Category: Beritasatu.com Nasional

  • Mengendalikan Syahwat dan Meningkatkan Derajat: Peran Puasa dalam Kehidupan Spiritual

    Mengendalikan Syahwat dan Meningkatkan Derajat: Peran Puasa dalam Kehidupan Spiritual

    Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah, di mana umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa. Puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merupakan cara untuk membersihkan jiwa dan mengendalikan nafsu. 

    Dalam ajaran Islam, nafsu atau syahwat dianggap sebagai pintu masuknya setan, dan dengan menahan nafsu selama bulan puasa, umat Muslim diharapkan dapat mencapai derajat yang lebih tinggi, baik di dunia maupun di akhirat.

    Nafsu dan Peranannya dalam Kehidupan Manusia

    Secara alami, manusia dilahirkan dengan berbagai kecenderungan atau syahwat. Syahwat ini bisa berupa keinginan untuk makan, minum, berhubungan seksual, hingga keinginan-keinginan lain yang bersifat duniawi. Namun, tanpa kendali yang baik, syahwat ini bisa berujung pada tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan bisa mengarah pada kerusakan moral.

    Dalam ajaran Islam, syahwat dianggap sebagai sesuatu yang perlu dikendalikan, bukan dihilangkan. Setiap manusia memiliki hawa nafsu yang bisa memalingkannya dari jalan ketaatan. Namun, jika manusia berhasil mengendalikan hawa nafsunya, maka dia akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat, yang tidak memiliki hawa nafsu.

    Hadis Nabi dan Hubungannya dengan Puasa

    Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari. 

    إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ ، فَضَيِّقُوا مَجَارِيَهُ بِالْجُوع 

    Artinya: “Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).”

    Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya puasa sebagai sarana untuk mengurangi pengaruh setan yang berusaha masuk ke dalam diri manusia melalui hawa nafsu.

    Puasa, menurut hadis ini, tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sebagai cara untuk menahan godaan setan yang sering kali muncul melalui dorongan-dorongan nafsu dalam diri manusia. Dalam kondisi lapar dan haus, seseorang menjadi lebih tenang dan lebih mudah untuk mengendalikan dirinya. Oleh karena itu, bulan Ramadan menjadi kesempatan bagi umat Muslim untuk memperbanyak ibadah dan memperbaiki diri dengan mengekang hawa nafsu.

    Puasa sebagai Penyucian Jiwa

    Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa tujuan puasa adalah untuk menyucikan jiwa dari hawa nafsu (syahwat). Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang mengendalikan diri agar terhindar dari keinginan-keinginan yang bisa merusak akhlak dan moral seseorang. 

    Dalam hal ini, puasa berfungsi sebagai latihan spiritual yang membantu seseorang untuk lebih mengenal dirinya dan mengendalikan berbagai dorongan yang dapat membawa kerugian.

    Al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin:

    أن المقصود من الصوم التخلق بخلق من أخلاق الله عز وجل وهو الصمدية، والاقتداء بالملائكة في الكف عن الشهوات بحسب الإمكان فإنهم منزهون عن الشهوات. والإنسان رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى بمجاهدتها، فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم، وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين والتحق بأفق الملائكة.

    Artinya: “Tujuan berpuasa adalah supaya bisa berakhlak sebagaimana sifat as-Shamad bagi Allah, juga agar manusia bisa mengikuti sifat-sifat malaikat, yaitu mengekang syahwat sebisa mungkin. Malaikat adalah makhluk yang terbebas dari syahwat. Level manusia sendiri berada di atas hewan karena dengan cahaya akal yang dimilikinya mampu menaklukkan syahwat. Akan tetapi di bawah level malaikat karena memiliki syahwat dan diuji untuk menaklukannya. Jika ia terbuai oleh syahwatnya, levelnya akan turun setara dengan hewan. Sebaliknya, jika mampu menghancurkan syahwatnya, makan levelnya akan naik setinggi-tingginya bersama golongan para malaikat.”

    Kutipan ini menegaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk mengekang syahwat, mengikuti sifat malaikat, dan mendekatkan diri kepada Allah. Bagi manusia, dengan akal yang dimilikinya, ada kemampuan untuk menaklukkan syahwat. Namun, manusia tetap diuji oleh Allah untuk mengendalikan nafsunya. Jika berhasil menahan dan mengendalikan syahwatnya, maka derajatnya akan naik lebih tinggi dari malaikat.

    Menjaga Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

    Di dalam Islam, dunia dan akhirat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kedua-duanya memiliki peran dan fungsi masing-masing, dan umat Muslim diharapkan untuk selalu menjaga keseimbangan antara keduanya. Puasa Ramadan menjadi kesempatan bagi umat Muslim untuk merenung dan menyadari betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi.

    Meskipun puasa mengajarkan umat Islam untuk menahan diri dari syahwat dan keinginan duniawi, bukan berarti umat Muslim dianjurkan untuk menanggalkan kehidupan dunia sama sekali. Sebaliknya, puasa justru menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan menahan diri, seseorang dapat lebih fokus pada ibadah dan refleksi diri, serta lebih mampu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

    Mengembangkan Toleransi dan Empati

    Puasa juga mengajarkan umat Muslim untuk lebih mengembangkan rasa toleransi dan empati terhadap sesama. Dengan merasakan rasa lapar dan haus, seseorang akan lebih memahami kondisi orang lain yang kurang beruntung. Hal ini juga mengajarkan nilai-nilai sosial yang sangat penting, seperti berbagi dengan orang lain dan memberikan perhatian kepada mereka yang membutuhkan.

    Dalam bulan Ramadan, umat Muslim dianjurkan untuk banyak bersedekah dan memberikan makanan kepada orang yang berpuasa, sebagai bentuk empati dan solidaritas. Dengan cara ini, puasa tidak hanya menjadi ibadah pribadi, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan sosial antara sesama.

    Menjadi Lebih Baik dengan Puasa

    Ramadan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan ampunan. Bagi umat Muslim, bulan ini merupakan waktu yang tepat untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Puasa bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

    Melalui puasa, seseorang diajarkan untuk lebih sabar, disiplin, dan memiliki kontrol diri yang lebih baik. Puasa juga membantu seseorang untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain, serta lebih bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Oleh karena itu, puasa Ramadan bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual untuk mencapai kedamaian hati dan jiwa.

    Refleksi

    Puasa Ramadan lebih dari sekadar menahan lapar dan haus. Ibadah ini merupakan sarana untuk membersihkan jiwa, mengendalikan hawa nafsu, dan mencapai derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah SWT. Dalam bulan suci ini, umat Muslim diajak untuk tidak hanya menahan diri dari syahwat, tetapi juga untuk memperbaiki akhlak dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual. 

    Dengan demikian, puasa Ramadan menjadi momen yang penuh makna, yang bukan hanya membawa kedamaian dalam diri pribadi, tetapi juga mempererat hubungan sosial dan memperdalam rasa empati terhadap sesama. Semoga puasa kita tahun ini membawa keberkahan dan menjadi ladang pahala yang berlipat.

  • Ramadan Bukan Sekadar Puasa: Kurikulum Langit untuk Umat Manusia

    Ramadan Bukan Sekadar Puasa: Kurikulum Langit untuk Umat Manusia

    Bulan suci Ramadan kembali menghampiri kita, namun tidak ada jaminan kita akan bertemu dengannya lagi di masa mendatang. Keagungan bulan ini hadir di depan mata, disambut oleh beragam tipe manusia dengan cara yang berbeda-beda.

    Ada yang menyambutnya dengan penuh suka cita dan persiapan matang, sementara yang lain mungkin hanya menjalaninya dengan rutinitas biasa tanpa makna yang mendalam. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyambut kedatangan bulan penuh berkah ini.

    Pertama, ada orang yang menyambut Ramadan dengan sikap biasa-biasa saja. Bagi mereka, Ramadan hanyalah rutinitas tahunan yang tidak membawa perubahan berarti. Kehadiran bulan yang mulia ini tidak memberikan pengaruh apa pun, kecuali kewajiban untuk berpuasa menahan lapar dan dahaga. 

    Bagi orang seperti ini, Ramadan berlalu tanpa meninggalkan makna atau bekas dalam hidupnya. Ia melewatkannya begitu saja, tanpa merasakan keistimewaan atau transformasi spiritual.

    Kedua, ada orang yang menyambut Ramadan dengan sikap sinis. Mereka merasa terbebani dengan datangnya bulan suci ini. Ibadah terasa berat, dan puasa dianggap sebagai beban. 

    Bagi mereka, Ramadan adalah masa yang menyebalkan karena harus menahan diri dari kebiasaan makan dan berbuat sesuka hati. Mereka bahkan menganggap kedatangan Ramadan sebagai musibah yang mengganggu kenyamanan hidup. Naudzubillah min dzalik, semoga kita dijauhkan dari sikap seperti ini.

    Ketiga, ada orang yang menyambut Ramadan dengan penuh antusiasme dan kegembiraan. Mereka merasa istimewa dan bersemangat menyambut bulan penuh berkah ini. 

    Namun, dalam kelompok ini, terdapat dua golongan. Pertama, golongan yang bersemangat tetapi hanya fokus pada aspek lahiriah, seperti berbuka puasa dengan makanan mewah atau mengikuti tradisi tanpa memahami makna spiritual yang mendalam. Kedua, golongan yang bersemangat dengan mempersiapkan diri secara lahir dan batin, meningkatkan ibadah, memperbaiki diri, dan merenungkan makna Ramadan sebagai momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

    Dua golongan ini menunjukkan bahwa antusiasme dalam menyambut Ramadan bisa memiliki makna yang berbeda, tergantung pada niat dan pemahaman masing-masing individu.

    Kita termasuk dalam golongan yang mana? Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang menyambut bulan Ramadan dengan penuh semangat, didasari oleh keimanan dan pemahaman yang mendalam. Semoga pula kita mampu mengisi Ramadan kali ini dengan memperbanyak amal kebaikan, baik dalam hubungan kita dengan Allah (hablumminallah) maupun dalam hubungan kita dengan sesama manusia (hablumminannas).

    Ayat-ayat yang membahas tentang puasa Ramadan sebenarnya turun bukan di bulan Ramadan, melainkan di bulan Syakban, tepatnya pada tahun kedua hijriah. Kita menyebutnya sebagai “ayat-ayat paket puasa”, karena sering kali umat Islam hanya fokus pada ayat (183) surah al-Baqarah ketika membicarakan puasa Ramadan.

    Padahal, kurikulum Ramadan itu mencakup satu paket lengkap, mulai dari ayat (183) hingga ayat (187) surah al-Baqarah.

    Pembahasan mengenai kurikulum ini masih relevan hingga saat ini dan sejalan dengan petunjuk atau sunah Nabi Muhammad SAW, baik dari sisi historis maupun persiapan spiritual. Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat tentang puasa diturunkan pada bulan Syakban, satu bulan sebelum Ramadan, agar Nabi memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskan berbagai aspek penting terkait puasa. 

    Baik itu mengenai keutamaan, tata cara pelaksanaan, maupun persiapan yang diperlukan agar umat Islam dapat menjalankan ibadah Ramadan dengan sempurna sesuai dengan kehendak Allah.

    Dengan adanya pendidikan pra-Ramadan yang langsung diberikan oleh Nabi, pendidikan yang bersumber dari tuntunan kenabian umat Islam, baik yang hidup di masa itu maupun generasi setelahnya hingga kini, diharapkan dapat mempersiapkan diri secara lahir dan batin. 

    Dengan hati yang lapang dan kesiapan penuh, mereka akan lebih mudah menerima serta menjalankan setiap perintah Allah di bulan Ramadan, sehingga dapat mencapai kualitas ibadah yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

    Nantinya, kita akan membahas lebih dalam apa yang Allah inginkan melalui Ramadan. Dengan adanya pendidikan pra-Ramadan ini, yang langsung diajarkan oleh Nabi SAW, diharapkan seluruh umat Islam, baik pada masa itu maupun yang terus berlanjut hingga sekarang, memiliki kelapangan hati dan kesiapan untuk menerima segala perintah yang diberikan selama Ramadan. 

    Dengan persiapan yang matang ini, diharapkan kita dapat mencapai kualitas Ramadan yang diinginkan oleh Allah Swt.

    Dalam bahasa Arab, seseorang yang memiliki kelapangan hati sehingga siap menerima dan menyambut apa pun dengan baik disebut dengan istilah marhaban, yang berasal dari kata rahiba yarhabu. 

    Ketika orang Arab mengucapkan “marhaban ya Akhi” kepada seorang tamu, itu berarti mereka menyambutnya dengan penuh kehangatan, seolah ingin mengatakan, “Saya benar-benar menerima Anda dengan lapang dada.” 

    Ungkapan ini juga sering diiringi dengan frasa “nazaltu ahlan wahalaltum sahlan”, yang kemudian disingkat menjadi “ahlan wa sahlan”. Ungkapan ini menggambarkan keramahan dan keterbukaan dalam menerima tamu, di mana tamu dipersilakan untuk merasa nyaman dan diperlakukan dengan baik, baik dalam hal tempat duduk, makanan, maupun hal lainnya.

    Tarhib itu asalnya usaha untuk melapangkan hati seluas-luasnya. Sehingga siap menerima dan menyambut apa pun yang dihadapi kemudian. Jika tarhib ini dilekatkan dengan Ramadan maka memberikan kesan upaya untuk melapangkan keadaan hati dan jiwa. Sehingga, ketika Ramadan datang sebagai tamu istimewa itu apa pun yang diperintahkan siap untuk dilakukan. Itu gambarannya. 

    Materi tarhib Nabi Muhammad SAW yang pernah beliau sampaikan kepada sahabatnya yang menjadi kurikulum untuk diwariskan, setidaknya mendekati kualitas para sahabat-sahabat ataupun tabiin di era itu yang bisa kita capai di masa-masa yang berbeda.

    Tarhib, dalam esensinya, adalah seni melapangkan hati dan jiwa seluas-luasnya, bagaikan membersihkan ruang tamu sebelum kedatangan tamu agung. Jika tarhib dikaitkan dengan Ramadan, maka maknanya menjadi lebih mendalam, ia adalah persiapan batin agar ketika bulan suci tiba, kita tidak sekadar menjadi tuan rumah yang kikuk, tetapi benar-benar siap menyambutnya dengan penuh antusiasme dan kesiapan menjalankan segala perintah Allah.

    Mari kita mengulik kurikulum tarhib ala Nabi SAW. Apa yang beliau ajarkan kepada para sahabat sehingga mereka bisa menyambut Ramadan dengan kesiapan yang luar biasa? Jika kita bisa mengadopsi warisan ini, setidaknya kita bisa mendekati walaupun mungkin tidak menyamai kualitas keimanan para sahabat dan tabi’in. Tentu, mereka punya level “high-class iman,” sedangkan kita masih di level “cicilan bertahap,” tetapi tak ada salahnya berusaha, bukan?

    Kata tarhib secara bahasa berasal dari usaha untuk melapangkan hati seluas-luasnya, sehingga seseorang siap menerima dan menyambut segala sesuatu yang dihadapinya. Ketika istilah tarhib dikaitkan dengan bulan Ramadan, hal ini memberikan makna bahwa seseorang berupaya melapangkan hati dan jiwanya, agar saat Ramadan tiba sebagai tamu istimewa, ia siap menjalankan segala perintah dengan penuh keikhlasan.

    Lalu, bagaimana bentuk tarhib yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya? Materi tarhib yang beliau sampaikan menjadi sebuah kurikulum yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga umat Islam dapat meneladani semangat para sahabat dan tabiin di masa itu. 

    Dengan memahami dan mengamalkan warisan ini, diharapkan kita dapat mendekati kualitas spiritual mereka, meskipun hidup dalam zaman yang berbeda.

    Penting diketahui bahwa goal dari Ramadan itu ada tiga. Seseorang disebut berhasil melewati pendidikan Ramadan, setidaknya ia bisa mendapatkan tiga goal yang diharapkan, yang langsung Allah tuangkan dalam Al-Qur’an.

    Pertama, yang dinamakan dengan peningkatan ketakwaan personal. Ada di surah al-Baqarah ayat (183). Jadi Ramadan didesain oleh Allah sebagai waktu ibadah, dengan harapan supaya setiap Muslim terbentuk karakter dengan tingkat ketakwaan personal yang tinggi, seperti termaktub dalam surah al-Baqarah ayat (183). 

    ﯾَﺄَُّيهﺎٱَِّذل-َﻦَءاَﻣُﻨﻮ۟اُﻛِﺘَﺐَﻋَﻠْﻴُُكمٱﻟِّﺼَﻴﺎُمََامكُﻛِﺘَﺐَﻋَلىٱَِّذل-َﻦِﻣﻦَﻗْﺒِﻠُْكمَﻟَﻌَّﻠُْكمَﺗَّﺘُﻘﻮَن

    Ketika menunjuk tattaqun itu menggunakan kata kerja kedua. Allah mengkhitab kita personal. “Aku siapkan puasa ini untuk kalian menjadi personal yang bertakwa.”

    Ramadan juga disiapkan oleh Allah, untuk membentuk ketakwaan sosial, jadi bukan sekedar secara pribadi menjadi lebih baik, tetapi ternyata kebaikan personal ini baru punya nilai optimal dalam pandangan Al-Qur’an jika auranya sudah mampu ditebarkan ke lingkungannya. 

    Karena itu puasa tidak biasa desainnya. Puasa, secara bersamaan, akan melatih untuk berinteraksi secara sosial dan mengoptimalkan semua karakter sosial kita. Sehingga goal-nya akan terlihat, bukan hanya memiliki hubungan baik dengan Allah, tetapi juga dengan manusianya. Jadi kalau dengan Allah-nya baik dengan manusianya tidak baik, belum sempurna Ramadannya.

    Ketakwaan personal, ketakwaan sosial ada di ayat (187) dan karakter syukurnya berada di ayat (185).

    Bulan Ramadan bukan bulan yang biasa. Puasanya pun bukan puasa biasa kalau kita kerjakan dengan benar.

    Pertama, dari semua sudut pandang baik terkait pahalanya, keutamaannya itu akan mengalahkan puasa-puasa yang pernah dikerjakan sebelumnya tidak ada tandingannya. Jika diurutkan dari segi turunnya ayat, salah satu keutamaan puasa Ramadan adalah untuk memuliakan umatnya Nabi Muhammad SAW lewat rasulnya. 

    Seperti yang pernah disampaikan Allah kepada Muhammad, bahwa puasa yang dikerjakan umatnya lebih unggul dibandingkan dengan umat sebelumnya yang pernah menjalankan puasa.

    Jadi berbahagialah umat Nabi Muhammad SAW yang mendekat kepada Ramadan, karena di dalamnya ada keutamaan-keutamaan yang mengalahkan semua jenis puasa yang pernah berlaku di masa lampau.

    Diceritakan pada zaman Nabi Zulkarnain alaihissalam bersama dengan pasukannya, ketika berjalan di malam yang gelap gulita. Lalu Nabi Zulkarnain as memberi perintah kepada seluruh pasukannya. “Apa pun yang tersangkut atau yang tersandung di kaki kalian, kalian ambil dan kumpulkan.”

    Ketika mendengar perintah tersebut, ada beberapa reaksi dari pasukannya. Kelompok pertama berkata, “Perjalanan kita sudah sangat jauh dan melelahkan. Mengambil sesuatu yang tersandung di kaki hanya akan menjadi beban yang sia-sia.” Dengan pemikiran itu, mereka pun tidak mengumpulkan apa pun sepanjang perjalanan.

    Sementara itu, kelompok kedua memilih untuk menaati perintah Nabi Zulkarnain alaihissalam dengan sikap yang lebih moderat. Mereka berpikir, “Setidaknya ambillah sedikit dari apa yang mengganjal di kaki kita, siapa tahu ada manfaatnya.”

    Adapun kelompok ketiga memiliki keyakinan penuh pada perintah pemimpin mereka. Mereka berkata, “Jika ini adalah perintahnya, pasti ada hikmah di baliknya, meskipun kita belum memahaminya sekarang.” Dengan keyakinan itu, mereka mengumpulkan setiap benda yang tersangkut atau tersandung di kaki mereka.

    Ketika mereka tiba di tujuan dan cahaya siang mulai menyinari, mereka dikejutkan oleh apa yang mereka temukan. Ternyata, benda-benda yang mereka kumpulkan sepanjang perjalanan adalah emas yang berharga! Saat itu, muncul penyesalan di antara mereka, terutama bagi mereka yang tidak mengumpulkan apa pun atau hanya mengambil sedikit. Mereka akhirnya menyadari bahwa apa yang tampak sepele dan merepotkan di perjalanan, sebenarnya adalah harta yang luar biasa nilainya.

    Kelompok pertama menyesali keputusan mereka. “Seandainya saja kita mengambil setidaknya satu saja dari benda yang tersandung di kaki kita, pasti kita tidak akan menyesal sedalam ini.”

    Kelompok kedua yang hanya mengambil sedikit pun merasakan hal yang sama. “Andai saja kita lebih banyak mengumpulkan dan memenuhi kantong kita, tentu hasilnya akan jauh lebih besar, dan kita tidak akan merasa sekecewa ini.”

    Sementara itu, kelompok ketiga yang telah taat dan mengambil semampunya juga merasa ada yang kurang. “Jika saja kita mengganti isi karung kita dengan benda-benda berharga yang kita temukan tadi malam, tentu hasilnya akan jauh lebih banyak dari yang kita dapatkan sekarang.”

    Begitulah akhirnya setiap kelompok tenggelam dalam penyesalan. Gambaran ini menyerupai keadaan di akhirat kelak ada yang menyesal, dan ada yang paling menyesal.

    Orang-orang kafir akan berkata, “Seandainya saja dulu aku beriman, seandainya aku menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, maka meskipun aku harus melewati siksa, pada akhirnya aku akan menuju surga.”

    Sementara itu, orang mukmin yang hanya beribadah sekadarnya pun akan merenung, “Andai saja aku lebih banyak beramal saleh, lebih banyak bersedekah, lebih khusyuk dalam salat, lebih ikhlas dalam puasa, dan lebih dermawan dalam zakat, tentu aku akan mendapatkan pahala yang lebih besar dan tempat yang lebih tinggi di surga.”

    Semoga di akhir Ramadan ini, kita tidak termasuk golongan yang paling menyesal karena kurang memanfaatkan bulan suci ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan untuk beribadah lebih banyak, berbuat baik kepada sesama, dan bersedekah dengan tulus. Mari jadikan Ramadan ini sebagai momen terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih pahala yang berlimpah.

    Ketika cinta telah berbicara, tak ada lagi ruang bagi kesedihan atau keluh kesah. Rasa lapar, haus, dan keletihan selama menjalankan ibadah Ramadan tak lagi menjadi beban, melainkan bagian dari perjalanan yang indah. Dengan cinta, segala sesuatu yang awalnya terasa pahit akan berubah menjadi manis. 

    Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa merasakan kebahagiaan dan kecintaan terhadap Ramadan, dengan sepenuh hati memanfaatkan setiap nilai ibadah yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, rahmat dan ampunan Allah akan selalu menyertai kita. Amin, amin, ya Rabbal ‘alamin.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

    Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

    Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu sebelum Idulfitri. Tujuan utama zakat fitrah adalah menyucikan jiwa dan memberikan kebahagiaan bagi kaum dhuafa agar mereka dapat turut merasakan kegembiraan di hari raya.

    Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bentuk zakat fitrah, apakah harus berupa makanan pokok seperti beras atau boleh dikonversi menjadi uang? Perdebatan ini menjadi semakin menarik dalam konteks masyarakat modern, terutama di Indonesia yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i.

    Secara turun-temurun, masyarakat Indonesia membayar zakat fitrah dalam bentuk beras sesuai dengan ketentuan mazhab Syafi’i. Namun, dengan perkembangan zaman dan perubahan kebutuhan sosial ekonomi, banyak yang memilih membayar dalam bentuk uang karena dinilai lebih praktis dan lebih bermanfaat bagi mustahiq. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai pandangan fikih mengenai hal ini agar umat Islam dapat menjalankan kewajiban zakat fitrah dengan lebih bijak.

    Mazhab Syafi’i mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. Imam Syafi’i dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menegaskan bahwa zakat fitrah tidak boleh diganti dengan uang, karena tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah

    Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

    فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

    Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk salat (Idulfitri).” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadis ini menjadi dasar bagi mazhab Syafi’i untuk menegaskan bahwa zakat fitrah harus diberikan dalam bentuk makanan pokok yang umum dikonsumsi di masyarakat setempat, seperti beras di Indonesia. Dalam pandangan mereka, pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang tidak diperbolehkan karena dianggap menyelisihi praktik yang dicontohkan Rasulullah SAW.

    Sebaliknya, mazhab Hanafi membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tujuan utama zakat fitrah adalah mencukupi kebutuhan mustahiq pada hari raya. Oleh karena itu, memberikan uang kepada mereka dianggap lebih bermanfaat karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti pakaian, obat-obatan, atau kebutuhan rumah tangga lainnya.

    Pandangan mazhab Hanafi ini juga didukung oleh sebagian ulama kontemporer yang melihat bahwa kondisi masyarakat modern sudah berbeda dibandingkan masa Rasulullah SAW. Di zaman sekarang, banyak orang yang lebih membutuhkan uang dibandingkan makanan pokok, sehingga pemberian zakat fitrah dalam bentuk uang dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan mereka.

    Pandangan Gus Baha: Fleksibilitas dalam Berzakat

    Gus Baha, seorang ulama kontemporer yang dikenal dengan pemikirannya yang moderat dan fleksibel, menekankan pentingnya maslahat bagi penerima zakat. Menurutnya, dalam kondisi tertentu, uang lebih bermanfaat dibandingkan beras. Sebab, sebagian besar mustahiq mungkin sudah memiliki beras tetapi membutuhkan uang untuk kebutuhan lain. Oleh karena itu, memberikan uang dalam jumlah yang setara atau lebih dari harga beras menjadi solusi yang lebih praktis.

    Gus Baha juga menekankan bahwa esensi dari zakat fitrah adalah membantu fakir miskin agar mereka dapat merayakan Idulfitri dengan layak. Jika tujuan tersebut bisa tercapai dengan lebih baik melalui pemberian uang, maka hal itu tidak bertentangan dengan semangat zakat fitrah itu sendiri. Pendekatan fleksibel ini juga relevan dengan realitas kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks.

    Keputusan Lembaga Bahtsul Masail PBNU

    Lembaga Bahtsul Masail PBNU telah membahas kebolehan zakat fitrah dalam bentuk uang dengan beberapa pertimbangan:

    Tujuan zakat fitrah adalah memastikan penerima dapat merayakan Idul Fitri dengan layak.Sebagian ulama membolehkan zakat dalam bentuk uang selama tidak bertentangan dengan ijma’ ulama.Jika terjadi perbedaan pendapat, maka maslahat penerima zakat menjadi prioritas utama.Dengan pertimbangan ini, PBNU membolehkan zakat fitrah dalam bentuk uang dengan nominal setara dengan harga 2,7 kg hingga 3 kg beras. Keputusan ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih bentuk zakat yang paling sesuai dengan kebutuhan mustahiq, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam fikih.Praktik di Masyarakat dan Tantangan Sosialisasi

    Di Indonesia, mayoritas masyarakat masih mengikuti mazhab Syafi’i yang mengutamakan beras sebagai zakat fitrah. Namun, dalam praktiknya, banyak yang memilih membayar dengan uang. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi agar masyarakat memahami dasar hukum di balik setiap keputusan.

    Sebagai solusi, beberapa pesantren, seperti Sirojuth Tholibin Grobogan, menerapkan konsep ‘melalui uang’, yakni zakat tetap diberikan dalam bentuk beras, tetapi bisa dibeli menggunakan uang agar tetap sesuai dengan mazhab Syafi’i. Metode ini memungkinkan masyarakat tetap menjalankan ketentuan mazhab yang mereka anut, sekaligus memberikan fleksibilitas bagi mustahiq dalam memanfaatkan zakat fitrah yang diterima.

    Selain itu, tantangan utama dalam sosialisasi pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang adalah adanya persepsi bahwa hanya bentuk beras yang sah dalam mazhab Syafi’i. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bijak dalam menyampaikan fatwa dan pandangan ulama, agar tidak menimbulkan kebingungan atau perpecahan di tengah masyarakat.

    Gus Baha juga memberikan solusi berdasarkan pengalamannya dengan mengatakan bahwa beliau selalu melebihkan jumlah beras yang diberikan sebagai zakat, misalnya dari 2,5 kg menjadi 3 kg atau bahkan 5 kg, untuk memastikan penerima mendapatkan manfaat yang lebih optimal. “Jadi, saya tetap manut kepada Imam Syafi’i tapi realistis. Karena kebanyakan orang lebih membutuhkan uang,” jelasnya.

    Kesimpulan

    Polemik zakat fitrah antara beras dan uang merupakan bagian dari kekayaan khazanah fikih Islam. Mazhab Syafi’i mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok, sedangkan mazhab Hanafi membolehkan pembayaran dalam bentuk uang. Pendapat fleksibel dari Gus Baha dan PBNU menunjukkan bahwa maslahat penerima harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan bentuk zakat yang diberikan.

    Dalam konteks masyarakat modern, kebutuhan mustahiq semakin beragam dan tidak hanya terbatas pada makanan pokok. Oleh karena itu, kebolehan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun, bagi mereka yang ingin tetap mengikuti ketentuan mazhab Syafi’i, memberikan zakat fitrah dalam bentuk beras tetap merupakan pilihan utama yang sah.

    Sebagai bentuk kompromi antara kedua pendapat, kita dapat tetap mengikuti mazhab Syafi’i dengan menunaikan zakat fitrah dalam bentuk beras, tetapi dengan menambah sedikit dari batas takaran sebagai bentuk kehati-hatian. Alternatif lainnya adalah tetap memberikan beras sesuai ketentuan mazhab Syafi’i, lalu menambahkan uang kepada mustahiq sebagai sedekah tambahan. Dengan demikian, zakat fitrah tetap tertunaikan sesuai tuntunan fikih, sekaligus memberikan manfaat lebih kepada penerima.

    Sebagai umat Islam, memahami berbagai sudut pandang dalam fikih memungkinkan kita untuk beramal lebih bijak sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, esensi zakat fitrah sebagai sarana berbagi kebahagiaan di hari raya dapat tercapai secara optimal tanpa menghilangkan nilai-nilai syariat yang mendasarinya.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Ramadan di Indonesia: Berkah bagi Semua

    Ramadan di Indonesia: Berkah bagi Semua

    Setiap tahun, Ramadan datang membawa suasana yang tak tergantikan. Masjid mendadak jadi tempat favorit, warung makan pasang tirai ala ninja, dan jalanan lebih macet jelang maghrib karena semua orang mendadak menjadi pemburu takjil, penjual takjil, atau bahkan yang membagi-bagikan takjil gratis di jalan-jalan.

    Di Indonesia, Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tapi juga festival kebaikan, kebersamaan, dan tentu saja kuliner dadakan yang menggoda iman.

    Dari subuh sampai isya, ada banyak hal yang membuat Ramadan di Indonesia unik. Sahur, misalnya, bukan hanya soal makan, tapi juga ajang uji kesabaran. Dari suara alarm yang entah kenapa lebih sulit dikalahkan dari biasanya, sampai seruan “Sahuuur!” dari masjid, musala, dan anak-anak kampung yang lebih semangat ketimbang pemain bola saat mencetak gol kemenangan.

    Lalu, setelah subuh, datanglah ujian berikutnya: tetap melek di kantor atau tempat kerja sambil menahan godaan kantuk dan malas yang lebih dahsyat dari biasanya. Untuk Ramadan kali ini, berdasarkan SK 3 menteri, anak-anak sekolah mendapatkan jatah libur di minggu pertama. Semoga mereka bisa menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang bermanfaat. Semoga kita selalu senantiasa antusias menjalani aktivitas meskipun sedang beraktivitas di bulan Ramadan.

    Pastinya, salah satu yang paling dinanti dari Ramadan di Indonesia adalah berburu takjil. Dari yang santai sampai yang totalitas, semua punya gaya masing-masing. Tahun kemarin, media sosial sempat heboh dengan fenomena “war takjil” di mana masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, rela antre berjam-jam untuk membeli takjil buka atau bahkan berebut demi mendapatkan takjil gratis di masjid-masjid atau komunitas tertentu.

    Dari mulai kolak, es buah, sampai gorengan, semuanya jadi rebutan. Fenomena ini menunjukkan betapa antusiasnya masyarakat dalam menikmati berkah Ramadan, meskipun kadang lupa bahwa niat berburu takjil seharusnya bukan sekadar untuk koleksi, tapi juga untuk berbagi.

    Dan memang, Ramadan selalu identik dengan semangat berbagi. Rasulullah SAW bersabda:

    عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

    Artinya: Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)

    Tak heran jika di Indonesia, berbagi makanan saat berbuka jadi tradisi yang begitu melekat. Pedagang kaki lima, komunitas sosial, hingga orang-orang biasa berlomba-lomba membagikan takjil gratis di jalanan. Bagi yang memberi, ada kebahagiaan dalam berbagi. Bagi yang menerima, ada kehangatan dalam kebersamaan.

    Selain berbagi makanan, Ramadan di Indonesia juga dipenuhi dengan kajian keislaman, pesantren kilat, dan tadarus Al-Qur’an yang semakin menggema. Inilah bulan di mana banyak orang kembali mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

    شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

    Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

    Dan yang tak kalah menarik, Ramadan di Indonesia bukan hanya dirasakan oleh umat Islam, tapi juga menjadi momen kebersamaan lintas agama. Banyak saudara-saudara kita non-Muslim yang ikut menunjukkan toleransi, bahkan ada yang turut berbagi dalam kegiatan sosial. Di tengah perbedaan, Ramadhan justru menjadi jembatan yang mempererat hubungan antar sesama.

    Ramadhan bukan sekadar tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang membangun kesadaran sosial. Di bulan ini, batas-batas sosial seakan memudar. Orang kaya dan miskin sama-sama merasakan lapar, yang pada akhirnya menumbuhkan empati dan keinginan untuk berbagi. War takjil yang viral di media sosial tahun lalu, di mana orang-orang berebut makanan berbuka di jalanan, mengingatkan bahwa dalam beramal pun perlu keikhlasan dan ketertiban. Bukan soal siapa yang mendapatkan lebih dulu, tetapi bagaimana kebersamaan itu tercipta dalam harmoni.

    Dan tentu saja, di Indonesia, tidak ada Lebaran tanpa mudik, sebuah tradisi yang lebih dari sekadar perjalanan pulang kampung. Setiap tahunnya, jutaan orang berbondong-bondong kembali ke tanah kelahiran untuk berkumpul dengan keluarga besar. Macet berjam-jam di jalan, antrean panjang di terminal, stasiun, pelabuhan, dan juga bandara. 

    Perjuangan mendapatkan tiket mudik lebih sulit dan mahal jikalau tidak dibeli dari jauh-jauh hari. Semuanya menjadi bagian dari ritual tahunan ini. Mudik bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin untuk kembali kepada akar, merajut kembali kenangan masa kecil, dan merasakan kembali hangatnya pelukan orang tua yang mungkin selama ini hanya terdengar suaranya di telepon.

    Mudik juga merupakan refleksi dari semangat harmonisme yang diajarkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:

    مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

    Artinya: “Barang siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.”

    Dalam perjalanan mudik, kita melihat nilai ini dalam bentuk nyata. Orang-orang yang sabar mengantre, pemudik yang saling berbagi bekal di rest area, bahkan polisi dan relawan yang bekerja ekstra demi kelancaran perjalanan, semuanya adalah cerminan dari semangat kebersamaan yang diajarkan di bulan Ramadhan.

    Selain itu, mudik juga menjadi ajang memperbaiki hubungan. Banyak yang akhirnya pulang bukan sekadar untuk bertemu keluarga, tetapi juga untuk menyelesaikan konflik lama, mempererat kembali silaturahmi yang sempat renggang, dan tentu saja memenuhi kewajiban untuk berbakti kepada orang tua. Dalam Islam, menjaga hubungan baik dengan keluarga adalah bagian dari ibadah, dan momen Lebaran memberikan kesempatan untuk itu.

    Namun, ujian sebenarnya datang setelah Ramadan berlalu. Apakah kelembutan hati yang telah terasah tetap bertahan? Apakah kebiasaan berbagi dan memperhatikan sesama masih terus berlanjut? Ataukah semua kembali seperti sedia kala, di mana kesibukan menelan kembali nilai-nilai yang telah dibangun selama sebulan penuh?

    Harmoni yang tercipta di bulan Ramadhan tidak boleh berhenti di malam takbiran. Seperti gema takbir yang menggema ke seluruh penjuru, semangat berbagi, menahan diri, dan menjaga keharmonisan harus tetap menyala dalam kehidupan sehari-hari. Ramadhan bukanlah sekadar rutinitas tahunan, melainkan latihan spiritual dan sosial agar kita menjadi manusia yang lebih baik sepanjang tahun.

    Akhirnya, setelah sebulan penuh dengan sahur, puasa, berburu takjil, dan tarawih, Idul Fitri pun tiba. Aroma ketupat mulai menyeruak di setiap rumah, opor ayam tersaji di meja makan, dan sanak saudara saling bermaafan dalam kehangatan silaturahmi. Suasana yang sebelumnya dipenuhi perjuangan melawan kantuk saat sahur dan godaan es teh manis di siang hari, kini berganti dengan kebahagiaan berkumpul bersama keluarga dan tetangga.

    Namun, lebih dari sekadar perayaan dan hidangan khas Lebaran, Ramadan selalu meninggalkan sesuatu yang jauh lebih bermakna: hati yang lebih lembut, jiwa yang lebih tenang, dan harapan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ditanam selama sebulan ini tidak luntur seiring waktu.

    Semoga puasa di tahun ini lebih baik dari tahun kemarin dan diberikan kelancaran serta keberkahan bagi semua. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • AHY Ingin Kebijakan FWA Diterapkan pada H-7 Lebaran 2025

    AHY Ingin Kebijakan FWA Diterapkan pada H-7 Lebaran 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan kebijakan flexible work arrangement (FWA) atau yang sebelumnya disebut work from anywhere (WFA) diharapkan mulai diterapkan pada H-7 Lebaran 2025 atau 24 Maret 2025.

    “Kami telah berkoordinasi dengan Kementerian PAN-RB terkait implementasi flexible work arrangement, yang sebelumnya dikenal sebagai work from anywhere,” ujar AHY saat ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (1/3/2025) dikutip dari Antara.

    Menurut AHY, penerapan kebijakan ini bertujuan untuk membantu mengurangi kepadatan arus mudik Lebaran 2025 dengan mendistribusikan mobilitas masyarakat lebih awal. Dengan adanya FWA yang diberlakukan mulai 24 Maret 2025, diharapkan kemacetan saat menjelang Lebaran dapat berkurang.

    Flexible Work Arrangement merupakan sistem kerja yang memberikan fleksibilitas bagi karyawan dalam menjalankan tugasnya, baik dari segi lokasi maupun waktu kerja. Pemerintah menilai kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk memastikan kelancaran arus mudik Lebaran 1446 Hijriah.

    Dengan FWA, diharapkan volume kendaraan di jalur mudik dapat terdistribusi lebih merata, sehingga lalu lintas menjadi lebih lancar. Mengingat Lebaran 2025 berdekatan dengan Hari Raya Nyepi, kebijakan ini diharapkan dapat mengoptimalkan pergerakan masyarakat selama periode libur panjang.

    Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun sinkronisasi jadwal libur sekolah agar distribusi arus mudik semakin optimal. Langkah ini sejalan dengan arahan langsung Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan perjalanan mudik tahun 2025 berlangsung aman, nyaman, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.

    “Kami ingin menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah, sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto, untuk memastikan perjalanan mudik selama Ramadan dan Lebaran lebih aman, nyaman, serta terjangkau,” tambah AHY.

    Menjelang Ramadan 1446 Hijriah, pemerintah terus meningkatkan kesiapan infrastruktur serta layanan transportasi guna mendukung kelancaran arus mudik dan arus balik Lebaran 2025. Sejumlah langkah strategis telah disiapkan untuk memastikan perjalanan masyarakat berjalan lancar dan efisien.

    AHY juga menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menghadirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Salah satu fokus utamanya adalah menjaga kelancaran sistem transportasi sekaligus menekan harga tiket agar lebih terjangkau bagi masyarakat luas.

    Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi guna meningkatkan kesiapan infrastruktur transportasi di berbagai sektor, termasuk moda transportasi darat, laut, udara, serta perkeretaapian.

    “Dengan berbagai langkah yang telah diambil, diharapkan perjalanan mudik tahun ini dapat berjalan lebih baik, memberikan kenyamanan bagi masyarakat, serta mendukung kelancaran arus transportasi selama perayaan Lebaran 2025,” pungkas AHY.

  • Ramadan Menggemakan Toleransi Beragama

    Ramadan Menggemakan Toleransi Beragama

    Jakarta,  Beritasatu.com – Bulan Ramadan di Indonesia merupakan momen keagamaan dan sosial yang sangat penting. Nilai-nilai toleransi dan hidup berdampingan secara damai di antara berbagai agama  termanifestasi selama Ramadan. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki keragaman agama dan budaya. Umat muslim hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha secara harmonis dan saling menghormati. 

    Toleransi Beragama Selama Ramadan

    Ramadan merupakan kesempatan untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi dan cinta kasih di antara sesama. Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, hidup berdampingan antarumat beragama diwujudkan dengan berbagai cara. Umat non-muslim yang menghormati praktik-praktik beribadah umat Islam selama berpuasa  tidak makan di tempat umum pada siang hari. Hal ini merupakan sebuah bentuk penghormatan. Umat Islam pun berinisiatif mengundang tetangga non-muslim saat buka puasa bersama.

    Lembaga-lembaga keagamaan, baik muslim maupun non-muslim, juga berperan dalam mempromosikan persatuan sosial selama Ramadan. Mereka mengadakan kegiatan amal bersama, seperti pembagian bantuan kepada masyarakat miskin tanpa memandang agama. Hal ini mencerminkan semangat kasih sayang dan kemanusiaan yang terkandung dalam Ramadan. 

    Yang menarik adalah seruan dari pendakwah intelektual Nusantara, habib Husein Ja’far.  Habib Husein dikenal karena kegigihannya menyerukan toleransi beragama dan hidup berdampingan secara damai. Salah satu pesannya yang paling menonjol adalah “Ramadan bukan hanya bulan puasa, juga bulan kasih sayang dan komunikasi. Ramadan seharusnya menjadi kesempatan untuk mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang sama di antara agama-agama, tidak hanya di antara umat Islam sendiri”. 

    Habib Husein Ja’far selalu menekankan pentingnya menyebarkan Islam dengan semangat cinta kasih dan moderasi yang tecermin dalam atmosfer Ramadan di Indonesia. Toleransi diwujudkan dalam acara berbuka puasa bersama, kegiatan amal lintas agama, dan dialog yang tenang di antara berbagai aliran yang berbeda. Habib Husein juga menyerukan agar Ramadan menjadi kesempatan untuk memperkuat persatuan umat dan tidak menimbulkan perbedaan atau perpecahan. 

    Pendekatan ini sejalan dengan ajaran Islam yang menyerukan toleransi, sebagaimana firman Allah Swt: 

    وَقُوۡلُوۡا لِلنَّاسِ حُسۡنًا

    “Dan ucapkanlah perkataan yang baik kepada manusia” (Al-Baqarah: 83)

    Sebuah pesan yang mendorong umat Islam untuk memperlakukan semua orang dengan kebaikan dan rasa hormat. Inilah esensi dari semangat toleransi Ramadan di Indonesia. 

  • Isu Politik Sepekan: Retret Kepala Daerah hingga Jokowi Tanya Kabar Megawati

    Isu Politik Sepekan: Retret Kepala Daerah hingga Jokowi Tanya Kabar Megawati

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah isu politik menjadi perbincangan hangat para pembaca Beritasatu.com selama sepekan terakhir. Berita terkait pembekalan atau retret kepala daerah di Akmil Magelang, 21-28 Februari 2025 menjadi berita politik yang menarik perhatian pembaca.

    Isu politik lainnya selama sepekan terakhir, yakni Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menanyakan kabar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka yang meminta kepala daerah mendukung program makan bergizi gratis, hasil survei Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) terkait kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo-Gibran, hingga Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto yang menegaskan kepala daerah bisa diberhentikan.

    Berikut isu Politik Sepekan Beritasatu.com.

    Presiden Prabowo Subianto memimpin gala dinner bersama para kepala daerah dalam rangkaian retret atau pembekalan di Kompleks Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis (27/2/2025).

    Acara ini turut dihadiri oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Ketiganya tampil kompak mengenakan seragam komponen cadangan (komcad). Dalam sambutannya, Prabowo menegaskan kepala daerah memiliki kewajiban untuk melayani rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh masyarakat.

    Sebanyak 503 kepala daerah dan 477 wakil kepala daerah telah mengikuti pembekalan atau retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 21-28 Februari 2025.

    Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan dirinya sempat bertemu dan berbincang dengan Ketua DPR Puan Maharani saat menghadiri peresmian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (24/2/2025).

    Pertemuan tersebut berlangsung singkat dan tidak membahas membanyak hal. Jokowi sempat menanyakan kabar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Diungkapkan Jokowi, dirinya berkawan baik dengan Puan, sehingga pasti akan saling menyapa apabila bertemu.

    3. Wapres Gibran Ajak Kepala Daerah Dukung Program Makan Bergizi Gratis

    Dalam retret di Akmil Magelang, Wapres Gibran Rakabuming Raka mengajak seluruh kepala daerah untuk mendukung pelaksanaan program prioritas makan bergizi gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Gibran menekankan pentingnya peran kepala daerah dalam memastikan rantai pasok berjalan efisien guna mendukung keberhasilan program MBG. Selain program makan bergizi gratis, Gibran juga menyoroti penanganan stunting, yang menjadi salah satu fokus utama pemerintah.

    Dalam kesempatan tersebut, Gibran juga mengingatkan para kepala daerah agar tidak perlu ke luar negeri untuk belajar tata kelola pemerintahan. Menurutnya, praktik terbaik sudah tersedia di dalam negeri dan dapat dipelajari melalui retret ini.

    Hasil survei terbaru Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menunjukkan mayoritas publik puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat kepuasan publik berada di angka 66,5% dengan perincian responden yang sangat puas sebanyak 28,75% dan yang puas sebanyak 37,75%.

    Tingkat kepuasan publik atas pemerintahan Prabowo-Gibran tinggi juga tidak terlepas dari soliditas pemerintahan yang kuat baik antara Prabowo dengan Gibran maupun antara Prabowo-Gibran dengan jajaran Kabinet Merah Putih atau KMP. Soliditas ini juga tergambar dalam hasil survei LPI.

    Wamendagri Bima Arya menegaskan, kepala daerah meski dipilih oleh rakyat tetap bisa diberhentikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa alasan yang dapat menyebabkan kepala daerah diberhentikan, antara lain tidak melaksanakan program prioritas nasional, bepergian ke luar negeri tanpa izin, atau melakukan perbuatan tercela.

    Bima Arya mengingatkan agar para kepala daerah berhati-hati dalam menjalankan amanah mereka. Pasalnya, ada konsekuensi hukum yang akan diterima jika terbukti melanggar ketentuan yang ada.

    Demikian isu politik sepekan Beritasatu.com, di antaranya terkait retret kepala daerah di Akmil Magelang.

  • Terpopuler, Nasaruddin Umar Isi Kultum Buka Puasa di BTV hingga Tiket KA Lebaran

    Terpopuler, Nasaruddin Umar Isi Kultum Buka Puasa di BTV hingga Tiket KA Lebaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Kabar tentang Menteri Agama Nasaruddin Umar yang mengisi kultum menjelang buka puasa setiap hari di BTV dan Beritasatu menjadi berita terpopuler atau top news di Beritasatu,com sepanjang Sabtu (1/3/2025).

    Berita lain yang menarik perhatian pembaca, yakni mengenai jadwal salat dan buka puasa Minggu (2/3/2025), tol Japek Selatan II akan difungsionalkan untuk mengurai kepadatan arus mudik Lebaran 2025, grup musik Sukatani yang menolak menjadi duta Polri, serta 441.675 tiket kereta Lebaran 2025 telah terjual.

    Berikut lima berita terpopuler atau top 5 news di Beritasatu.com pada Sabtu (1/3/2025): 

    1. Saksikan! Nasaruddin Umar Isi Kultum Jelang Buka Puasa Setiap Hari di BTV dan Beritasatu
    BTV dan Beritasatu bakal menghadirkan berbagai program spesial Ramadan 1446 Hijriah untuk menemani pemirsa setia agar makin semangat menjalankan ibadah puasa. Deretan program hiburan, tausiah, dan sejarah Islam akan menambah pengetahuan serta meningkatkan nilai-nilai spiritual bagi pemirsa BTV.

    Sambil menunggu waktu berbuka puasa, akan ada Kultum the Power of Ramadhan yang sampaikan langsung oleh Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr Nasaruddin Umar MA. Tema yang dibahas seputar nilai-nilai Islam yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di bulan Ramadan. 

    Kultum the Power of Ramadhan berlangsung di Masjid Istiqlal dan disiarkan BTV menjelang waktu berbuka puasa. 

    2. Jadwal Salat dan Buka Puasa pada Minggu 2 Maret 2025
    Mengetahui jadwal salat dan buka puasa penting dilakukan agar tidak terlambat untuk melaksanakan ibadah. Umat muslim di seluruh Indonesia mulai menunaikan ibadah puasa Ramadan 1446 Hijriah sejak Sabtu (1/3/2025).

    Minggu (2/3/2025), bertepatan dengan 2 Ramadan 1446 Hijriah. Tanggal ini menandai hari kedua pelaksanaan ibadah puasa Ramadan tahun ini. Dalam menjalankan puasa, memperhatikan jadwal imsakiah, waktu salat Subuh, serta Magrib menjadi hal yang sangat penting.

    Sebagai panduan bagi umat muslim, Kementerian Agama telah menerbitkan jadwal resmi yang mencakup berbagai waktu penting selama Ramadan 1446 Hijriah. Jadwal tersebut meliputi waktu berbuka puasa, jadwal salat, serta waktu imsakiah dan Subuh.

    3. Tol Japek Selatan II Akan Difungsionalkan Urai Kepadatan Arus Mudik Lebaran 2025
    Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri menyatakan Tol Japek Selatan II yang akan difungsionalkan untuk mengurai kepadatan arus mudik dan balik Lebaran 2025. Penerapan tol fungsional itu merupakan strategi dalam Operasi Ketupat 2025.

    Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryo Nugroho mengatakan, pihaknya telah menyiapkan skenario pengelolaan kepadatan lalu lintas, seperti penggunaan tol fungsional untuk mengurangi beban di titik-titik rawan kemacetan dalam Operasi Ketupat 2025.

    Menurut dia, tol fungsional dapat melancarkan arus kendaraan hingga 1.000 unit per jam sehingga berpotensi mengurangi beban Tol Cikampek-Cipularang.

    4. Tolak Jadi Duta Polri, Band Sukatani Mengaku Alami Intimidasi Sejak Juli 2024
    Band Sukatani mengaku mengalami intimidasi sejak 2024 hingga akhirnya terpaksa membuat video permintaan maaf atas lagu Bayar Bayar Bayar yang viral. Sukatani menegaskan menolak menjadi duta Polri.

    Pengakuan itu diungkapkan Sukatani melalui akun Instagram resminya @sukatani.band, Sabtu (1/3/2025), untuk mengabarkan kondisi band bergenre punk asal Purbalingga, Jawa Tengah ini.

    “Hallo kawan-kawan. Mau mengabarkan bahwa kami dalam keadaan baik, tetapi masih dalam proses recovery pascakejadian bertubi yang selama ini kami hadapi sejak Juli 2024,” tulis Sukatani dalam unggahannya.

    5. 441.675 Tiket Kereta Lebaran Terjual, Cek Jadwal dan Okupansi
    PT KAI Daop 1 Jakarta mencatat 441.675 tiket kereta api jarak jauh (KAJJ) untuk mudik Lebaran 2025 telah terjual hingga Sabtu (1/3/2025). Jumlah ini mencerminkan okupansi sebesar 45% dari total kapasitas yang disediakan.

    “Sebanyak 441.675 tiket telah terjual, dengan tingkat okupansi mencapai 45%,” ujar Manager Humas KAI Daop 1 Jakarta Ixfan Hendriwintoko dalam keterangannya di Jakarta.

    Untuk mengakomodasi pemudik, KAI Daop 1 Jakarta telah menyiapkan 1.826 perjalanan KAJJ yang beroperasi selama periode 21 Maret hingga 11 April 2025. Total kapasitas kursi mencapai 970.675 tempat duduk dan rata-rata kapasitas harian 44.122 kursi.

    “Mengingat tingginya permintaan, kami mengimbau pelanggan untuk segera memesan tiket sebelum kehabisan,” tambah Ixfan.

    Demikian lima berita terpopuler atau top 5 news di Beritasatu.com pada Sabtu (1/3/2025).

  • Sabar Adalah Karakter si Shoim

    Sabar Adalah Karakter si Shoim

    “Banyak yang puasa tetapi marah-marah, banyak yang puasa tetapi suka mencela, banyak yang puasa tetapi masih suka berbuat kemungkaran,” dan ungkapan-ungkapan lain yang masih menggambarkan bagaimana ketimpangan yang terjadi bagi orang yang berpuasa. 

    Karakter shoim (orang yang berpuasa) yang sepatutnya menggambarkan tingkah laku terpuji tak pula menjadi suatu jaminan secara pasti. Agaknya fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang asing untuk ditemukan di sekitar kita umat muslim. 

    Puasa yang biasa dipahami dengan makna “menahan dari segala sesuatu dan meninggalkannya”, (Manzur, t.t), baik menahan dari rasa lapar, dahaga, amarah dan perasaan negatif lainnya yang dapat membatalkan atau mengurangi pahala berpuasa, nyatanya tidak serta merta dengan mudah dapat direalisasikan dalam kehidupan.

    Realita yang sering tidak sesuai dengan keinginan diri terkadang membuat seseorang terlepas untuk melakukan atau bersikap buruk. Walaupun ia juga menyadari bahwa hal itu adalah sesuatu yang tidak baik. Sebagaimana orang-orang yang berpuasa yang seharusnya menahan diri agar puasanya mendapatkan keabsahan ataupun pahala yang besar, namun masih saja terus mendapat cobaan hingga dirasa mengurangi pahala berpuasanya. 

    Oleh karena itu seseorang yang berpuasa dianjurkan untuk belajar bersabar. Karena dengan kesabaran seseorang secara tidak langsung belajar menahan dirinya dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi diri. Dengan kesabaran seseorang akan merasa bahwa apa yang ia lakukan memiliki sesuatu kebaikan dan keindahan. 

    Selain itu juga memiliki keyakinan, bahwa apa yang ia lakukan nantinya akan membuahkan hasil yang manis ataupun
    hikmah yang akan ia dapatkan meskipun berat untuk mempraktikannya. 

    Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Az-Zumar [39]: 10:

    قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْۗ لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌۗ وَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌۗ اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

    Artinya: “Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini ada pahala yang baik. Dan di bumi Allah ini ada tempat yang luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan pahala mereka tanpa batas.”

    Mufassir lokal terkemuka, Buya Hamka dalam tafsirnya Al Azhar menjelaskan, bahwa di ujung ayat ini sudah diisyaratkan pula bahwasanya beriman, mengisi hidup dengan takwa dan berbuat kebajikan tidaklah semudah apa yang kita kira. 

    Lantaran itulah maka Tuhan pun membayangkan bahwa bumi Allah ini luas. Kalau perlu pindah dari satu negeri yang di sana beramal terlalu sempit ke tempat lain yang mendapat alam lebih lapang untuk beramal. Dan di dalam perjuangan menegakkan kebenaran itu banyaklah percobaan yang akan diderita, sebab iman itu selalu diuji. Kalau kuat akan bertambah naik, kalau lemah akan jatuh. 

    Maka alat utama untuk menangkis percobaan ialah sabar, tahan hati, tabah. Hanya orang-orang yang sabarlah yang akan sampai kepada apa yang dia tuju, yaitu pahala yang berganda-lipat di sisi Allah. (Hamka, 1982)

    Dari pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwasanya kesabaran akan membawa seseorang untuk mendapatkan apa yang ia tuju dan pahala yang berlipat. Dengan kesabaran pula seseorang bisa memiliki sikap-sikap terpuji walaupun untuk bisa memiliki sifat sabar, seseorang harus berlatih. 

    Hamka mengungkapkan lebih lanjut dengan mengutip tafsiran dari al-lmam al-‘Auza’i bahwa orang-orang yang sabar dan tahan menderita itu di akhirat kelak tidaklah ditimbang berat atau ringan amalnya melainkan sudah disediakan saja buat mereka bilik-bilik istirahat yang mulia di surga. 

    Menurut sebuah Hadis yang didengar oleh Anas bin Malik dari Rasulullah SAW, bahwa semua amal akan ditimbang kelak dengan teliti, namun ahlul-balaa’ yang tahan menderita tidak ditimbang-timbang lagi.

    حَتَّى يَتَمَنَّى أَهْل ُ الْعَافِيَة ِ فِي الدُّنْيَا أَن َّ أَجْسَادَهُم ْ تُعْرَض ُ بِالْمَقَارِيض ِ مَا يَذْهَب ُ بِه ِ أَهْل ُ الْ ِب ََلَء ِ مِن َ الْفَضْل

    Artinya: “Sehingga berkeinginanlah orang-orang yang sihat-sihot saja di dunia kalau kiranya dahulu badannya digergaji dipotong-potong, setelah mereka lihat bagaimana kelebihan dan keistimemewaan yang akan diterima oleh orang-orang yang sabar menderita itu. Itulah maksudnya pahala yang akan diberikan dengan tidak ada perhitungan lagi.”

    Hadis di atas memperkuat bahwa kesabaran tidak hanya akan membawa seseorang itu beruntung saat hidup di dunia namun juga di akhirat kelak. Bukan hanya sekedar membantu menyampaikan seseorang pada apa yang ia tuju, tetapi juga mengantarkan pada keabadian di akhirat nantinya. Hal itu akan menjadi penyesalan bagi orang-orang yang dahulunya ketika hidup di dunia tidak berusaha untuk menahan dirinya dalam rasa kesabaran.

    Pada akhirnya, dapat kita sadari bahwa antara ‘puasa’ dan ‘sabar’ memiliki ciri yang sama dan saling berkaitan. Puasa yang dimaknai dengan menahan, juga sejalan dengan sifat sabar yang dimaknai dengan menahan. (M. Quraisy Syihab, 2007). Sehingga, ketika menjalani ibadah puasa sudah sepatutnya juga kita belajar untuk bersabar. 

    Dengan kesabaran yang dilatih, puasa yang kita jalani tidak hanya akan membentuk diri kita untuk menjadi sosok yang lebih baik, tetapi juga pahala yang melimpah, karena seperti itulah yang Allah Swt janjikan. Kesabaran akan membawamu pada maqam kemuliaan dunia dan keabadian di akhirat kelak. Hingga pada titik kesimpulan ‘Orang yang berpuasa adalah orang yang sabar’. Wallahu a’lam bi ash shawab.

    *Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Retret Kepala Daerah Usai, Wamendagri: Sekarang Fokus Kerja

    Retret Kepala Daerah Usai, Wamendagri: Sekarang Fokus Kerja

    Jakarta, Beritasatu.com – Sebanyak 503 kepala daerah dan 477 wakil kepala daerah telah mengikuti pembekalan atau retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 21-28 Februari 2025. Seusai mengikuti retret, para kepala daerah diharapkan fokus untuk mengimplementasikan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) yang diselaraskan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    “Retret baru saja selesai. Sekarang kita fokus bekerja di wilayah masing-masing. Para kepala daerah harus segera menyesuaikan RPJMD mereka dengan Asta Cita dan arahan presiden tentang efisiensi,” ujar Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto dalam program “Beritasatu Sore”, Sabtu (1/3/2025) dipantau dari YouTube Beritasatu, Minggu (2/3/2025).

    Bima Arya menekankan kepala daerah memerlukan waktu untuk menyesuaikan RPJMD mereka dengan kebijakan nasional. Oleh karena itu, Kemendagri akan mengawal pelaksanaan program-program daerah sebelum masuk ke tahap evaluasi.

    “Saat ini, fokus utama adalah memastikan kepala daerah bekerja secara maksimal, berkoordinasi dengan baik, dan menjalankan RPJMD secara efektif. Yang terpenting adalah memastikan hasil retret kemarin benar-benar diimplementasikan di daerah masing-masing,” jelasnya.

    Kemendagri juga akan mengadakan pembekalan bagi kepala daerah yang belum mengikuti retret. Menurut Bima Arya, retret kepala daerah merupakan mandat undang-undang yang dijalankan oleh Kemendagri sebagai pembina dan pengawas politik dalam negeri.

    “Peserta yang tidak mengikuti retret sebelumnya terbagi dalam dua kelompok, yaitu mereka yang masih berproses di Mahkamah Konstitusi (MK) dan mereka yang berhalangan hadir karena alasan tertentu. Pembekalan bagi mereka akan digelar setelah ada keputusan akhir dari MK,” jelasnya.

    “Saat ini ada sekitar 11 daerah yang akan melaksanakan pemungutan suara ulang. Kami harus menyesuaikan jadwal agar pembekalan bisa diikuti secara optimal oleh kepala daerah yang terpilih,” ujarnya.

    Berbeda dengan retret sebelumnya di Magelang, pembekalan ini akan diadakan dengan format yang lebih sederhana dan jumlah peserta yang lebih sedikit.

    “Mungkin durasinya sama, sekitar 7 hari, tetapi tempat dan narasumbernya akan berbeda. Bisa jadi melibatkan menteri atau pejabat terkait, tetapi konsepnya lebih minimalis dibandingkan retret kepala daerah sebelumnya,” pungkas Bima Arya.