Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha di industri transportasi dan logistik menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari tingginya biaya logistik, infrastruktur yang belum merata hingga isu kendaraan over dimension over load (ODOL).
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Akbar Djohan mengatakan, perlu adanya harmonisasi regulasi dari pemerintah untuk mendukung kelancaran konektivitas dan pelaku industri logistik.
“Kalau saya lihat, tantangan sebenarnya adalah bagaimana regulasi dari semua kementerian dan lembaga bisa di-organize. Ini jauh lebih efektif, jauh lebih efisien untuk meningkatkan daya saing,” ujar Akbar pada Bisnis Indonesia Forum pada Rabu (26/11/2025).
Menurutnya, biaya logistik yang mencakup tarif pelabuhan, biaya penumpukan, laporan administrasi, demurrage, transportasi, bea masuk, hingga PNBP sepenuhnya dibebankan kepada para pelaku logistik.
Meskipun nominalnya tampak besar, margin usaha dinilai sangat tipis dengan tingkat risiko yang tinggi. Oleh karena itu, kata Akbar, meski biaya logistik Indonesia lebih mahal dibanding negara-negara Asean, bukan berarti menguntungkan pelaku logistik.
“Karena sekali lagi, biaya logistik yang dianggap tinggi di Indonesia jujur saja tidak dinikmati oleh pelaku logistik nasional. Bahkan member kami di ALFI dan juga di asosiasi ekosistem logistik lainnya cukup tough suffering dalam menghadapi persaingan,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan para pelaku logistik perlu beralih ke sistem digital dalam proses bisnisnya, agar selaras dengan perkembangan ekosistem logistik nasional. Alhasil, transformasi digital dinilai cukup efektif untuk menurunkan biaya logistik.
“Pelaku industri logistik untuk mendapatkan titik efisiensi, tentu kita tidak bisa pungkiri harus shifting ke digitilisasi, karena praktik-praktik logistik e-commerce sudah terbukti bagaimana dampak digitalisasi di logistik itu sudah terbukti menurunkan harga,” jelasnya.
Adapun, per 2023, biaya logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 14,1%. Indonesia berada di peringkat ke 63, dari sebelumnya 46 pada 2018. Transportasi sektor darat mendominasi logistik di Indonesia, dengan porsi biaya secara nasional mencapai 49,6%.
Dari sisi penyedia transportasi, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB), distributor resmi Mitsubishi Fuso juga berupaya untuk mengejar efisiensi logistik dengan menghadirkan produk kendaraan niaga berteknologi tinggi dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
General Manager of Business Communication PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, Sudaryanto mengatakan, efisiensi tidak diukur hanya dari harga unit kendaraan saja, tetapi juga dari keseluruhan biaya kepemilikan (total cost of ownership).
“Karena produk-produk Fuso itu pertama sudah comply dengan regulasi emisi. Selain itu, kami sematkan teknologi yang tangguh ya, artinya masa durability-nya juga panjang,” ujar Sudaryanto.
Tak hanya itu, Fuso juga mengembangkan teknologi digitalisasi melalui telemetry system. Teknologi ini memungkinkan pelaku usaha memantau konsumsi bahan bakar, rute perjalanan, hingga perilaku pengemudi secara real time. Pemanfaatan data tersebut dinilai dapat membantu perusahaan melakukan pengelolaan armada secara lebih efisien.
Fuso juga menghadirkan layanan inovasi zero downtime. Konsep ini dibuat untuk memastikan operasional truk tetap berjalan optimal, mengingat armada logistik beroperasi hampir tanpa henti dan memerlukan perawatan berkala. Waktu perbaikan yang terlalu lama dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan logistik.
“Melalui layanan zero downtime, kami menyediakan jaringan bengkel dan fasilitas perbaikan yang luas di seluruh Indonesia, termasuk mobile workshop service, bengkel siaga, dan parts depot. Langkah ini memberikan jaminan ketersediaan armada agar tetap dalam kondisi optimal dan siap digunakan sepanjang operasional berlangsung,” pungkasnya.
