Bisnis.com, JAKARTA – Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) memberi lampu hijau bagi pabrik manufaktur pesawat Boeing untuk meningkatkan produksi jenis 737 MAX menjadi 42 unit per bulan. Keputusan ini diumumkan pada Jumat (18/10/2025) waktu setempat, melonggarkan batas produksi 38 pesawat per bulan yang diberlakukan sejak Januari tahun lalu. Langkah ini menandai upaya Boeing untuk memulihkan kinerja keuangan sekaligus memperkuat kepercayaan terhadap standar keselamatan dan kualitas produksinya dengan membanjiri bandara di dunia.
“Boeing raih persetujuan FAA untuk tingkatkan produksi 737 MAX jadi 42 pesawat per bulan,” dikutip oleh Reuters dari FAA, Minggu (19/10/2025).
Lembaga tersebut menegaskan, peningkatan produksi dilakukan setelah tim inspektur keselamatan FAA melakukan tinjauan ekstensif terhadap lini produksi Boeing untuk memastikan bahwa peningkatan laju produksi kecil ini akan dilakukan dengan aman.
Batas produksi sebelumnya diberlakukan setelah kecelakaan penerbangan pada awal 2024 yang melibatkan pesawat Alaska Airlines 737 MAX 9, ketika empat baut pengunci di sumbat pintu terlepas dan menyebabkan lubang besar di badan pesawat pada ketinggian 16.000 kaki. Kejadian itu memicu kekhawatiran global terhadap kualitas keselamatan Boeing dan memaksa FAA mengetatkan pengawasan.
Menurut sumber yang mengetahui proses tersebut, Administrator FAA Bryan Bedford secara langsung menghubungi CEO Boeing Kelly Ortberg untuk mengonfirmasi izin peningkatan produksi. Boeing disebut berencana segera menambah kapasitas produksi di pabrik wilayah Seattle, termasuk pemasangan peralatan baru untuk mendukung peningkatan tersebut.
Boeing menyampaikan apresiasinya atas kerja sama berbagai pihak. “Boeing mengatakan pihaknya menghargai kerja tim kami, para pemasok kami, dan FAA untuk memastikan kami siap meningkatkan produksi dengan mengutamakan keselamatan dan kualitas.” Saham Boeing tercatat naik 1,2% dalam perdagangan setelah jam kerja.
Analis kedirgantaraan Glenn McDonald menilai Boeing kini berada dalam posisi yang lebih siap dibandingkan sebelumnya, meski rantai pasokan masih menjadi tantangan. “Tempa, cor, mesin, dan bahkan interior semuanya telah menyebabkan masalah rantai pasokan bagi para produsen pesawat dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya. Ia menambahkan, gangguan pasokan kini lebih sporadis dan tidak sistemik seperti sebelum pandemi.
Di bawah pengawasan ketat FAA, Boeing mengadopsi pendekatan hati-hati untuk menstabilkan produksi. Perusahaan juga telah membangun inventori suku cadang dan bahan baku senilai US$11 miliar, meningkat signifikan dibandingkan US$6,4 miliar pada 2018, ketika memproduksi lebih dari 50 unit jet 737 per bulan.
Meski demikian, beban utang Boeing masih besar, mencapai US$53 miliar per 2025, jauh lebih tinggi dibandingkan US$12 miliar pada 2018. Wall Street memperkirakan perusahaan ini masih akan mencatat rugi tahun ini, namun mulai mencetak laba kembali pada 2026—tahun pertama keuntungan sejak 2018.
FAA sebelumnya juga telah memulihkan sebagian kewenangan Boeing untuk menerbitkan sertifikat kelaikan udara bagi pesawat 737 MAX dan 787. Kewenangan itu sempat dicabut setelah kecelakaan fatal di Indonesia dan Ethiopia pada 2019 serta temuan pelanggaran mutu pada 2022. Pada September lalu, FAA bahkan mengusulkan denda sebesar US$3,1 juta terhadap Boeing setelah menemukan ratusan pelanggaran sistem kualitas di pabriknya di Washington dan Kansas.
Insiden Alaska Airlines pada Januari 2024 juga memicu Departemen Kehakiman AS membuka penyelidikan kriminal terhadap Boeing, menambah tekanan bagi produsen pesawat terbesar di dunia itu untuk membuktikan bahwa peningkatan produksi kali ini benar-benar dilakukan dengan standar keselamatan yang ketat
