TRIBUNNEWS.COM – Ribuan warga Israel turun ke jalan untuk berunjuk rasa menolak gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza.
Mereka berkumpul di luar Kantor Perdana Menteri Israel di Netanyahu pada hari Kamis, (16/1/2025), dan menghalangi lalu lintas di jalan raya terdekat.
The Guardian menyebut ada sekitar 1.500 orang yang ikut serta dalam demonstrasi. Mereka dibubarkan oleh polisi.
Banyak di antara mereka yang mengenakan pakaian hitam. Tangan mereka berwarna merah karena cat.
“Seorang tahanan yang dibebaskan hari ini akan menjadi teroris besoknya,” demikian tulisan yang tercantum dalam plakat pengunjuk rasa.
“Kalian tak punya perintah untuk menyerah kepada Hamas.”
Para pengunjuk rasa juga membawa sekitar 40 peti mati yang yang diselimuti bendera Israel.
Demonstrasi itu diselenggarakan oleh anggota keluarga sandera yang tergabung dalam Forum Tikva. Mereka menginginkan kemenangan total melawan Hamas, bukan perundingan.
“Kami menolak kesepakatan semacam ini. Saya tidak berunjuk rasa menentang keluarga sandera, tetapi menentang pemerintah. Negara dilarang dijalankan oleh emosi keluarga,” kata Shmuel (27), salah satu demonstran.
“Keluarga itu punya hak untuk melakukan apa pun yang mereka pikir akan bisa mengembalikan anggota keluarga mereka, tetapi sebagai sebuah negara, kita tidak bisa menempatkan bahaya keamanan di seluruh negara.”
Dia mengaku sudah menjalani wajib militer selama 400 hari sejak perang di Gaza meletus. Kata dia, pemerintah terancam menyia-nyiakan upaya yang sudah dilakukan tentara Israel.
“Kita harus melanjutkan perang ini. Sahabat terbaik saya meninggal sebulan lalu saat bertempur di Rafah. Saya bertanya kepada diri saya apakah ini sia-sia.”
Sementara itu, seorang pengunjuk rasa lainnya yang bernama Yehoshua Shani meminta Netanyahu dan kabinetnya menolak gencatan senjata.
“Kami menghabiskan malam di sini di luar Kantor Perdana Menteri. Tentu saja susah tidur karena ada kekhawatiran mengenai nasib para sandera dan keamanan rakyat Israel,” kata Shadi dikutip dari Yedioth Ahronoth.
“Kami meminta perdana menteri dan kabinetnya untuk mencegah ini pada momen terakhir. Jangan tanda tangani kesepakatan yang berarti penyerahan, penelantaran sandera lain, dan membahayakan keamanan Israel.”
Keinginan para pengunjuk rasa itu gagal diwujudkan karena kabinet Netanyahu baru saja mengumumkan menyetujui gencatan senjata.
“Pemerintah telah menyepakati rancangan pengembalian sandera. Rancangan untuk pembebasan sandera akan mulai berlaku hari Minggu, 19 Januari 2025,” kata Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dikutip dari CNN.
Kabinet beranggotakan 33 menteri itu menyepakati gencatan senjata setelah ada saran sebelumnya dari kabinet keamanan.
Dikutip dari The Times of Israel, kantor Netanyahu melaporkan ada 24 menteri yang mendukung gencatan, sedangkan yang menolak ada delapan.
Menteri yang menolak antara lain David Amsalem dan Amichai Chikli dari Partai Likud lalu Itamar Ben Gvir, Yitzhak Wasserlauf, dan Amichai Eliyahu dari Partai Otzma Yehudit.
Kemudian, ada Bezalel Smotrich, Orit Strock, dan Ofir Sofer dari Partai Zionisme Religius.
Presiden Israel Isaac Herzog menyambut baik keputusan kabinet untuk mendukung gencatan senjata.
“Ini langkah penting menuju penegakan komitmen mendasar negara terhadap rakyatnya,” kata Herzog.
Israel mengatakan ada 89 sandera yang masih ada di Gaza. Setengah dari jumlah itu diyakini masih hidup.
Sebanyak tiga sandera dilaporkan akan dibebaskan pada hari pertama gencatan senjata. Sandera yang dibebaskan pada tahap pertama berjumlah 33 orang.
Israel akan membebaskan lebih dari 1.700 warga Palestina yang ditahan. Mereka ditukar dengan 33 sandera itu.
Kementerian Kehakiman Israel telah menerbitkan daftar 95 warga Palestina yang akan dibebaskan Israel pada hari pertama gencatan. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan (69).
“Pembebasan tahanan didasarkan pada persetujuan pemerintah tentang rencana gencatan senjata dan tidak akan terjadi sebelum hari Minggu pukul 16.00,” kata kementerian itu.
(Tribunnews.com/Febri)