Budaya Patriarki Masih Jadi Pemicu Utama Kesenjangan Gender di Indonesia

3 March 2024, 22:50

STOP DISKRIMINASI: Anggota Aliansi Perempuan Bali melakukan kampanye publik Hari Perempuan Internasional di Denpasar, Bali.(ANTARA/ Nyoman Hendra Wibowo)

   ISU kesetaraan gender yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs yang ingin dicapai pada 2030. Kendati demikian, isu kesenjangan kesetaraan gender di Indonesia disebut Organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) akan sulit diatasi dan membutuhkan waktu sekitar 300 tahun untuk tercapai.
   Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Siti Aminah mengungkapkan kondisi itu salah satunya disebabkan oleh faktor norma yang membelenggu di masyarakat dan masih kuatnya sistem patriarki yang mendominasi berbagai bidang kehidupan secara struktural.
   “Kesetaraan gender meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kesenjangan gender ini terus terjadi karena karena masih kuatnya sistem patriarki yang bercirikan dominasi dan superioritas laki-laki dan kontrol oleh laki-laki terhadap perempuan untuk dikuasai serta relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan,” jelasnya saat dihubungi Media Indonesia pada Minggu (3/3).
Baca juga : Indonesia Dorong Kesetaraan Akses Energi bagi Perempuan
   Aminah menjelaskan bahwa pada dasarnya, kesetaraan gender didasari pada nilai-nilai universal untuk menghilangkan diskriminasi, khususnya pada perempuan dengan memberikan hak, akses, manfaat dan kesempatan yang sama sebagai manusia untuk berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
   “Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut,” jelasnya.
   Sementara itu, Kepala Program UN Women Indonesia Dwi Faiz mengungkapkan pentingnya bagi sebuah bangsa berinvestasi pada kesetaraan gender bagi perempuan dalam berbagai lini. Hal ini dikatakan akan berdampak baik untuk kemajuan dan produktivitas negara. Baca juga : Aturan Pelaksana UU TPKS Dinilai Kian Mendesak dan Kritis untuk Segera Disahkan
   “Saat kita mampu mengurangi kesenjangan gender di sektor pekerjaan, akan berdampak pada meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita hingga 20 persen. Manfaat berinvestasi pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan tidak hanya dinikmati oleh perempuan saja, tetapi juga masyarakat. Sayangnya kesetaraan gender itu akan terwujud 300 tahun lagi jika kondisi masih seperti sekarang,” jelasnya.
   Hingga saat ini kata Dwi, salah satu tantangan dalam mencapai kesetaraan gender pada 2030 adalah kurangnya pendanaan bagi upaya itu. Diperlukan tambahan dana sebesar 360 miliar dolar AS per tahun untuk mencapai kesetaraan gender. Jumlah ini setara dengan Rp5.616 triliun.
   Menuju hari perempuan internasional yang diperingati pada 8 Maret 2024, UN Women mengajak segenap stakeholder untuk terus fokus pada pemberdayaan perempuan khususnya di bidang ekonomi.  “Saat pemerintah berinvestasi dalam isu gender khususnya penyediaan pekerjaan yang layak bagi perempuan, berpotensi akan ciptakan 300 juta lapangan pekerjaan pada 2035,” jelasnya. Baca juga : Sunat Perempuan Adalah Diskriminasi dan Kekerasan
Indeks Kesetaraan Gender
   Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) Ratna Susianawati menjelaskan salah satu ukuran dasar untuk menilai sejauh mana setaraan gender di sebuah negara berjalan, bisa dilihat dari pengukuran Indeks Ketimpangan Gender (IKG).
   “Tujuannya adalah untuk membangun kesetaraan dan keadilan gender, yaitu kondisi dimana tidak ada marginalisasi, pembakuan peran, beban berlebih, subordinasi, stereotip dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Jika IKG terus meningkat maka kesetaraan gender semakin baik dan berdampak pada penguatan negara untuk berkembang, termasuk mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif,” imbuhnya. Baca juga : Jelang Berakhirnya Masa Jabatan Legislatif, RUU PPRT dan KIA Dipastikan Tereliminir
   Pengukuran IKG tersebut memiliki tiga dimensi pembentuk indeks, yaitu dimensi kesehatan reproduksi, dimensi pemberdayaan, dan dimensi pasar tenaga kerja. Pada dimensi kesehatan reproduksi, perempuan dibentuk dari dua indikator yaitu proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan dan proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun.
   Sementara itu, dimensi pemberdayaan dibentuk oleh dua indikator, yaitu persentase anggota legislatif dan persentase penduduk 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas. Terakhir, dimensi pasar tenaga kerja yang direpresentasikan dengan indikator tingkat partisipasi angkatan kerja.
   Skor indeks ini memiliki empat kategori, yaitu rendah jika IKG kurang dari 0,399, kemudian menengah bawah (IKG pada rentang 0,400-0,449), menengah atas (IKG pada rentang 0,450-0,499), dan tinggi dengan IKG di atas atau sama dengan 0,500. Baca juga : Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks
   “Peringkat IKG Indonesia naik ke peringkat 87. Pada tahun lalu, Indonesia menempati urutan 92 dari 146 negara. Skor Global Gender Gap pada tahun 2023 mencapai 68,4% atau 0,684, menunjukkan peningkatan sebesar 0,3% atau 0,003 dibandingkan tahun sebelumnya jelas Ratna.
   Kendati demikian, ketimpangan gender yang semakin mengecil itu belum merata di semua wilayah. Jika dilihat berdasarkan provinsi, pada tahun 2022 masih ada 19 provinsi yang memiliki Indeks Ketimpangan Gender di atas IKG nasional (0,459). Sebelas di antaranya berada di wilayah Indonesia timur.
   Sementara itu, masih ada 5 provinsi dengan ketimpangan gender masih tinggi adalah Nusa Tenggara Barat (0,648), Jambi (0,540), Papua Barat (0,537), Maluku Utara (0,534), dan Maluku (0,527). Papua Barat dan Maluku perlu mendapat perhatian khusus karena ketimpangan gender di wilayah tersebut justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
   Siti Aminah menekankan pentingnya peran pemerintah sebagai pihak yang wajib mewujudkan kesetaraan gender sebagaimana diamanatkan dalam tujuan pembentukan negara dan konstitusi untuk memenuhi hak konstitusional perempuan, diantaranya bebas dari diskriminasi, penyiksaan, dan kekerasan
   “Jika tidak dilakukan upaya untuk mempersempit kesenjangan gender, maka perempuan akan terhambat penikmatan dan pemenuhan hak dasarnya sebagai manusia. Yang tentunya ini akan mempengaruhi kualitas SDM dan pencapaian tujuan negara,” tandasnya. (H-1)