JAKARTA – Kain batik bukan sekadar warisan budaya, tapi juga jendela harapan bagi para penyandang disabilitas di Blitar, Jawa Timur. Dengan dukungan bahan baku membatik, para perajin di Rumah Kinasih menunjukkan keterbatasan fisik atau mental tidak menghalangi mereka untuk berkarya dan mandiri secara ekonomi.
Bahan pewarna, canting, kain mori, hingga peralatan penunjang lainnya menjadi modal penting yang tidak hanya membangkitkan semangat, tapi juga membuka jalan bagi kemandirian hidup.
Mengutip ANTARA, sebanyak 25 perajin disabilitas yang tergabung dalam Rumah Kinasih menerima bantuan bahan baku membatik senilai lebih dari Rp37 juta. Bantuan ini disalurkan melalui program rehabilitasi sosial oleh lembaga pemerintah dan diserahkan langsung oleh perwakilan organisasi wanita kementerian serta lembaga sosial terkait.
Bantuan tersebut tidak hanya sekadar dukungan material, tetapi juga menjadi simbol keberpihakan terhadap kelompok rentan yang kerap terpinggirkan. Dengan adanya akses terhadap alat produksi, para perajin batik disabilitas didorong untuk terus produktif dan meningkatkan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan.
“Ini dapat menjadi wujud nyata kehadiran negara dalam mendukung keberlangsungan hidup dan pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan, termasuk para penyandang disabilitas,” kata Penasihat I DWP Kemensos Fatma Saifullah Yusuf, seperti dikutip ANTARA.
Rumah Kinasih, yang berdiri sejak 2017, berfungsi sebagai ruang pelatihan sekaligus tempat tinggal bagi para penyandang disabilitas dari berbagai daerah seperti Blitar, Jombang, Surabaya, hingga Kalimantan. Fokus utamanya adalah membatik ciprat teknik membatik yang memungkinkan ekspresi bebas dan spontan, serta dapat diakses oleh siapa pun tanpa batasan fisik.
Edi Cahyono, pendiri Rumah Kinasih, menyampaikan lebih dari 50 penghuni aktif mengikuti pelatihan rutin di bidang membatik, kebersihan lingkungan, ibadah, dan pengembangan diri. Sekitar 20 orang di antaranya tinggal penuh waktu karena tidak memiliki keluarga atau tempat kembali.
“Lebih dari 20 orang tinggal menetap di Rumah Kinasih karena tidak memiliki keluarga yang merawat,” ujarnya.
Dalam sehari, setiap perajin mampu menghasilkan lima hingga enam lembar kain batik ciprat. Meski penghasilan tidak tetap, banyak dari mereka telah mencapai kemandirian finansial. Beberapa bahkan mampu menabung, membeli kendaraan pribadi, dan berkontribusi terhadap kebutuhan keluarga.
Salah satu contoh adalah Yuni, penyandang disabilitas daksa, yang berhasil membeli sepeda motor secara tunai dan memiliki simpanan pribadi. Sementara itu, Harianto, perajin lainnya, mampu membantu merenovasi rumah keluarganya berkat penghasilan dari membatik.
Menurut Edi, transformasi ini sangat berarti, terutama karena banyak dari penghuni sebelumnya dianggap sebagai beban oleh keluarganya. Kini, mereka menunjukkan mereka mampu menjadi pribadi yang produktif dan berharga.
Produk batik ciprat dari Rumah Kinasih mencakup kain, busana, dompet, hingga tas, dan telah dipasarkan ke berbagai daerah. Edi menekankan masyarakat diharapkan membeli produk ini bukan karena empati semata, melainkan karena kualitas dan keunikan karya tersebut.
Sebagai bentuk pengakuan terhadap karya para perajin, sebuah kebijakan juga telah diberlakukan di lingkungan lembaga sosial untuk mengenakan batik ciprat pada hari tertentu. Langkah ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak masyarakat mengenal dan mengapresiasi hasil karya penyandang disabilitas.
Dalam kunjungan lapangan, para pengurus organisasi wanita dan lembaga sosial juga meninjau langsung proses pembuatan batik. Mereka memberikan apresiasi terhadap ketekunan para perajin, termasuk yang menyandang disabilitas mental, yang berhasil menghasilkan karya seni bernilai tinggi.
