Bojonegoro (beritajatim.com) – Di tengah euforia peningkatan transparansi di beberapa daerah, Komisi Informasi (KI) Jawa Timur membunyikan alarm keras. Dua entitas, yakni Pemerintahan Desa dan Instansi Vertikal, dinilai menjadi penyumbang terbesar ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di Jawa Timur.
Temuan ini terungkap dalam diskusi panel yang menjadi bagian dari Sarasehan KIP Jatim, yang digelar di Ruang Angling Dharma Pemkab Bojonegoro pada Sabtu (29/11/2025).
Ketua Bidang Advokasi, Sosialisasi, dan Edukasi KI Jatim, Yunus Mansur Yasin memaparkan dari hasil Monitoring dan Evaluasi (Monev) KIP tahun 2025, hanya 33 persen badan publik yang meraih predikat informatif.
Ia mengungkapkan, desa dan instansi vertikal menjadi “penyumbang gap kepatuhan terbesar” karena rendahnya respons. Banyak dari mereka, khususnya di tingkat desa, bahkan tidak mengembalikan Kuesioner Penilaian Mandiri (Self Assessment Questionnaire/SAQ) yang menjadi tahapan awal penilaian.
Kondisi ini, menurut Yunus, menunjukkan bahwa keterbukaan informasi belum dipahami sebagai kewajiban mutlak, padahal Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) wajib menyediakan informasi yang cepat, tepat, dan akurat sesuai UU 14/2008.
“Jika instansi vertikal dianggap kurang responsif, masalah di tingkat desa jauh lebih mendasar,” ujarnya.
Sementara Ketua Bidang Kelembagaan KI Jatim, M. Sholahuddin, menegaskan bahwa ketidakpatuhan di level desa terjadi karena banyak yang belum membentuk PPID Desa dan belum memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) layanan informasi yang memadai.
“Desa adalah badan publik, dan wajib memberi informasi yang akurat, cepat, dan benar. Itu mandat undang-undang, bukan pilihan,” tegas Sholahuddin.
Ia secara khusus mengingatkan bahwa informasi penting yang wajib dibuka—seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan laporan berkala—sering diabaikan. Yang lebih serius, penolakan informasi tanpa melalui proses uji konsekuensi dapat berujung pada sanksi pidana sesuai regulasi UU KIP.
“Data yang masuk ke kami, objek sengketa tertinggi adalah masalah anggaran,” tandas Sholahuddin, menyoroti bahwa kerahasiaan dana publik menjadi pangkal masalah utama.
Dari perspektif Pemerintah Provinsi Jatim, masalah ini berakar pada kurangnya edukasi. Ketua Tim Layanan Informasi dan Pengaduan Masyarakat Provinsi Jatim, Ayu Saulina Ernalita mengakui adanya kelemahan.
“Informasi yang diadukan sengketa itu, sejatinya bisa diberikan di awal. Sepertinya ini salah kami yang kurang mengedukasi PPID kami, sehingga sengketa menumpuk di Komisi Informasi,” papar Ayu.
Meskipun demikian, Ayu menyebut Pemprov Jatim berupaya memperbaiki dengan kolaborasi bersama KI, memperkuat peran PPID, dan memperbarui daftar informasi publik, yang terbukti meningkatkan Indeks KIP Jatim ke peringkat kedua nasional tahun 2025.
Menutup diskusi, Direktur Informasi Publik Kemkomdigi, Nursodik Gunarjo mengingatkan bahwa problem fundamentalnya terletak pada pemahaman regulasi. “Amanat undang-undangnya adalah semua informasi publik itu terbuka, kecuali yang dikecualikan,” tegas Nursodik.
Ia mendesak para pimpinan PPID untuk menyadari bahwa mereka harus mengumumkan penggunaan dana publik kepada pemilik dana, yaitu masyarakat, yang selama ini masih sering alot. Kewajiban transparansi bukanlah permintaan, melainkan amanat yang telah lama tertuang dalam regulasi. [lus/kun]









