Bojonegoro (beritajatim.com) – Bojonegoro Institute (BI) menegaskan bahwa pengarusutamaan ekologi dan pengembangan energi bersih harus menjadi agenda strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Bojonegoro ke depan. Hal ini dinilai mendesak, mengingat tingginya tekanan lingkungan dan potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara maksimal di wilayah ini.
Direktur Bojonegoro Institute, Aw Saiful Huda, menyatakan bahwa selama ini Bojonegoro lebih dikenal sebagai penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, namun belum mengambil peran cukup dalam transisi energi bersih. Menurut Aw, dalam Forum Kajian Pembangunan (FKP), sudah saatnya RPJMD Bojonegoro menempatkan isu ekologi dan energi bersih sebagai prioritas utama.
“Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keberlanjutan ekonomi dan masa depan generasi mendatang,” ujarnya saat di Kantor BI, Kamis (12/6/2025).
Awe menyoroti sejumlah persoalan krusial yang menunjukkan urgensi kebijakan ekologis. Antara lain, meningkatnya emisi dari eksploitasi migas, kekeringan dan krisis air, banjir musiman, hingga pengelolaan sampah dan deforestasi. Berdasarkan data Global Forest Watch, Bojonegoro kehilangan sekitar 5.08 kha (kilohektar) tutupan pohon selama 2001–2024, menjadikannya daerah dengan deforestasi terbesar kelima di Jawa Timur.
“Setiap tetes minyak dari Bojonegoro meninggalkan jejak karbon yang memperburuk pemanasan global. Karena itu, pengembangan ekonomi harus mulai diarahkan ke sektor yang lebih hijau dan berkelanjutan,” tegasnya.
Dalam konteks RPJMD, Awe menekankan pentingnya integrasi antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pendidikan ekologi harus diarusutamakan sejak dini melalui kurikulum sekolah, dan pemerintah daerah wajib memperkuat sistem adaptasi perubahan iklim serta ketahanan terhadap bencana. Tak hanya menyoroti aspek lingkungan, Bojonegoro Institute juga melihat peluang besar dalam sektor energi bersih.
Menurut Awe, wilayah di ujung barat Jawa Timur ini memiliki potensi signifikan untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), mikrohidro, hingga biomassa. Potensi energi surya di Bojonegoro sangat besar dan bisa diterapkan di fasilitas publik, sekolah, kantor pemerintahan, bahkan rumah tangga. “Kita bisa mulai dengan penerangan jalan, taman kota, serta sistem hybrid di moda transportasi publik,” ungkapnya.
Selain energi matahari, potensi mikrohidro di Bendung Gerak Bojonegoro dan Bendungan Karangnongko dinilai menjanjikan. Di sisi lain, limbah pertanian, peternakan, dan pesantren juga dapat diolah menjadi biogas dan biomassa untuk memenuhi kebutuhan energi skala komunitas.
“Kita mendorong konversi mesin diesel ke listrik, terutama untuk irigasi dan pertanian. Ini bukan hanya efisien, tapi juga mengurangi emisi secara signifikan,” jelas Awe.
Ia juga menambahkan bahwa sektor transportasi perlu bertransformasi menuju sistem berbasis energi bersih. Pengadaan bus listrik atau hybrid perlu masuk dalam agenda RPJMD untuk menghadirkan sistem transportasi publik yang efisien, murah, dan ramah lingkungan.
Dengan potensi dan tantangan yang ada, Bojonegoro Institute menilai bahwa momen penyusunan RPJMD merupakan kesempatan emas untuk menetapkan arah pembangunan yang lebih ekologis dan berkelanjutan. “Kita harus mengalihkan sebagian Dana Bagi Hasil Migas ke sektor-sektor strategis yang berpihak pada masa depan lingkungan dan generasi penerus,” pungkas Awe.
Untuk diketahui, dalam FKP tersebut mengangkat tema “Pengarusutamaan Ekologi dan Energi Bersih dalam Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Bojonegoro” dan menghadirkan sejumlah peneliti, aktivis, hingga kelompok masyarakat sipil seperti AJI Bojonegoro, APPA, FPBI, Forum Anak Bojonegoro, dan Generasi Iklim. [lus/kun]