Bandung: Pemberdayaan UMKM dan kelompok masyarakat lokal sebagai supplier disebut kunci keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kolaborasi itu juga dinilai menjadi fondasi krusial, dalam memastikan ketersediaan pangan bergizi saat daerah dihantam risiko bencana alam.
PLT Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional (BGN), Gunalan mengatakan, saat ini, terdapat 264 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah Sumatera yang dimanfaatkan sebagai dapur umum.
Dapur-dapur tersebut menjadi garda terdepan, bekerja secara sukarela membantu korban bencana dengan menyiapkan makanan gratis yang tetap memenuhi standar gizi.
“Yang kita berikan bukan sekadar makanan, tetapi asupan bergizi yang benar-benar diperhitungkan,” kata Gunalan.
Ia menekankan bahwa kegiatan ini bukan seremoni belaka, melainkan bagian dari strategi nasional Badan Gizi Nasional untuk memastikan Program MBG berjalan berkualitas, berkelanjutan, dan memberi dampak ekonomi langsung kepada masyarakat.
Gunalan mengakui bahwa pada awal peluncurannya, Januari lalu, Program MBG sempat dipersepsikan hanya sebagai kegiatan berbagi makanan. Namun, setelah hampir satu tahun berjalan sejak diluncurkan pada 6 Januari, MBG telah berkembang menjadi penggerak ekonomi desa yang nyata.
“Di banyak desa terpencil dan wilayah berpenduduk jarang, dapur MBG kini menjadi pusat ekonomi produktif. UMKM rumahan mulai berinovasi. Bahan pangan yang dulu terbuang, seperti pisang, sekarang diolah, dikemas dengan baik, dan disuplai ke dapur MBG,” jelasnya.
BGN menegaskan bahwa UMKM, koperasi, BUMDes, dan kelompok masyarakat lokal harus menjadi aktor utama dalam rantai pasok MBG. Idealnya, seluruh bahan baku berasal dari masyarakat sekitar.
Fakta di lapangan menunjukkan masih ada SPPG yang berbelanja di pasar karena keterbatasan produksi lokal dan tuntutan pertanggungjawaban administrasi.
Gunalan secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya jika pembelian bahan pangan terus dilakukan di pasar. “Itu hanya menguntungkan segelintir pihak. Harapan Bapak Presiden jelas, pangan dibeli dari rakyat, diolah oleh rakyat, lalu kembali ke rakyat melalui anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita,” katanya.
Prinsip dasar Program MBG sangat sederhana namun kuat, pangan diproduksi oleh rakyat, diolah oleh rakyat, dibeli oleh negara, dan dikonsumsi oleh rakyat.
Secara nasional, hingga saat ini telah beroperasi 17.362 SPPG, didukung oleh lebih dari 736 ribu petugas lapangan, dengan jumlah penerima manfaat mencapai 44 juta jiwa. Rantai pasok MBG digerakkan oleh lebih dari 40 ribu supplier.
Dampak ekonomi mulai terlihat nyata. Di Sulawesi Utara serta Blora–Grobogan, warga yang sebelumnya bekerja di sektor informal bahkan menjual kendaraannya untuk kembali bertani. “Masyarakat kembali ke sektor pertanian. Ini sinyal sehat bagi ekonomi desa,” ujar Gunalan.
UMKM dinilai akan semakin krusial untuk mendukung keberlanjutan MBG pada 2025–2026. Di Jawa Barat, yang memegang peran strategis nasional, ditargetkan 4.600 SPPG, dengan 3.999 sudah beroperasi, didukung 179.609 petugas, lebih dari 9.000 supplier, serta jangkauan penerima manfaat yang luas.
Provinsi ini dinilai menunjukkan capaian program yang tinggi sekaligus mendorong penggunaan produk lokal secara signifikan.Gunalan berharap Jawa Barat dapat menjadi contoh nasional keterlibatan UMKM dalam Program MBG.
BGN mengajak seluruh pihak untuk berkolaborasi dengan fokus pada pemberdayaan UMKM berbasis wilayah, standarisasi kebutuhan pangan, serta integrasi data pengawasan rantai pasok.
“MBG bukan proyek sesaat. Ini investasi sosial dan ekonomi jangka panjang. Kalau dikerjakan bersama dan benar, manfaatnya kembali ke rakyat,” kata Gunalan.
Bandung: Pemberdayaan UMKM dan kelompok masyarakat lokal sebagai supplier disebut kunci keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kolaborasi itu juga dinilai menjadi fondasi krusial, dalam memastikan ketersediaan pangan bergizi saat daerah dihantam risiko bencana alam.
PLT Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional (BGN), Gunalan mengatakan, saat ini, terdapat 264 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah Sumatera yang dimanfaatkan sebagai dapur umum.
Dapur-dapur tersebut menjadi garda terdepan, bekerja secara sukarela membantu korban bencana dengan menyiapkan makanan gratis yang tetap memenuhi standar gizi.
“Yang kita berikan bukan sekadar makanan, tetapi asupan bergizi yang benar-benar diperhitungkan,” kata Gunalan.
Ia menekankan bahwa kegiatan ini bukan seremoni belaka, melainkan bagian dari strategi nasional Badan Gizi Nasional untuk memastikan Program MBG berjalan berkualitas, berkelanjutan, dan memberi dampak ekonomi langsung kepada masyarakat.
Gunalan mengakui bahwa pada awal peluncurannya, Januari lalu, Program MBG sempat dipersepsikan hanya sebagai kegiatan berbagi makanan. Namun, setelah hampir satu tahun berjalan sejak diluncurkan pada 6 Januari, MBG telah berkembang menjadi penggerak ekonomi desa yang nyata.
“Di banyak desa terpencil dan wilayah berpenduduk jarang, dapur MBG kini menjadi pusat ekonomi produktif. UMKM rumahan mulai berinovasi. Bahan pangan yang dulu terbuang, seperti pisang, sekarang diolah, dikemas dengan baik, dan disuplai ke dapur MBG,” jelasnya.
BGN menegaskan bahwa UMKM, koperasi, BUMDes, dan kelompok masyarakat lokal harus menjadi aktor utama dalam rantai pasok MBG. Idealnya, seluruh bahan baku berasal dari masyarakat sekitar.
Fakta di lapangan menunjukkan masih ada SPPG yang berbelanja di pasar karena keterbatasan produksi lokal dan tuntutan pertanggungjawaban administrasi.
Gunalan secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya jika pembelian bahan pangan terus dilakukan di pasar. “Itu hanya menguntungkan segelintir pihak. Harapan Bapak Presiden jelas, pangan dibeli dari rakyat, diolah oleh rakyat, lalu kembali ke rakyat melalui anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita,” katanya.
Prinsip dasar Program MBG sangat sederhana namun kuat, pangan diproduksi oleh rakyat, diolah oleh rakyat, dibeli oleh negara, dan dikonsumsi oleh rakyat.
Secara nasional, hingga saat ini telah beroperasi 17.362 SPPG, didukung oleh lebih dari 736 ribu petugas lapangan, dengan jumlah penerima manfaat mencapai 44 juta jiwa. Rantai pasok MBG digerakkan oleh lebih dari 40 ribu supplier.
Dampak ekonomi mulai terlihat nyata. Di Sulawesi Utara serta Blora–Grobogan, warga yang sebelumnya bekerja di sektor informal bahkan menjual kendaraannya untuk kembali bertani. “Masyarakat kembali ke sektor pertanian. Ini sinyal sehat bagi ekonomi desa,” ujar Gunalan.
UMKM dinilai akan semakin krusial untuk mendukung keberlanjutan MBG pada 2025–2026. Di Jawa Barat, yang memegang peran strategis nasional, ditargetkan 4.600 SPPG, dengan 3.999 sudah beroperasi, didukung 179.609 petugas, lebih dari 9.000 supplier, serta jangkauan penerima manfaat yang luas.
Provinsi ini dinilai menunjukkan capaian program yang tinggi sekaligus mendorong penggunaan produk lokal secara signifikan.Gunalan berharap Jawa Barat dapat menjadi contoh nasional keterlibatan UMKM dalam Program MBG.
BGN mengajak seluruh pihak untuk berkolaborasi dengan fokus pada pemberdayaan UMKM berbasis wilayah, standarisasi kebutuhan pangan, serta integrasi data pengawasan rantai pasok.
“MBG bukan proyek sesaat. Ini investasi sosial dan ekonomi jangka panjang. Kalau dikerjakan bersama dan benar, manfaatnya kembali ke rakyat,” kata Gunalan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)
