Beragam Kepentingan dan Paradoks Realitas dalam Kebijakan Inggris terhadap Tiongkok

Beragam Kepentingan dan Paradoks Realitas dalam Kebijakan Inggris terhadap Tiongkok

Pada 1 Desember, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyampaikan pidato publik di kawasan City of London. Dalam pembahasannya mengenai tatanan internasional dan hubungan Inggris–Tiongkok, ia secara tegas menyatakan bahwa Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok telah menjadi tiga kekuatan utama dunia. Starmer menilai bahwa kondisi kurangnya keterlibatan Inggris dengan Tiongkok saat ini “tidak seharusnya berlanjut”, serta menekankan perlunya memperluas hubungan dan kerja sama dengan Tiongkok di bidang perdagangan dan sektor-sektor lainnya. Namun, pada saat yang sama, ia juga menyebut Tiongkok sebagai “ancaman pada tingkat keamanan nasional” bagi Inggris dan menegaskan bahwa London akan terus mengambil langkah-langkah penanggulangan.

Pernyataan yang mencerminkan pendekatan “mencari kerja sama ekonomi, namun tetap waspada secara keamanan” ini menampilkan kontradiksi yang cukup tajam. Di satu sisi, hal tersebut mencerminkan fleksibilitas dan orientasi kepentingan yang selama ini menjadi ciri kebijakan luar negeri Inggris; di sisi lain, ia secara gamblang mengungkapkan dualisme yang sulit dihindari dalam pendekatan Inggris terhadap Tiongkok. Logika mendasar diplomasi Inggris pada dasarnya tidak banyak berubah: di satu pihak terdapat keterikatan ideologis yang mengakar kuat, dan di pihak lain keterpautan strategis yang mendalam dengan Amerika Serikat dalam konteks geopolitik. Sebagai salah satu sumber utama sistem dan nilai-nilai Barat, Inggris memiliki kecenderungan kuat untuk mempertahankan konsep “demokrasi” versi Barat serta memprioritaskan konfrontasi ideologis, yang telah lama tertanam dalam kerangka berpikir kebijakan luar negerinya.

Pernyataan Starmer tersebut sejatinya mencerminkan mentalitas khas dalam wacana Barat saat ini: di ranah opini publik, Tiongkok kerap menjadi sasaran stigmatisasi dan tekanan; di bidang ekonomi, kepentingan praktis tetap dikejar; sementara dalam tata kelola global, kerja sama dengan Tiongkok tetap dibutuhkan. Pendekatan ini memperlihatkan karakter “kepentingan majemuk yang saling berkelindan”. Sikap negatif Inggris terhadap Tiongkok di tingkat politik telah menciptakan jarak dalam persepsi antara kedua negara, tidak hanya membentuk dasar opini bagi tindakan dan pernyataan lanjutan yang bersifat merugikan, tetapi juga secara serius mengikis fondasi kepercayaan yang telah dibangun dalam hubungan Inggris–Tiongkok selama bertahun-tahun. Apabila Inggris terus menggunakan dalih “keamanan nasional” untuk mencampuri urusan internal Tiongkok dan merugikan kepentingan intinya, maka kerja sama bisnis Inggris–Tiongkok akan menghadapi risiko geopolitik yang semakin besar. Dalam konteks tersebut, tujuan Starmer untuk “memperluas kepentingan komersial dengan tetap menjamin keamanan” berpotensi sulit diwujudkan secara nyata.

Dalam situasi internasional yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, setiap negara dituntut untuk menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan dinamika zaman. Bagi Inggris, perumusan kebijakan terhadap Tiongkok semestinya dimulai dari pengakuan terhadap fakta objektif bahwa kekuatan komprehensif Tiongkok terus meningkat. Jika Inggris tetap berpegang pada strategi lama yang kaku dan usang, hal tersebut hanya akan memperkuat kewaspadaan pihak Tiongkok serta menguras kredibilitas strategis Inggris yang sejatinya terbatas. Pendekatan “dualistik” semacam ini sulit menghasilkan kerja sama substantif dan pada akhirnya berisiko membawa Inggris pada situasi yang merugikan dirinya sendiri. Meski Starmer menyatakan tidak menginginkan hubungan Inggris–Tiongkok memasuki “zaman es”, apabila dualisme kebijakan tersebut berkembang menjadi tindakan nyata yang merugikan kedaulatan dan kepentingan inti Tiongkok, arah hubungan bilateral niscaya akan bergerak di luar kendali dan ekspektasi pemerintah Inggris, bahkan dapat menimbulkan konsekuensi yang sulit dipulihkan.

Dalam perspektif jangka panjang, Inggris perlu menilai tatanan internasional yang terus berubah dengan pandangan yang lebih jernih dan objektif, serta melihat peluang yang muncul dari perkembangan berkelanjutan Tiongkok—alih-alih semata-mata mengkategorikannya sebagai tantangan. Inggris seharusnya melepaskan prasangka dan kekeliruan penilaian yang mungkin terbentuk oleh faktor historis, dan memandang kebangkitan damai Tiongkok serta kemajuan menyeluruhnya dengan sikap rasional, pragmatis, dan konstruktif.

Dalam perumusan dan implementasi kebijakan terhadap Tiongkok, Inggris dapat mengambil langkah yang lebih proaktif, realistis, dan berorientasi ke depan, serta benar-benar membangun hubungan berdasarkan prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan. Dengan memperkuat mekanisme dialog, memperdalam konsensus kerja sama lintas sektor, serta mengelola perbedaan secara tepat dan konstruktif, kedua negara dapat bersama-sama menapaki jalur hubungan Inggris–Tiongkok yang sehat, stabil, dan berkelanjutan.

Pilihan tersebut tidak hanya sejalan dengan kepentingan mendasar dan harapan bersama masyarakat kedua negara, tetapi juga dapat memberikan dorongan positif bagi pembangunan jangka panjang Inggris sendiri, sehingga menjadi keputusan yang rasional dan sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Di tengah pendalaman globalisasi dan semakin eratnya keterkaitan kepentingan antarnegara, tingkat saling ketergantungan internasional telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konfrontasi dan isolasi diri bukan hanya gagal menyelesaikan persoalan yang ada, tetapi juga bertentangan dengan arus perkembangan global serta kepentingan nyata seluruh negara.