Berislam dari Ritual hingga Intelektual: Bagaimana Puasa Membentuk Diri Seorang Muslim

Berislam dari Ritual hingga Intelektual: Bagaimana Puasa Membentuk Diri Seorang Muslim

Berislam pada tahap keempat atau rukun Islam keempat adalah puasa, dalam bahasa Arab yaitu saum. Puasa yakni menahan lapar dengan tidak makan dan minum dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Sedangkan di Indonesia umumnya dilakukan sebanyak 12 jam sehari selama bulan Ramadan, durasi waktu berpuasa pun berbeda-beda tiap belahan dunia lain, hal itu tergantung dengan perbedaan letak geografis yang memengaruhi.

Jika ditelisik lebih jauh, ternyata amalan berlapar-lapar bukan hanya ajaran Islam saja. Tetapi juga ajaran umat terdahulu dan amalan beberapa bangsa-bangsa. Misalnya di dalam aliran Kejawen terdapat puasa mutih, artinya tidak makan kecuali hanya nasi putih. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa amalan puasa merupakan amalan umat-umat terdahulu:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu sekalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu, agar engkau sekalian bertakwa.” Surah Al-Baqarah ayat (183).

Jika di-ta’bir-kan ayat tersebut kira-kira maksudnya, “Berpuasalah kalian wahai umat Muhammad SAW dan kerjakanlah perintah ini sebab umat terdahulu juga telah diperintahkan untuk berpuasa.”

Bukti bahwasanya perintah puasa dijalani umat terdahulu terdapat dalam Al-Qur’an, tentang Nabi Adam AS yang diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi (QS Al-Baqarah: 35). Juga Nabi Musa As berpuasa dengan tidak makan dan minum selama 40 hari 40 malam pada saat menerima sepuluh Firman (The Ten Comamandments). Namun ternyata kaumnya tidak mau mengikutinya dan mengganti dengan puasa sehari dalam setahun, kemudian diganti 5 hari dalam setahun. Dalam perjanjian lama dijelaskan dalam Imamat 16:29, Maryam bunda Isa pun berpuasa hingga tidak bicara pada siapa pun, (QS Maryam: 26).

Jika ditelusuri dari sejarah bangsa dan agama-agama terdahulu, bangsa Mesir kuno pun telah mempraktikkan amalan berpuasa selama 5.000 tahun. Begitu pula bangsa Romawi dan Yunani kuno sebelum Kristen biasa melakukan amalan puasa ketika akan menghadapi peperangan besar. Dengan harapan mereka akan mendapatkan perlindungan dari para dewa. 

Bukan hanya itu, berpuasa atau berlapar-lapar menahan hawa nafsu adalah jalan menuju penyucian universal. Selain itu puasa juga sebagai pertahanan nafsu birahi yang efektif. Meskipun terdapat sedikit kesamaan dalam ritual berpuasa, namun perlu diingat ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidaklah meniru-niru ibadah umat terdahulu. 

Hal yang betul, sebenarnya Islam datang menyempurnakan ibadah ini dengan memerintahkan puasa selama sebulan lamanya pada bulan suci Ramadan. Jadi ritual puasa dalam Islam bukan sekedar memenuhi syarat dan rukunnya saja yang hanya menahan lapar dan dahaga dari terbit hingga terbenamnya matahari.

Puasa, pertama-tama harus disertai dengan keimanan. Artinya berpuasa bagi seorang muslim haruslah disertai dengan keimanan pada Allah dengan hati yang Ikhlas. Bukan untuk menguruskan badan, mengikuti tren, mencari kekuatan magis dan sebagainya. 

Makna berpuasa dengan iman adalah berlapar-lapar sekaligus mengerjakan amalan-amalan layaknya orang yang beriman. Tanda orang beriman adalah orang yang menghindari perbuatan dosa-dosa kecil, apalagi dosa besar; orang beriman adalah orang yang menghormati tamunya, menjaga mulutnya, menjaga matanya, menahan hatinya, menjaga matanya, menjaga nafsu syahwatnya, menjaga telinganya dan seterusnya dari segala dosa. Jika tidak, maka puasanya tidak berguna.

“Banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala kecuali lapar, dan banyak orang yang salat (malam) tidak mendapat pahalanya kecuali berjaga.”

Jika salat adalah berkonsentrasi dan bermunajat pada sang Ilahi, maka puasa adalah pengosongan diri dari kecenderungan fisik manusia yang umumnya didominasi oleh nafsu hewani (nafsu al-ammarah bi as-su’). Maka dari itu, memberhentikan konsumsi makanan dan minumannya dalam sehari maka kekuatan fisiknya akan melemah dan diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani tersebut. 

Maka Ketika jiwa hewani melemah makan jiwa yang tenang (nafsu al-muthmainnah) akan menguat dan dominan. Menurut teori imam Ghazali, Ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh nafsu hewani kemudian diganti dengan dominasi akalnya, maka manusia akan melakukan tindakan-tindakan yang positif.

Selain untuk penyucian diri, puasa juga menjadi perisai dari godaan internal maupun eksternal manusia. Godaan internal maksudnya adalah godaan setan melalui syahwat manusia itu bisa menguat dengan makan dan minum, sedangkan alat untuk mengendalikannya adalah dengan berpuasa. 

Dalam sebuah riwayat Nabi menyebutkan, “Keleluasaan setan dalam beroperasi pada manusia hanya bisa dipersempit dengan lapar,” (dalam Ihya’ulumuddin, 274). Sementara godaan eksternal adalah godaan dari musuh yang menyerang atau melukai kita. Dalam sebuah hadis disebutkan:

“Sesungguhnya puasa itu perisai. Maka jika salah seorang dari kamu berpuasa, jangan berkata keji dan kasar. Kalau dia dicela atau hendak diperangi seseorang hendaklah ia berkata ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’.”

Di balik kalimat sesungguhnya ‘aku sedang berpuasa’ tersimpan makna yang kuat. Yakni ‘jangan main-main dengan saya, sebab saya berpuasa’, atau boleh jadi terkandung sikap yang lembut ‘saya sedang berpuasa dan tidak mempunyai kekuatan seimbang dengan kalian, maka urungkanlah usaha kalian memerangi saya’.

Maka dari beberapa uraian diatas, puasa secara tidak langsung sebuah pelatihan kepada jiwa atau hawa nafsu agar ia menjadi tenang. Tentunya seorang pemuda dengan memiliki ketenangan jiwa ia akan mampu membuat Keputusan-keputusan yang tidak terpengaruh oleh nafsu syahwatnya. 

Begitu pula puasa, dalam diri manusia sedang melakukan pelatihan jiwa dan dalam Islam puasa adalah perintah dari Allah Swt kepada hambanya. Maka antar keduanya dapat dikaitkan benang merahnya, bahwasanya sesungguhnya Islam selalu menyeru kepada hambanya dalam hal kebaikan, baik terhadap diri sendiri maupun kepada sesama. 

*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)