Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Bisnis Industri Otomotif di RI Tuai Sorotan

Bisnis Industri Otomotif di RI Tuai Sorotan

Jakarta

Pasar otomotif di Indonesia saat ini terus berkembang pesat, namun pasar ini dinilai masih dikuasai oleh pemain besar dan sudah lama mendominasi pasar serta memiliki kontrol yang sangat kuat.

Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan pasar otomotif domestik adalah adanya kebijakan yang diterapkan oleh Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), yang membatasi ruang gerak para dealer melalui perjanjian eksklusivitas.
Perjanjian tersebut secara langsung menghalangi investor untuk mendirikan badan usaha baru yang dapat menjual merek-merek lain yang berpotensi masuk ke pasar Indonesia, yang pada gilirannya mengurangi tingkat persaingan dan inovasi dalam industri otomotif.

Namun, menurut Direktur Marketing PT Suzuki Indomobil Sales Donny Saputra, tidak ada klausul yang mengarah kepada Oligopoli antara ATPM dengan para distributor.

Donny menyoroti fakta bahwa tidak ada dealer yang hanya menjual satu merek. “Misalnya Arista, mereka tidak hanya menjual satu merek, tetapi memiliki berbagai merek seperti Honda, Isuzu, Wuling, bahkan BYD. Jadi, jelas ini bukan persaingan yang tidak sehat. Ini hanya kompetisi biasa di industri otomotif,” ujar Donny dihubungi, Selasa (10/12/2024).

Menurut Donny, penguasaan pangsa pasar oleh beberapa merek besar seperti Toyota atau Honda bukan karena struktur pasar yang oligopoli, melainkan karena preferensi konsumen yang sudah terbentuk sejak lama.
Produsen bersaing dengan menawarkan keunggulan produk dan inovasi, sehingga keberhasilan di pasar sangat bergantung pada pilihan konsumen. Selain itu, harga dan inovasi yang dilakukan oleh pabrikan menentukan volume penjualan. Menurutnya, industri otomotif di Indonesia memiliki tingkat kompetisi yang sangat sehat.

“Mereka yang menguasai pasar itu adalah pilihan konsumen. Produsen menawarkan keunggulan produk dan inovasi, jadi ini murni kompetisi, bukan oligopoli,” tegasnya.

Namun demikian, Donny mengakui bahwa industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan besar yang menyebabkan stagnasi. Ia menyebut tiga faktor utama, yaitu peluncuran model baru, kondisi ekonomi, dan regulasi pemerintah.

Menurutnya, waktu peluncuran model baru sangat mepengaruhi dinamika pasar, sementara kondisi ekonomi global dan kebijakan pemerintah, seperti aturan emisi dan impor, juga menjadi faktor yang signifikan.

“Industri otomotif saat ini memang stagnan, tetapi itu lebih karena faktor eksternal, bukan karena pasar yang tidak kompetitif,” katanya.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menyatakan bahwa dirinya tidak ingin terlalu terlibat dalam polemik oligopoli yang terjadi di sektor industri otomotif tanah air. Menurut Jongkie, persoalan yang muncul terkait dengan dominasi pasar oleh beberapa pemain besar lebih merupakan urusan Agen Pemegang Merek (APM), yaitu perusahaan-perusahaan yang memiliki otoritas penuh untuk mengimpor, memproduksi, dan menjual merek kendaraan tertentu di Indonesia.

Gaikindo sebagai asosiasi industri kendaraan bermotor memiliki fungsi utama untuk mendukung pertumbuhan industri otomotif secara keseluruhan, termasuk mendorong peningkatan produksi, penjualan, serta daya saing industri Indonesia di pasar global. Oleh karena itu, isu-isu yang berkaitan dengan strategi bisnis masing-masing APM, termasuk perjanjian eksklusivitas yang mereka terapkan dengan jaringan dealer, dianggap berada di luar lingkup wewenang Gaikindo.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Aru Amando menegaskan bahwa KPPU masih akan melakukan penelaahan lebih lanjut terkait aturan yang dianggap menimbulkan oligopoli tersebut. KPPU mengungkapkan bahwa mereka belum bisa memutuskan apakah aturan ini melanggar hukum persaingan usaha karena mereka harus terlebih dahulu menilai secara rinci isi perjanjian yang berlaku.

“KPPU akan sangat terburu-buru kalau mengatakan ini salah, ini benar. Tanpa kita melihat isi di dalam perjanjiannya itu tadi seperti apa. Yang melarangi. Kita harus lihat dulu perjanjiannya,” ujar Aru.

Jika merujuk kepada peraturan perundang-undangan, perjanjian eksklusivitas antara pemegang merek dan pabrikan telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) khususnya pasal 19 poin (a) dan (d).

Disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan oligopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan atau melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menyoroti bagaimana pabrikan otomotif asal Jepang telah memiliki posisi yang kuat di pasar Indonesia berkat jaringan distribusi yang mapan, layanan purna jual yang andal, serta reputasi kualitas produk yang sudah lama dipercaya konsumen. Namun, Tauhid menegaskan bahwa keunggulan tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan perlunya pengawasan yang ketat guna memastikan terciptanya persaingan usaha yang sehat.

Menurut Tauhid, peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat penting dalam menjaga iklim industri yang sehat dan kompetitif. Ia menilai bahwa langkah-langkah strategis perlu diambil untuk mendobrak praktik oligopoli yang saat ini menghambat perkembangan pemain baru di sektor otomotif. Salah satu solusi utamanya adalah membuka pintu investasi yang lebih luas di sektor otomotif.

Ia menjelaskan bahwa pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang mendorong masuknya lebih banyak produsen otomotif dari berbagai negara. Dengan demikian, jumlah pabrikan yang bersaing di pasar domestik dapat meningkat, sehingga konsumen memiliki lebih banyak pilihan.

“Ya, supaya kompetitif ya. Pertama ya dibuka keluar bagaimana investasi di sektor otomotif jauh lebih banyak, pabrikan lebih banyak. Tambatan-tambatan untuk investasi di bidang otomotifya katakanlah harus diperluas,” ujar Tauhid.

(rrd/rir)