Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) menyebut kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) jelang akhir tahun ini menunjukkan arah yang lebih positif dibandingkan tahun lalu.
Hal ini disebut tercerminkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di mana total ekspor mencapai US$8,07 miliar hingga Agustus 2025, dengan pertumbuhan industri TPT mencapai 5,92% pada triwulan III/2025 lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04%.
Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto mengatakan, berbagai indikator resmi, baik dari BPS maupun laporan industri, memperlihatkan bahwa pemulihan mulai bergerak ke jalur yang lebih stabil meskipun masih bertahap.
“Pertumbuhan ekspor ini didorong oleh peningkatan pada produk kimia, pakaian jadi, serta kulit dan alas kaki,” kata Anne kepada Bisnis, Senin (1/12/2025).
Dari sisi hilir, permintaan domestik mulai membaik dan pelaku industri melihat kembali peluang untuk meningkatkan kapasitas. Sementara itu, sektor hulu memang masih menghadapi tekanan.
Pasalnya, ketergantungan impor bahan baku yang cukup tinggi. Namun, trennya perlahan menunjukkan stabilisasi seiring pasar yang lebih tertata dan penertiban impor ilegal yang mulai memberikan dampak langsung di lapangan.
“Dengan kombinasi peningkatan ekspor, stabilitas pasar domestik, dan data pertumbuhan yang positif, kami melihat bahwa fondasi pemulihan industri TPT sudah mulai terbentuk,” tuturnya.
Anne menilai bahwa pemulihan industri TPT masih berjalan bertahap dan belum merata. Momentum pemulihan penting karena menunjukkan bahwa industri TPT bergerak ke arah yang lebih kuat dibanding tahun lalu dan memasuki tahun depan dengan optimisme yang terukur tetapi solid.
Adapun, momentum perbaikan industri TPT akhir tahun ini ditopang oleh beberapa pendorong utama. Pertama, pasar domestik yang lebih stabil memberikan ruang bagi produsen garmen dan apparel untuk meningkatkan kapasitas secara bertahap.
“Konsumsi masyarakat, khususnya segmen menengah mulai pulih sehingga permintaan terhadap pakaian jadi dan household textiles meningkat,” jelasnya.
Kedua, penegakan impor ilegal yang lebih tegas dari pemerintah menghasilkan dampak nyata di lapangan seperti pasar menjadi lebih tertata, kompetisi lebih sehat, dan produk lokal kembali memiliki ruang untuk tumbuh.
“Ini menjadi salah satu faktor yang paling dirasakan langsung oleh pelaku industri,” tambahnya.
Ketiga, perubahan preferensi global menuju produk berkelanjutan menciptakan peluang baru bagi industri yang telah berinvestasi dalam serat daur ulang, low-impact processes, dan sistem produksi yang efisien.
Menurut Anne, tak sedikit anggota AGTI yang kini melihat peningkatan permintaan dari buyer untuk kategori produk dengan standar sustainability yang lebih tinggi.
Dari sisi produk, dia melihat peningkatan permintaan paling terlihat pada apparel dan garmen untuk pasar domestik dan beberapa pasar ekspor yang mulai stabil, household textiles seperti beddings dan home fabric, serta technical textiles yang digunakan untuk kebutuhan industri, kesehatan, dan fungsional.
Selain itu, produk berbasis circular economy seperti material hasil daur ulang dan recycled blended fibers mulai masuk ke permintaan yang lebih konsisten seiring kebijakan ESG global yang semakin ketat.
“Secara keseluruhan, dorongan pasar domestik, penertiban impor ilegal, serta transisi ke produk bernilai tambah dan berkelanjutan menjadi faktor utama yang menggerakkan pemulihan industri di akhir tahun ini,” pungkasnya.
