Banyak Bijih Nikel Tak Terserap, FINI: Larangan Ekspor Tak Boleh Kendur

Banyak Bijih Nikel Tak Terserap, FINI: Larangan Ekspor Tak Boleh Kendur

Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menilai penumpukan bijih nikel di pertambangan maupun fasilitas pemurnian bukan merupakan tanda adanya gangguan serius dalam industri. 

Hal ini merespons kabar terkait menumpuknya stok bijih nikel di beberapa tambang karena tak terserap smelter, yang turut dibenarkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah mengatakan, kondisi penumpukan stockpile merupakan bagian normal dari operasional penambangan dan pengolahan.

“Itu bagian dari perencanaan tambang, proses pencampuran, keberlanjutan produksi, serta memastikan suplai tidak terputus dari tambang ke smelter atau refinery,” ujar Arif kepada Bisnis, dikutip Selasa (11/11/2025). 

Menurut Arif, laporan mengenai penumpukan bijih nikel imbas penghentian atau pengurangan produksi smelter hanya terjadi di lokasi tertentu dan bukan gambaran umum industri.

Terkait dampaknya terhadap hilirisasi, Arif menegaskan bahwa pasokan bijih nikel justru merupakan aspek paling krusial untuk menjaga keberlanjutan industri hilir, baik yang berbasis pirometalurgi maupun hidrometalurgi.

“Kesulitan pasokan dan kelangkaan bijih nikel dapat sangat berdampak secara operasional dan memicu kenaikan biaya produksi,” katanya. 

Dalam kondisi ini, menurut Arif, proses persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang sedang berjalan diharapkan mampu mencegah potensi kelangkaan bijih nikel ke depan sehingga kebutuhan smelter dapat tercukupi.

Di samping itu, Arif juga menepis anggapan bahwa kondisi stockpile saat ini berpotensi membuka kembali keran ekspor bijih nikel. Dia menegaskan bahwa larangan ekspor yang berlaku sejak Januari 2020 merupakan kebijakan strategis yang harus dipertahankan.

“Kebijakan larangan ekspor harus terus dilanjutkan. Keberhasilan program hilirisasi nikel sepenuhnya bergantung pada kestabilan regulasi,” tuturnya.

Bagi pengusaha pemurnian, komitmen jangka panjang terhadap hilirisasi menjadi kunci untuk menjaga nilai tambah di dalam negeri serta memperkuat daya saing industri nikel nasional.

“Kebijakan ini harus terus dilanjutkan oleh pemerintah, kelanjutan keberhasilan dari program hilirisasi nikel ini akan tergantung pada kestabilan regulasi yang dijalankan,” pungkasnya. 

Sebelumnya, FINI memproyeksikan kondisi oversupply atau kelebihan pasokan nikel akan berlanjut hingga 2027. Hal ini seiring dengan pasar stainless steel yang diperkirakan baru akan pulih 2 tahun ke depan.

Arif mengatakan, oversupply nikel ditandai dengan peningkatan kapasitas produksi hingga 5 kali lipat dalam 5 tahun terakhir. 

Dalam catatannya, kapasitas produksi nikel saat ini mencapai 2,5 juta ton. Adapun, penggunaannya didominasi untuk stainless steel 70% dan baterai 15%. 

Arif menyebut, oversupply nikel masih akan terjadi pada tahun depan lantaran kondisi perekonomian dunia yang membuat pasar masih lesu. Sementara itu, pada 2027, dia melihat oversupply mulai susut menyeimbangkan demand atau permintaan. 

Dari 2027, pihaknya memperkirakan mulai terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi eksisting untuk penggunaan stainless steel. 

Terpisah, APNI mengungkapkan adanya kondisi penumpukan stok bijih nikel yang tak terserap oleh smelter. Hal ini diperparah dengan peningkatan impor bijih nikel dari Filipina, sementara sejumlah fasilitas pemurnian memangkas produksi. 

Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan, ketidakseimbangan produksi dan serapan bijih nikel dalam negeri tecerminkan dari kuota produksi yang disetujui pemerintah pada 2025 sebesar 364 juta ton, sementara penyerapan oleh industri, khususnya smelter, hingga pertengahan tahun ini lebih rendah dari kuota tersebut.

Menurut Djoko, penyerapan aktual oleh smelter mungkin tidak cukup untuk menggunakan seluruh stockpile yang ada. Apalagi, belakangan beberapa perusahaan mengimpor bijih nikel Filipina. 

Dalam catatannya, Indonesia mengimpor bijih nikel dari Filipina dengan jumlah yang cukup signifikan. Pada periode Januari hingga Mei 2025, impor bijih nikel dan konsentrat dari Filipina mencapai 2,77 juta ton dengan nilai sekitar US$122,71 juta. 

“Secara keseluruhan, impor dari Filipina pada tahun sebelumnya mencapai 10,18 juta ton,” ucap Djoko kepada Bisnis.

Di sisi lain, Djoko menyebutkan terdapat empat smelter yang menurunkan produksi sehingga penyerapan bijih nikel domestik hanya berkisar 120 juta ton hingga saat ini.