Bubarkan Partai Kartel! Nasional 3 September 2025

Bubarkan Partai Kartel!
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

Bubarkan Partai Kartel!
Pemerhati Sosial Politik
BILA
gerakan rakyat saat ini berhasil menekan hingga perubahan struktur ketatanegaraan, maka partai politik yang harus pertama ditata ulang. Sejak sedekade lebih rakyat bisa melihat secara langsung bagaimana partai politik bekerja.
Alih-alih sebagai alat agregasi kepentingan rakyat, partai malah jalan sendiri dengan kepentingan elitisnya. Baik langsung maupun tidak, parpol mempunyai andil besar terhadap kondisi saat ini.
Sejatinya seluruh penyelenggara negara saat ini hanyalah ”representasi” parpol. Rakyat tidak pernah benar-benar memilih pilihannya sendiri; rakyat hanya disodori calon yang sudah diseleksi parpol.
Presiden dan wakil presiden; kepala daerah; anggota DPR/DPRD dipilihkan parpol, baru rakyat disuruh memilih. Menteri juga hasil titipan parpol.
Siapa yang ingin menduduki posisi strategis di negara, harus berbaik-baik kepada parpol agar mendapat rekomendasi.
Itulah sebabnya para pejabat lebih tunduk pada kepentingan elitis daripada kepentingan rakyat. Ada jurang yang dalam antara kepentingan rakyat dan kepentingan partai.
 
Dalam istilah Katz dan Mair (2009), model Parpol yang demikian ini adalah
The Cartel Party
atau partai kartel, yakni partai yang tidak lagi berperan utama sebagai wakil rakyat, melainkan berubah menjadi semacam kartel politik yang menjaga kepentingan bersama para elite partai.
Katz dan Mair, 2009, dalam tulisan berjudul
The Cartel Party Thesis: A Restatment
menjelaskan bahwa salah satu problem dalam demokrasi modern adalah munculnya partai kartel.
Partai tidak lagi berfungsi sebagai wakil masyarakat, melainkan menjadi kartel atau kelompok eksklusif yang bekerja sama untuk mempertahankan akses mereka ke sumber daya negara.
Ciri utama
cartel party
adalah ketergantungan pada sumber daya negara; berorientasi pada pemilu semata; kolusi antarpartai; lemahnya ikatan dengan rakyat.
Dalam konteks Indonesia, tanpa analisis mendalam, kita dengan mudah bisa merasakan terjadi adanya model partai kartel ini.
Hal tersebut diperparah dengan semakin menguatnya personalisasi kekuatan politik partai oleh ketua umum partai. Ketua umum menjadi sumber kekuasaan utama dalam partai.
Kondisi demikian dapat menjelaskan kepada kita mengapa loyalitas fungsionaris maupun kader partai lebih mengarah kepada ketua umum dibandingkan loyalitas atas komitmen ideologis partai.
Akibatnya, fungsi partai sebagai organisasi yang seharusnya membangun kaderisasi, menyalurkan aspirasi rakyat, dan memperjuangkan platform politik jangka panjang menjadi tereduksi.
Semakin menguatnya partai kartel ini juga menjelaskan mengapa tidak terjadi sistem
check and balances
yang ideal antarcabang kekuasaan.
 
Pembahasan undang-undang yang banyak menyalahi prosedur, pengawasan yang tidak optimal hingga struktur penganggaran yang tidak transparan.
Kelemahan struktur internal dan ketiadaan pondasi ideologis yang kokoh membuat partai hanya menjadi kendaraan pragmatis untuk mengejar kekuasaan.
Fenomena politik lompat partai menjadi hal lumrah, proses rekrutmen politik cenderung tidak berbasis meritokrasi atau profesionalisme, melainkan patronase, kedekatan personal, dan kalkulasi elektoral semata.
Dampaknya, kita lihat, penempatan pejabat yang kerap kali mencederai akal sehat publik, karena didasarkan pada loyalitas kekuasaan, bukan keberpihakan pada rakyat.
Tulisan ini hanya berandai-andai semata. Partai menjadi pilar demokrasi yang betul-betul mengagregasi kepentingan rakyat.
Contoh kasus, karena kesenjangan sosial yang lebar partai melalui perangkatnya di DPR membuat UU pengaturan gaji.
Gaji, baik di swasta maupun lembaga pemerintah dari top level hingga level paling bawah, tidak boleh lebih dari tujuh sampai delapan kali lipat. Partai menjadi garda terdepan melawan kelompok kapitalis yang menentang kebijakan ini, bukan malah kongkalikong.
Andaikan, rekrutmen politik dilakukan secara transparan dan profesional. Untuk dicalonkan menjadi Anggota DPR, kepala daerah, kader partai harus memenuhi kriteria integritas dan kompetensi tertentu dengan syarat yang ketat.
Sehingga rakyat diberi pilihan terbaik dari yang paling baik. Partai tegas melarang penggunaan
money politic
dalam pemilu, sehingga
political cost
dapat ditekan.
Andaikan, menteri yang diusulkan oleh partai adalah para menteri yang memang kapabel dan beintegritas tinggi. Maka akan tersusun kebijakan dengan landasan keilmuan, pengalaman, serta visi jangka panjang yang matang.
Hal ini akan mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang profesional, efektif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Andaikan, secara berkala partai menyampaikan secara terbuka laporan keuangannya. Program disusun berdasarkan riset mendalam, dan keputusan diambil secara kolektif, bukan hanya berdasarkan kehendak ketua umum.
Andaikan, partai tidak hanya hadir saat pemilu, tetapi terus bekerja di antara pemilu untuk mendampingi masyarakat, memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, dan memastikan pemerintahan berjalan sesuai prinsip keadilan.
Andaikan, partai tidak main mata dengan para oligark ekonomi, yang terlalu kaya dibebankan pajak yang besar.
Kebijakan yang dihasilkan tidak lagi disetir oleh kebutuhan para konglomerat untuk mempertahankan kepentingan bisnis mereka, melainkan diarahkan pada distribusi sumber daya yang lebih adil.
Sebetulnya, konstitusi kita sudah memberikan ruang agar partai bisa mewujudkan pengandaian-pengandaian di atas. Namun, nyatanya semua itu hanya imajinasi sang pungguk yang merindukan bulan.
Untuk itu, partai politik harus ditata secara serius. Kewenangan,
check and balances
dan manajemen partai harus diatur lebih ketat. Sehingga tidak terjadi kembali model partai kartel yang saat ini kita rasakan.
Mengikis dominasi partai kartel di Indonesia tidak bisa hanya dengan seruan moral tentang “kembali ke rakyat”, melainkan harus dengan merombak sistem yang bisa mengarah pada kartelisasi partai.
Pelemahan partai kartel hanya mungkin jika
civil soceity
bisa menekan dari luar dengan konsisten. Demonstrasi besar digunakan sebagai momentum perubahan. Sehingga mengakibatkan
critical juncture
yang memaksa partai politik mau tidak mau harus berubah.
Setelah terjadi momentum perubahan, penataan sistemnya pun harus terus dikawal bersama. Sehingga bisa memunculkan sistem kepartaian yang ideal dan demokratis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.