Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Batalyon infanteri teritorial untuk percepatan pembangunan

Batalyon infanteri teritorial untuk percepatan pembangunan

Bondowoso (ANTARA) – Perjalanan sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI), dulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), selalu terpaut dengan perkembangan kebijakan perpolitikan bangsa kita dari masa ke masa.

Sejatinya, tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh TNI dalam mengikuti irama kebijakan pemimpin negara dan bangsa ini, karena panglima tertinggi TNI adalah Presiden Republik Indonesia.

Sebagai prajurit, TNI memang tunduk dan menjalankan perintah atau kebijakan yang ditetapkan oleh panglima tertingginya. Hanya ada satu pilihan yang bisa diikuti oleh TNI dalam mengarungi sejarah pengabdiannya untuk negeri ini, yakni “patuh” kepada pemimpin tertinggi.

Dalam menjalankan amanah sebagai penjaga kedaulatan negara, TNI juga menanggung beban yang tidak ringan atau konsekuensi dari keteguhannya berpegang pada konstitusi itu.

Ketika pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan Dwi Fungsi dari Presiden Soeharto, TNI menanggung risiko dianggap terlalu jauh memasuki, bahkan dituduh merebut wilayah sipil.

ABRI banyak mendapat sorotan dari konsekuensinya selalu berpegang teguh pada konstitusi tersebut. Pada era Orde Baru, sangat tidak boleh TNI (ABRI) tidak menjalankan perintah Presiden Soeharto ketika itu.

Kalau pada masa Orde Baru itu ABRI dianggap keliru, sesungguhnya kenyataan itu yakni patuh pada panglima tertinggi memang pilihan satu-satunya yang bisa dijalankan oleh tentara.

Tentara tidak boleh membangkang pada kebijakan, yang maknanya adalah perintah dari panglima tertinggi, dengan mengambil “jalan lain” dari rel Dwi Fungsi.

Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa TNI, setidaknya di era reformasi, tidak pernah keluar dari rel yang dipilih oleh pemimpin negeri yang mengharuskan sistem bernegara kita menjalani politik demokratis.

Hal itu dapat kita saksikan ketika TNI yang sebelumnya memiliki “kekuasaan tidak terbatas”, langsung tunduk pada keputusan panglima tertinggi TNI, yaitu presiden, seperti saat TNI dipisah dengan Polri.

Beberapa ladang kekuasaan tidak boleh lagi dipimpin oleh TNI. TNI menerima kebijakan itu, bahkan tanpa gejolak, kecuali mungkin sikap orang per orang dari prajurit yang memerlukan penyesuaian.

Kiprah TNI, sebelum era reformasi yang sempat mendapatkan predikat kurang nyaman di hati kalangan aktivis demokrasi, terutama kalangan mahasiswa, dalam perjalanan waktu, ternyata bisa merebut kembali hati rakyat.

TNI kemudian fokus pada peningkatan kualifikasi kesenjataan dan personel. Di saat bangsa ini menghadapi bencana alam, negara memanggil TNI untuk terjun membantu warga mengatasi dampak bencana.

Ketika bangsa ini menjadi tuan rumah hajatan-hajatan besar yang dihadiri pemimpin negara-negara maju, TNI menyuguhkan rasa bangga pada rakyat bahwa Indonesia memiliki kekuatan militer yang tangguh dan tidak bisa diremehkan oleh bangsa manapun.

Tugas selain perang

Meskipun bangsa ini memilih sistem politik demokratis, namun wilayah masyarakat sipil tidak bisa sepenuhnya ditinggalkan oleh TNI. Karena itu, konsitusi yang dihasilkan oleh proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, “mengakomodasi” fakta perlunya keterlibatan TNI dalam wilayah sipil, dengan menempatkan dua tugas pokok TNI, yakni operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).

Kedua tugas pokok itu terangkum dalam amanah UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tugas operasi militer selain perang bisa kita lihat bagaimana ketika tentara kita terlibat dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan bencana, termasuk penanganan aspek sosial terhadap para penyintas bencana.

Terkait tugas di luar perang ini, Menteri Pertahanan (Menhan) RI Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan membentuk 100 batalyon infanteri teritorial untuk pembangunan pada 2025.

Pembentukan batalyon yang orientasinya lebih bertitik berat kepada operasi selain perang ini merupakan implementasi dari upaya soft power dalam menjaga kedaulatan negara. Karena sifatnya yang soft power, maka kekuatan ini bukan untuk menghadapi serangan musuh dari luar, melainkan “musuh” dari dalam.

Kalau untuk menghadapi serangan “musuh” dari dalam, apakah kekuatan batalyon pembangunan itu akan berperang dengan rakyatnya sendiri? Tentu saja tidak.

Sesuai pemaparan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, ketika rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Senin (25/11/2024), batalyon yang direncanakan tersebut akan memiliki unsur kompi pertanian, perikanan, peternakan, dan kesehatan.

Dari kekuatan kompi yang disiapkan, terlihat jelas bahwa batalyon tersebut dipersiapkan untuk berperang melawan kemiskinan, termasuk bidang kesehatan. Batalyon itu akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan kemakmuran di masyarakat.

Karena itu, senjata yang akan mereka panggul adalah ilmu pengetahuan atau keahlian sesuai bidangnya untuk membantu rakyat mengelola pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan.

Batalyon infanteri teritorial itu akan ditempatkan di kabupaten-kabupaten, sehingga mampu menjadi mitra pemerintah daerah dalam menjalankan tugas memakmurkan rakyat.

Selain kekuatan pasukan TNI, batalyon tersebut rencananya akan diperkuat oleh personel dari komponen cadangan (komcad) yang saat ini sudah banyak dilatih di lembaga-lembaga pendidikan militer.

Sesuai data di Kementerian Pertahanan, jumlah pasukan komponen cadangan Indonesia, saat ini hampir mencapai 10.000 orang.

Pelibatan personel komcad ini tentu memiliki efek ganda karena kekuatan keterampilan pasukan cadangan itu bisa terasah dan tidak “menganggur”, setelah mereka mendapatkan pendidikan dan pelatihan mengenai bela negara.

Selain membersamai masyarakat dalam usaha pertanian, peternakan, dan perikanan, keberadaan batalyon itu juga bisa memanfaatkan lahan-lahan kosong yang selama ini menganggur untuk ditanami bersama warga.

Prajurit batalyon infanteri teritorial ini juga bisa menggerakkan masyarakat untuk menjaga lingkungan tetap lestari, dengan menanam pohon di areal-areal yang tidak terjangkau oleh masyarakat untuk pertanian, seperti di kawasan hutan.

Karena tugas personel batalyon ini memang dipersiapkan untuk selalu berhubungan dan fokus dengan pendampingan kepada masyarakat, maka di batalyon ini, jargon bahwa “TNI itu lahir, tumbuh, berkembang, dan berjuang bersama rakyat”, menemukan medan laganya untuk diwujudkan.

Lewat pembentukan batalyon infanteri teritorial, TNI betul-betul menyatu dan tidak terpisahkan dengan rakyat.

Copyright © ANTARA 2024