Bima Arya: Indonesia Anut Sistem Presidensial, tetapi UU Kepresidenan Belum Ada, Ajaib Nasional 27 Juli 2025

Bima Arya: Indonesia Anut Sistem Presidensial, tetapi UU Kepresidenan Belum Ada, Ajaib
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

Bima Arya: Indonesia Anut Sistem Presidensial, tetapi UU Kepresidenan Belum Ada, Ajaib
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri)
Bima Arya
menyoroti belum adanya
Undang-Undang Kepresidenan
di Indonesia, meskipun sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensial.
Hal ini ia sebut sebagai satu hal yang belum tuntas dalam arsitektur ketatanegaraan.
Menurutnya, ini juga menjadi momentum penyusunan revisi Undang-Undang Pemilu pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kita sejak reformasi ikhtiar untuk menguatkan multi partai sederhana. Sekali lagi, multi partai sederhana yang disandingkan dengan sistem presidensil. Ini pun belum tuntas,” kata Bima Arya dalam diskusi daring Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
“Kenapa? Ya karena
undang-undang kepresidenan
pun belum ada. Agak ajaib menurut saya. Kita menganut sistem presidensil, tetapi tidak ada undang-undang kepresidenan,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa penyusunan
revisi UU Pemilu
jangan sampai hanya didorong oleh kepentingan partisan atau jangka pendek, melainkan harus menjadi momentum untuk menata ulang sistem politik secara komprehensif.
“Yang perlu kita pastikan adalah jangan sampai proses revisi ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau kepentingan partisan,” ujarnya.
Bima menyebutkan, sejak era reformasi, Indonesia sudah menapaki jalan menuju penguatan sistem multi partai sederhana yang sejalan dengan sistem presidensial.
Namun, secara regulasi, pembangunan sistem ini masih belum tuntas.
“Undang-undang tentang DPR ada, MD3 ada, segala macam. Tapi presiden tidak ada. Ini kan harus jelas, batasannya apa, kewenangannya apa, dan racikannya,” tutur mantan Wali Kota Bogor itu.
Menurutnya, revisi undang-undang harus diletakkan dalam kerangka yang lebih besar, yaitu membangun pelembagaan politik yang kuat, merespons kepentingan nasional jangka panjang, serta menjaga integrasi bangsa.
Bima mengingatkan bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam posisi strategis menuju status negara maju dalam dua dekade mendatang.
Untuk itu, reformasi sistem politik harus mendukung target-target besar nasional, mulai dari bonus demografi hingga transisi energi.
“Kalau dulu di 1998-1999, semangat kita ya euforia membuka keran demokratisasi, gitu. Belum kita berbicara Indonesia maju, Indonesia emas. Jauh banget rasanya saat itu. Nah, sekarang ini dimensinya berbeda,” ungkap Bima.
Ia juga menyinggung pentingnya menjaga kesinambungan antara kepentingan lokal dan nasional melalui sistem pemilu yang tepat.
Menurutnya, momentum keserentakan yang sudah dicapai dalam siklus pemerintahan pusat dan daerah harus dijaga.
Dalam paparannya, Bima juga menyoroti pentingnya penguatan pendanaan politik melalui skema bantuan keuangan partai yang berorientasi pada integritas, bukan sekadar menambah dana tanpa akuntabilitas.
“Jadi party funding, pendanaan politik ini sangat penting sekali. Teman-teman KPK sudah bolak-balik diskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas yang memasukkan itu ke dalam rencana pemberantasan korupsinya, dan tentunya bagaimana menyandingkan antara dana politik, bantuan politik itu dengan sistem integritas partai politik,” kata politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Selain itu, Bima juga mendorong penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan pemilu, terutama dalam tahap penghitungan dan pemungutan suara untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.