Bencana Alam, Ekstraktivisme dan Degrowth

Bencana Alam, Ekstraktivisme dan Degrowth

Bisnis.com, JAKARTA – Merebaknya bencana banjir yang melanda Sumatra dewasa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai bencana alamiah semata, melainkan tergolong krisis ekologi ekstrem menuju runtuhnya ekologi (ecological collapse).

Banjir bandang yang menerjang Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh telah menimbulkan korban jiwa hingga perkiraan kerugian ekonomi Rp68,67 triliun. Pemicunya adalah alih fungsi lahan akibat deforestasi sawit dan pertambangan mineral (Celios, 2025). Padahal pemerintah Indonesia beberapa pekan sebelumnya telah mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim (COP30) di Belem, Brasil.

Indonesia mengusung bisnis perdagangan karbon yang bersumber dari hutan dan lautan. Menjadi paradoksnya karena fakta empirisnya deforestasi kian merajalela buat perkebunan sawit dan pertambangan mineral kritis (emas, bauksit, nikel dan tembaga) legal maupun ilegal tak terkendali. Riset Cheong (2025) menegaskan bahwa pasar karbon malah menciptakan “paradoks kredit karbon global”.

Pasalnya, mekanisme pasar karbon justru (i) gagal mengurangi emisi gas rumah kaca (EGRK) dan diversifikasinya; (ii) memperburuk ketidakadilan global dan melemahkan keadilan iklim; (iii) mendistorsi kebijakan iklim yang menekankan efektivitas biaya karena melampaui kebutuhan ekologis; dan (iv) menunda perubahan ekonomi secara struktural untuk mencapai dekarbonisasi. Merebaknya bencana banjir yang melanda Sumatra dewasa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai bencana alamiah semata.

Melainkan tergolong krisis ekologi ekstrem menuju runtuhnya ekologi. Pemicunya adalah tindakan ekstraktivisme yang dilakukan manusia secara masif dan terus-menerus tanpa kendali demi mengakumulasi kapital dan mengejar pertumbuhan tinggi alias PDB oriented. Cara pandang ini dibangun atas logika kapitalisme/neoliberal dengan tiga karakteristiknya yang merusak lingkungan dan degradasi ekologi: pertama, logika akumulasi kapital tanpa henti.

Aktivitas eksploitasi dan ekstraktivisme terhadap sumber daya alam (hutan dan mineral kritis) berlangsung tanpa batas demi akumulasi kapital tanpa batas. Prosesnya terus berputar dengan dalih menghasilkan nilai tambah. Akibat ekstraksi sumber daya alam dan produksinya (termasuk hilirisasi) yang masif menyebabkan transformasi energi dan material menjadi emisi dan limbah.

Kedua, dinamika ekspansi ke segala ruang yang ditandai perluasan kebun sawit dan pertambangan mineral kritis menyebabkan tinggi deforetasi dan alih fungsi lahan. Semua tindakan ini bertujuan mempertahankan akumulasi modal. Soalnya, sistem kapitalisme neoliberal terus berekspansi agar menemukan pasar, sumber daya hingga menciptakan kebutuhan baru. Tindakan ekspansionis tersebut meningkatkan tekanan terhadap ekosistem tanpa batas. Imbasnya seluruh planet bumi bertranformsi menjadi arena akumulasi modal.

Ketiga, cara pandang kapitalisme/neoliberal memandang eksternalisasi bukan sebagai beban produksi. Pasalnya, asumsi yang dibangun adalah alam akan memulihkan dirinya sendiri. Makanya, dalam mengejar efisiensi dan profit mengabaikan biaya kerusakan lingkungan yakni polusi air, udara, dan tanah. Ironisnya lagi biaya semacam ini dibebankan pada masyarakat dan ekosistem.

Sementara, keuntungan dari eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam dinikmati korporasi/privat (Magnette, 2025). Inilah yang memicu “krisis sosial-ekologis” yang tak bisa dianggap sebagai dampak sampingan. Melainkan, prasyarat yang melekat dalam kapitalisme itu sendiri. Makanya sistem ini mengharuskan pertumbuhan produksi dan konsumsi tanpa batas yang kelak berbenturan dengan keterbatasn biofisik dan daya dukung planet bumi.

Karakteristik inilah yang menjustifikasi pemilik modal, elite penguasa pemburu rente, kaum komprador hingga oligarki menguras sumber daya alam di pulau Sumatra. Imbasnya, banjir bandang yang kini kita saksikan jadi konsekuensinya. Makanya, diperlukan kebijakan radikal secara ekonomi politik karena kondisinya “darurat” sehingga negara berperan sebagai “vektor penentu arah” untuk mencegah “krisis sosial-ekologis yang lebih parah.

SOLUSI RADIKAL

Menyaksikan dampak yang ditimbulkan banjir bandang di Sumatra, seyogianya negara mesti menerapkan solusi radikal agar bencana ini tak berulang di wilayah lain Indonesia. Tawaran solusi radikalnya ialah menerapkan paradigma degrowth berkelanjutan terhadap ekspansi perkebuhan sawit dan ekstraksi tambang mineral kritis di Indonesia.

Degrowth berkelanjutan adalah penurunan skala produksi dan konsumsi secara adil sehingga meningkatkan kesejahteraan manusia serta memperbaiki kondisi ekologis di tingkat lokal maupun global, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang” (Schneider et al., 2010).

Penerapan paradigma degrow-th berkelanjutan di Indonesia sangat tepat buat menghentikan aktivitas ekspansi sawit dan pertambangan mineral di Indonesia. Termasuk di pesisir dan pulau kecil seperti nikel, emas serta mangan (Karim dkk 2025). Pasalnya, keterbatasan daya dukung ekosistem dan ketersediaan sumber daya alam, mau tidak mau pendekatan degrowth jadi keniscayaan supaya bencana ekologis tak berulang yang memakan korban manusia, dan kerugian ekonomi besar.