BUKITTINGGI – Bank Indonesia (B) telah menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 150 basis poin (bps) sejak tahun lalu. Dengan demikian, BI-Rate kini berada di level 4,75 persn, yang merupakan posisi terendah sejak tahun 2022.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya menyampaikan bahwa dampak dari pelonggaran kebijakan moneter dan peningkatan likuiditas sudah mulai tampak di pasar uang.
Suku bunga antarbank overnight atau INDONIA (Indonesia Overnight Index Average) tercatat turun sekitar 204 basis poin pada 21 Oktober 2025, menjadi 3,99 persen, dari posisi 6,03 persen di awal tahun.
Untuk instrumen dengan tenor yang lebih panjang, seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) berjangka 6, 9, dan 12 bulan, masing-masing juga mengalami penurunan sebesar 251 bps, 254 bps, dan 257 bps, sehingga kini berada di level 4,65 persen, 4,67 persen, dan 4,70 persen per 17 Oktober 2025.
“Penurunan suku bunga juga terlihat di pasar keuangan. Yield Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tenor dua tahun turun dari 7,26 persen menjadi 4,78 persen, sementara tenor 10 tahun turun dari 7,26 persen menjadi 5,94 persen,” ujarnya dalam pelatihan wartawan BI, Jumat, 24 Oktober.
Meski demikian, Juli mengakui bahwa penurunan suku bunga perbankan masih berjalan lebih lambat dibandingkan respons pasar uang dan pasar keuangan.
Dibandingkan dengan penurunan BI-Rate sebesar 150 bps, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun 29 bps, dari 4,81 persen di awal 2025 menjadi 4,52 persen pada September 2025. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya special rate bagi deposan besar yang mencakup sekitar 26 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) di perbankan.
Sementara itu, suku bunga kredit perbankan turun lebih lambat lagi, hanya 15 bps, dari 9,20 persen pada awal tahun menjadi 9,05 persen pada September 2025.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa peluang untuk kembali menurunkan suku bunga masih terbuka, dengan mempertimbangkan kondisi inflasi tahun ini dan proyeksi inflasi 2026 yang tetap rendah dan stabil dalam kisaran sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen.
“Dan karenanya dengan inflasi yang terkendali itu terbuka ruang penurunan suku bunga,” tutur Perry dalam konferensi pers, Rabu, 22 Oktober.
Selain faktor inflasi, ia menyampaikan kebijakan pelonggaran suku bunga juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Perry BI terus memperkuat sinergi dengan pemerintah guna meningkatkan aktivitas ekonomi yang saat ini masih berada di bawah potensi kapasitas output nasional.
Perry menyampaikan dorongan terhadap permintaan domestik masih sejalan dengan upaya menjaga stabilitas harga, terutama inflasi inti, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat tanpa menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan.
Selain melalui kebijakan suku bunga, ia menyampaikan BI juga terus memperluas ekspansi likuiditas dan pemberian insentif likuiditas, baik di tingkat makro maupun melalui digitalisasi sistem keuangan.
Perry menekankan pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas.
“Dua pertimbangan ini inflasi yang rendah dan perlunya bersinergi mendorong pertumbuhan itulah landasan utama kami masih memandang ruang penurunan suku bunga itu masih terbuka,” jelasnya.
Namun demikian, ia mengatakan setelah serangkaian pemangkasan suku bunga tahun ini, fokus BI kini beralih pada penguatan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
Perry menambahkan bahwa penurunan BI-Rate telah diikuti oleh penurunan suku bunga di pasar uang dan juga yield Surat Berharga Negara (SBN).
Meski begitu, ia mengakui bahwa penurunan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) dan kredit masih berjalan lambat.
Oleh sebab itu, Perry menyampaikan BI akan terus mendorong agar suku bunga kredit dapat menurun lebih cepat guna mendukung ekspansi ekonomi dan memperkuat transmisi kebijakan moneter.
