salat subuh dengan berbagai macam alasan, seperti kelelahan, tidur terlalu larut, atau merasa tidak ada kegiatan setelah subuh.

    Apa yang terjadi ketika kita bangun saat  awal pagi dan menunaikan kewajiban salat subuh tepat waktu? Banyak hal positif yang bisa dirasakan dengan bangun pagi, seperti badan yang lebih fresh karena ritme tidur yang lebih baik, memperbaiki metabolisme tubuh, udara pagi yang lebih segar dan menjadikan kita lebih bersemangat menjalani hari. Dengan bangun pagi, kita juga memiliki lebih banyak waktu untuk bersiap menjalani hari, kita bisa menggunakan waktu pagi untuk menyusun agenda atau daftar tugas, berkreasi, mengulang pelajaran, atau berkumpul sejenak bersama keluarga sebelum menuju ke tempat masing-masing.

    Dari sisi psikologis, bangun saat awal pagi juga dapat mengurangi stres yang timbul karena tekanan tugas atau pekerjaan. Pagi hari adalah waktu yang tenang, bebas dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Saat bangun subuh, seseorang memiliki lebih banyak waktu untuk bersiap tanpa terburu-buru. Ini dapat mengurangi stres dan kecemasan. Bangun lebih awal juga memberi kesempatan pada diri untuk menikmati udara segar, sinar matahari pagi, dan ketenangan sebelum dunia mulai sibuk. Paparan sinar matahari pagi membantu tubuh memproduksi serotonin, hormon yang berperan dalam meningkatkan mood dan kebahagiaan. Hal ini dapat membuat seseorang lebih bersemangat menjalani hari. yang sering muncul akibat tekanan pekerjaan atau tugas harian yang menumpuk. 

    Dikutip dari Universitas Islam Indonesia, penelitian dari Massachusetts General Hospital menunjukkan orang-orang dengan kebiasaan bangun pagi terbukti memiliki tingkat kebahagiaan dan kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan mereka yang sering tidur terlalu malam dan terlambat bangun di pagi harinya. Mereka melakukan sebuah penelitian dengan memeriksa genom atau informasi genetik setiap individu untuk menentukan hubungan antara gen, waktu bangun tidur yang disukai, dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan kesehatan mereka. Hasil studi menunjukkan orang dengan kebiasaan bangun pagi memiliki kesehatan mental yang lebih baik, indeks massa tubuh yang stabil, serta memiliki risiko penyakit kronis, seperti diabetes tipe 2 yang lebih kecil. Mereka yang memiliki kebiasaan tidur larut malam, memiliki risiko terkena penyakit skizofrenia dan mengalami depresi yang lebih tinggi.

    Beberapa dari kita merasa bangun pagi tidak terlalu penting, karena tidak banyak yang bisa dikerjakan pada pagi hari. Banyak juga yang merasa bingung akan melakukan kegiatan apa setelah subuh jika menjalankannya pada awal waktu. Padahal banyak kegiatan bermanfaat kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukan yang dilakukan setelah subuh agar tidak tergoda untuk tidur lagi. 

    Hal yang sangat dianjurkan untuk dilakukan setelah salat subuh adalah berzikir dan berdoa, sebagaimana Rasulullah SAW biasa duduk berzikir hingga matahari terbit. Diceritakan oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

    Barangsiapa yang salat Subuh berjemaah, kemudian ia duduk–dalam riwayat lain, ia menetap di masjid–untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian ia salat dua rakaat, maka ia akan mendapatkan (pahala), seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna. (HR at-Tirmidzi)

    Zikir pagi dan doa setelah subuh dapat memberikan ketenangan hati serta keberkahan dalam menjalani hari. Selain itu, membaca atau merenungkan Al-Qur’an juga merupakan pilihan yang baik, karena waktu pagi adalah momen terbaik untuk memahami ayat-ayat Allah dan memperkuat roh atau spiritual.

    Selain ibadah, aktivitas fisik, seperti olahraga ringan, juga sangat bermanfaat. Berjalan kaki, joging, atau stretching dapat meningkatkan energi dan kesehatan tubuh, sementara udara pagi yang segar membantu menyegarkan pikiran. Setelah itu, mengikuti kajian atau belajar ilmu bisa menjadi pilihan bagi mereka yang ingin menambah wawasan, baik melalui kajian daring, membaca buku, atau menonton video edukatif. Tak kalah penting, sarapan sehat juga diperlukan untuk memberikan energi yang cukup dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

    Agar hari lebih terstruktur, kita juga bisa memulai pagi dengan merencanakan aktivitas harian, seperti menulis to-do list atau menyusun agenda kerja. Membersihkan rumah atau kamar juga bisa menjadi kegiatan ringan yang membantu mengusir rasa kantuk sekaligus membuat lingkungan lebih nyaman. Bagi yang memiliki pekerjaan atau tugas akademis, pagi hari merupakan waktu ideal untuk fokus menyelesaikan tugas-tugas penting. Selain itu, memanfaatkan pagi untuk mengembangkan hobi, seperti menulis, melukis, atau membaca buku, juga bisa menjadi cara yang menyenangkan untuk mengisi waktu dengan hal positif. Dengan berbagai aktivitas ini, bangun subuh tidak hanya menjadi kewajiban, juga awal dari hari yang penuh berkah dan produktif.

    Pada akhirnya, bangun pagi bukan hanya kebiasaan yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental, juga memiliki nilai spiritual yang tinggi dalam Islam. Dengan bangun subuh, seorang muslim dapat menjalankan kewajiban salat tepat waktu, meraih keberkahan pagi, serta memanfaatkan waktu dengan aktivitas yang bermanfaat. Rasulullah SAW telah menegaskan pentingnya waktu pagi dalam sabdanya,”Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan pagi hari adalah saat yang penuh dengan keberkahan, baik untuk ibadah maupun aktivitas duniawi. Selain itu, bangun pagi juga mengajarkan kedisiplinan, kesungguhan, dan kepedulian terhadap waktu. Oleh karena itu, marilah kita membiasakan diri untuk bangun lebih awal, bukan hanya demi kesehatan dan produktivitas, juga untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih keberkahan dalam hidup.