Bisnis.com, JAKARTA — Sejarah tercipta pada tahun 2024. Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilihan umum baik untuk pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah alias Pilkada secara serentak dalam tahun yang sama.
Tidak ada gejolak berarti. Pemilu relatif aman. Kalaupun ada gesekan, sifatnya minor dan terjadi di wilayah yang betul-betul rawan. Kondisi itu nyaris berbeda 180 derajat dengan tahun 2019. Saat itu, terjadi protes dan bentrokan antara massa dengan aparat. Banyak korban luka dan terdapat korban jiwa.
Kendati relatif aman, sejumlah kalangan mengkritisi pelaksanaan pesta demokrasi yang berlangsung serentak pada tahun 2024. Kualitas demokrasi konon berada di titik nadir.
Pelanggaran konstitusi dan dugaan kecurangan yang melibatkan aparatur negara terjadi di secara massif. Indikatornya sangat sederhana, yakni adanya gugatan di Mahkamah Konsitusi (MK), yang mendalilkan cawe-cawe aparatur negara dalam berkas gugatannya.
Dalam catatan Bisnis, MK telah menerima 313 perselisihan hasil pemilihan kepala daerah alias Pilkada 2024. Jumlah itu terdiri 23 sengketa pemilihan gubernur (Pilgub), 24 pemilihan bupati, dan 49 pemilihan wali kota.
Isu keterlibatan aparatur negara sejatinya bukan hal yang baru. Pernah muncul dalam pemilu 2019. Namun demikian kualitas pelaksanaan Pemilu hingga Pilkada 2024, menjadi perbincangan banyak pihak. Tidak hanya politisi, pemerhati politik juga menganggap bahwa kualitas demokrasi di Indonesia berada di titik terendah.
Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, misalnya, menilai bahwa hal itu terjadi karena keseriusan dan komitmen para elite maupun stakeholders partai politik alias parpol dalam menyukseskan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berkualitas masih rendah.
“Pokoke [pokoknya] menang dengan perilaku menghalalkan semua cara, dan politik transaksional [vote buying] membuat pilkada tidak lagi dilandasi kualitas dan penegakan hukum yang baik, menafikan etika politik sehingga membuat pilkada penuh distorsi, menyimpang dan melanggar peraturan,” katanya Minggu (22/12/2024).
Tren Pemusatan Kekuatan
Indikasi penurunan demokrasi itu sebenarnya terkonfirmasi dari data-data yang dirilis oleh lembaga global. The Economist Intelligence Unit telah berulangkali mengkategorikan Indonesia masuk dalam katengori negara demokrasi cacat (flawed democracy).
Demokrasi cacat sekilas memiliki kesamaan dengan demokrasi prosedural. Artinya, secara prosedur telah menerapkan demokrasi, hak sipil dijamin, namun secara substansi masih terjadi masalah khususnya terkait penindasan masyakarat sipil atau kelompok oposisi.
Di Indonesia, sejak periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), terjadi sebuah pembalikan dalam demokrasi di Indonesia. Terjadi konsolidasi kekuatan di level elite. Semua kalangan diakomodasi, termasuk oposisi akhirnya masuk dalam pemerintahan, kondisi yang memicu ketidakseimbangan kekuasaan di level eksekutif maupun legislatif.
Tren ini berlanjut pada era Prabowo Subianto. Pemusatan kekuatan di era Prabowo terjadi melalui keberadaan Koalisi Indonesia Maju alias KIM Plus. KIM Plus terdiri dari 7 partai politik parlemen, termasuk 9 partai non-parlemen. Koalisi ini menguasai sebanyak 81% dari total kursi di DPR sebanyak 580.
Fenomana koalisi besar ini nyaris menghadirkan bayak calon tunggal di Pilkada 2024. Namun demikian, rencana itu buyar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang memberikan peluang partai non KIM Plus untuk mengajukan calon dalam Pilkada 2024. Alhasil, jumlah calon tunggal yang melawan kotak kosong berhasil diperkecil menjadi tersisa 37 daerah.
Wacana Pilkada via DPRD
Di tengah hiruk pikuk proses pemilu yang penuh kontroversi, Presiden Prabowo Subianto berencana mengevaluasi sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Dia menganggap sistem yang berlaku saat ini berbiaya tinggi alias boros. Prabowo ingin sistem pilkada bisa lebih efektif dan efisien.
Ketua Umum Partai Gerindra itu kemudian melontarkan wacana mengembalikan sistem Pilkada langsung ke sistem Pilkada berdasarkan representasi di lembaga legislatif. “Mari kita berfikir. Mari kita bertanya. Apa sistem ini berapa puluh triliun habis dalam waktu sehari dua hari?,” ujar Prabowo saat memberikan sambutan dalam ulang tahun ke 60 Golkar, Kamis (12/12/2024).
Gagasan Prabowo langsung memperoleh dukungan dari jajaran menterinya maupun partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju alias KIM Plus. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Kanavian, misalnya, mengemukakan bahwa, evaluasi sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak memang dapat memberikan penghematan signifikan bagi anggaran negara.
“Ya, saya sependapat tentunya, kami melihat bagaimana besarnya biaya untuk pilkada. Belum lagi ada beberapa daerah yang kami lihat terjadi kekerasan, dari dulu saya mengatakan pilkada asimetris salah satunya melalui DPRD kan,” ujarnya kepada wartawan di Kantor Presiden, Senin (16/12/2024).
Tito bahkan sesumbar bahwa evaluasi pilkada, termasuk wacana pilkada via DPRD tidak menyimpang dan mencederai mencederai demokrasi karena justru memfasilitasi pemilihan melalui perwakilan. Oleh sebab itu, Tito mengaku akan dengan serius membahas mengenai wacana tersebut ke depannya.
“Mesti, pasti kita akan bahas. Kan salah satunya sudah ada di prolegnas. Di prolegnas kalau saya tidak salah, termasuk UU pemilu dan UU Pilkada. Nanti gongnya akan dicari tetapi sebelum itu kita akan adakan rapat,” pungkas Tito.
Bukan Solusi
Kendati demikian, wacana itu tetap memicu polemik. Ada yang bilang Indonesia kembali mundur karena pilkada melalui DPRD hanya akan menguntungkan elite. Selain itu, sistem Pilkada tidak langsung belum tentu menghapus money politics dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
“Biaya pilkada mahal itu akibat salah desain atau salah alokasi anggaran,” ujar Peneliti Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) Titi Anggraini.
Titi melanjutkan bahwa sejatinya pemerintah harus memiliki rancangan yang tepat dalam meracik aturan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada yang demokratis. Sayangnya, dia melanjutkan sejauh ini pejabat lebih memilih mengkambing hitamkan pilkada dengan sebutan ‘mahal’ karena salah alokasi penganggaran yang mereka rancang.
“Biaya [Pilkada] Rp37 Triliun itu sudah dievaluasi belum? Apakah dialokasikan dengan benar? Sudah efektif? Mengingat ada penyelenggara pemilu yang suka naik private jet. Lalu, kalau kunjungan dinas ke daerah, mobil dinasnya tidak cukup hanya satu sampai tiga,” tuturnya.
Selain itu, pemborosan-pemborosan itu juga tampak misalnya dari pelaksanaanRapat Kerja Nasional (Rakernas), konsolidasi, hingga musyawarah besar juga seringkali dilakukan dengan cara-cara yang inefisien. Titi menilai bahwa mahalnya biaya kontestasi politik lebih bergerak di ruang gelap. Padahal, menurutnya laporan dana kampanye selama ini tidak mencerminkan politik yang mahal.
Kalau mengacu data Komisi Pemilihan Umum atau KPU, PDIP tercatat sebagai partai politik dengan total penerimaan paling tinggi. Angka total penerimaannya adalah Rp183.861.799.000 (Rp183 miliar) dan total pengeluaran tertinggi pada Rp115.046.105.000 (Rp115 miliar). Di sisi lain, Partai Kebangkitan Nasional (PKN) tercatat sebagai partai politik dengan total pengeluaran paling rendah. PKN memiliki total penerimaan senilai Rp453 juta dan total pengeluaran Rp42 juta
Sementara itu, berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat dari 103 paslon pilgub di Pilkada serentak 2024 rata-rata menerima dana sumbangan untuk kampanye sebesar Rp3,8 miliar yang berasal dari berbagai sumber. “Mahalnya karena jual-beli suara, mahal politik untuk jual-beli perahu, atau yang mana? Atau mahal karena jagoan atau titipan elite nasional tidak bisa menang pilkada atau seperti apa?” imbuh Titi.