Bencana Alam: Alarm Apokalipse Ekologis untuk Masa Depan Kehidupan Nasional 2 Desember 2025

Bencana Alam: Alarm Apokalipse Ekologis untuk Masa Depan Kehidupan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Desember 2025

Bencana Alam: Alarm Apokalipse Ekologis untuk Masa Depan Kehidupan
Lulusan Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Lebih dari dua dekade bergiat sebagai konsultan, peneliti, dan fasilitator pendidikan kritis masyarakat berbasis andragogi. Kini sedang aktif mendampingi komunitas di berbagai daerah untuk memperkuat sustainable livelihood, terutama pada bidang pertanian dan perikanan berkelanjutan, pencegahan stunting, serta respons terhadap perubahan iklim. Selalu terus berusaha menulis refleksi tentang arah dinamika perjalanan Indonesia dan tantangan sosial-politik masa kini.
JERIT
dan isak tangis pilu dari korban banjir bandang yang serentak terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh semakin menguatkan bunyi alarm kebahayaan ekologis.
Ratusan jiwa melayang dan banyak lagi yang hilang belum ditemukan. Angka-angka kesedihan itu dipastikan akan terus bertambah.
Banjir bandang adalah tragedi ekologis yang telah lama diramalkan oleh banyak peneliti. Gelombang air deras bercampur lumpur, material longsor, dan kayu-kayu gelondongan menerjang permukiman, merusak fasilitas publik, dan menelan korban di berbagai wilayah.
Meski intensitas hujan tinggi dan anomali cuaca sering disebut sebagai pemicu, kerusakan yang terjadi tidak dapat disederhanakan sebagai “bencana alam” semata.
Ia adalah gambaran paling jelas dari alam yang telah kehilangan daya dukung ekologisnya setelah sekian lama dieksploitasi tanpa kendali.
Laporan dari Auriga Nusantara (2025), menunjukkan bahwa deforestasi nasional pada 2024 mencapai 261.575 hektar, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam laporannya, Auriga menyebut bahwa sebagian besar deforestasi terjadi di dalam kawasan konsesi legal, baik konsesi kayu, perkebunan, maupun tambang yang mempercepat hilangnya fungsi ekologis hutan.
Meski pulau Kalimantan yang terparah penggundulan hutannya, tapi pulau Sumatera yang paling signifikan mengalami kenaikan dalam kurun waktu tersebut. Tahun 2023 seluas 33.311 hektar, di tahun 2024 melonjak hingga 91.248 hektar.
Hutan adalah mekanisme perlindungan alamiah yang bekerja dalam diam: menahan air, memperkuat tanah, meredam erosi, dan mengontrol aliran permukaan.
Ketika hutan hilang, air hujan yang biasanya meresap perlahan ke dalam tanah berubah menjadi arus permukaan besar yang melaju tanpa kendali.
Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa banjir bukan hanya menunjukkan besarnya daya rusak air, tetapi juga membuktikan keberadaan aktivitas logging formal maupun ilegal di kawasan hulu.
Fenomena serupa mencuat dari pemberitaan yang memperlihatkan kayu-kayu besar terseret arus banjir di berbagai titik lokasi
banjir Sumatera
.
Dengan demikian, bencana di Sumatera tidak hanya menunjukkan kerusakan alam, tetapi juga kerusakan sistem tata kelola yang gagal melindungi ruang hidup masyarakat.
Untuk memahami bencana ekologis secara lebih mendalam, kita perlu melampaui penjelasan teknis dan melihat akar persoalannya dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik.
Ulrich Beck (1992) melalui konsep
Risk Society
menjelaskan bahwa modernitas memproduksi risiko-risiko baru yang tidak lagi lahir dari fenomena alamiah, melainkan dari tindakan manusia sendiri.
Risiko semacam ini bersifat sistemik, tidak kasat mata, dan menyebar lintas ruang tanpa mengenal batas administrasi.
Banjir bandang di Sumatera adalah salah satu contoh dari risiko buatan manusia yang lahir dari kombinasi ekspansi industri, kebijakan permisif, dan absennya kontrol ekologis.
Dalam perspektif ekologi politik, bencana adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan. Peluso dan Watts (2001) menyebut bahwa lingkungan sering menjadi arena perebutan kekuasaan, di mana konflik agraria, ekspansi korporasi besar—baik perkebunan sawit, logging, maupun pertambangan—mendorong kerusakan ekosistem yang kemudian menghadirkan risiko bagi masyarakat yang tidak ikut menikmati keuntungan ekonomi.
Sumatera sendiri merupakan salah satu wilayah paling intens dieksploitasi untuk ekspansi perkebunan sawit dan tambang dalam tiga dekade terakhir, menjadikannya episentrum produksi risiko ekologis.
Studi yang dilakukan Jenefer Merten et al. (2021) mengenai banjir di Sumatera menunjukkan bahwa masuknya perkebunan dalam skala besar mengalihkan fungsi lahan secara drastis dan membuat banjir menjadi
hazard
(bahaya) yang diproduksi oleh sistem agraria modern.
Banjir bukan lagi fenomena siklus air, tetapi konsekuensi dari fragmentasi hutan, perubahan struktur tanah, dan modifikasi
catchment
area.
Masyarakat pinggir sungai, petani, dan kelompok miskin pedesaan menanggung risiko terbesar akibat keputusan ekonomi-politik yang dilakukan jauh dari wilayah hidup mereka.
Distribusi risiko yang tidak adil menjadi semakin nyata ketika melihat siapa yang paling dirugikan.
Beck menekankan bahwa risiko modern tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan sosial.
Bencana ekologis di Sumatera adalah bukti bahwa risiko yang dihasilkan oleh korporasi dan kekuasaan justru ditanggung oleh kelompok yang paling memiliki daya tawar rendah dalam proses pengambilan keputusan.
Kerusakan ekologis di tingkat lokal tidak dapat dipisahkan dari dinamika global berupa perubahan iklim.
Sumatera adalah salah satu wilayah yang paling rentan terhadap kombinasi antara deforestasi lokal dan krisis iklim global.
Deforestasi memperburuk dampak perubahan iklim dengan menghilangkan kemampuan hutan menyerap karbon dan mengatur iklim mikro.
Hilangnya hutan primer juga menurunkan kemampuan tanah dalam menyerap air, mempercepat
run-off
, dan meningkatkan risiko longsor serta banjir bandang.
Hal ini ditegaskan dalam laporan Envidata (2024) yang menunjukkan korelasi kuat antara deforestasi dan peningkatan bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Dalam konteks Sumatera, dua gelombang kerusakan, kerusakan ekologis lokal dan krisis iklim global, bersatu padu memperluas paparan bencana.
Hutan yang hilang memperbesar dampak hujan ekstrem, sementara hujan ekstrem mempercepat kerusakan tanah yang sebelumnya telah gundul.
Kombinasi keduanya menghasilkan siklus bencana berulang yang semakin sulit dikendalikan. Jika tidak ada intervensi drastis, maka pola kebencanaan yang terjadi saat ini dipastikan akan kembali muncul pada tahun-tahun mendatang, dengan skala kerusakan yang bahkan bisa lebih besar.
Mengatasi krisis ekologis menuntut perubahan paradigma dalam pembangunan. Tidak cukup jika negara hanya mengandalkan pendekatan struktural seperti tanggul sungai, pengerukan sedimen, atau pembangunan bendungan.
Solusi teknis hanya meredam gejala, bukan akar persoalan. Yang diperlukan adalah pemulihan fungsi ekologis hutan dan reformasi tata kelola sumber daya alam.
Pertama, moratorium permanen terhadap izin baru di hulu DAS harus menjadi landasan kebijakan.
Kawasan hulu, lereng pegunungan, dan hutan primer merupakan benteng ekologis yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Pemerintah harus memastikan perlindungan kawasan tersebut dari ekspansi logging, perkebunan, dan pertambangan.
Kedua,
restorasi
ekologis harus dilakukan secara massif melalui reforestasi, rehabilitasi lahan kritis, dan pemulihan fungsi DAS. Model restorasi yang melibatkan komunitas lokal, terutama masyarakat adat agar lebih efektif dibanding pendekatan
top-down
yang selama ini didominasi proyek teknis pemerintah.
Ketiga, tata ruang dan perizinan lingkungan harus disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian. Setiap rencana perubahan fungsi lahan harus melewati analisis risiko ekologis jangka panjang, bukan hanya analisis ekonomi jangka pendek.
Audit lingkungan secara berkala dan publikasi hasil audit secara terbuka menjadi langkah penting dalam memastikan akuntabilitas.
Keempat, edukasi publik dan perubahan budaya pembangunan perlu dilakukan. Hutan harus dilihat sebagai infrastruktur ekologis, bukan semata ruang ekonomi.
Kesadaran bahwa menjaga hutan berarti menjaga keselamatan kolektif menjadi kunci transformasi jangka panjang.
Jika langkah-langkah ini tidak dilakukan, maka bencana ekologis yang kita saksikan saat ini hanya merupakan permulaan dari siklus kehancuran yang lebih besar.
Negara, masyarakat, dan dunia usaha harus mengambil tanggung jawab bersama dalam menghentikan laju apokalipse ekologis dan membangun masa depan yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.