BPKN mencermati bahwa potensi risiko konsumen selama periode Nataru tidak hanya berkaitan dengan kenaikan harga. Risiko juga muncul dari kualitas layanan, kejelasan informasi, hingga tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumennya.
Sejumlah persoalan yang kerap muncul antara lain ketidaksesuaian layanan transportasi dan akomodasi dengan informasi yang dijanjikan, keterlambatan atau pembatalan layanan tanpa mekanisme kompensasi yang jelas, hingga persoalan keamanan dan mutu pangan di lokasi wisata serta pusat keramaian.
Selain itu, lonjakan transaksi digital selama Nataru juga meningkatkan risiko penipuan, misinformasi, serta sengketa konsumen. Di tingkat daerah, lemahnya koordinasi penanganan pengaduan lintas instansi turut menjadi tantangan tersendiri.
Dalam konteks ini, BPKN menilai kesiapan pemerintah pusat dan daerah harus mencakup pengawasan, pengendalian risiko, serta respons cepat terhadap pengaduan konsumen.
“Konsumen tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri ketika menghadapi masalah. Negara harus memastikan bahwa mekanisme pengaduan, pengawasan, dan penegakan berjalan efektif, terutama pada periode dengan risiko tinggi seperti Nataru,” lanjut Syaiful.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5455138/original/038551600_1766634902-WhatsApp_Image_2025-12-24_at_20.28.14.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)