JAKARTA – Indonesia merupakan negara kedua dari 193 negara yang berisiko terkena bencana seperti tsunami. Bahkan, tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 merupakan tsunami terbesar ketiga di dunia.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa hal ini terjadi karena Indonesia berada di antara lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia.
Jika melihat kembali peristiwa gempa bumi 9,1 skala richter dan tsunami yang terjadi di Aceh hingga menewaskan ratusan ribu korban jiwa, BMKG perlu memperkuat sistem peringatan dini. Menurut Dwikorita, sistem ini sudah dibangun setelah tsunami terjadi.
“Pasca tsunami Aceh 2004 pemerintah Indonesia membangun sistem peringatan dini tsunami dan diresmikan pada tahun 2008,” kata Dwikorita melalui siaran resmi BMKG yang diterima VOI Jumat 27 Desember.
“Namun, beberapa kejadian tsunami seperti tsunami Palu 2018 mengungkap perlunya mengintegrasikan kemajuan teknologi dengan kesiapsiagaan dan ketahanan masyarakat,” lanjutnya.
BMKG telah bermitra dengan banyak pihak untuk mengembangkan teknologi pencegahan terbaik. Lembaga ini juga mengusulkan standar Guidelines for the implementation of a community-based early warning system for tsunamis, ISO 22328-3.
Standar ini dikembangkan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Standarisasi Nasional (BSN), dan Universitas Gajah Mada (UGM). ISO 22328-3 pun telah ditetapkan sebagai standar internasional dan melengkapi program Tsunami Ready UNESCO-IOC.
Hingga saat ini, standar ISO 22328-3 telah diintegrasikan ke berbagai infrastruktur strategis seperti bandara, pelabuhan, dan lainnya. Dengan begitu, BMKG dapat meningkatkan manajemen keselamatan dan mengurangi risiko tsunami di masa depan.
“Sekretariat ISO telah menerbitkan standar ini, kesesuaiannya dengan praktik lokal telah terbukti memberdayakan masyarakat untuk mengurangi risiko dan kerentanan, serta memperkuat kesiapan mereka terhadap tsunami,” ujar Dwikorita.